Bab 33 - Mencari Jati Diri
---
Kadang-kadang, aku ngerasa kayak hidup ini lagi dijalani orang lain—pakai badanku, tapi bukan aku.
Kayak tiba-tiba bangun dan sadar sudah berdiri di tengah panggung, tapi aku gak inget kapan naiknya. Kayak ngomong sesuatu yang kedengerannya aneh di telingaku sendiri, atau ketawa atas lelucon yang rasanya… bukan lucu buatku.
Aku tahu, aku mengidap Dissociative Identity Disorder.
Baru saja tahu. Tapi tahu bukan berarti paham. Apalagi siap.
Justru sejak tahu, kehidupan semakin penuh tanda tanya.
Siapa sebenarnya “aku”?
Yang mana yang benar-benar aku, dan yang mana “mereka”? Atau… jangan-jangan, semuanya “aku”?
Aku mulai memperhatikan sekeliling—teman-teman di sekolah. Mereka kelihatan utuh.
Ada yang pede ngomong di depan kelas, ada yang joget heboh pas ekskul, ada yang ketawa lepas di kantin.
Sementara aku? Masih berusaha membedakan: mana suara dari luar, mana yang dari dalam kepalaku sendiri.
Kadang aku mendengar mereka. Suara-suara itu. Lirih, tumpang tindih, kayak bisik-bisik dari lorong yang gak ada titiknya.
Aku gak selalu ngeerti apa yang mereka bilang, tapi tiba-tiba aja—klik, mereka ambil alih. Dan saya hanya bisa menonton.
Kayak tamu di tubuhku sendiri.
Rasanya kayak puzzle. Tapi bukan yang kurang satu bagian—justru kayak isinya kebanyakan, dan aku gak tahu potongan mana yang harus dipasang duluan.
Tapi hari ini... aku pengen coba. Bukan membuat maksa mereka menjadi satu. Tapi buat mulai kenal. Satu-satu.
Karena mungkin, di balik semua kekacauan ini... ada sesuatu yang selama ini nyari aku juga. Bukan buat dilawan, tapi buat diajak kenalan.
~-
Pulang sekolah.
Aku memilih pulang duluan hari ini. Bukan karena lelah karena tugas atau pelajaran, tapi karena pikiranku sendiri yang terasa terlalu padat. Hari ini aku ingin sendiri—bukan kesepian, hanya ingin lebih fokus pada diriku... dan pada mereka.
Alter-alterku.
“Rika, ikut yuk! Kita mau ke toko buku bentar terus ngopi-ngopi dulu,” ajak Sarah sambil nyengir, disambung Jeno yang langsung nyeletuk, “Udah lama banget kita gak hangout ramean.”
Viona dan Rendra ngangguk setuju. Apalagi Samudra yang biasanya cuek pun ngasih anggukan kecil ke arahku.
Aku tersenyum tipis. Tapi rasanya senyum itu cuma nempel di bibir, nggak nyampe ke dada.
“Maaf… aku pulang duluan ya,” ucapku pelan.
Mereka sempat saling pandang, tapi nggak ada yang maksa. Cuma Viona yang sempat nanya, “Kamu nggak apa-apa?”
Aku Angguk. Bohong, tapi tidak sepenuhnya.
Sudah beberapa hari sejak aku mengetahui keberadaan mereka, dan semakin aku mencoba berpura-pura tenang di sekolah, semakin keras suara-suara itu di kepalaku. Rasanya seperti duduk di tengah ruang ramai, padahal aku sendiri.
Sesampainya di rumah, aku langsung naik ke kamar. Kunci pintu. Tarik napas dalam-dalam. Lepas seragam. Duduk di depan meja belajar dengan pelan. Ada sesuatu yang terasa berbeda hari ini. Seperti... hatiku ingin bicara lebih banyak. Tapi tak tahu dengan siapa.
Aku buka buku catatan kecil yang biasa kugunakan untuk menulis puisi atau isi kepala yang kacau. Lalu kugenggam pulpen, dan mulai menulis dengan hati-hati:
"Hei… aku ingin bertanya dan tahu tentang kalian. Bisakah kalian memberitahuku? Jika bisa, kalian boleh mengambil alih diriku—hanya sementara— dan menulislah di buku ini. Ceritakan siapa kalian, tapi cukup satu orang dulu, ya. Satu saja."
Aku meletakkan pena, memejamkan mata, dan menghembuskan napas panjang. Pandanganku mulai buram. Bukan karena disembunyikan, tapi karena sesuatu di dalam diriku seperti bergeser perlahan. Tidak menyeramkan. Lebih seperti... mengizinkan seseorang duduk di kursi kemudi, dan aku mundur ke kursi penumpang.
Gelap. Hening.
Lalu... ada yang lain.
~
Tangannya mulai bergerak.
Pelan, tapi pasti. Gerakannya mantap. Tidak ada keraguan. Pulpen itu menari di atas halaman buku, menciptakan tulisan dengan gaya yang tidak menyerupai milik Rika sama sekali. Terlalu rapi. Terlalu teratur. Terlalu... dewasa.
Baris pertama muncul saat seseorang memperkenalkan dirinya secara perlahan namun yakin:
> “Hai, aku Rinka. Mungkin kamu belum begitu mengenalku, tapi aku selalu ada.”
Ia menulis dengan tenang, seolah setiap huruf telah disiapkan sejak lama. Tidak ada jeda berpikir. Tidak ada penghapus. Setiap goresan pulpen terasa seperti bagian dari dirinya yang sudah lama ingin bicara.
> "Aku muncul saat kamu mulai masuk ke kelas 11. Dan memang jarang mengambil alih. Saat semua terasa terlalu rumit, aku yang datang diam-diam. Bukan untuk menggantikanmu, tapi untuk menemanimu."
Halaman demi halaman terisi tanpa suara, hanya derit kecil dari mengeluarkan pulpen di atas kertas. Di antara baris-baris kalimat itu, ia menulis tentang perubahan lain yang ikut hidup di dalam tubuh yang sama: Zea yang penuh api, Rana yang ceria tapi kadang lepas kendali, Rasa dan Riskau yang diam namun menyimpan luka, dan Raveena yang tajam dan haus jawaban.
> "Kami semua lahir bukan karena kamu lemah, Rika, tapi karena kamu terlalu kuat untuk menghadapi semuanya sendirian. Kami adalah caramu bertahan. Dan sekarang, kamu sudah cukup kuat untuk mengenali kami satu per satu."
Tangannya berhenti menulis setelah kalimat terakhir yang ditorehkannya perlahan:
> “Aku tahu, kamu pasti bisa menjadi dirimu sendiri, Rika.”
Lalu hening. Tak ada gerakan lanjutan. Pulpen diletakkan dengan hati-hati. Nafas dihembuskan perlahan dari tubuh yang tadi sempat dipinjamkan. Tak lama kemudian, Rika kembali membuka matanya.
---
Aku mata membuka perlahan-lahan.
Dunia kembali seperti biasa. Kamar yang sama, jendela masih terbuka, suara kipas angin kecil di pojok ruangan tetap berdengung pelan. Tapi... hatiku berubah. Ada sesuatu yang tidak bisa kugambarkan—tenang, hangat, dan utuh.
Kubuka buku catatan itu. Di sanalah... tiga halaman penuh tulisan tangan. Bukan milikku. Terlalu rapi, terlalu bersih, tidak ada satu pun coretan. sepertinya... dia memang sudah menyiapkannya sejak lama.
Air mataku jatuh tanpa peringatan. Tapi bukan karena sedih.
Ada rasa hangat yang tidak nyaman. Seperti... diakui. Diterima. Ditemani. Dicintai, bahkan oleh bagian dari diriku sendiri yang selama ini tak kusadari keberadaannya.
Mungkin benar... Rinka adalah bagian dari diriku yang paling dewasa.
Yang diam-diam menjagaku selama ini.
Yang berdiri di tengah kekacauan tanpa berkata apa-apa, tapi tak pernah pergi.
Dan hari ini, aku tidak merasa sendirian lagi. Hari ini... aku mulai mengenal siapa aku.
Bukan hanya sebagai Rika. Tapi sebagai Rika—yang utuh.
Yang tidak sendiri. Dan tidak akan pernah benar-benar sendiri lagi.
[Bersambung]