Bab 34 – Berdampingan
---
Hai. Ini aku lagi.
Setahun terakhir semuanya terasa kabur dan penuh guncangan. Tapi hari ini, aku duduk di bangku XII-A, bersama Sarah, Samudra, Jeno, Viona, dan Rendra—masih di SMA Elitara, tempat semuanya bermula. Tempat aku akhirnya... ketemu diriku sendiri.
Dua tahun ini bukan cuma soal tugas, OSIS, atau drama SMA biasa. Tapi tentang jatuh, remuk, dan bangkit—mengenali bahwa aku tidak sendiri di tubuh ini. Aku punya versi lain di dalam kepala. Suara-suara yang dulu kutolak, sekarang kupeluk.
Dan, ternyata... itu nggak bikin aku rusak. Justru itu membuat aku utuh.
Aku masih bisa ketawa bareng Sarah yang cerewetnya kebangetan, diskusi bareng Samudra yang selalu sok bijak, dan sesekali nongkrong sama Viona dan Rendra meski kami udah gak seintens dulu.
Nggak semua orang bisa nerima aku yang punya 'keramaian' di kepala. Tapi aku tidak maksa. Yang tersisa… cukup.
Keluargaku? Mereka belajar. Pelan-pelan. Ada luka, ada penyangkalan, tapi juga ada usaha. Itu sudah lebih dari cukup. Bu Luna, terapisku, tetap jadi tempat aman. Dan Bu Ratri, wali kelasku tiga tahun berturut-turut, selalu hadir tanpa banyak tanya—tapi ngerti.
Lukaku belum pulih. Tapi aku gak lagi sibuk menolak atau menghapusnya. Sekarang aku belajar hidup berdampingan. Dengan Rinka yang lembut, Raveena yang perfeksionis, dan Zea yang kadang blak-blakan banget. Kami tidak selalu akur, tapi kami mulai saling mendengarkan. Kami satu tubuh. Satu aku.
Sama seperti aku belajar hidup berdampingan dengan teman-temanku yang juga punya lukanya masing-masing. Bentuknya beda, tapi rasanya sama: perih yang gak kelihatan.
Dan itu membuat kami jadi saling rangkul, meski tidak selalu tahu harus bagaimana.
Kadang aku masih takut. Masih bingung. Tapi sekarang aku tahu: gak apa-apa buat gak selalu kuat.
Hidup terus berjalan. Dan aku? Aku tetap di sini. Bersama mereka. Bersama untuk diriku sendiri. Berdampingan.
---
“Rikaa!! Pagi!”
Suara Sarah memecah pagi, ceria kayak biasa. Dia langsung duduk di sampingku, semangatnya kayak anak kecil mau piknik.
“Gimana kabar lo?” Aku mengangguk kecil. “Baik... biasa aja sih.” Sarah mendekat, bisikannya penuh gosip. "Lo sama Samudra tuh... masih PDKT? Enam bulan loh, Rik. Lo nunggu apa lagi? Surat izin Tuhan?"
Mukaku langsung memanas. Aku cuma bisa menunduk sambil ngedumel pelan. Sarah malah ngakak puas.
"Haha! Tapi serius, bagus sih kalo lo pelan-pelan. Jangan gampang percaya—apalagi ke cowok se-estetik Samudra. Hahaha!"
Pas banget, orang yang dibahas dateng.
“Halaman, Rika.Sarah.” Suara itu—tenang, hangat. Samudra duduk di bangku kosong di sebelahku. Gila, tinggi banget sekarang. Rambutnya yang cokelat keemasan itu kayak nyerap matahari pagi. Mata, hazel dan dalam. Aku laki-laki ngaku, tapi... ya, dia makin ganteng. Banget.
"Ehem! Lo berdua gak usah saling tatap gitu juga kali," celetuk Sarah sambil nyengir setan.
Aku langsung pura-pura baca buku. Padahal halaman itu sudah kubaca tiga kali. Sarah cuma nyenggol bahuku sambil cekikikan.
Yah, dia emang paling hobi godain aku kalau udah soal Samudra. Tapi siapa juga sih yang nggak suka Samudra? Mungkin hanya Sarah. Dia lebih ke tipe cowok keren kayak... Jeno?
Aku melirik ke arah belakang. Jeno udah duduk di tempat biasa, tenang dan kalem. Viona dan Rendra duduk di pojok depan, nggak sesering dulu ngobrolnya, tapi masih bareng.
Bel berbunyi. Kelas mulai ramai. Bu Ratri masuk, dengan senyum tenangnya yang khas. Guru BK sekaligus wali kelasku tiga tahun ini—entah kebetulan atau memang semesta ngatur biar aku selalu ada dalam pengawasan yang tepat.
Pelajaran dimulai, tapi pikiranku masih melayang.
Tentang banyak hal. Tentang aku. Tentang mereka. Tentang hidup yang gak lagi kuanggap sebagai hal yang harus “disembuhkan”... tapi cukup untuk dijalani, dibayangkan demi pencitraan.
---
Pulang sekolah.
"Ri, tunggu," suara Samudra terdengar dari belakang. Dia mempercepat langkah sampai sejajar denganku. Aku mendongak—tinggiku cuma sekitar 160 cm, dan jujur, agak pegal harus selalu menengadah kalau ngobrol sama dia.
Dia berjalan di sampingku tanpa bicara. Tunggu sebentar.
"Kenapa?" tanyaku. Dia mengalihkan pandangan sebentar, lalu pelan menjawab, “Minggu ini kamu ada waktu?” Aku mikir sebentar. Kayaknya belum ada rencana.
"Kalau kamu kosong," lanjutnya, "aku pengin ajak kamu main. Kalau kamu kurang nyaman, ajak Sarah atau Jeno juga nggak apa-apa.”
Nada bicaranya tenang. Nggak Maksa. Aku mengangguk. "Oke. Selai berapa?"
“Jam sembilan pagi, ya.” Kami berhenti di depan gerbang. Angin sore berembus pelan, bawa sisa aroma kantin dan hujan siang tadi.
Setelah itu, kami berpisah.
---
Hari H.
Hari ini akhirnya tiba. Aku dan Sarah sepakat pakai baju couple yang kami beli waktu kelas sepuluh. Ajaibnya, masih muat.
Aku memakai dress ivory selutut, kaus kaki putih tipis, dan sepatu Mary-Jane. Rambutku tergerai, dekorasi bando pastel—Sarah yang kasih tau namanya: Little Cottage.
Papa dan Mama sudah kasih izin dari semalam. Mereka cuma bilang: hati-hati. Raka sempat kasih wejangan singkat. Nggak menatap mata, tapi aku tahu dia mulai berubah. Belajar jadi lebih hangat. Reza malah nitip camilan. Nanti bakal aku beliin.
Aku keluar rumah. Sarah udah nunggu di depan, duduk di atas motornya. Jaket jeans-nya kebesaran, helm pink-nya nyolok banget.
“Yuk!” serunya sambil sodorin helm. Aku naik dan mengingatkan, “Pelan-pelan, Sar. Serius.”
“Tenang.Anak balap sayang nyawa,” jawabnya, lalu langsung tancap gas.
Motor kami melaju. Angin pagi menyapu wajah. Langit cerah—langka untuk akhir pekan. Dan entah kenapa, aku deg-degan. Bukan karena takut. Tapi karena sesuatu yang… hangat.
---
"Loh, Ri? Baru nyelam dari badai?" Jeno nyengir, jelas senang lihat aku acak-acakan. Aku cuma geleng malas. Menatapku langsung ke Sarah di sebelahku. Senyumnya sok manis, bikin kepalaku panas.
Kami lagi ngumpul di rumah Samudra. Atau… rumah besar lebih tepatnya.
Gerbangnya segede gerbang sekolah. Dua satpam berdiri tegap. Ada air mancur cakep di tengah halaman. Baru sampai pintu aja, udah kayak masuk resort. Rumah ini jelas bukan rumah orang biasa.
Samudra keluar, gaya santainya tetap rapi: kemeja putih digulung sampai siku, celana chino, sneakers putih.
“Hai.Mau masuk dulu?” Kami bentuknya kompak geleng. Ngapain? Di luar aja udah kayak lounge hotel. Sofa di terasnya beludru, jelas bukan beli di mall biasa.
"Oke. Terus, mau ke mana?" Aku geleng. Sarah sempat ngasih ide, tapi aneh. ribet.
“Kulineran dulu, terus Perpusnas?” usul Jeno. Samudra Angguk.
“Kedengarannya bagus.” Rutenya jelas: jajan → Perpustakaan Nasional. Sekalian mencari bahan tugas kelompok.
Samudra pamit ambil mobil. Aku baru sadar… dia beneran anak orang kaya. Tapi nggak pernah pamer. Rumahnya kayak katalog properti, tapi dianya low profile banget.
Pas menunggu di teras, seorang anak perempuan keluar. Piyama pink, rambut tidak terkunci dua. Umur sekitar sebelas tahun, “Wah, tumben Kak Samudra bawa teman!”
Sarah langsung nyapa, “Hai! Kamu adiknya Samudra ya?” Anak itu ngangguk semangat. Imut, dan bawel maksimal.
"Aku Sophia Dwi Airani. Panggil Sophia atau Dwi, bebas. Serius kalian teman Kak Samudra? Keren amat." Kami ngangguk, bingung mau jawab apa.
“Biasanya dia nggak pernah izinin temannya sampai masuk gerbang, lho.” Sarah ketawa, "Ah, masa? Dia santai banget tuh."
“Mungkin kalian spesial,” kata Sophia polos. Sarah Nyengir. Aku? Pura-pura sibuk ngelihatin halaman.
“Nama kalian siapa?” lanjut Sophia. Kami kenalan satu per satu, dan dia mendengar kayak lagi wawancara. Tapi sebelum lebih lanjut interogasi, klakson mobil bunyi. Sebuah mobil abu metalik keluar dari garasi. Elegan, tapi nggak pamer.
Samudra turun, lambaikan tangan.
"Ayo masuk! Hei, Sophia! Masuk ke rumah, ya." Wajah Sophia berubah murung. Ia cibir pelan, lalu masuk ke rumah.
“Maaf ya, adikku bawel,” kata Samudra.
“Nggak apa-apa, ” jawabku. Kami bertiga geleng. Malah, dia bikin suasana cair. Aku duduk di tengah, Sarah kiri, Jeno di depan bersama Samudra.
“Siap?” tanya Samudra sambil menyalakan mesin. “Siap!” jawab kami barengan. Mobil pun melaju, ninggalin mansion segede lapangan futsal itu.
~-
Perpustakaan
Setelah kenyang kulineran, kami lanjutkan ke Perpustakaan Nasional. Bangunannya megah, atmosfernya tenang. Begitu masuk, sejuknya udara langsung menenangkan kepala.
Aku naik ke lantai tiga. Bagian psikologi. Jemariku menelusuri deretan buku sampai satu judul terhentiku: Memahami Diri Sendiri dan Berdampingan dengan Manusia Lainnya.
Entah kenapa... buku ini terasa memanggil.
Aku pelan-pelan tarik dan duduk di pojok ruang baca. Lampu kuning lembut menyorot dari atas. Suasana hening. Nyaman.
Kulepas napas panjang, lalu membuka halaman pertama:
> " Akan ada saatnya kamu harus mengenali dirimu sendiri. Bukan untuk menjadi sempurna, tapi untuk berdamai. Tak perlu menjadi orang lain hanya karena dihina. Tak perlu kecewa saat seseorang menjauh karena kekuranganmu. Selama kamu punya ruang untuk memahami diri dan dukungan yang tulus, kamu akan bisa menerima. Dan saat kamu menerima, kamu pun bisa membantu—dengan logika, perasaan, dan dunia."
Aku diam. Lalu lebih lanjut baca. Halaman demi halaman terasa seperti sedang bicara langsung pada saya. Ada yang menghangat di dada. Entah itu ketenangan atau pengakuan bahwa selama ini... aku belum sungguh-sungguh mengenal diriku sendiri.
Aku mencatat beberapa kutipan, memeluk kalimat-kalimat itu dalam hati. Hingga langit di luar mulai berwarna oranye. Perlahan, kututup buku. Hari ini... aku merasa lebih utuh.
Turun ke lobi, aku langsung menuju parkiran. Ternyata mereka sudah di mobil. Begitu masuk, Sarah menyodorkan es krim dingin untuk dinikmati.
“Terima kasih,” kataku pelan. Dia cuma senyum sambil menyeruput minumannya. Samudra melirik ke kaca spion. “Baca buku apa aja kalian?”
Sarah angkat bahu. “Aku bukan buku soal cara Extrovert, Introvert, dan Ambivert bisa saling ngerti. Lucu juga, kayak kita.”
Jeno melanjutkan, “Aku baca tentang perkembangan otak manusia. Kenapa kita mikir kayak gini, ngerasa kayak gitu.”
Samudra ikut cerita. “Saya membaca buku tentang tekanan sosial dan reaksi manusia. Bahasanya berat, tapi keren.” Mereka saling melempar cerita. Aku diam sebentar. Lalu ikut menyahut.
“Bukuku... ngajarin buat gak memaksakan diri jadi orang lain. Supaya kita bisa hidup berdampingan, bahkan dengan sisi paling gelap dari diri sendiri.” Mereka semua terdiam sejenak. Tapi bukan karena keanehan. Lebih ke... mengerti.
“Terima kasih,” ujarku lirih. "Buat hari ini. Buat dengerin aku tanpa tanya-tanya. Buat tetap di sini." Sarah menoleh, tersenyum lembut. “Sama-sama, Ri.”
Jeno mengangguk pelan. “Nggak ada yang salah dengan butuh waktu untuk memahami diri sendiri.” Samudra tetap tenang menyetir, tapi dari kaca tengah, aku melihat sekilas sekilas. “Selama kamu tahu kamu tidak sendiri, kamu bisa lewatin apapun,” ucapnya singkat. Kami semua diam lagi. Tapi kali ini... damai.
Lalu Jeno bicara. "Hidup itu bukan sekedar soal bertahan. Tapi juga soal saling menguatkan. Biar bisa hidup berdampingan, bukan bertarung terus." Aku tersenyum kecil. Untuk pertama kalinya, kepalaku hening. Tidak ada suara lain. Tidak ada gaduh dari dalam.
Mungkin karena hari ini... aku benar-benar tenang. Dan mungkin, mereka pun ikut merasa tenang.
[Bersambung]