Loading...
Logo TinLit
Read Story - Let Me be a Star for You During the Day
MENU
About Us  

Hari pertama acara orientasi mahasiswa di kampus. Asia sangat bersemangat mencatat segala hal yang disampaikan oleh rektor hari ini. Dia juga aktif bertanya seputar visi dan misi dari Universitas, beasiswa mahasiswa, hingga seputar program kreativitas mahasiswa. Para mahasiswa sampai tercengang melihat Asia yang mengangkat tangannya berkali-kali untuk bertanya dan memenuhi seluruh catatannya dengan tulisan.

“Kamu nggak capek terlalu banyak menulis?” tanya seorang gadis disebelahnya. Gadis itu juga memakai seragam putih dan rok hitam seperti mahasiswa lainnya. Asia melirik ke arah halaman buku gadis disampingnya. Gadis itu menyadarinya, “Ah, aku baru mengisi beberapa kalimat saja. Kamu hebat sekali sudah menulis sampai berlembar-lembar.”

“Iya kan memang tugas hari ini adalah mencatat pidato rektor. Setelah ini akan dikumpulkan ke kakak fasilitator,” jawab Asia sambil terus mencatat.

“Tapi kan nggak perlu seserius itu. Lagipula tidak akan dinilai,” kata gadis itu lagi. Diam-diam Asia merasa gemas dengan gadis disebelahnya. Ia menengok ke arah gadis itu. Asia bisa melihat bahwa gadis itu terlihat cantik secara fisik. Memiliki tubuh yang ideal, rambutnya tergerai panjang, warna lipstik di bibirnya yang bahkan tidak terlalu menonjol bisa membuatnya semakin menarik, dan struktur wajahnya yang kecil membuatnya terlihat semakin imut.

‘Anak ini sepertinya tidak serius belajar. Terlihat banget dia dandan hari ini. Jikalau dia single, mungkin beberapa hari ke depan dia sudah bisa menggaet pria dan menjadikannya seorang pacar,’ suara hati Asia mulai berbicara. Gadis itu tampak canggung karena Asia mengamatinya dalam waktu yang lama.

“Eh, kenapa?” tanya gadis itu. Asia menyunggingkan senyumannya.

Lantas ia berucap, “Kita tidak pernah tahu apa yang terjadi di masa depan nanti. Menurutku tidak ada salahnya untuk serius. Selama keseriusan itu tidak berdampak merugikan orang lain.”

Gadis itu tertawa kecil. “Oke.. Oke.. Aku harus mencatat dengan serius sekarang. Eh, ya. Perkenalkan namaku Mayu dari jurusan psikologi. Kamu?”

Mereka saling bersalaman.

“Panggil saja aku Asia. Jurusan kita sama. Mungkin nanti kita sekelas. Karena mahasiswa dari jurusan kita hanya sedikit,” ungkapnya dengan tenang. Gadis bernama Mayu itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Kok kamu tahu jumlah mahasiswa baru di jurusan kita sedikit?”

Asia memutar matanya dengan kesal.

“Come on, tadi kan rektor sudah menjelaskan tentang hal itu.”

Mayu hanya tersenyum malu. Asia melanjutkan menulis catatannya. Tak lama kemudian, kakak-kakak fasilitator meminta catatan yang sudah ditulis oleh para mahasiswa. “Sekalian yaa, kumpulkan juga tugas menulis essay di kertas portofolio bergaris. Nanti kami yang akan mendatangi kalian satu-persatu,” ucapan kakak-kakak fasilitator membuat masing-masing mahasiswa segera mengambil kertas essay dari dalam tasnya. Sedangkan Asia sudah mempersiapkannya sebelumnya di balik buku tulisnya.

“Hee.. Tugas apa itu maksudnya?” tanya Mayu dengan wajah kebingungan. Gadis itu menoleh ke arahnya lagi.

“Tugas essay tentang empat peran penting mahasiswa dalam masyarakat. Kamu belum menulisnya sama sekali?” tanya Asia keheranan. Mayu menggelengkan kepalanya. Dengan cepat, ia segera menyobek kertas kosong di bagian tengah bukunya. Mayu menulis nama dan jurusan. Asia sendiri pun tidak habis pikir ada juga ternyata orang yang menggampangkan segala hal seperti Mayu. Entah dia lupa atau memang sengaja mengabaikan.

Mayu menoleh ke arahnya lagi, “Empat peran penting mahasiswa itu apa saja?”

Asia hampir saja menepuk jidatnya. Tetapi dia tidak tega membiarkan Mayu yang tampak kebingungan. Dia tahu bahwa apa yang dilakukan Mayu hanyalah sia-sia. ‘Bagaimana dia harus menjabarkan keempat-empatnya dalam waktu sesempit ini? Bahkan dia saja tidak tahu tentang empat peran penting mahasiswa dalam masyarakat,’ pikirnya.

“Agen perubahan atau disebut juga agent of change. Kontrol sosial atau social control. Kekuatan moral atau moral force. Yang terakhir stok besi atau iron stock,” perkataan Asia membuat Mayu langsung bersemangat untuk menyalin kata-katanya di kertas. Setelah itu, Mayu berhenti menulis lagi.

“Stok besi? Iron stock? Apa ada hubungannya dengan setrika?” tanyanya. Kening Asia langsung berkerut. Wajahnya bengong tidak terkontrol.

‘Waduh, nih anak setiap hari makan apa sih? Makan nasi kan? Nggak mungkin makan alat kosmetik.’

“Nah, hayo. Kalian yang mengobrol. Mana tugas-tugasnya?” tanya Ajeng, fasilitator yang bertanggungjawab di kelompok Asia dan Mayu. Setelah menyerahkan buku tulis dan kertas essay-nya, Asia melirik ke arah Mayu yang menunjukkan kepercayaan dirinya saat mengumpulkan tugas. Ajeng agak sedikit kaget melihat kertas essay yang Mayu kumpulkan.

“Ini kertas portofolio bergaris sudah bisa berkamuflase menjadi kertas dari buku tulis ya?” tanyanya sedikit bercanda. Mayu malah tertawa. Asia langsung berpura-pura tidak tahu. ‘Aku tidak lihat. Aku tidak lihat,’ katanya.

“Maaf, kak. Tadi saya lupa tidak membeli kertas portofolio bergaris. Jadi saya tulis di kertas itu saja. Tidak apa-apa kan, kak?” tanyanya menunjukkan wajah memelas.

Ajeng lebih terkejut lagi saat membaca isi dari kertas itu. Lantas dia tersenyum lagi seraya berkata, “Ya tidak apa-apa sih. Selagi isinya juga berbobot ya.”

Setelah itu Ajeng mengambil kertas dari mahasiswa lainnya. Asia melirik ke arah Mayu lagi. ‘What?! Dia malah tersenyum lega! Sepertinya mama benar. Persaingan antar mahasiswa disini tidak lebih kuat daripada di universitas negeri. Aku tidak tahu harus merasa senang atau malah bersedih. Tetapi hanya satu yang aku tahu, sepertinya jalan yang aku lalui akan semakin mudah.’

Asia mencentang rencana harian yang ia tulis di buku jurnalnya. Ia mencentang sembari bergumam, “Tugas menulis pidato rektor, check. Mencari tahu tentang universitas, check. Tugas essay, check.”

Setelah itu, hari kedua orientasi kampus mahasiswa baru pun dimulai. Mereka harus bermalam di Mojokerto. Mobil truk untuk mengangkut para mahasiswa sudah terparkir di depan kampus. Asia menyeret tas koper miliknya hingga sampai di bagian belakang mobil truk.

Terlihat Ajeng dan kedua kakak fasilitator yang lain membantu para mahasiswa baru naik ke dalam truk dan membantu mengangkat tas mereka. Tangan Ajeng terhenti saat Asia menyerahkan tas kopernya. “Seriusan, dek. Kamu bawa koper sebesar itu? Yang lainnya cuma bawa tas ransel loh. Ada juga beberapa dari mereka yang membawa tas travel bag. Kita hanya menginap semalaman saja loh, ” tuturnya. Asia menurunkan koper yang sebelumnya sudah diangkatnya ke atas.

“Oh jadi begitu, kak. Padahal barang-barang yang saya bawa juga berkaitan dengan kegiatan saya disana loh kak. Kalau begitu biarkan saya pulang dulu untuk mengganti tasnya,” mendengar perkataan Asia membuat Ajeng berpikir ulang.

“Eh, eh.. Tidak usah. Nanti kita akan semakin terlambat lagi. Mana kopermu? Sini aku bantu angkat ke atas.”

Kemudian Asia pun tersenyum lebar. Dia mengangkat tas kopernya hingga beralih di tangan Ajeng seraya berkata, “Terima kasih, kak. Saya juga tahu kalau waktu itu sangatlah penting dan perubahan waktu yang menyebabkan perubahan rencana tidak dapat ditolerir.”

Setelah meletakkan koper di dalam truk, Ajeng mengulurkan tangannya agar Asia bisa naik ke dalam truk dengan mudah. Asia pun berhasil naik ke dalam truk dengan bantuan Ajeng.

“Kata-katamu keren juga,” ucap Ajeng sebelum beralih membantu mahasiswa lainnya.

Asia bisa melihat para mahasiswa yang sudah duduk di atas terpal dan saling berhimpitan. Setelah duduk, Asia mengeluarkan pulpen dan membuka buku jurnal yang berada di dalam tas selempangnya. Dia mencentang kembali apa yang sudah dilakukannya sebelumnya.

“Wah, Asia! Kita bertemu lagi!” Asia terkejut saat melihat Mayu sudah berada disampingnya. Asia hanya tersenyum singkat padanya. “Kamu menulis apa?” tanyanya lagi.

“Oh, ini,” Asia menunjukkan buku jurnal hariannya. Lalu dia melanjutkan pembicaraannya lagi, “Ini itu jurnal harian yang berisi planner harian, curahan hatiku, dan nomor kontak orang-orang terdekatku. Dengan buku ini, segalanya akan tertata lebih mudah. Hidup juga semakin terarah.”

“Wah, berarti buku itu seperti diari ya?” tanya Mayu dengan mata berbinar-binar.

“Eh, ya beda dong! Diari itu berisi tulisan curahan hati harian seperti syair atau puisi yang menye-menye. Sedangkan bagiku jurnal harian itu lebih seperti peta. Tanpa dia, hari-hariku bisa menjadi lebih hambar dan tersesat tanpanya.”

Mulut Mayu seperti membentuk huruf ‘O' seolah-olah ia sudah memahami apa yang dikatakan oleh teman satu jurusannya itu. Lantas ia bertanya lagi, “Eh, kamu masuk kelompok apa? Kalau aku berada di kelompok Immanuel Kant.”

Asia tercekat. Dia tidak menyangka bahwa harus satu kelompok lagi dengan bocah kosong disampingnya itu.

“Eh, ya.. Kita satu kelompok lagi,” katanya canggung. Mayu semakin bersemangat mendengarnya. Lalu dia menyebutkan nama-nama anggota kelompoknya.

“Hey, kudengar kamu menyebut namaku nih,” terdengar suara cowok yang tidak asing di telinga Asia. Gadis itu melihat seornag cowok yang baru saja duduk berhadapan dengannya. Asia mengamatinya dalam sesaat, tetapi ia merasa tidak mengenali cowok itu sama sekali.

“Aku juga merasa disebut,” kata seorang gadis yang duduk di sebelah cowok itu.

“Oh iya. Asia, kenalin dia Aria dan yang cewek itu namanya Marella. Hey, kalian! Kita satu kelompok dengan Asia juga! Dia ini anaknya rajin menulis loh,” Mayu memperkenalkan Asia dan teman-teman satu kelompoknya. Mereka bersalaman dan saling memperkenalkan diri kembali.

“Hey, Aria. Ngapain sih kita harus bertukar tas ransel. Berat nih!” datang lagi seorang cowok yang mengenali Aria. Dia pun segera duduk di sebelah Aria dan menukar tasnya kembali. Aria tertawa cekikikan.

“Nah, kalau yang ini namanya Satria. Namanya seperti nama prajurit ya? Hahaaa..,” perkataan Mayu diiringi tawa dari teman-teman satu kelompoknya. Satria menggembungkan pipinya.

“Lah memang namaku Satria Wicaksono. Artinya prajurit atau kesatria yang berani, kuat, dan mulia,” ucapnya sambil tersenyum lebar.

“Baiklah. Tuan muda yang pemberani, yang kuat, dan sangat mulia,” Satria melirik Aria dengan perasaan tidak enak. “Kita tukar tas ransel kita lagi yuk.”

“Hii.. Ogah!” seru Satria memalingkan wajahnya.

“Lah, katanya kesatria yang kuat?” pancing Aria lagi. Satria menghela nafas dengan berat.

“Kali ini saja ya! Awas kamu bawa barang berat lagi. Lama-lama punggungku bisa bongkok ini.”

Aria tertawa lagi sambil menepuk-nepuk punggung temannya itu. Asia menoleh ke arah Mayu seraya menunjuk ke arah Satria, “Dia juga kelompok kita?”

Mayu menganggukkan kepala.

“Yap! Satria juga berada di kelompok Immanuel Kant. Kuharap kita semua bisa kompak ya!”

Asia tersenyum lagi sembari menganggukkan kepalanya. Dia kembali mencentang tulisan di jurnal hariannya, ‘Bertemu dengan semua anggota kelompok Immanuel Kant'.

***

“Nah, selamat untuk kalian yang sudah menjadi seorang mahasiswa,” ketua Himapsi menyambut hangat kedatangan para mahasiswa yang sudah berbaris rapi di depan villa. “Ada yang tahu kenapa kalian disebut sebagai mahasiswa?”

Asia langsung mengangkat tangannya dengan percaya diri. Namun ternyata si ketua menunjuk seseorang yang berada di barisan paling depan. Asia berusaha melihat siapa cowok yang juga ikut mengangkat tangannya. Melihat Aria yang mengangkat tangannya, diam-diam membuat Asia berharap besar padanya. Bagaimanapun juga Aria berada dalam kelompok yang sama dengannya.

“Kita disebut sebagai mahasiswa ya karena menandakan kita sudah lulus dari pendidikan dasar, menengah, dan atas,” perkataan itu membuat Asia kembali memutar matanya dengan kesal.

‘Kukira dia bisa menjawabnya dengan serius. Tetapi dia sama saja, sebelas-dua belas seperti Mayu. Apa semua mahasiswa disini terlalu menyepelekan kuliah mereka?’ Asia melipat tangannya di depan dada dan kaki kanannya dihentak-hentakkannya dengan kesal.

Ketua Himapsi tertawa kecil seraya berkata, “Ya bisa dibilang begitu sih. Tanpa pendidikan sebelumnya, kalian tidak akan berada disini sekarang sebagai seorang mahasiswa. Ada lagi yang tahu kenapa kalian disebut sebagai mahasiswa?”

Dengan cepat Asia mengangkat tangannya. Ketua Himapsi mempersilakan dia untuk berbicara.

“Secara teori, 'maha' berarti lebih dan 'siswa' berarti pelajar. Berarti mahasiswa adalah pelajar yang paling tinggi kedudukannya dibanding tingkat pelajar yang lain,” kata Asia bersemangat. Ketua himpunan itu tersenyum lagi.

“Ya, benar. Dari sudut pandang yang lain menjelaskan bahwa mahasiswa itu memang pelajar yang paling tinggi tingkat kedudukannya daripada tingkat dasar, sekolah, maupun menengah. Kalian hebat sekali. Mahasiswa yang pertama berpendapat dengan kalimat yang ringan. Sedangkan mahasiswi yang kedua berpendapat dengan teori.”

Asia tersenyum penuh kemenangan. ‘Setidaknya aku lebih unggul berpendapat dengan teori,’ pikirnya senang. Tiba-tiba saja Aria mengangkat tangannya lagi seraya berkata, “Mahasiswa itu… bukan cuma orang yang duduk di kelas sambil nyatet teori. Tapi orang yang lagi belajar hidup, menggunakan rasa, memakai logika, dan terkadang juga pakai nekat. Kita tuh kayak benih, kak. Mau tumbuh jadi apa, tergantung seberapa berani kita keluar dari pot yang nyaman.”

Asia merasa tersinggung karena ia merasa realita hidupnya jauh lebih berat dan penuh tekanan, apalagi dari keluarganya. Sedangkan Aria dengan santainya menyepelekan persoalan teori. Seakan-akan pernyataan itu sengaja ditujukan kepadanya.

Kemudian Asia sengaja tertawa terbahak-bahak. Semua orang melihatnya dengan heran. Asia berkata dengan tatapan sinisnya, “Lucu juga ya, Aria bisa berbicara soal ‘keluar dari pot yang nyaman’ seolah-olah hidup ini hanyalah eksperimen tanaman. Kamu pikir semua orang seberuntung kamu yang bisa seenaknya berbicara apa saja?”

Asia pikir cowok yang disebut namanya itu merasa tersinggung juga dengan ucapannya. Tetapi apa yang dia lihat adalah senyuman lebar yang mengukir di bibir Aria.

“Wah wah wah.. Ada yang panas nih, wahai mahasiswa diktat,” perkataan Aria malah berbalik membuat gadis itu mulai menahan amarah.

“Ma.. Mahasiswa diktat?” tanyanya sembari memiringkan senyum. Tangannya sudah mulai bergetar. Dia tidak peduli lagi dengan banyak pasang mata yang kini melihat mereka berdua seolah-olah sedang menonton hiburan layar tancap.

Aria tersenyum lagi, “Iya. Mahasiswa diktat. Mahasiswa penuh teori dan ketat. Tidak pernah nekat karena selalu kaku, chuaks!”

Aria malah melakukan gerakan ala velocity yang membuat banyak orang tertawa. Ketua Himapsi mencoba membuat suasana tenang kembali.

“Harap tenang semuanya. Ini kita sudah mahasiswa loh. Nggak perlu saling ribut dan bersorak seperti adu ayam. Ayo, bisa dikondisikan kembali barisannya?”

Para fasilitator meminta masing-masing dari kelompok mahasiswa baru untuk tenang kembali. Setelah suasana mulai tenang, ketua bertanya lagi, “Siapa nama mereka berdua tadi?”

“Aria dan Asia, kak,” jawab Ajeng selalu fasilitator mereka. Ketua Himapsi mengangguk mengerti.

“Kalian berdua terlihat sebagai mahasiswa yang kritis. Bagus sekali kalau sebagai mahasiswa pembawa agen perubahan memiliki berbagai sudut pandang yang beragam. Tetapi tidak perlu sampai berkonflik karena tidak ada pendapat dari kalian yang salah. Saya harap Aria, Asia, dan mahasiswa lainnya bisa bertumbuh setiap harinya menjadi mahasiswa yang semakin berkembang dan mengepakkan sayapnya terbang sampai ke langit sana. Kejarlah ilmu sampai ke..,”

“Negeri cina!” seru mereka secara serentak. Ketua Himapsi menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berdecak-decak.

“Kejarlah ilmu sampai ke.. bulan!” perkataan Ketua Himapsi membuat semua mahasiswa baru saling celingukan dengan kebingungan. Ketua itu berkata lagi dengan lantang, “Kalau sampai ke bulan malah lebih bagus loh! Jaraknya bisa lebih jauh daripada ke negeri cina! Saya yakin dan percaya kita bisa sampai ke bulan! Tetap semangat ya!”

Para mahasiswa bertepuk tangan sambil tersenyum bangga. Hari itu semangat mereka semakin terpacu. Setelah itu, para fasilitator menuntun para mahasiswa untuk masuk ke dalam villa secara beruntun.

Asia melihat tulisan yang tertera di kertas yang menempel di depan pintu kamar, ‘Kamar anggota perempuan (Immanuel Kant dan Albert Bandura)’. Gadis itu menarik nafas sesaat, lalu membuka gagang pintu kamar. Saat pintu kamar terbuka, Asia bisa melihat sudah ada Mayu, Marella, dan dua gadis lainnya yang masih belum pernah dikenalnya.

Melihat kehadiran Asia membuat Mayu langsung menghambur dan memeluk Asia dengan gembira. “Kyaaa... Kita sekamar loh! Aku nggak sabar melakukan girl's night bersama dengan kamu juga,” setelah itu Mayu menarik tangan Asia sanpai masuk ke dalam kamar. Dia memperkenalkan Asia dengan teman-teman barunya yang lain, “Guys, Kenalin ini Asia. Oh ya, Asia. Kenalkan cewek yang berhijab ini namanya Buna dan cewek satunya ini namanya Ditra.”

Mereka bertiga saling bersalaman satu sama lain. Asia mulai bertanya, “Kalian kelompok dari Albert Bandura?” tanyanya untuk memastikan. Keduanya mengangguk secara bersamaan.

Marella mendekati teman-teman barunya. Ia mengingatkan, “Guys, masing-masing dari kelompok harus membuat jargon dan pentas seni untuk malam keakraban nanti.”

Mayu mengacungkan jempolnya, “Good, Marella! Terima kasih sudah diingatkan.”

“Kita harus segera mandi, shalat, dan kumpul lagi satu kelompok untuk membahas apa yang akan kita tampilkan nanti malam,” kata Asia juga. Mereka semua setuju dan segera mempersiapkan handuk dan peralatan mandi.

Asia sendiri baru saja membuka kopernya sambil terus saja tersenyum saat melihat isi dari kopernya.

“Akhirnya barang-barang ini bisa berguna juga.”

***

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Da Capo al Fine
274      232     5     
Romance
Bagaimana jika kau bisa mengulang waktu? Maukah kau mengulangi kehidupanmu dari awal? Atau kau lebih memilih tetap pada akhir yang tragis? Meski itu berarti kematian orang yang kau sayangi? Da Capo al Fine = Dari awal sampai akhir
CTRL+Z : Menghapus Diri Sendiri
120      107     1     
Inspirational
Di SMA Nirwana Utama, gagal bukan sekadar nilai merah, tapi ancaman untuk dilupakan. Nawasena Adikara atau Sen dikirim ke Room Delete, kelas rahasia bagi siswa "gagal", "bermasalah", atau "tidak cocok dengan sistem" dihari pertamanya karena membuat kekacauan. Di sana, nama mereka dihapus, diganti angka. Mereka diberi waktu untuk membuktikan diri lewat sistem bernama R.E.S.E.T. Akan tetapi, ...
Air Mata Istri Kedua
151      134     0     
True Story
Menjadi istri kedua bukanlah impian atau keinginan semua wanita. Begitu juga dengan Yuli yang kini telah menikah dengan Sigit. Seorang duda yang dia kenal satu tahun lalu. Pernikahan bahagia dan harmonis kini justru menjadi bencana bagi Yuli saat dia mengetahui jika Sigit sebenarnya bukanlah seorang duda seperti yang dia katakan dulu. Pria yang diketahui bekerja sebagai seorang pelayan di seb...
I Hate My Brother
456      321     1     
Short Story
Why my parents only love my brother? Why life is so unfair??
Senja di Balik Jendela Berembun
18      18     0     
Inspirational
Senja di Balik Jendela Berembun Mentari merayap perlahan di balik awan kelabu, meninggalkan jejak jingga yang memudar di cakrawala. Hujan turun rintik-rintik sejak sore, membasahi kaca jendela kamar yang berembun. Di baliknya, Arya duduk termangu, secangkir teh chamomile di tangannya yang mulai mendingin. Usianya baru dua puluh lima, namun beban di pundaknya terasa seperti telah ...
OF THE STRANGE
1094      597     2     
Science Fiction
ALSO IN WATTPAD @ROSEGOLDFAE with better graphics & aesthetics! Comment if you want this story in Indonesian New York, 1956 A series of mysterious disappearance baffled the nation. From politicians to socialites, all disappeared and came back in three days with no recollection of what happened during their time away. Though, they all swore something attacked them. Something invisible...
Mana of love
234      166     1     
Fantasy
Sinopsis Didalam sebuah dimensi ilusi yang tersembunyi dan tidak diketahui, seorang gadis tanpa sengaja terjebak didalam sebuah permainan yang sudah diatur sejak lama. Dia harus menggantikan peran seorang anak bangsawan muda yang dikenal bodoh yang tidak bisa menguasai teknik adu pedang yang dianggap bidang unggul oleh keluarganya. Namun, alur hidup ternyata jauh lebih kompleks dari ya...
Kainga
1143      675     12     
Romance
Sama-sama menyukai anime dan berada di kelas yang sama yaitu jurusan Animasi di sekolah menengah seni rupa, membuat Ren dan enam remaja lainnya bersahabat dan saling mendukung satu sama lain. Sebelumnya mereka hanya saling berbagi kegiatan menyenangkan saja dan tidak terlalu ikut mencampuri urusan pribadi masing-masing. Semua berubah ketika akhir kelas XI mereka dipertemukan di satu tempat ma...
HURT ANGEL
167      131     0     
True Story
Hanya kisah kecil tentang sebuah pengorbanan dan pengkhianatan, bagaimana sakitnya mempertahankan di tengah gonjang-ganjing perpisahan. Bukan sebuah kisah tentang devinisi cinta itu selalu indah. Melainkan tentang mempertahankan sebuah perjalanan rumah tangga yang dihiasi rahasia.
Langkah yang Tak Diizinkan
161      137     0     
Inspirational
Katanya dunia itu luas. Tapi kenapa aku tak pernah diberi izin untuk melangkah? Sena hidup di rumah yang katanya penuh cinta, tapi nyatanya dipenuhi batas. Ia perempuan, kata ibunya, itu alasan cukup untuk dilarang bermimpi terlalu tinggi. Tapi bagaimana kalau mimpinya justru satu-satunya cara agar ia bisa bernapas? Ia tak punya uang. Tak punya restu. Tapi diam-diam, ia melangkah. Dari k...