Loading...
Logo TinLit
Read Story - Mimpi & Co.
MENU
About Us  

Ami membuka mata dan mendapati dirinya terbaring di ranjang kamar. Napasnya memburu mengingat apa yang baru saja terjadi. Bukankah dia seharusnya ada di tengah jalan raya bersama Aidan dan nyaris tertabrak truk? Atau jangan-jangan memang begini konsep dari Mimpi & Co.? Dia akan terasa bangun dari mimpi saat kontraknya dengan Mimpi & Co. berakhir.

Ami bangkit dari tempat tidur dan buru-buru mencari ponsel. Dia menemukannya di nakas kemudian segera mencari nomor Aidan. Namun, dia tidak menemukannya–termasuk riwayat panggilan dan pesan. Nomor Aidan hilang. Bagaimana bisa? Ami mencoba mencari kontak semua mimpi: Axel, Ron, Pasha, Je, Rian, Oliver–semuanya juga hilang. Ami lalu melihat sekeliling kamar. Dia tidak menemukan boneka beruang pemberian Je dan kotak batu dari Oliver. Helm pemberian Rian juga hilang. Sepertinya, setiap barang dari mimpi juga menghilang setelah mimpi berakhir.

Ami memutuskan pergi ke Mimpi & Co. Di sana, Pak Guska ternyata sudah menunggunya–berdiri di balik counter, masih mengenakan piyama tidur dan memeluk guling. Meskipun mata masih sayu, Pak Guska tetap tersenyum seraya melambaikan tangan menyapa Ami di tengah menguap. Ami menceritakan tentang apa yang baru saja terjadi–dia merasa melompati waktu dari tengah malam langsung ke pagi hari.

Pak Guska menjelaskan, “Ya. Memang begitu konsep kami. Karena kami memberikan mimpi, maka setelah kontrak berakhir, secara otomatis kami akan mengistirahatkan klien sampai pagi menjelang. Selama kamu tidur, Mimpi & Co. akan mulai menyerap beberapa hal: barang mimpi yang mencakup nomor telepon dan hadiah. Lalu yang memakan waktu paling lama untuk diserap adalah perasaan dan memori–karena Mimpi & Co. akan mengambil kembali setiap perasaan yang bersembunyi di lubuk hati paling dalam dan memori di pikiran terdalam. Setelah Mimpi & Co. menyerap semuanya, kamu akan dapat pesan terakhir dan pintu Mimpi & Co. akan menutup lagi.”

“Semalam saya sama Kak Ai hampir ketabrak, Pak,” kata Ami.

“Tidak perlu khawatir. Sekarang itu cuma mimpi.”

Ami diam. Cuma mimpi. Kata sederhana itu sekarang terasa menyakitinya. Perpisahan inilah yang kemarin sempat ia tangisi. Yang terpikirkan di jalan pulang adalah: Jika dia tidak menggunakan Mimpi & Co., dia mungkin tidak akan sesedih ini. Namun, tanpa Mimpi & Co., dia tidak akan tahu rasanya dicintai dan merasakan pengalaman unik yang menakjubkan.

Sepertinya kurang tepat jika menyebutnya sebagai penyesalan. Segala yang indah selalu punya harga, kan? Termasuk mimpi indah, Ami harus membayarnya dengan menanggung semua mimpi menjadi kenangan. Pikir Ami, ini tidak terlalu buruk karena memang beginilah seharusnya. Dan yang perlu Ami lakukan sekarang adalah … kembali ke realita.

Ami tidak bisa berhenti memikirkannya bahkan saat ia tengah mengikuti kuliah. Ami penasaran dengan setiap mimpi yang sempat terlibat. Para mimpi yang sempat mencintainya, sekarang sepertinya tidak lagi. Rini dan teman-temannya pun sudah kembali ke tabiat asli mereka. Semua orang seolah melewati waktu yang sama, tapi dengan ingatan yang berbeda.

Selepas kuliah, Ami melewati halaman fakultas dan berpapasan dengan Oliver yang entah ada urusan apa datang ke fakultasnya. Ami ingat bahwa dirinya masih berhutang jawaban kepada pria yang sempat mengisi mimpinya itu. Namun, jawaban apapun sepertinya sudah tidak diharapkan lagi. Saat berpapasan dengan Oliver, Ami berpura-pura menelepon untuk mencari tahu apakah Oliver benar-benar telah melupakannya.

“Halo, Sablikuk–”

Oliver ternyata tidak peduli dan melewatinya begitu saja. Alien yang sempat hadir di mimpi, pada akhirnya memang tidak pernah ada. Ami refleks menoleh saat Oliver berseru memanggil seseorang.

“Aidan!”

Ami melihat mereka bersua dan melakukan tos sebagai salam akrab pertemuan mereka. Oliver ternyata datang untuk menemui Aidan. Masih pantaskah Ami menyebut Aidan sebagai kekasihnya? Mungkin tidak karena dalam ingatan Aidan, Ami tidak ada. Ami menunduk seraya tersenyum tipis dan mencoba menerima segalanya dengan lapang dada.

“Awas belakang lo ada orang!” kata Aidan kepada Oliver yang berjalan mundur ke arah Ami.

Setelah teguran itu, Oliver menoleh ke arah Ami dan berucap, “Hampir aja. Maaf ya, Kak?”

“Junior gue itu,” kata Aidan.

Oliver meralat, “Oh, Dek, berarti. Maaf ya, Dek?”

Ami hanya menanggapi dengan anggukan ringan beserta senyum canggung. Aidan dan Oliver pun melewatinya begitu saja. Setelah kedua mimpinya pergi, Ami melangkahkan kaki menuju Fakultas Teknik–tempat dua mimpi yang lain berada.

Di halaman parkir Fakultas Teknik, Ami melihat Rian keluar dari gedung. Rian berlari menuju motor dan segera memakai helmnya. Dari sudut halaman parkir, salah seorang teman Rian memanggil.

“Rian! Sparing, yuk?”

Rian balas berseru tepat sebelum dirinya mengenakan helm. “Nggak bisa. Ada janji ketemuan sama saudara.”

“Saudara apa saudara? Cewek kan pasti?”

“Percuma ngomong sama lo!” ketus Rian.

Rian menyalakan motornya dan mulai melaju di antara motor-motor yang terparkir. Ami hanya berdiri diam memperhatikan motor Rian yang melaju menuju ke arahnya lalu tiba-tiba berhenti.

“Permisi, Kak,” kata Rian.

Ami linglung sebentar. Dia melihat sekeliling kemudian menyadari bahwa ternyata dirinya menghalangi jalan sehingga Rian tidak bisa lewat.

“S-s-sorry.” Ami buru-buru menepi.

Begitu Rian pergi dengan motornya, Ami memutuskan masuk ke gedung Fakultas Teknik. Langkahnya mungkin akan berakhir di lobi yang menjadi lokasi pertemuan terakhirnya–dalam mimpinya–dengan Ron di fakultas ini. Saat menaiki tangga, ponsel Ami berbunyi pertanda notifikasi pesan. Ami mengeluarkan ponsel kemudian mendapati pesan dari ayahnya yang memberitahu kalau malam ini dia akan pulang lebih awal dan mengajak makan malam bersama. Saat ingin membalas, tanpa sengaja bahu Ami berbenturan dengan seseorang yang ingin melewatinya dari arah berlawanan. Ponsel Ami terjatuh kemudian orang itu yang mengambilkan lebih dulu.

“Hati-hati,” tegur orang itu saat mengembalikan ponsel milik Ami.

Ami menerima ponselnya, tapi dia terdiam setelah melihat wajah orang itu. Dialah mimpi yang tengah dia cari, Ron. Setelah Ami menerima ponsel, Ron pergi begitu saja. Saat ingin melangkahkan kaki lagi, Ami diam karena tidak tahu akan pergi kemana. Orang yang ia cari, baru saja turun. Ami berdiam diri sendirian di tangga kampus yang sepi.

Sepulang kuliah, Ami mengunjungi Kopi Gerobak di tepi jalan yang menjadi tempat berkumpul beberapa mahasiswa. Ami pikir Je akan ada di sana, tapi yang ia temukan hanya Pasha. Ami melihat Pasha berjalan menuju ke arahnya. Lalu untuk menghindari berpapasan dengan Pasha, Ami memutuskan membeli kopi. Dia memesan dua kopi agar tidak terkesan sendirian. Pasha yang ia harap segera melewatinya, ternyata justru berhenti di sampingnya dan memulai percakapan dengan abang penjual.

“Gue bikin dua ya, Bang? Temen gue nyusul di belakang,” kata Pasha seraya mengambil gelas plastik sendiri dan melayani sendiri.

Penjual kopi membalas, “Sama siapa lo? Ron? Apa Jefa?”

“Jefa. Tuh orangnya,” Pasha menunjuk dengan dagunya.

Ami turut menoleh dan saat itulah ia tahu bahwa ternyata yang dimaksud Jefa adalah Je. Tampaknya Pasha dan Je sudah mengenal baik penjual kopi itu karena mereka bahkan membuat kopinya sendiri. Biasanya Ami akan merasa malu datang ke tempat ramai kecuali benar-benar ada keperluan. Mungkin karena Ami sudah terlanjur nyaman dengan Pasha dan Je–meskipun dirinya telah hilang dari memori keduanya.

Saat Ami memperhatikan keakraban orang-orang di sekitarnya, tatapannya tidak sengaja bertemu dengan Pasha. Rasa percaya diri Ami sedikit goyah. Untungnya, Pasha menyapa lebih dulu untuk menstabilkan perasaannya–Pasha ternyata baik kepada siapa saja.

“Sendirian, Dek?” tanya Pasha.

“I-iya, Kak,” jawab Ami.

“Semester berapa?”

“Tiga, Kak.”

“Sha, lo rapat jam berapa entar?” tanya Je kepada Pasha.

“Habis ini. Ngopi dulu kita.”

“Awas tumpah. Kemarin lo udah numpahin segerobak-gerobaknya.”

Dua kopi Ami telah selesai. Setelah membayar, Ami pamit pergi dan melangkah cepat meninggalkan tempat itu.

Masih ada mimpi yang belum Ami temui: Axel. Malam ini, setelah makan malam bersama ayahnya, Ami mengajak ayahnya pergi ke kafe. Alasannya, dia ingin minum kopi. Alasan sebenarnya, Ami ingin memastikan kabar Axel. Entah merupakan keberuntungan atau tidak, setibanya Ami di sana, tidak hanya Axel, tapi seluruh mimpi ada di sana.

Ami dan ayahnya duduk di dekat rooftop dan sang ayah terus mengeluh karena di sana berisik. Ami hanya tertawa untuk menyembunyikan alasan sebenarnya bahwa dia merasa sedih sekaligus senang di hari pertama dia dilupakan. Ami melihat Axel berjalan melewatinya seraya membawa nampan berisi tujuh gelas es krim yang langsung membuat rebutan semua mimpi.

“Mending gue duluan sebelum ada gelas yang pecah!” Seru Ron yang ternyata bisa bicara lantang saat bersama sahabat-sahabatnya.

Karena kebetulan Ron duduk di ujung, Axel membiarkannya mengambil lebih dulu meskipun Oliver mulai meracau dengan kata-katanya.

“Woy! Nggak bisa gitu! Kenapa Bang Ron duluan? Entar gue kebagian yang paling meleleh! Woy, Je!! Yang itu punya gue! Udah gue incer sejak Bang Axel keluar dari dapur!”

Je yang baru mendapatkan miliknya, lekas menjilati es krim langsung dengan lidah lalu menawarkannya kepada Oliver. “Masih mau?”

“Najis!”

“Lagian kenapa sih, Liv? Kan sama aja?” kata Pasha.

“Iya, Liv. Kebagian tiga sekop semua kok,” timpal Axel.

Rian tiba-tiba menceletuk, “Ceri gue kecil banget gila! Bang Axel, lu ikhlas nggak sih? Kok pilih kasih?”

Oliver segera melontarkan pembelaan, “Kan? Gue bilang juga apa?”

Ami berkali-kali mencuri pandang ke arah mereka. Kemudian kepada ayahnya ia meminta, “Yah, mau es krim!”

Sang ayah mentah-mentah menolak, “Nggak! Udah malem.”

“Sekali ini aja,” mohon Ami.

“Nggak! Besok aja. Kalau kamu sakit ayah yang repot.”

Ami cemberut lalu tidak bicara lagi. Dia memakan cake tiramisunya dengan suasana hati yang tiba-tiba buruk karena permintaannya ditolak.

Dari arah rooftop, Rian berseru, “Bang Axel, Bang Ron mau pulang nih! Ketahuan banget nggak mau bayar!”

Ron menegaskan, “Gue mau ke toilet!”

Ami mendengar ayahnya berbisik, “Berisik gini kamu kok betah?”

Ami menanggapi dengan senyum karena mulutnya penuh cake. Pukul sembilan malam, Aidan dan teman-temannya pulang lebih dulu meninggalkan Axel yang masih sibuk sampai kafe ditutup. Axel juga yang melayani saat ayah Ami melakukan pembayaran. Saat itu terjadi, Axel sesekali mencuri pandang ke arah Ami–dia melihat aura aneh yang terpancar dari Ami.

Di waktu yang sama, Mimpi & Co. yang masih sibuk menyerap mimpi, tiba-tiba mendapat suatu kendala. Segala mimpi termasuk memori nyaris terserap sempurna. Boneka beruang pemberian Je telah berhasil diserap. Kotak batu dari Oliver dan helm pemberian Rian pun sama. Akan tetapi, ada pemberian mimpi yang ternyata telah bersarang di Mimpi & Co. Pemberian mimpi yang membuat Mimpi & Co. tidak terkendali antara harus diserap, tapi juga ditahan oleh Mimpi & Co. itu sendiri. Akibatnya, Mimpi & Co. berguncang sehingga bunga pemberian Axel yang berada dalam vas pun jatuh dari tempatnya dan pecah. Getaran ruang dan suara pecah itu membuat Pak Guska segera keluar dari persembunyian. Dia menemukan bunga yang menjadi alat pembayaran Ami telah berserak di lantai.

Di sisi lain, ingatan Axel tiba-tiba kembali. Axel yang telah masuk ke mobil dan bersiap pulang, tiba-tiba terpaku di tempat. Sayangnya, ketidakstabilan Mimpi & Co. membuat seluruh memori milik mimpi Ami kembali terpental ke dunia nyata. Tidak hanya ingatan Axel yang kembali, tapi semua memori termasuk perasaan cinta mereka kepada Ami.

Di kediaman Ami, saat ia telah selesai bersih-bersih dan bersiap tidur, dia dikejutkan oleh dering ponsel padahal hampir tidak pernah ada yang meneleponnya selain ayahnya. Saat memeriksanya, Ami membeku melihat nama ‘Kak Ai’ di layar. Kenapa nomor Aidan muncul kembali? Dengan jemari yang gemetar, Ami menerima panggilan itu dan mendengarkan Aidan bicara via ponsel.

“Ami, kamu pacar aku, kan? Tadi pagi kita sempet ketemu, kan? Kenapa aku nggak inget kamu? Barusan aku ngerasa aneh. Aku nggak tahu kenapa, tapi seingat aku kita pacaran. Ami, jawab aku! Kita pacaran, kan? Kamu pacar aku, kan? Aku sama Bang Axel udah di depan rumah kamu. Katanya dia kenal kamu juga.”

Ami bergegas ke ruang tamu dan mengintip lewat jendela. Baik Aidan maupun Axel, tidak ada yang menyadarinya karena lampu ruang tamu telah dimatikan. Di luar sana, Axel berdiri bersandar dinding sedangkan Aidan berdiri di depan teras dan masih dengan ponsel yang digunakan untuk menelepon Ami.

“Ami? Kamu dengar aku, kan? Bisa keluar bentar? Aku sama Bang Axel cuma butuh penjelasan. Kalau nggak bisa malam ini, boleh besok kok. Ayo buat janji biar aku sama Bang Axel yakin.”

Ami merasa jahat jika mengabaikan mereka semalaman. Dengan langkah berat dan dada berdebar kencang, dia beringsut mendekati pintu dan memulai memutar gagang pintu sampai pintu terbuka. Dia bahkan tidak punya rencana harus menjelaskan dari mana dan bagaimana. Dia bahkan tidak tahu atas sebab apa ingatan mereka bisa kembali. Namun, karena akar masalahnya berasal dari dirinya, Ami merasa harus mempertanggungjawabkannya.

Aidan dan Axel serentak menoleh setelah mendengar suara pintu terbuka. Keduanya menatap Ami yang telah berganti piyama tidur. Ami menatap keduanya dengan raut wajah menggambarkan kekhawatiran. Suara motor terdengar dan mereka bertiga serentak menoleh. Ada seseorang datang dengan motor. Motor itu menepi lalu pengendaranya segera melepas helm. Napas Ami tercekat sesaat setelah mendapati orang itu adalah Ron.

Ami memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam. Kenapa jadi begini? Apa yang terjadi dengan mimpi-mimpi dari Mimpi & Co.? Bagaimanakah nasibnya setelah ini?

[]

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Lingkaran Ilusi
10037      2158     7     
Romance
Clarissa tidak pernah menyangka bahwa pertemuannya dengan Firza Juniandar akan membawanya pada jalinan kisah yang cukup rumit. Pemuda bermata gelap tersebut berhasil membuatnya tertarik hanya dalam hitungan detik. Tetapi saat ia mulai jatuh cinta, pemuda bernama Brama Juniandar hadir dan menghancurkan semuanya. Brama hadir dengan sikapnya yang kasar dan menyebalkan. Awalnya Clarissa begitu memben...
U&I - Our World
388      273     1     
Short Story
Pertama. Bagi sebagian orang, kisah cinta itu indah, manis, dan memuaskan. Kedua. Bagi sebagian orang, kisah cinta itu menyakitkan, penuh dengan pengorbanan, serta hampa. Ketiga. Bagi sebagian orang, kisah cinta itu adalah suatu khayalan. Lalu. Apa kegunaan sang Penyihir dalam kisah cinta?
Puncak Mahiya
595      432     4     
Short Story
Hanya cerita fiktif, mohon maaf apabila ada kesamaan nama tempat dan tokoh. Cerita bermula ketika tria dan rai mengikuti acara perkemahan dari sekolahnya, tria sangat suka ketika melihat matahari terbit dan terbenam dari puncak gunung tetapi semua itu terhalang ketika ada sebuah mitos.
Gadis Kecil Air Tawar
496      357     0     
Short Story
Mulailah berbuat baik terhadap hal-hal di sekelilingmu.
Cinderella And The Bad Prince
1234      836     11     
Romance
Prince merasa hidupnya tidak sebebas dulu sejak kedatangan Sindy ke rumah. Pasalnya, cewek pintar di sekolahnya itu mengemban tugas dari sang mami untuk mengawasi dan memberinya les privat. Dia yang tidak suka belajar pun cari cara agar bisa mengusir Sindy dari rumahnya. Sindy pun sama saja. Dia merasa sial luar biasa karena harus ngemong bocah bertubuh besar yang bangornya nggak ketul...
The Spark Between Us
9386      2862     2     
Romance
Tika terlanjur patah hati untuk kembali merasakan percikan jatuh cinta Tapi ultimatum Ibunda untuk segera menikah membuatnya tidak bisa berlamalama menata hatinya yang sedang patah Akankah Tika kembali merasakan percikan cinta pada lelaki yang disodorkan oleh Sang Ibunda atau pada seorang duda yang sepaket dengan dua boneka orientalnya
Teilzeit
1962      483     1     
Mystery
Keola Niscala dan Kalea Nirbita, dua manusia beda dimensi yang tak pernah bersinggungan di depan layar, tapi menjadi tim simbiosis mutualisme di balik layar bersama dengan Cinta. Siapa sangka, tim yang mereka sebut Teilzeit itu mendapatkan sebuah pesan aneh dari Zero yang menginginkan seseorang untuk dihilangkan dari dunia, dan orang yang diincar itu adalah Tyaga Bahagi Avarel--si Pangeran sek...
Tyaz Gamma
1439      909     1     
Fantasy
"Sekadar informasi untukmu. Kau ... tidak berada di duniamu," gadis itu berkata datar. Lelaki itu termenung sejenak, merasa kalimat itu familier di telinganya. Dia mengangkat kepala, tampak antusias setelah beberapa ide melesat di kepalanya. "Bagaimana caraku untuk kembali ke duniaku? Aku akan melakukan apa saja," ujarnya bersungguh-sungguh, tidak ada keraguan yang nampak di manik kelabunya...
HAMPA
410      283     1     
Short Story
Terkadang, cinta bisa membuat seseorang menjadi sekejam itu...
Rumah?
54      52     1     
Inspirational
Oliv, anak perempuan yang tumbuh dengan banyak tuntutan dari orangtuanya. Selain itu, ia juga mempunyai masalah besar yang belum selesai. Hingga saat ini, ia masih mencari arti dari kata rumah.