Juanda mendekati jendala kamar Fayena. Tampak Fayena bersimpuh di lantai kamar itu dengan keadaan wajah yang kacau karena air mata. Fayena menatap Juanda dengan tatapan menuntut.
"Juanda, lo berhutang penjelasan ke gue," ucap Fayena dengan nada yang bergetar.
"Keluar, Faye. Gue bakal jelasin semuanya. Fakta yang lo mungkin nggak ingat sama sekali," sahut Juanda.
Di sinilah mereka berada, di depan rumah Fayena. Duduk di ubin bersebelahan dengan kedua kaki berselonjor. Wajah Fayena tampak sembab karena air mata. Gadis itu benar-benar kehilangan senyumannya.
"Sejak pertama kali gue liat rumah ini, gue ngerasa sedih banget. Setiap sudut rumah itu memicu munculnya ingatan seseorang yang entah siapa dia, tapi rasanya gue yang jadi cewek itu. Dia mandi di belakang rumah, mengambil air di sumur, memasak, dan makan sendirian. Dia nangis karena rindu sama orang tuanya. Dan begitu gue masuk ke dalam kamar itu, ada foto elo dan gue tersenyum senang duduk di saung. Itu maksudnya apa, Juan? Apa wajar kalau gue dapat ingatannya Yena dan muka Yena persis kayak gue?" ucap Fayena menoleh pada Juanda dengan tatapan bertanya-tanya.
Juanda menatap sendu gadis di sampingnya. "Mungkin lo nggak akan percaya ini, Faye. Tapi kita berdua sama-sama lagi ada di sebuah takdir pilihan kita. Takdir kita yang sebenarnya ada di sini. Foto yang lo liat di dalam kamar itu foto kita berdua. Terus rumah ini ... ini rumah lo, Faye. Yena yang gue maksud itu elo," ungkap Juanda.
Fayena tak habis pikir dengan ucapan mengada-ngada Juanda. Ia menggeleng beberapa kali sambil menatap Juanda kesal. "Lo kalau ngomong yang bener dong. Gue lagi dalam keadaan kayak gini dan lo masih sempat bercanda?"
"Gue nggak bercanda, Faye! Lo emang Faye yang gue kenal. Asal lo dari desa ini," sahut Juanda.
"Terus kenapa gue dan elo ada di takdir ini, hah?! Emang ada hal konyol gini di dunia? Lo pikir gue bodoh apa?"
"Ada. Mungkin ini cara Tuhan buat nyadarin kita berdua. Kalau sebenernya takdir yang kita hina dan sesali adalah takdir terbaik buat kita. Dan sebaliknya, takdir yang kita pilih sekarang bukan takdir yang baik buat kita. Lo nggak nyadar? Ya, lo emang nggak sadar karena lo putusin buat buang ingatan lo tentang Fayena yang dulu. Sedangkan gue enggak, gue tetap punya ingatan Juanda dulu karena gue nggak terlambat menyadari semuanya," cetus Juanda. Fayena meneteskan air matanya menatap Juanda tanpa berkomentar apapun.
Jaunda menatap ke arah depan dengan mata yang berkaca-kaca. "Gue dulu muak sama takdir gue yang punya orang tua overprotectiv dan larang gue buat deket sama lo. Padahal cuma lo yang gue cinta. Bokap dan nyokap gue nyuruh gue kuliah di luar negeri meski udah gue tolak puluhan kali. Mereka tetap mempersiapkan kepergian gue ke sana. Gue nggak bisa jauh dari lo, Faye. Gue cinta, gue mau selalu lindungi lo dan kasih semangat buat hidup lo setiap hari. Kalau gue jauh, lo gimana? Sampai akhirnya, gue pergi ke gunung dan teriak sekencang-kencangnya. Gue mau takdir yang lebih baik dan memaki takdir gue waktu itu. Pas gue mau turun, gue kepeleset dan jatuh. Gue saat itu nggak inget apa-apa, yang jelas gue berada di sebuah tempat serba putih. Gue diperlihatkan lima lukisan takdir kehidupan. Gue pilih bingkai nomor lima, dimana gue jadi anak bungsu orang kaya yang orang tua gue nggak ikut campur masalah gue. Gue juga punya kakak. Akhirnya gue tiba di masa sekarang dan menjalani hidup gue yang kelihatan orang enak, tapi gue ngalamin tekanan batin yang luar biasa. Bokap sama nyokap gue nggak ada yang perhatiin gue, mereka lebih sayang sama kakak gue. Lalu Kakak gue, benci banget sama gue. Image gue hancur karena ulah dia. Kalau dibandingin dengan takdir sebelumnya, gue bakal milih takdir gue yang dulu. Pemberian langsung dari Tuhan yang sudah jelas terbaik buat gue. Tapi sayangnya, gue nggak tau caranya buat kembali. Makanya pas liat elo, gue deketin elo, Faye. Gue mau kita cari jalan sama-sama dan pulang sama-sama. Please, percaya. Gue nggak bohong sama sekali," tutur Juanda panjang lebar.
Fayena kembali menangis sambil meremat kepalanya dengan kedua tangan. Gadis itu menelungkupkan wajahnya di kedua lututnya. Juanda mendekati gadis itu, lalu menepuk pundaknya dengan lembut untuk menenangkan.
"Gue nggak maksa lo percaya sekarang, Fayena. Gue bakal tunggu sampai lo yakin sama ucapan gue. Gue janji nggak akan bahas soal ini lagi. Tapi gue harap, lo pertimbangkan buat percaya. Bahas ini ke gue kalau emang lo mulai penasaran," ucap Juanda tersenyum tipis. Ia memutuskan untuk mendekati Fayena pelan-pelan saja agar gadis itu tak melarikan diri darinya. Kemustahilan ini memang sulit dipercaya.
Hari ini bagaikan sebuah mimpi bagi Fayena. Malam yang tengah diguyur hujan yang deras, Fayena terjaga. Dirinya memang berada di kasur empuk yang nyaman, tetapi rasanya ia merasakan sesak yang tak dapat ia jelaskan. Seperti di ruangan sempit dan ia tak bisa lari kemanapun. Haruskah ia percaya pada Juanda yang membawa jalan pulang, atau memilih sebuah cahaya yang ia akan adalah kehidupan terbaiknya?
Gadis itu bangkit dari kasur, berjalan menuju jendela. Tak sengaja ia melihat Juanda sedang duduk menyendiri menatap hujan yang turun malam ini.
Apakah benar Juanda adalah orang di kehidupan sebelumnya? Jika benar, pantas saja Fayena merasa nyaman padanya bahkan dalam waktu yang singkat. Fayena teringat pertemuan pertamanya dengan Juanda di acara musik itu. Juanda mendatanginya dan mengaku sebagai penggemar sekaligus staff pada acara itu.
"Faye?"
Fayena langsung tersadar dari lamunanya. Ternyata Juanda melihat keberadaanya di balik jendela. Fayena menutup tirai, lalu meraih selimut tipis berwarna merah muda. Gadis itu berjalan keluar kamar. Tujuannya adalah mendatangi Juanda.
Juanda masih menengok jendela Fayena hingga kepalanya ia paksakan memanjang untuk melihat lebih ke jendela itu. Tanpa ia sadari Fayena sudah ada di belakangnya.
"Udah pendekin lagi kepalanya. Gue di sini," tegur Fayena.
Juanda langsung menoleh, lalu tertawa konyol melihat sosok Fayena di hadapannya. Gadis itu duduk pada bangku samping Juanda.
"Gue pikir lo ngambek, Fay. Kan gue jadi merasa bersalah banget soal tadi pagi. Lo juga diemin gue seharian, di kamar terus," ujar Juanda.
Fayena tersenyum miris. "Sorry ya, Wan. Gue bertingkah kayak itu seolah-olah lo yang paling salah. Harusnya gue nggak nyalahin elo. Kan apa aja bisa terjadi di dunia yang luas ini," ucap Fayena terdengar lembut.
Juanda tersenyum lega akhirnya Fayena bisa berlapang dada pada permasalahan yang ada. Jadi ... mereka baikkan, bukan?
"Syukur deh. Gelisah banget pas lo cuek gitu. Udah kayak didiemin emak," gurau Juanda.
"Emang gue emak lo?" sahut Fayena tertawa pelan.
Mereka sejenak terdiam menikmati hawa yang sejuk, suara hujan lebat, dan pemandangan yang indah desa Grawang Telu.
"Besok ajak gue ke kali, ya. Pengen banget ngerasain mandi di aliran air gitu. Keknya sejuk banget deh. Sekalian lo fotoin gue. Kan lo jago banget nyari angel yang bagus," pinta Fayena.
"Siap. Gue bakal fotoin sampe galery hp lo penuh," sahut Juanda membuat Fayena kembali tertawa.
Pintu terbuka, menampilkan Imran yang keluar hanya mengenakan kaus oblong putih dan sarung. Beliau tersenyum lebar melihat Juanda dan Fayena yang tampak mengobrol.
"Berduaan di depan hujan asik kali, ya. Hahaha! Emang hujan-hujan gini momen yang paling nyaman buat ngobrol," ujar Imran seraya duduk di pembatas teras rumah.
"Nggak dingin, Om, pakek kutangan gitu doang?" tanya Juanda.
Imran mencebik sambil menggoyangkan tangan kirinya. "Enggak. Sudah kebal sama cuaca apapun. Panas-dingin kutangan mulu. Lebih plong napas kalau baju kayak gini," sahutnya agak sombong.
"Masuk angin ntar Tante yang ribet, Om," gurau Fayena.
"Malah asik kali," sahut Imran mengundang tawa mereka bertiga.
Juanda jadi ingat soal Ananda Mahardi yang menggantikan perannya menjadi anak dari kedua orang tua Juanda yang dulu. Ia pikir bertanya dengan Om Imran adalah hal yang tepat.
"Oh iya, Om. Om kenal Ananda Mahardi, nggak?"
"Oh, anaknya Bu Fatmala? Yang rumahnya gede itu, kan? Di dekat simpang tiga itu?" tebak Imran sangat tepat sekali.
"Bener, Om. Dia ... sekarang statusnya, apa? Mahasiswa atau udah kerja?"
"Nanda mah mahasiswa di universitas luar negeri, Wan. Baru aja pulang dua hari lalu buat liburan ke desa ini, kumpul sama orang tuanya. Beruntung banget bisa kuliah di Jerman. Ya wajar sih orang tuanya aja kaya. Om juga kalau sekaya itu, bakal kuliahin anak Om ke luar negeri. Sayangnya Hasan cuma mampu Om kuliahin di dalam negeri," tutur Imran menjelaskan.
Juanda terdiam mendengarnya. Ia tiba-tiba merindukan sosok ibu dan ayahnya yang dulu sangat mempedulikannya, merawatnya dengan baik, dan menyayanginya dengan tulus. Kekangan itu bahkan Juanda rindukan sekarang.
Fayena menoleh pada Juanda yang tiba-tiba murung. Gadis itu tiba-tiba teringat sosok Ananda yang tadi pagi ia temui bersama Juanda.
"Kalau cerita Juanda beneran ... berarti yang menggantikan peran dia si Ananda itu dong? Kok Juanda malah tertekan dengan kehidupannya dulu, ya. Padahal enak dan nyaman banget. Bener-bener kurang bersyukur nih anak," batin Fayena.
"Kenapa, Wan? Kok kamu tiba-tiba pundung gitu? Iri, ya?" tanya Imran sambil menggoda keponakannya. Beliau tertawa renyah. "Yang namanya takdir, itu sama rata porsinya dikasih Tuhan, Wan. Cuma beda-beda letak, cara, wujud, dan hasilnya aja. Sama sebenernya. Ada bahagia, sedih, duka, gembira, dan sebagainya. Porsi sama, nggak berat sebelah. Tapi ya ... kalau di pikirin sama akal yang kurang nyampe atau kurang bersyukur, pasti merasa hidupnya nggak adil. Padahal, Tuhan kita itu Yang Maha Adil," cetus Imran. Sukses membuat kedua anak muda itu merasa tertohok.