Bab 8 - Ulang Tahun Raka
----
Sabtu, 24 Juli.
Hari ulang tahun Raka.
Ayah awalnya mau ajak aku ke mall buat rayain bareng, mumpung weekend. Tapi aku sekolah. Dan Raka? Dia ogah nunggu aku pulang siang. Katanya, “Nanti ulang tahunku jadi keganggu.”
Ya udah. Aku pulang sekolah, rumah kosong. Ibu cuma ninggalin pesan: bersihin rumah.
Aku mulai nyapu, ngepel, cuci piring. Perut sempat ngilu. Kayaknya maag kambuh. Jam dinding udah nunjukin 13.50 pas aku berhenti.
Aku duduk di meja makan. Sendiri. Tumis, tempe, ikan nila dingin. Suara-suara di kepala nemenin makan.
Kapan terakhir kali aku bisa tenang? Bener-bener tenang? Tanpa sadar, piring udah kosong. Aku cuci, lanjut ngepel, terus masuk kamar.
Aku rebahan, buka HP. Chat masuk banyak. Grup sekolah, Ibu, Ayah, Reza, Sarah… dan Samudra.
Kubalas Ibu dulu.
> “Kalau udah beres-beres, jemur dan setrika baju ya.”
Aku jawab: “Iya, Bu.”
Terus Sarah:
> “Rika! Paket bajunya nyampe! Main besok, yuk?”
Aku senyum, bales: “Boleh, cari waktu, ya Sar.”
Balasan dia langsung masuk:
> “Oke! Siap!”
Lanjut ke chat Samudra.
> “Rika, bantuin PR IPS, ya? Yang lain juga bingung…”
Aku tarik napas.
“Di sekolah aja ya. Datang pagi.”
Selesai.
Aku buka media sosial. Scroll. Nemu video ASMR: “Tidur nyenyak 30 menit.” Aku tekan play.
Menit ke-8, mata berat. Menit ke-10, tidur.
Hening. Tenang. Damai.
Aku ketiduran sampai matahari hampir tenggelam.
Aku kebangun pas Ibu teriak dari luar.
Jam 21.30.
Belum sempat ngerespon—
BRAKK.
Pintu kamar dibanting terbuka.
"RIKA! KENAPA BAJU BELUM DIJEMUR?! GAK ADA YANG DISETRIKA?! GAK BECUS!!"
Aku nutup telinga. Ibu makin marah.
Aku pelan, “Aku cuma istirahat sebentar, Bu. Tadi aku udah bersih-bersih. Aku juga capek. Aku juga sekolah…” Ibu mau nyerocos lagi, tapi Ayah muncul.
"Sudah dong, Bu. Ini ulang tahun Raka. Harusnya senang, kan?"
Ibu melotot kesal lalu segera pergi malas berdebat dengan Ayah. Ayah pun melangkah masuk.
Dia kasih aku totebag kecil.
Isinya: Richeese favoritku dan sepasang sepatu baru.
Nike.
Aku bengong. Hari ini kan ulang tahunnya Raka?Ayah senyum, seolah ngerti pikiranku.
"Itu buat minta maaf. Ayah nggak bisa ajak kamu ke mall tadi."
Aku geleng cepat.
“Terima kasih, Ayah. Aku suka.” Sepatu sekolahku emang udah agak jelek. Ayah pasti tahu. Karena dia selalu perhatiin langkahku tiap pagi.
Ayah pamit. Aku simpan sepatunya di lemari. Mungkin kupakai Senin nanti. Atau lusa.
---
Pagi berikutnya.
Cerah. Ringan.
Aku bangun—panik. Baju belum dijemur. Belum disetrika. Belum punya seragam siap pakai!
Jam: 7 pagi.
Aku buka pintu kamar, buru-buru— Reza berdiri di depan, bawa bantal, ngucek mata.
“Kak… aku mau tidur sama Kakak…”
Aku heran.
"Semalam kamu ke sini?"
"Iya, jam 9.40. Kata Ayah Kakak masih bangun. Tapi pintunya gak dikunci…" Aku belum sempat jawab, Raka muncul.
“Kak! Kakak gak ucapin selamat ulang tahun ke aku! Kemarin Kakak gak ucapin loh!”
Aku tatap Reza. Abaikan Raka.
“Yuk, tidur di kamar Kakak. Kakak elus kepalamu ya?” Reza masuk kamar. Dia genggam ujung bajuku. Napasnya pelan. Tertidur.
Suara keras terdengar di belakangku.
“HEI! JANGAN ABAIKAN AKU!” Raka. Masih nuntut. Masih sama. Kayak bocah yang nggak tahu cara nyayangin orang.
Aku tatap dia datar.
“Kenapa aku harus? Caramu aja nggak bikin aku selera lihat mukamu.” Mata Raka membelalak. Mulutnya terbuka, tapi nggak ada suara.
Aku tinggalin dia. Masuk kamar.
Tutup pintu. Diam.
[Bersambung]