Bab 9 - Teman Baru
---
Hari ini hari Senin. Seharusnya biasa saja. Tapi tidak bagi Rika.
Ia melangkah ke gerbang sekolah dengan sepatu Nike baru yang ayahnya berikan kemarin, tepat setelah acara ulang tahun Raka. Entah kenapa, hadiah itu membuatnya sedikit lebih ringan hari ini—walau bukan karena sepatunya yang mahal, tapi lebih karena perasaan bahwa ayahnya masih memerhatikannya. Tetap saja, meski tipis. Itu cukup untuk membuat Rika tidak tumbang setelah tekanan semalam dari sang Ibu.
Langkah menggema pelan melewati lorong kelas. Upacara pertemuan membuat seragamnya sedikit lecek dan berantakan. Tapi Rika tidak peduli. Ia duduk di kursinya, tepat di sebelah Sarah yang seperti biasa langsung menyapanya dengan semangat pagi hari.
"Rika! Gila, sepatunya baru ya? Keren banget!" ujar Sarah dengan senyum lebar.
Rika hanya mengangguk dan membalas dengan senyuman tipis. Belum sempat menjawab, pintu kelas terbuka. Bu Ratri, guru BK sekaligus wali kelas mereka, masuk sambil membawa dua remaja asing di belakangnya. Kelas langsung hening.
"Selamat pagi, anak-anak. Hari ini kita kedatangan dua teman baru dari luar kota. Silakan, kalian perkenalkan diri," kata Bu Ratri sambil melangkah ke sisi papan tulis.
Anak laki-laki tinggi dengan rambut rapi maju lebih dulu. Wajahnya bersih, dan senyumnya mudah disukai.
"Halo semua, aku Jeno Adhikari dari Bandung. Aku pindah ke sini karena... ya, bosan aja di sana. Semoga bisa berteman baik dengan kalian."
Ia menarik tangannya di gadis itu untuk maju juga. Gadis itu melangkah dengan percaya diri, rambut sebahunya hitam mengilap, dan senyumnya cerah.
"Hai semuanya! Namaku Viona Anindya Pratama, panggil aja Viona atau Vio. Senang bisa kenalan. Aku harap kita bisa jadi teman yang seru bareng aku dan sepupuku ini."
Suasana kelas mencair seketika. Viona seperti membawa udara segar yang mirip dengan Sarah: riuh, cerah, dan mudah membaur.
Sarah langsung bersinar, senyumnya melebar melihat energi dari Viona yang nyaris kembar dengan dirinya sendiri. Tapi Rika hanya menghela nafas pelan. Dia sudah tahu hari ini akan panjang.
“Baiklah. Kalian bisa duduk di belakang Sarah dan Rika,” ujar Bu Ratri.
Jeno dan Viona mengucapkan terima kasih dan langsung melangkah ke bangku belakang mereka. Tak butuh waktu lama, Sarah sudah membalikkan badan, semangat memperkenalkan dirinya.
"Hai kalian! Aku Sarah, ini Rika, teman sebangkuku! Viona, aku yakin banget energi kita tuh sama! Dan Jeno... hmm, kamu kayaknya cocok deh sama Rika!" sambil tertawa.
Viona ikut terkekeh, menatap Rika yang sejak tadi diam.
"Eh, iya ya? Aku ngerasa juga. Sepupuku ini agak pendiam, kayak kamu, Rika ya?" tanya Viona. Rika menatap sebentar lalu mengangguk. Jeno menggaruk tengkuknya, canggung. Sama seperti Rika.
Tawa kecil terdengar dari Sarah dan Viona. Tapi Rika merasa suaranya seperti gema di kepala. Terlalu bising untuk pagi hari yang seharusnya tenang.
Pintu kelas terbuka. Bu Ratna, guru Bahasa Indonesia, masuk dengan ekspresi serius seperti biasa.
"Pagi. kumpulkan PR minggu lalu sekarang. Yang baru masuk, kalian mengira dulu." Rika sontak merogoh tasnya. panik. Tangannya mengaduk-aduk buku, binder, dan peta. Tidak ada.
Sarah menatapnya, khawatir. Rika mematung.
"PR-ku... ketinggalan," gumamnya pelan.
---
Dan begitulah. Ia berdiri di depan kelas sebagai hukuman. Bersama Samudra.
Anak lelaki itu tampak lelah, rasa kantuk menempel di wajahnya, dan sesekali menguap tanpa rasa malu.
"Kau yang bantuin aku ngerjain PR IPS malah kena hukuman juga dalam Bahasa Indonesia ya?" celetuk Samudera. Rika melirik, lalu kembali menatap ubin krem lantai kelas.
"Aku juga manusia, Samudra. Punya batasan. Bisa lupa." Samudra terdiam sesaat.
"Tapi kenapa kamu selalu mencoba jadi sempurna? Selalu nuurut, selalu diam, seolah takut menolak. Kenapa?" Rika tidak menjawab.
"Aku ngerti sih, mungkin beda aja antara orang tuaku dan orang tuamu. Tapi aku cuma mau bilang: kamu boleh kok salah. Kamu boleh lelah. Kamu gak harus terus nyenengin orang biar gak ditinggalin, Rika." Rika tetap diam. Tapi matanya menatap Samudra untuk pertama kalinya sejak tadi.
“Kamu mikir terlalu jauh,” katanya pelan. Samudra mengangkat bahu. "Mungkin. Tapi setidaknya, kamu tahu kalau kamu gak sendirian. Ada aku. Ada Sarah."
Waktu terasa lambat. Mereka berdiri di sana dua jam sampai bel istirahat berbunyi.
---
"Kamu baik-baik aja? Berdiri dua jam, gila sih," kata Sarah sambil menampar bahu Rika.
Mereka berlima akhirnya duduk di kantin. Viona duduk di samping Sarah. Rika diapit Sarah dan Samudra. Jeno duduk di sebelah Samudra.
Formasi yang aneh. Tapi tak satupun dari protes mereka.
"Aku baik-baik aja," jawab Rika. Sarah mengangguk, meski wajahnya masih menyimpan kekhawatiran.
"Cuma Rika doang yang ditanyain. Aku gimana?" sahut Samudra sambil bersedekap. Sarah mendelik. "Gak penting."
Viona tertawa pelan melihat interaksi mereka.
"Kalian lucu deh. Kelihatannya deket banget," katanya.
"Cuma aku dan Rika yang deket. Samudra cuma numpang eksis," jawab Sarah cepat. Samudra membalas, tapi Rika berdiri tiba-tiba.
"Aku...ke kelas dulu. Pusing." Tanpa menunggu jawaban, Rika pergi. Sarah dan Samudra saling menatap. Viona membisu. Jeno memperhatikan Rika yang menghilang di balik pintu kantin.
"Ada sesuatu..." gumamnya.
---
"Pokoknya, lu harus minta maaf ke Rika!" seru Sarah. Samudra menghela napas. "Lah, kenapa gue?"
"Gara-gara omongan lu tadi di kelas, kali!"
"Omongan gue? Lah, tadi lu malah yang ngelantur ngomong soal segala macam!" Jeno menyela dengan suara hati-hati, "Emang... Rika sering kayak gitu ya?"
Sarah mengeryit. Ragu. Tapi lalu menggeleng pelan.
"Gak. Justru dia orang yang gak bisa tiba-tiba ninggalin pembicaraan. Biasanya dia cuman bisik-bisik gak nyaman ke aku. Tapi sekarang... kayak beda."
"Ah.. begitu.." Viona melirik ke arah Jeno yang diam. Jeno tidak bicara lagi. Matanya menatap kosong. Tapi pikiran sibuk potongan-potongan kecil yang ia lihat sejak tadi.
Ada yang disembunyikan. Bukan hanya dari orang lain, tapi juga dari dirinya sendiri. Dan mungkin... sesuatu dalam diri Rika sedang berbicara tanpa dia sadari.
[Bersambung]