Fayena dan Juanda sedang berada di kebun jagung. Mereka membantu Imran yang sedang memanen jagung yang telah matang. Kebun jagung itu milik Imran dan temannya, Zaki. Mereka membagi rata hasil penjualan jagung tersebut. Jika Zaki menanam, maka Imran yang bertugas memanen. Seperti sekarang, giliran Imran yang memanen jagungnya. Juanda dengan lihai memanen jagung sesuai cara yang telah dijelaskan Imran sebelumnya. Sedangkan Fayena sesekali memetik jagung, lalu mengambil video, dan berfoto. Gadis itu juga terkadang mengipasi Juanda yang tampak berkeringat.
"Gue kipasin nih biar Kang jagung seger," ujar Fayena membuat Juanda menyunggingkan senyuman.
"Neng kipas sayang banget ya sama Kang jagung jadi sampe dikipasin gini. Mana anginnya kenceng banget,'' gurau Juanda membuat Fayena terkekeh.
Mereka berjongkok di antara pohon jagung yang menjulang cukup tinggi. Walau lahannya tak begitu luas, tetapi hasil panen dari tanaman jagung ini terbilang bagus. Kata Imran ada trik tertentu agar tanaman jagung itu bagus, entah apa itu. Katanya kalau ingin tahu, Juanda harus jadi pekerja tetapnya. Jelas Juanda tak mau.
"Udah banyak banget tuh jagungnya. Bukan lo yang gendong tuh bakul, kan? Ntar bangkotan lagi lo. Suruh Om lo aja sama pekerjanya," ujar Fayena.
"Iya kali, ya. Udah capek juga sih sekitar dua jam petik jagung. Emang nggak ada bakat nguli," ujar Juandra seraya berdiri posisinya. Ia menoleh ke arah ujung Selatan di mana Imran bersama pekerjanya sedang memanen jagung. "OM! SAYA UDAHAN, YA!" teriaknya nyaring.
"OKE, JUAN. MAKASIH. TUH DI SAUNG ADA MINUMAN SAMA CAMILAN. ISTIRAHAT SANA!" sahut Imran.
"OKE! JAGUNGNYA SAYA TINGGALIN DI SINI!"
Fayena dan Juanda pun pergi ke saung dekat kebun itu. Ternyata benar, ada minuman dan camilan gorengan, jagung rebus, dan ubi rebus. Khas perbedaan memang makanan seperti ini jika pikir-pikir. Mereka melepas alas kaki sebelum naik ke atas saung itu.
"Mau minum dulu, Kang Jagung?" tanya Fayena masih mendalami pegang.
"Boleh, Neng Kipas," sahut Juanda.
Fayena menuangkan teh hangat ke gelas lalu menyerahkannya pada Juanda. Walau hangat, tapi begitu pas di tenggorokan apalagi makan ubi rebus.
"Kok teh hangat sih, es kek. Kan pas sama gorengan," keluh Fayena.
"Biar luntur minyaknya minum teh hangat. Cocok kok, soalnya tehnya nggak manis banget dan hangat. Lebih enak di perut dari pada es," sahut Juanda.
"Iya juga, ya," sahutnya setelah mencobanya langsung. Tiba-tiba ponsel Fayena berdering. Fayena melirik Juanda dengan tatapan cemasnya. Ia takut jikalau agensi yang mengubunginya lagi.
"Angkat aja siapa tahu emang penting. Sampai kapan juga harus takut, Fay. Kalo nggak dihadapi ya nggak ada solusi apapun dari masalah ini. Angkat aja dulu. Kalau lo nggak sanggup, gue yang ambil alih nanti," ujar Juanda.
Fayena pun memeriksa ponselnya. Ternyata bukan telepon dari agensi, melainkan dari ayahnya. Fayena melirik Juanda yang menunggu reaksi dirinya. Fayena baru ingat, Juanda tak tahu tentang ayahnya yang selalu mengganggu hidupnya.
"Bokap gue ternyata, Wan. Gue angkat jauhan dikit gapapa. ya?"
"Oh, gapapa. Silakan aja, kan emang kudu ada privasi," sahut Juanda santai.
Fayena langsung turun dari saung. Gadis itu berdiri cukup jauh dari tempat Juanda berada hingga pemuda itu tak dapat mendengar perkacapannya dengan sang Ayah.
"Halo, Yah? Ada apa?"
"Mobil Ayah rusak, Fay. Nabrak tadi malam. Banyak banget yang harus diganti. Terus ... kudu biayain sama ganti rugi juga buat korban. Kirimin dua puluh juta, ya. Ayah tunggu," ujar sang Ayah.
"Yah, Ayah tau nggak sih masalah apa yang menimpa aku sekarang? Aku sekarang lagi coba tenangin diri jauh dari kota karena itu. Alih-alih tanya keadaan aku, Ayah malah mau minta kirimin uang? Ayah tau nggak aku bakal ganti rugi ratusan juta rupiah kalau sampai kontrak drama aku putus?"
"Dari awal Ayah udah bilang kalau Ayah nggak peduli soal karir kamu karena memilih karir itu ya kamu sendiri. Di suruh jadi pengusaha nggak mau, bahkan udah ada teman Ayah yang jelas tajirnya berminat jadi suamimu malah kamu tolak. Ini akibatnya ngebantah orang tua, Faye."
"Tapi selama ini Ayah juga nikmatin hasil kerja keras aku, kan? Rumah, mobil, motor, fasilitas lainnya itu dari hasil karir aku, Yah. Sekarang pun Ayah minta uang dua puluh juga kalau nggak dari hasil karir aku jadi penyanyi, lalu dari mana?" Fayena menjelaskan sambil menangis sesegukan. Saking sakit hatinya dengan sikap sang Ayah yang sama sekali tak menghargainya dan memandangnya dengan penuh kebanggaan.
"Oh, jadi kamu mau main perhitungan sekarang? Kamu pikir kamu itu gede sendiri terus langsung jadi penyanyi? Inget, Faye. Kamu itu hidup selama belasan tahun dari uang siapa? Dari hasil kerja keras siapa? Hah?"
"Tapi cara Ayah itu salah. Aku selalu teken aku dan membuat masalah dalam hidup aku sejak pisah sama Ibu. Oke kalau Ayah mau uang aku tiap bulan tetap aku transfer walau aku lagi dalam keadaan sulit. Tapi Ayah bisa nggak kayak orang tua pada umumnya? kasih perhatian dulu ke aku. Aku lagi dalam masalah, Yah."
"Kamu tuh sama aja kayak ibumu. Hidup penuh drama dan ngemis kasih sayang dan pengertian mulu. Kirimin uang yang Ayah minta sekarang juga!"
"Nggak. Aku lagi nggak ada duit."
"Yakin kamu membantah Ayah? Kamu tahu sendiri, Faye, kalau Ayah nggak bakal menderita sendirian. Liat aja kamu. Nggak lama kok, kamu bakal dapat kejutannya."
Sambungan telepon terputus, Fayena jatuh berlutut dengan air mata yang berjatuhan. Juanda yang sedari tadi memperhatikannya, langsung menghampiri Fayena dengan raut wajah teramat khawatir.
"Faye, ada apa? Kok lo nangis gini?" tanya Juanda menatap wajah gadis itu.
"Bokap gue, Juan. Dia kurang ajar banget jadi bokap. D-dia selalu teken gue, ngabisin uang gue, ngancem gue, dan usik kehidupan gue. Sekarang dalam keadaan kayak gini, dia masih sempat-sempatnya minta uang dua puluh juta buat perbaiki mobil dan ganti rugi karena udah tabrak orang. G-gue kesel, Juan. Gue kesel dia nggak ada perhatian sama sekali ke gue. Gue salah apa sampai punya bokap kayak dia!" cetus Fayena menangis.
Juanda memeluk gadis itu dengan perasaan iba. Ia baru tahu jikalau Fayena yang sekarang jauh lebih menderita dari Fayena yang dulu. Jika Fayena tahu, mungkin dia akan menyesal berada di kehidupan Fayena yang sekarang. Namun, Juanda tak bisa menekan Fayena untuk mempercayai hal aneh itu.
"Lo yang sabar, Faye. Semua pasti ada akhirnya kok. Yang penting lo udah berusaha jadi anak yang baik buat ayah lo. Lo juga selama ini udah kerja keras hidup mandri tanpa dampingan orang tua. Lo hebat, Faye. Lo pasti bisa hadapin ujian ini, Okey?"
"Gimana kalau gue nggak kuat, Juan? Gue nggak tau apa yang bakal bokap gue lakuin karena nggak dapat uang yang dia minta. Gue dalam masalah besar, Juan. Gue muak banget," racau Fayena kembali menangis.
Hari sudah semakin sore, Juanda dan Fayena memutuskan untuk kembali ke rumah Imran. Juanda melirik gadis di sampingnya yang bermata sembab dengan bibir yang cemberut. Juanda terpikir sesuatu, lalu tersenyum. Pemuda itu memeluk sebuah bunga berwarna kuning di pinggir jalan, lalu berlutut di samping Fayena. Sontak saja membuat langkah Fayena berhenti.
"Eh, Juan lo ngapain?" tanya Fayena panik. Sesekali ia menoleh ke kiri dan ke kanan.
"Akang teh nggak bisa liat Neng Kipas sedih. Terimalah bunga senyuman ini," ucap Juanda memegang bunga kecil itu sambil menyodorkan ke arah Fayena.
Gadis itu sontak tertawa kecil walau sedang dalam keadaan hati yang kurang baik. Tangannya meraih bunga itu, lalu memandanginya. "Bunga senyuman apaan. Bunga liar gini," cibirnya.
"Tapi lo jadi senyum, kan?'' sahut Juanda seraya bangkit dari posisinya. Ia kembali menghadap depan sambil mengimbangi langkah santai Fayena.
"Thanks ya, Wan. Lo udah hadir di saat-saat yang tepat banget. Kalau di saat gue terpuruk gini nggak ada elo, mungkin gue bakal stress banget," ucap Fayena dengan tulus.
"Ini yang gue lakuin ke Fayena dulu. Gue selalu ada buat dia dan dukung dia. Seandainya aja gue bisa lebih sabar waktu itu, mungkin kami nggak berantem yang buat gue dan Fayena dulu punya jarak. Nggak lama hal konyol itu terjadi," ungkap Juanda. Sedikit demi sedikit ia kembali mengungkit soal hal itu, berharap Fayena lambat laun akan menyadarinya.
"Maaf, ya, Wan. Kalau gue belum bisa percaya sepenuhnya soal itu. Gue belum bisa mengerti apa yang lo coba jelasin ke gue. Tapi gue bakal pikirin hal ini sesekali dan nggak menutup kemungkinan gue bakal percaya sepenuhnya sama lo," ujar Fayena tersenyum tipis.
"Gue nggak maksa kok. Santai aja. Yang penting lo nggak nolak gue ada di dekat lo terus. Gue nggak mau nyesel kayak sebelumnya, Fay. Jadi jangan mikir buat ngambek sama gue."
"Ngapain juga gue ngambek sama lo. Lo kan baik banget sama gue. Bahkan ya ... sorry nih jangan geer. Lo lebih baik dari cowok gue sendiri," cetus Fayena.
Juanda mengulum senyum malunya sambil mengalihkan tatapannya ke arah lain saking senangnya. "Cie ada yang mulai naksir gue," goda Juanda.
"Dih, nggak usah geer gue bilang. Gue cuma muji dikit, jangan terbang gitu dong. Lagian masa gue rebut lo dari Yena sih," balas Fayena.
"Kan Yena-nya gue ya elo,'' sahut Juanda.
"Berarti lo suka sama gue dong?"
"Iya. Gue suka," sahut Juanda. Sontak saja membuat Fayena mengalihkan tatapannya kembali ke depan dengan guratan senyum malu. Juanda meliriknya sambil tersenyum.
"Duh, gue mau pipis dari tadi. Kebanyakan nangis sih," keluh Fayena seraya berlari mendahulu Juanda masuk ke dalam rumah.
Juanda tertawa renyah mendengar alasan aneh yang Fayena lontarkan. "Masa mau pipis karena kebanyakan nangis sih. Ada-ada aja deh tuh cewek," ucap Juanda geleng-geleng. Tiba-tiba ponselnya bergetar. Juanda pun merogoh ponselnya untuk melihat pesan masuk.
Mbak Regina
Juan, bilang ke Fayena kalau urusannya udah clear. Mulai lusa syuting bakal dimulai lagi. Lo ajak Fayena pulang besok, ya. Kalau dia nggak mau ya bujuk sampe mau. Bilang kalau agensi nggak nyalahin dia. Alfino juga udah kena kasus tuh.