Bab 32 - Luka
---
Kita di sini.
Selama ini, mungkin aku terlalu sibuk memeluk lukaku sendiri. Sibuk merasa menjadi satu-satunya yang jatuh, satu-satunya yang kehilangan. Padahal, diam-diam, mereka juga luka—dan aku sering lupa.
Hari ini, aku ingin berhenti sebentar. Menoleh ke mereka. Teman-temanku. Orang-orang yang berdiri bersamaku, meski kadang hatinya remuk dan tak sempat bilang. Hanya sekejap, semacam bab istirahat sebentar dari seluruh lukaku.
Sarah. Dengan senyum yang kuat, padahal isi hatinya penuh rasa tak diinginkan.
Jeno. Terlihat cuek dan tenang, tapi pikirannya penuh pertanyaan dan sepi yang dalam.
Samudra. Diamnya menyimpan ketakutan akan kegagalan yang terus menghantui.
Viona. Cerianya seperti pelangi, tapi sering menyembunyikan badai sendiri.
Rendra. Yang terlihat paling dewasa, padahal ia belajar menyembunyikan air mata sejak kecil.
Luka mereka bukan subplot. Mereka bukan tokoh tambahan dalam kisahku. Mereka adalah tubuh luka yang berjalan, tapi tetap memilih untuk ada.
Kita bukan bersaing siapa yang lebih remuk, tapi kita ada untuk saling genggam. Saling bilang: aku ngerti rasanya.
Dan karena itu, izinkan aku bercerita—tentang mereka.
---
Sarah Andiya: Anak yang Diingkari
Sarah itu… hangat. Tapi ada dingin yang tumbuh di dalamnya sejak kecil.
Ia lahir dari sebuah ketidaksengajaan. Ibunya tak pernah menginginkannya, dan Sarah tumbuh dengan luka itu di setiap tatapan.
Ayahnya mencintai, tapi terlalu sibuk. Sarah membesar dalam sunyi: susu formula tanpa peluk, malam panjang tanpa suara, dan kepergian ibu yang tak pernah benar-benar dijelaskan.
Sejak itu, Sarah mandiri. Jadi kakak untuk siapa pun. Terutama untuk Rika.
Tapi kepercayaan… jadi barang langka. Ia takut dibohongi. Takut ditinggal lagi.
Sarah adalah wujud dari seseorang yang memilih diam… karena pernah berteriak dan tak didengar.
---
Julian Putra Samudra: Sulung yang Disempurnakan
Samudra hidup di rumah yang terlihat sempurna, tapi sebenarnya seperti laboratorium eksperimen kesempurnaan.
Ayahnya mengajarkan bahwa nilai dan penampilan adalah segalanya. Satu kesalahan kecil… bisa jadi beban yang dipikul berminggu-minggu.
Anxietynya tumbuh, bahkan ketika ia tak tahu namanya. Ia hidup dalam mode bertahan.
Tapi bersama Rika, Samudra berubah.
Rika tak menuntut. Tak menghakimi. Ia memberi ruang bagi Samudra untuk bernapas—menjadi manusia.
Darinya, Samudra belajar: menjadi cukup bukan berarti sempurna. Kadang… cukup itu artinya, kita bertahan dengan cara yang kita bisa.
---
Jeno Adhikari: Anak yang Sunyi
Jeno tumbuh di rumah yang penuh fasilitas, tapi minim pelukan.
Orang tuanya bukan jahat. Tapi terlalu sibuk jadi sukses, sampai lupa bahwa anaknya butuh lebih dari sekadar Wi-Fi dan uang jajan.
Jeno mengamati. Diam. Membaca luka orang lain—karena tak bisa menyentuh lukanya sendiri.
Ia mencintai psikologi. Bukan karena bu Ratri, tapi karena ia ingin jadi pendengar… yang dulu tidak ia punya.
Sarah menarik perhatiannya. Bukan karena cantik, tapi karena mereka punya cara yang sama dalam menyembunyikan luka.
Mungkin, dua orang patah bisa saling bantu berdiri.
---
Viona Anindiya: Si Bungsu yang Harus Bahagia
Jadi bungsu katanya enak. Tapi siapa yang tahu, dibalik semua “kamu anak kecil, ngertiin dong”, ada luka yang tak pernah dikasih waktu untuk bicara?
Viona belajar cepat tertawa. Cepat “oke-oke aja”. Ia mencairkan suasana karena takut membekukan hati orang lain.
Tapi kadang, ia ingin juga dimengerti. Didengar tanpa harus memulai. Dipeluk tanpa harus minta.
Viona takut dibilang lebay. Takut dibilang drama.
Jadi dia diam. Tapi diam itu bukan tanpa alasan. Karena yang paling keras, sering tak bersuara.
Dan di balik diamnya, ada perasaan yang nggak pernah dia bilang ke siapa-siapa. Viona itu yang duluan ngerasain getar-getar itu ke Rendra, bukan tanpa alasan. Bagi dia, Rendra bukan cuma sosok kakak biasa. Dia adalah pelindung yang selalu dia cari-cari dalam kesunyian hati kecilnya. Anak bungsu yang selama ini belajar untuk kuat, diam, dan bertahan, diam-diam jatuh hati pada seseorang yang dia anggap sempurna—seorang kakak laki-laki yang nggak cuma dia kagumi, tapi juga ingin dia jaga, sekaligus ingin dijaga.
Viona nggak pernah mau terlihat lemah di depan siapa pun, apalagi Rendra. Tapi setiap kali matanya nyelonong ke sosok itu, ada rindu yang nggak bisa dia tutup rapat. Diamnya bukan karena nggak peduli, tapi karena takut perasaannya itu malah bikin semuanya rumit. Jadi dia pilih diam, berharap suatu saat Rendra bisa baca tanpa kata-kata.
...
Rendra Yudistira: Bayangan Ayah
Rendra punya wajah yang mirip sekali dengan ayahnya. Sayangnya, bukan sesuatu yang disyukuri ibunya.
Ayahnya pergi, bukan mati—tapi memilih orang lain. Dan sejak itu, ibunya tak pernah benar-benar sembuh. Ia lelah, tapi tetap berdiri.
Masalahnya… setiap melihat Rendra, ibunya melihat luka itu. Dan Rendra? Ia harus tumbuh cepat.
Menjaga adik-adiknya. Menguatkan rumah. Menelan trauma sendirian.
Dan setiap kali orang memujinya—ramah, keren, dewasa—ia cuma tersenyum. Padahal dalam hati, ia cuma ingin jadi anak kecil. Sekali saja.
Tapi tak bisa. Karena sejak lama, Rendra paham: kalau dia rapuh, rumah itu bisa ambruk. Makanya, dia simpan semua yang dia rasain dalam-dalam, termasuk yang dia mulai sadar tentang Viona. Dia tahu, Viona itu lebih dari sekadar adik bungsu yang harus dia jaga—tapi buat Rendra, perasaan itu masih terlalu rumit buat diakui. Jadi dia pilih diam, pura-pura biasa, ngebalikin semuanya kayak dulu. Karena kalau sampai dia terbuka, takutnya semua yang dia pegang selama ini malah runtuh. Jadi Rendra tetap berdiri kuat, walau hatinya mulai bertanya-tanya, apa sebenarnya yang dia rasakan buat Viona.
---
Kita semua luka. Tapi kita juga manusia.
Dan mungkin… justru luka itulah yang membuat kita saling menoleh, saling mengerti, dan akhirnya, saling tetap tinggal.
[ Bersambung]