Kaspian Kamasmara
Soya, kamu nggak apa-apa? Daru cerita kamu nangis kemarin. Kamu juga nggak muncul di grup. Kalo ada sesuatu, pls let me know, ok?
Soya tidak punya tenaga untuk membalas tiap pesan yang masuk ke ponselnya. Ia merasa bersalah dan sungkan sekaligus, walau ia tahu bahwa aksi penggalangan kemarin mengumpulkan cukup banyak uang sampai-sampai kawan-kawannya yakin tidak butuh dana Yayasan. Apalagi desakan dari Sastra agar Soya segera mengaku dengan rencana yang sudah dibuat.
Ia terus-menerus bertanya apakah itu bakal menjadi hal yang tepat, meski … seiring semakin sering Yasmin dan Soni mencueki dan memarahinya sekaligus, semakin Soya yakin bahwa rencana Sastra memang yang terbaik. Pria itu seorang guru. Ia pasti sudah cukup dewasa untuk tahu apa yang terbaik bagi Soya.
Maka, sambil mengabaikan pesan Kaspian yang datang di kala subuh, Soya bersiap untuk datang ke sekolah lagi.
Ini baru hari Selasa. Kenapa waktu berlalu sangat lambat? Dan … Selasa, pula! Mestinya ini menjadi waktu berkumpulnya Layar Surya lagi. Namun, setelah Yasmin membongkar kebohongannya, Soya tidak yakin bisa bergabung lagi. Firasatnya mengatakan ibunya disuruh sang ayah lagi untuk menjemputnya. Itu berarti, Yasmin tak bisa bersenang-senang lama di tiap pertemuan arisan.
Itu berarti, Soya bersalah lagi karena merenggut waktu hiburan ibunya.
Seolah semesta ingin menegaskan bahwa kelakuannya selama ini memang parah, langit mendung sepanjang hari. Geluduk petir mengancam di antara awan-awan gelap yang menggantung padat di langit kota, sesekali mengejutkan hati malang Soya yang selalu mengantisipasi kehadiran Oris. Angin dingin pun berembus cukup kencang, membuat burung-burung dara mengepakkan sayap gelisah di dalam kandang besar di taman sekolah. Kicauan mereka terdengar seperti menertawakan atau memperingatkan Soya sekaligus, saat cewek itu melintasi lorong menuju kantin bersama Nova.
Baru saja ia berbelok melewati ruang konseling, Oris tahu-tahu melongok keluar. “Soya, Soya! Pas banget. Sini sebentar, Ibu mau bicara.”
Hati Soya jumpalitan. Burung-burung dara di seberang lorong berdekut nyaring. Kali ini mereka terdengar seperti benar-benar menertawakannya.
Soya sempat melemparkan pandangan cemas kepada Nova yang membalas dengan raut tegang. Cewek itu menepuk bahu Soya untuk menyemangatinya.
Soya menarik napas dalam-dalam. Toh ini hanya Oris. Bukan orang tuanya lagi. Mungkin … mungkin ia bisa menghadapinya dengan lebih baik. Dengan keberanian kecil itu, ia meninggalkan Nova untuk memasuki ruang konseling.
Hatinya anjlok seketika melihat Soni dan Yasmin duduk di sofa. Tersaji di antara kedua cangkir yang berjauhan adalah kertas-kertas dengan kop surat dan buntalan tisu. Mata Yasmin merah. Soni bersandar seraya mengetuk-ketukkan jari di lengan kursi.
Pendengaran Soya mendadak tuli dan lidahnya kelu. Ia tidak sadar Oris mempersilakannya duduk hingga sang guru mendorong bahunya dengan lembut untuk ikut duduk bersama. Kala tubuhnya melesak di sofa berbantal kempes, ia merasa lebih rendah, lebih kecil, dan lebih tidak berarti daripada tatapan menusuk kedua orang tuanya.
Guru konseling turut hadir di antara mereka, tetapi Soya tak merasakan kenyamanan apapun. Telinganya juga sulit menangkap ucapan Oris yang menjelaskan sesuatu kepadanya.
Mungkinkah kemampuan Soya lebih menurun daripada sebelumnya? Dahulu ia tak bisa membaca naskah di depan kawan-kawannya, dan sekarang ia tak bisa mendengar wali kelasnya bicara, sebab yang memenuhi ruang pendengarannya hanyalah dentum jantung?
“Jadi, bisa diceritakan sejujur-jujurnya, Soya, mata pelajaran apa yang kasih kamu ‘tugas’ itu?” kehati-hatian Oris terasa percuma. Soya hanya beruntung Soni tidak akan meledak semudah itu di muka umum … tapi, ah—bukankah kemarin ayahnya menyentaknya di pertigaan lampu lalu lintas?
Soya mencengkeram lututnya. Ucapan Sastra kembali terngiang-ngiang di benaknya.
Akui aja. Bapak punya banyak rencana.
Dengan keyakinan penuh akan rencana pria itu, Soya menarik napas dalam-dalam. “Bukan … bukan mata pelajaran, Bu,” jawabnya lirih. “Tapi, saya ikut ekskul teater … dan ‘tugas’ tempo hari itu … untuk melatih kepercayaan diri saya.”
Soni menegakkan tubuh. Telunjuk yang teracung lebih tajam daripada tudingan Yasmin kemarin. “Ekskul?” raungnya. Sang istri buru-buru menarik tangan Soni, tetapi pria itu tidak peduli dengan keberadaan dua guru di sana. “Siapa yang ngebolehin kamu ikut ekskul? Udah berbohong nggak ikut les, sekarang milih ikut ekskul?”
“Bapak, mohon te—”
Soni menyela ucapan Oris. “Kamu merasa udah mandiri, Soya? Udah bisa hidup dan bikin keputusan tanpa orang tua? Merasa keputusanmu lebih baik daripada pilihan orang tua? HAH?”
“Papa!” Yasmin menarik-narik lengan kemejanya.
“Bapak, tolong tenang dulu!” guru konseling, wanita paling tua di ruangan itu, tahu-tahu menyentak. Soni sampai terperanjat—bibirnya tersingkap siap membalas, tetapi menyadari bahwa sang guru konseling sesepuh usia nenek Soya, maka pria itu mengatupkan bibir rapat-rapat.
Maryam namanya. Beliau mengangguk usai menyadari Soni yang masih mau mendengarkan, lantas ia berputar menghadap Soya yang sudah gemetaran di sofa. Ia mengulurkan tangan, menggenggam tangan Soya yang meremas rok seragam kuat-kuat.
Sembari melonggarkan cengkeraman sang murid, Maryam berkata, “Ekskul teater, nggih? Bukannya ekskul teater mau diberhentikan tahun ini, Nduk? Kenapa kamu milih ekskul teater?”
Soya menelan ludah bulat-bulat. Ia menatap Maryam karena tak berani memandang yang lain. Ada sesuatu yang berbeda di kedua mata hangat Maryam yang membuatnya bisa menjawab.
“Pak Sastra … Pak Sastra tahu nilai mapel Sastra Indonesia saya jeblok.” Tenggorokannya tercekat saat mengucapkan nama itu. Ia merasa seperti terpidana yang akhirnya menyebutkan nama yang paling dinanti-nantikan para hakim. “Jadi, Pak Sastra nawarin saya untuk ikut ekskul teater … biar mencapai kuota minimal ikut lomba”—ia memelankan suara di kata ini, paham bahwa orang tuanya akan bereaksi lagi—“sebagai gantinya … saya dijanjikan untuk dapat nilai bagus.”
Saat Soni menghela napas dan Yasmin memijat pelipis, Soya masih tak mau mengalihkan pandangan kepada mereka. Melirik saja tak berani. Di sisi lain, ia bisa merasakan gerakan Oris yang mengangguk dan meraih ponsel, sementara Maryam hanya mengangguk pelan.
Soya tak tahu mesti bereaksi bagaimana. Apa yang dilakukan wali kelasnya? Apa maksud anggukan Maryam? Apakah kedua orang tuanya sudah tak bisa berkata-kata lagi?
Apakah Soya telah melakukan hal yang benar, atau salah lagi?
Ia baru mendapatkan jawabannya saat Oris beranjak. “Saya bicarakan dulu dengan Waka Kesiswaan dan Kepala Sekolah. Untuk Bapak Soni dan Ibu Yasmin, saya mengucapkan terima kasih sekali lagi karena sudah membicarakan ini dengan saya, ya? Untuk kabar selanjutnya … silakan ditunggu saja. Mungkin, forum akan dilaksanakan dalam minggu ini, karena ini bersangkutan dengan beberapa hal penting.”
Yasmin mengangguk. Suaranya lemas saat merespons. “Terima kasih, Bu. Apa yang hadir cukup kami saja?”
“Saya akan hubungi orang tua dari anggota ekskul teater yang lain juga.” Oris tersenyum menenangkan, walau senyum itu justru menghadirkan badai pada Soya. “Kebetulan dua peserta lainnya juga teman sekelas Soya.”
Saat Oris berlalu terlebih dahulu, menyerahkan urusan kepada Maryam, Soya kalang kabut. Ia ikut-ikutan berdiri, berniat untuk menyusul Oris dan mencegahnya berbicara kepada Waka Kesiswaan yang menyebalkan itu, tetapi langkahnya terhenti saat melewati pintu.
Di luar, keempat kawannya bergerombol di balik jendela. Ekspresi mereka bermacam-macam, tetapi satu yang pasti:
Mereka semua kini menatapnya dengan kecewa.
Belum sempat salah satu di antara mereka mengucapkan sesuatu, Oris menyeruak.
“Loh, loh. Kalian ngapain? Oh, kebetulan ada Daru dan Nova! Bagus, bisa ikut masuk ruangan sebentar?”
Daru dan Nova tak sempat bereaksi, apalagi saat Oris mendorong pundak mereka menyusul masuk. Ekspresi Soni berubah menjadi terbengong-bengong saat menyadari ada dua wajah familiar yang mampir. Wajah “teman kelompok belajar” Soya yang minta izin pulang malam bersama.
“Oh, ini!” Soni berseru keras setelah menyusun kepingan teka-teki. “Bersekongkol, rupanya!”
Soya merasa sekujur tubuhnya lumpuh, terutama saat Daru dan Nova sempat melempar tatapan tajam kepadanya. Kala Soya membuang muka, ia masih harus berhadapan dengan Kaspian dan Juni.
Sang ketua yang pertama kali berucap, suaranya tercekat. “Jadi … itu alasan kamu gabung teater?”
“Kas, nggak gitu—”
Kaspian menggeleng. “Kalau memang itu alasannya, itu berarti … percuma aja kalau aku bilang bahwa Pak Ishak bakal seneng banget dengar kabar ini, kan?”
Soya tak ingat menu sarapan apa yang disantapnya, atau mungkin ia belum makan sama sekali, tetapi ucapan Kaspian menohoknya begitu keras sampai ia ingin muntah.
Kala Soya menatap Juni dengan frustrasi, Kaspian justru menarik cewek itu menjauh. Kebetulan bel pertanda dimulainya pelajaran telah berdentang.
“Ayo, Jun.”
Juni memang sering menyindir Soya, tetapi diamnya cewek itu terasa lebih menyakitkan. Ia hanya mengangguk pada ajakan Kaspian.
Seiring dengan langkah kaki mereka yang menjauh, dan suara-suara lirih Daru serta Nova yang tengah diinterogasi, Soya mendapati air matanya mengalir lagi.
Biar saja murid-murid yang berlalu lalang di lorong melihatnya menangis. Jika ia tidak bisa membela dirinya sendiri dengan berbicara, biar air matanya yang berbisik pada dunia.
Haruskah kita bertemu lagi dengan efis---
Comment on chapter Prolog: Ambang Batas