“NGAPAIN KAMU MENGEMIS DI PERTIGAAN?” Suara Soni menggelegar di sekujur rumah.
Belum sampai satu menit mereka melewati pintu ruang tamu, amarah sang ayah telah mengguncang rumah. Yasmin buru-buru mendorong Nino masuk ke kamarnya dan menyuruhnya bermain. Soya terdesak antara amukan Soni dan pintu ruang tamu. Kepalanya menunduk dalam-dalam.
Ingin sekali ia mengatakan bahwa dirinya bukan mengemis, tetapi Soya tahu tabiat beliau.
“APA MAKSUDNYA MINTA-MINTA UANG, HAH? APA KAMU UDAH BOSAN JADI ANAK PAPA?”
Soya menarik napas. “Pa, aku nggak ngemis—”
“LALU APA? KOTAK ISI UANG ITU BUAT APA?”
Kali ini cewek itu tak tahu mesti menjawab apa. Jika ia menjawab kotak itu ditujukan untuk penggalangan … maka pertanyaan Soni takkan berhenti sampai di sana saja. Penggalangan untuk apa? Teater? Sejak kapan ikut teater? Oh, jadi sebenarnya Soya tidak ikut les bimbel?
Mungkin lelucon dicoret dari kartu keluarga tak lagi menjadi candaan di situasi seperti ini.
“Mama!” panggilan Soni menyentak Soya dari lamunan. “Keluar dari kamar Nino!”
Sempat ada keheningan sejenak sebelum terdengar suara pintu kamar Nino dibuka. Selang tak lama kemudian, Yasmin muncul. Soya spontan merasa bersalah. Raut lelah dan sumpek menghias wajah sang ibu. Tatapan beliau penuh dengan rasa penyesalan saat terarah kepada Soya.
Sang putri sulung menundukkan kepala lagi. Ia memang takut dimarahi ayahnya, tetapi ia lebih tidak kuat melihat kekecewaan di mata sang ibu.
“Soya, coba jelasin kenapa kamu ada di pertigaan sambil bawa kotak begituan.” Yasmin lebih tenang saat mengajaknya bicara, sementara Soni sudah berlalu. Pria itu masuk ke kamar dan membanting pintu keras-keras, menggetarkan seisi rumah.
“Itu … sama teman-teman, Ma …,” bisiknya takut. “Kalau Mama lihat, tadi teman-temanku tampil baca puisi di zebra cross … itu penggalangan buat … buat, ng ….”
“Sama teman-teman siapa? Teman-teman sekelas? Apa itu tugas sekolah? Kan, kamu nggak gabung ekskul sama sekali.”
Jari-jari Soya mengepal di sisi-sisi tubuhnya. “Iya, puisi … tugas.”
“Kenapa sampai ada penggalangan?” Yasmin melipat tangan. “Aneh banget, masa sekolahmu nyuruh bikin tugas kayak gitu? Nggak masuk akal. Lihat itu Papa, sampai udah salah paham duluan dan marah-marah. Kalau itu memang tugas, itu berarti tugasnya nggak etis banget.”
Soya tak mengatakan apapun. Hatinya berdesir mendapati ibunya masih mencoba mengais-kais logika dan rasionalitas dari situasi ini.
Yasmin menghela napas. “Mama sama Papa capek, malah dikasih kejutan nggak enak begini. Malu, tahu, nggak? Kamu tahu sendiri, tadi di van ada banyak orang. Teman-teman Mama ngira kamu ngamen, makanya Papa marah banget. Mama juga malu! Bisa-bisanya anaknya pengusaha mebel malah ngamen!”
Kedua mata Soya mulai perih, tersengat keinginan untuk menangis.
“Udah, Mama mau istirahat dulu. Kamu urusi Nino.”
“Ya, Ma ….”
Kala sang ibu beranjak dan menyusul masuk kamar, Soya seketika merasa tubuhnya melembek seperti jeli. Ia merosot di lantai, memeluk tubuhnya yang gemetaran.
Bagaimana kabar kawan-kawannya? Jarinya meraba-raba saku. Napasnya tercekat usai menyadari bahwa hanya ada beberapa lembar uang di kantong, tetapi tak ada ponsel sama sekali.
Tasnya juga tidak ada. Oh, benar juga—ia tadi diseret pulang tanpa sempat kepikiran soal tas!
Semoga ada yang mengamankan tasnya. Soya hanya bisa pasrah, merasa kian gelisah dengan ketiadaan ponsel di sisinya.
Perhatian Soya teralih saat mulai perdebatan di dalam kamar orang tuanya. Ia berdecak. Kenapa, sih, orang tuanya tidak melupakan masalah ini sejenak dan tidur saja? Bukannya mereka lelah?
Harusnya beristirahat, bukannya berdebat … terus-terusan …. Soya membenamkan wajahnya di lipatan tangan.
Iya, iya. Ini salahku. Soya membatin dengan dada berdentam-dentam. Terbayang masa-masa sebelum Nino lahir, tetapi ia berusaha menepis pikiran itu. Ia mengedarkan pandangan. Di mana Nino? Ia … ia mesti memastikan adiknya nyaman di kamar dan tidak mendengar perdebatan sama sekali.
Baru saja Soya beranjak, tetapi terdengar suara bel berbunyi. Aduh, siapa yang bertamu di saat yang tidak tepat begini? Soya berdebat dalam hati sejenak sebelum memutuskan untuk menjawab panggilan itu. Sudah pasti orang tuanya tidak berniat untuk membukakan pintu.
Untungnya, Soya yang menghampiri pagar, sebab ternyata Sastra yang berdiri di tepi jalan. Ekspresi sang guru tak mampu menyembunyikan kegugupan.
“Bapak!” bisik cewek itu dengan ketakutan. Ia melompat mendekat. “Bapak jangan ke sini!”
Kedua mata Sastra melebar melihat kondisi Soya. Telah pucat pasi wajah yang semula berseri-seri di pertigaan itu. Sang guru merasakan perih menyengat dadanya.
“Tasmu tertinggal.” Sastra menyerahkan tasnya melewati pagar. “Kamu nggak apa-apa, Nak? Di mana orang tuamu? Biar Bapak kasih penjelasan.”
“Jangan!” reaksi spontan Soya membuat Sastra terperanjat. Apalagi saat cewek itu sempat mengerling sejenak ke arah bangunan rumahnya, khawatir jika orang tuanya bakal menerjang. “Bapak jangan bicara dulu sama ayah saya. Ayah saya lagi emosi … nggak bisa diajak ngobrol.”
Sastra menatap sang murid dengan nanar. Sejujurnya, isi pikirannya juga riuh, memikirkan banyak kemungkinan dari yang buruk hingga terburuk—tak bisa ia mengundang dugaan baik di saat-saat seperti ini.
“Saya ngerti,” ujarnya pelan. “Kamu udah cerita apa aja ke orang tuamu?”
Soya menggeleng. “Belum banyak, Pak,” katanya, walau itu juga tidak menjawab spesifik apa saja yang ia beritahu kepada Soni dan Yasmin. “Kalau saya dimarahi, saya nggak boleh ngomong. Saya juga nggak berani cerita tentang Layar Surya, Pak, saya takut nanti berdampak sama teater ….”
Saat Soya meneteskan air mata lagi, Sastra merasa hatinya diremas-remas. Ia seperti melihat seorang keponakan … atau adik perempuan, yang berlari ketakutan kepadanya, dan Sastra mendadak merasa tak berguna karena ia bukanlah orang tuanya.
Tak ada pilihan lain. Sastra tak mau ada versi kedua dari dirinya. Menurutnya, sebelum terlambat, Soya masih bisa diselamatkan.
Diselamatkan dari jurang yang memerangkap Sastra selamanya.
“Jawab apa adanya, Soya,” saran itu meluncur pasrah dari mulut Sastra. “Ceritakan yang sebenar-benarnya. Kalau saya maksa kamu untuk gabung teater demi memenuhi kuota. Kamu nggak ada salah di sini—kamu nggak semestinya ketakutan separah ini di rumahmu sendiri.”
Pria itu mengulurkan tangan, mengusap air mata sang murid dengan berhati-hati, lantas menepuk-nepuk pipinya untuk menyemangati.
Namun, Soya justru terbengong-bengong. Matanya membeliak. “Kok begitu?” bisiknya. “Kalau saya ngomong gitu, nanti semua kena masalah!”
“Tapi, saya yang lebih dulu nyeret kamu dalam masalah, Soya.” Sastra menarik tangannya, menyembunyikan jari-jarinya yang mengepal di balik punggung.
“Tapi, saya juga setuju atas pilihan sendiri, Pak …!”
“Kamu dulu setuju karena tawaran nilai saya.” Kala Soya terperanjat diingatkan begitu, Sastra tidak menyalahkannya. Jika dirinya adalah Soya, ia pasti akan melakukan hal yang sama. “Kamu nggak usah khawatir soal nilai lagi, Soya. Nilai kamu sudah pasti saya jamin bagus.”
Soya mengatupkan bibir rapat-rapat. Air mata masih terus menggenang di pelupuknya, tetapi kali ini ada kejengkelan yang membara di matanya.
“Ikuti aja apa kata saya, Soya.” Sastra bersikeras. “Saya tahu ini mengecewakan, tapi tolong prioritaskan keselamatanmu dulu. Ingat, ya, bela dirimu selagi kamu bisa. Kesempatan nggak datang dua kali. Cari celah sebelum mereka bener-bener nggak mau dengerin kamu.”
“Layar Surya—”
“Layar Surya nggak akan ke mana-mana.” Sastra menelan bulat-bulat kata-kata lain yang tidak sanggup ia ucapkan. “Selamatkan diri kamu dulu. Bapak udah punya banyak rencana. Percaya saja, ya?”
Sastra berbohong. Ia tak punya rencana apa-apa lagi selain mendorong Soya keluar dari jurang masalah yang sama.
Ketika terdengar suara seruan dari dalam, Soya meloncat kaget. Buru-buru ia mengangguk, walau cenderung terpaksa daripada keinginan untuk benar-benar percaya pada ‘banyak rencana’ yang Sastra katakan.
“Hati-hati di jalan, Pak. Terima kasih udah bawakan tas saya.”
Sastra memahami sinyal pengusiran halus itu. “Ingat, ikuti aja apa kata saya tadi. Kalau ada apa-apa, segera chat Bapak.”
“Ya, Pak,” jawab Soya cepat. Matanya terus jelalatan antara pintu rumah yang terbuka dan Sastra yang beranjak menuju mobilnya. Ia melambaikan tangan takut-takut kepada sang guru, lantas bergegas masuk.
Sastra menyaksikan muridnya menghilang di balik pintu. Ia menghela napas.
Semoga seruan tadi bukanlah pertanda buruk lagi.
Haruskah kita bertemu lagi dengan efis---
Comment on chapter Prolog: Ambang Batas