Kelompok Immanuel Kant duduk melingkar di lantai atas yang letaknya tidak jauh dari kamar para mahasiswi. Mereka lebih memilih berdiskusi disana karena suasananya lebih tenang daripada di lantai bawah. Kelompok mahasiswa baru yang lainnya berdiskusi di lantai bawah. Namun ada juga beberapa dari mereka yang juga berada di lantai atas.
“Nah, sekarang kita akan menentukan siapa ketua kelompok kita,” Mayu mulai berbicara. Dengan penuh percaya diri, Asia hendak mengangkat tangannya untuk mengajukan diri menjadi ketua kelompok. “Bagaimana kalau Aria saja yang menjadi ketuanya?” tanya Mayu kemudian.
Asia tidak jadi mengangkat tangannya. Dia terkejut saat Mayu menunjuk seorang cowok yang sedang duduk selonjoran sambil mengorek telinganya untuk menjadi ketua kelompok mereka. Teman-teman lainnya masih menunggu reaksi Aria.
“Tunggu dulu! Kenapa kamu memilih dia?” Asia meminta penjelasan kepada Mayu. Ia tidak habis pikir kenapa Mayu lebih memilih orang yang lebih suka mencari perhatian, norak, dan tidak bisa serius sama sekali itu menjadi ketua. “Kenapa kamu nggak memilih Marella, Satria, atau bahkan dirimu sendiri?” ungkapnya lagi dengan menggebu-gebu. ‘Atau aku yang kamu pilih karena aku bisa menjadi pemimpin yang lebih baik daripada kalian semua,’ sambungnya dalam hati.
Mayu terkekeh sambil berkata, “Aria kelihatan lebih sans dan enjoy gitu. Mungkin kalau dia yang jadi ketuanya, penampilan kita bakalan lebih seru gitu.”
“Gimana menurutmu, Aria?” tanya Satria. Teman-teman yang menunggu jawaban Aria yang masih sibuk mengorek telinganya.
Aria melihat kotoran telinga yang berada di ujung jarinya. Asia bergidik saat melihatnya mengusap kotoran telinga itu di bajunya. Aria ikut menanggapi, “Yakin nih aku yang jadi ketuanya? Bukannya nggak mau nih, tapi jangan salahkan aku nanti kalau kelompok kita yang paling lemot. Aku saja belum kepikiran nanti kita bakalan menampilkan apa.”
‘Sadar diri tuh anak,’ pikir Asia. Tanpa pikir panjang, gadis itu langsung mengangkat tangannya. “Aku punya ide. Jangan khawatir. Aku sudah mempersiapkan segalanya. Semua peralatan ada di dalam tas ini,” ungkapnya. Asia menunjukkan travel bag miliknya. Dia membuka tas itu di tengah-tengah lingkaran kelompok.
Mayu dan teman lainnya dibuat takjub dengan isi di dalam tas itu. Asia mengeluarkan semua benda itu satu-persatu. Ada lima mahkota yang terbuat dari kertas Buffalo dan memiliki berbagai warna. Lalu ada ukulele. Tidak hanya itu saja, ada pernak-pernik buatan tangan yang bisa dijadikan kalung dan gelang dengan corak warna yang terang. Asia juga mengeluarkan lima sarung.
“Ini semua sudah kamu siapkan sebelumnya?” tanya Marella hampir tidak percaya. Asia mengangguk senang.
“Ya dong! Sebelumnya aku sudah melihat daftar nama kelompok kita. Lalu aku mencari tahu di browser, apa saja yang biasanya dilakukan maba saat acara masa orientasi jaman sekarang. Jadi aku menyiapkan semua bahan yang ada. Ini bisa menjadi nilai plus untuk penampilan musikalisasi puisi kita.”
Mayu langsung memeluk Asia dengan erat. “Waah, makasih banyak Asia. Ini semua sudah lebih dari cukup. Kalau begitu kamu saja yang menjadi ketua kelompok Immanuel Kant!” serunya.
“Iya, nih. Aku setuju saja. Aku rasa tidak masalah. Asia, kami mengandalkanmu ya,” tambah Satria. Marella ikut mengangguk.
“Siap!” Asia merasa lega karena pada akhirnya dia bisa menjadi ketua kelompok. Tanpa sadar, ukulele yang berada ditangannya langsung diambil alih oleh Aria. Kening gadis itu berkerut menunjukkan seberapa kesalnya dia dengan kelakuan Aria.
Sambil fokus memainkan ukulele, Aria berkata, “Ya jangan hanya mengandalkan satu orang dong. Apa gunanya berkelompok kalau yang kerja hanya satu orang.”
Asia merasa tersindir. Lantas dia membalas perkataan Aria dengan nyinyir, “Oh ya? Kata-kata seperti itu seharusnya dikatakan oleh seseorang yang bisa memberi ide dan tidak hanya asal nyablak saja.”
Aria berhenti memetik senar ukulele. Lalu dia tersenyum lebar sembari berkata, “Why so serious?”
“Iya, Asia. Jangan terlalu serius ah. Aria cuma bercanda. Tapi memang benar sih sudah seharusnya sebagai satu kelompok kita harus saling gotong royong,” ucap Mayu berusaha mencairkan suasana.
“Hawanya kerasa tegang banget yaa hahaa..,” Satria ikut menimpali dengan tawa canggung. Melihat teman-teman satu kelompoknya seperti lebih membela Aria membuat Asia seperti menjadi pemeran si antagonis.
Pandangan Asia beralih ke arah Aria yang masih tersenyum sambil memetik ukulele membuat Asia semakin kesal. ‘Ada apa dengan senyumannya itu? Kenapa dia selalu saja tersenyum dan tertawa seperti nggak ada beban. Senyumannya sama sekali tidak tulus bagiku,’ pekiknya dalam hati.
Asia terkejut ketika Aria melihat ke arahnya kembali. “Aku yang memainkan ukulele nya ya. Aku bisa kok memainkannya. Boleh ya?” ijinnya.
“Nggak bisa. Aku saja yang memainkan ukulelenya. Lagipula aku tidak yakin kalau kamu bisa bermain lebih baik dariku,” kata Asia dengan ketus. Tetapi melihat ekspresi teman-temannya yang penuh prasangka membuat Asia merasa ada yang salah dengan perkataannya. Dia pun meralat kata-katanya dengan tertawa canggung, “Maksudku.. Kamu boleh memainkannya kalau kamu suka. Biar kami yang bagian membaca puisi.”
“Oke, deh. Makasih, ibu ketua,” melihat senyuman Aria membuat gadis itu merasa jengkel yang luar biasa.
Kemudian mereka berdiskusi menulis jargon untuk penampilan nanti malam.
“Aku rasa kok jargonnya agak kurang ya?” tanya Satria saat mereka berhasil memoles jargon untuk kelompoknya.
“Kelihatan kaku?” tanya Marella. Satria mengangguk. Mayu dan Asia mencoba membacanya dengan seksama. Asia yang meneriakkan jargon sebagai pemimpin dan Mayu yang akan berperan menjadi anggota.
“Siapa kita?” teriak Asia.
Giliran Mayu yang berseru, “KANT-kreatif! KANT-kritis! KANT-tangguh!”
Asia berteriak lagi, “Kita berpikir..,”
“Maka kita melangkah!”
Lantas keduanya berseru secara bersamaan, “IMMANUEL KANT! SATU NALAR, SATU LANGKAH!”
Marella bertepuk tangan. Sementara Satria masih terlihat sedang berpikir keras.
“Menurutku sudah bagus kok,” kata Asia.
“Memang agak kaku. Tinggal kita ajah yang harus lebih kompak,” perkataan Mayu membuat Marella ikut setuju dengan pendapatnya. Satria melihat Aria sedang menulis di kertas sambil sesekali memetik ukulele.
“Nulis apaan, bro?” tanyanya. Ia langsung menyabet kertas yang berada di depan Aria. Lantas Satria membacanya sambil tersenyum. Marella dan Mayu juga ikut membacanya.
Aria tersenyum malu-malu. “Ah, itu cuma iseng. Masih lebih bagus jargon kita yang tadi,” ucapnya. Asia ikut penasaran dan membaca kertas tersebut. Satria dan kedua temannya bertepuk tangan.
“Bravo! Kita pakai jargon ini saja! Lebih menarik!”
Asia menghempaskan kertasnya di lantai. Kali ini dia kembali merasakan ketidakadilan di dalam kelompoknya. ‘Lagi-lagi Aria! Sudahlah, aku nggak berharap lebih dengan kelompok ini.’
Asia pun menyahut, “Biarkan Aria yang memimpin jargon.”
“loh tapi kan kamu ketua kelompoknya?” pertanyaan Mayu membuat Asia semakin kesal.
Tetapi dia tidak ingin menunjukkan rasa kesalnya kepada teman-teman yang baru dikenalnya. Dia mencoba berbicara sebiasa mungkin, “Tidak apa-apa. Biarkan Aria yang memimpin jargon. Aku tidak mungkin memimpin jargon dengan bahasa alay.. Maksudku yang terlalu berlebihan seperti itu. Bukan aku banget.”
***
Malam keakraban orientasi mahasiswa pun dimulai. Ada seorang dosen yang juga ikut datang untuk melihat penampilan para mahasiswa baru jurusan psikologi. Untuk tahun ini hanya ada 15 orang mahasiswa yang diterima di Fakultas Psikologi. Oleh karena itu, hanya ada 3 kelompok yang menampilkan pentas seni di malam hari ini. Selain dosen, ada juga kakak-kakak senior dari anggota Himapsi yang membimbing para mahasiswa baru serta membantu kelancaran acara tersebut.
Asia masih sibuk memilih aksesoris yang cocok dengan Marella. “Sudahlah. Aksesoris yang mana saja, Asia. Sepertinya acara sudah dimulai,” Marella mulai kebingungan saat mendengar suara tepuk tangan dari lantai bawah. Akhirnya Asia memilihkan warna aksesoris yang sesuai dengan pakaian Marella. Dipasangkannya kalung di leher gadis itu.
Asia mengamati Marella dari atas sampai bawah. “kalung, check. Sarung dililit di badan, check. Mahkota, check!”
Tiba-tiba saja Mayu masuk ke dalam kamar seraya berseru, “Hey, kalian masih belum selesai? Kelompok Albert Bandura sudah selesai. Sekarang kelompok Skinner akan tampil. Kita harus bergegas kesana sebelum penampilan kita selanjutnya!”
“Iya. Iya. Kita sudah selesai. Yuk!” ajak Asia yang pergi mendahului mereka tanpa melihat arah depan. Tanpa disangka ia malah bertabrakan dengan seorang cowok yang masih memakai sarung ala bapak-bapak ronda malam.
Asia menepuk jidatnya. “Duh, Aria! Penampilan macam apa ini?!! Kenapa kamu nggak minta tolong aku ajah sih. Sini, sini.”
“Kami tinggal dulu ya!” teriak Marella sambil menarik Mayu yang masih bengong untuk ikut bersamanya.
“Kita nanti nyusul!” teriak Asia juga. Setelah itu ia melilit sarung di pinggang Aria dan membubuhkan beberapa jarum pentul hingga menjadi model bak kerajaan. Celana panjang Aria digulung sedikit ke atas dan sisi lainnya dibiarkan memanjang.
Aria mematut diri di kaca sambil tersenyum lebar. “Ternyata kalau dandan, aku ganteng juga ya. Alisku yang tebal dan hidung yang mancung ini menjadi nilai plus buatku,” ujarnya memuji diri sendiri. Asia memutar matanya dengan kesal.
“Dimana mahkotamu?” tanya Asia. Aria hanya mengendikkan bahunya. Gadis itu menepuk jidat lagi. 'Jadi sedari tadi dia hanya ambil sarung?!!’ peliknya dalam hati.
Asia memasangkan aksesoris gelang di kaki Aria. Asia berjinjit saat hendak memasang mahkota di atas kepala cowok dengan tubuh tinggi semampai itu. Aria tertawa terbahak-bahak melihat Asia yang tidak bisa menggapai kepalanya. Namun tawanya terhenti saat melihat wajah Asia yang semakin cemberut.
Aria membungkukkan tubuhnya hingga jaraknya sangat dekat dengan wajah Asia. Keduanya saling menatap dalam sepersekian detik. Melihat senyuman dari bibir Aria membuat Asia tersadar dan segera meletakkan mahkota yang menempel dengan bando di atas kepala cowok didepannya.
“Hmm.. Sepertinya kamu lebih cocok di bidang fashion. Kenapa kamu malah masuk psikologi?” tanya Aria. Cowok itu kembali mematut diri di depan cermin.
“Sudah deh. Nggak usah banyak bicara lagi. Waktu kita semakin sempit. Dimana si Satria? Tadi dia sudah dandan kan?” tanya Asia sambil celingak-celinguk di luar kamar.
Sambil memandangi keindahan penampilannya, Aria berkata, “Tenang saja! Dia sudah keren kok!”
Tanpa aba-aba, Asia langsung menarik tangannya seraya berseru, “Hei, kamu dengar itu! Penampilan kelompok kedua sudah selesai! Sekarang giliran kelompok kita! Aduh, buruan! Bisa gila aku!”
Keduanya berlari kecil sampai turun ke lantai bawah. Sesampainya disana, keduanya ngos-ngosan.
“Hey, kenapa kalian bergandengan tangan?” Asia menyadari suara itu adalah suara Satria. Sesaat dia menyadari bahwa tangannya masih memegang tangan Aria. Dia langsung melepaskan tangan cowok itu.
“Ini namanya bukan bergandengan tangan ya, tapi aku yang menggandeng tangannya. Dan satu lagi, Satria..,” mendadak Asia tergagap kala melihat penampilan Satria saat ini. “Memang benar sih kata Aria kalau kamu sudah berdandan. Tapi nggak kayak maling juga kali, Satriaaaa..!!!!”
Aria tertawa terbahak-bahak sampai air matanya keluar. Sementara Satria malah bergaya bak model sambil memamerkan sarungnya yang dililit ala abang-abang maling.
Belum sempat Asia menyuruh Satria untuk melepaskan sarungnya, terdengar suara tepukan tangan untuk penampilan kelompok Skinner yang sudah berakhir.
“Oh, Tidak! Ini kacau! Nggak sesuai rencana! Malam ini bakalan menjadi disaster!” seru Asia sambil menjambak rambutnya. Dia mencoba berpikir jernih.
Asia berhenti berpikir ketika seseorang disampingnya ikut berbicara, “Nggak semuanya yang direncanakan akan melambung sukses. Terkadang hari yang random malah akan menjadi kenangan yang bagus. Yuk, sekarang giliran kita,” kepala Asia menengadah. Rupanya Aria mencoba untuk menenangkannya. Lagi-lagi cowok itu tersenyum padanya seraya mengulurkan tangan ke arahnya.
Asia mencoba menarik nafas panjang sambil menutup mata. ‘Semua akan baik-baik saja. Asia, kamu pemimpinnya dan kamu selalu bisa mengatasi semuanya dengan baik. Untuk kali ini saja, jadikan jadwal yang cacat ini bisa menjadi sempurna malam ini.’
Gadis itu membuka mata kembali dan menyambut uluran tangan Aria. Lantas ia juga menggandeng tangan Satria. Ketiganya segera menuju panggung. Marella dan Mayu sudah menunggu disana.
Mereka berbaris sejajar. Aria melihat ke arah Asia yang memberikan tatapan yang sama. Keduanya mengangguk secara bersamaan.
Aria memulai jargonnya dengan gaya alay andalannya, “Siapa sih yang mikir dulu baru bertindak?!”
Teman-teman satu kelompoknya membalas seruannya, “IMMANUEL KANT!”
“Kalau ditanya dosen, jawabnya apa?!” teriak Aria lagi sambil mengguncang tubuhnya kesana kemari bak orang utan.
“Menurut KANT, tergantung konteks!” jawab mereka lagi.
Aria berteriak, kali ini lebih lantang, “Kita ini kelompok apa?!”
“Kelompok paling filosofis, tapi tetep asik! K-A-N-T! Kritis, Aktif, Ngakak Terus!” mereka menjawab sambil berjoget megal-megol seperti pantat angsa.
Para penonton tertawa terbahak-bahak menonton jargon mereka. Asia tidak pernah merasa semalu ini. Tetapi entah kenapa rasanya seperti ada yang menggelitik perutnya hingga terasa geli.
Di mulailah kelompok Immanuel Kant dalam menampilkan musikalisasi puisi. Aria bersiap untuk duduk di kursi dengan memegang ukulele. Setelah teman-teman kelompoknya sudah bersiap juga, Aria mulai mengatakan judul puisi yang akan mereka tampilkan, “Musikalisasi puisi yang berjudul Detak dari Langkah Pertama.”
Aria pun memetik senar ukulele dan memainkan musik yang terdengar mengalun indah. Asia maju terlebih dahulu, “Kubuka halaman baru, kutulis namaku. Bukan di atas prestasi. Tetapi di atas keberanian untuk memulai semuanya kembali.
Giliran Satria yang maju bersebelahan dengan Asia. Keduanya saling melihat dan saling mengekspresikan diri hingga tenggelam ke dalam isi dari puisi itu.
“Langkahku jua mungkin tak lurus. Kadang miring, kadang muter dulu. Tetapi siapa bilang jikalau arah haruslah jelas?”
Keduanya saling beradu pandang sambil melanjutkan pembacaan puisinya secara bersamaan, “Kita bertemu… Di tengah ruang penuh kekacauan dan harapan. Dimana tatkala rencana bertabrakan dengan kejutan.”
Satria berusaha menunjukkan ekspresi yang luar biasa di depan para penonton. Tetapi apa yang terlihat dari ekspresi Satria hanyalah matanya saja. Karena seluruh tubuhnya ditutupi oleh sarung. Para penonton malah tertawa karena melihat penampilannya yang unik.
Giliran Marella yang muncul dengan penuh emosional, “Kami datang dengan naskah hidup yang rapi. Tapi hidup..,”
“Justru mengajarkan kami 'tuk menghapus, menulis ulang, dan tersenyum saat tinta tumpah di tengah jalan,” lanjut Mayu yang muncul dengan pembacaan puisi dengan mengeluarkan seluruh emosinya. Aria menghentikan permainan musiknya. Dia beranjak dari duduknya dan kembali berdiri sejajar dengan teman-teman kelompoknya.
Mereka berlima mengakhiri adegan dengan penuh penghayatan, “Katanya mahasiswa itu agen perubahan. Tetapi siapa sangka, perubahan pertama justru terjadi.. di dalam diri sendiri?”
Hening.
Mereka bersiap untuk melanjutkan dengan kompak dan bersemangat, “Inilah kami! Langkah pertama, detak pertama, luka pertama. Tetapi juga tawa pertama, teman pertama..,”
Asia dan Satria maju selangkah. Mereka berdua saling memandang. Asia melanjutkan kata-kata terakhirnya yang kemudian ditutup oleh Satria.
“Dan mungkin..,”
“Cinta pertama?”
Setelah itu mereka kembali memundurkan langkah dan berdiri sejajar dengan teman-teman kelompoknya. Mereka berlima saling merangkul, membungkukkan badan seraya mengucapkan terima kasih.
Terdengar suara tepuk tangan yang meriah dari bangku penonton. Kelima mahasiswa baru yang berada di dalam kelompok bernama Immanuel Kant itu saling melihat dengan senyum bahagia. Terlebih lagi Asia yang tidak menyangka bahwa mereka berhasil membawakan penampilan dengan baik. Tidak ada kesalahan. Tidak ada yang menyimpang. Semua sesuai prosedur.
***
Sepulang dari Mojokerto, Asia bergegas memeluk ibunya di rumah. Dia segera menunjukkan foto dari handphone-nya. “Ini seperti lomba, bu. Kemarin malam kami menang dan mendapatkan posisi pertama. Yaa.. Walaupun hadiahnya cuma cemilan yang dihias seperti kalung, tetapi penampilan kami sudah aku anggap sebagai kemenangan mutlak. Ibu tahu siapa ketua kelompoknya? Aku dong!” ibunya mendengarkan Asia yang terus saja bercerita tentang perjalanannya kemarin di Mojokerto hingga kejadian-kejadian kecil di villa.
“Ibu tidak menyangka bisa melihat kebahagiaanmu lagi sekarang,” ucap ibunya. Asia menggaruk-garuk kepalanya tidak mengerti.
“Aku rasa biasa saja, bu. Kegiatan itu tidak terlalu spesial bagiku,” jawabnya. Ibunya menggeleng pelan.
“Ibu bisa melihat kebahagiaan itu dari kilatan matamu yang cerah. Setelah kepergian ayahmu, ibu jarang melihatmu benar-benar merasa bahagia. Waktu sekolah pun kamu memang selalu merasa senang karena mendapatkan nilai yang bagus, tetapi matamu seakan mengatakan kalau kamu kehilangan gairah hidup. Tapi sekarang berbeda.”
Asia menghela nafas panjang. Dia pun mulai bercerita lagi, “Sungguh, bu. Sebenarnya kegiatan itu tidak terlalu spesial bagiku. Apalagi saat bertemu dengan salah satu cowok yang menyebalkan itu bisa membuatku hilang akal. Dia benar-benar tidak bisa diatur dan semaunya sendiri. Belum lagi teman-teman kelompokku juga malah lebih mendukungnya. Tetapi yaa.. Bagaimana lagi. Aku harap di masa mendatang, aku tidak berurusan dengannya lagi. Bisa hancur semua rencana dan tujuan yang ingin aku gapai karenanya.”
***
Pagi ini adalah hari pertama Asia berkuliah. Dia berlari-lari kecil menaiki tangga hingga sampailah ia di lantai 3. Dia berjalan menuju ruangan kelas yang berada di paling ujung.
Gadis itu berusaha mengatur nafasnya sampai kembali normal. Setelah itu ia membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan yang masih kosong melompong. Dia melihat arah jarum jam di dinding yang masih menunjukkan pukul setengah tujuh.
“Aku yang pertama datang dong! Yuhuuu..,” serunya kegirangan. Dia memilih kursi di bagian paling depan.
Asia membuka buku jurnal hariannya dan mulai menyusun rencana kuliah secara rinci: IPK harus sempurna, ikut organisasi Psikologi, dan menjaga nama baik di mata ibu.
Gadis itu menulis semuanya dalam buku jurnal hariannya. Dia menulis seraya bergumam, “Tidak boleh ada kesalahan. Semua harus berjalan sesuai rencana agar hidupku bisa benar kembali.”
“Selamat pagi, Asia!!!” gadis itu terkejut ketika wajah Mayu dengan rambut panjangnya yang menjuntai berada sangat dekat dengannya. Melihat Asia yang masih kaget dengan kehadirannya membuat Mayu tertawa terbahak-bahak.
“Masa gitu aja kaget sih. Hahaaa..,”
Asia memukul pelan lengan Mayu. “Kamu tiba-tiba muncul kayak setan sih. Langkah kakimu saja nggak kedengaran. Jangan-jangan kamu..,” Asia segera memeriksa kedua kaki Mayu. Ia merasa lega saat melihat kaki temannya menapak tanah.
“Asli produk manusia tahu!” seru Mayu sambil cengengesan. Lalu matanya beralih ke arah jurnal harian Asia. “Eh, buku dirimu ya? Boleh lihat dong!”
Asia segera menutup buku jurnal hariannya. Ia menunjukkan tulisan ‘RAHASIA' yang berada di halaman pertama.
“Hey, kalian sudah datang. Tadi kami bertemu di lantai bawah,” giliran Satria yang masuk ke dalam kelas yang diikuti Aria di belakangnya.
Asia merasa aneh dengan tempat dimana dia duduk. Dia memang duduk di depan sesuai rencana. Tetapi dia tidak berharap jika teman-teman yang duduk disebelahnya adalah orang-orang yang dianggapnya tidak terlalu serius dalam menjalani kuliah. Bahkan ia juga harus duduk sejajar dengan Aria. Perasaannya semakin tidak enak.
“Eh, Satria geser dong. Aku ingin duduk di sebelah Mayu,” Asia semakin terkejut melihat Marella juga duduk di barisan yang sama dengannya. Setelah kelima belas mahasiswa sudah duduk di dalam kelas, seorang dosen bertubuh kurus dan berkacamata tebal memasuki ruangan kelas.
‘Apa aku harus pindah ke tempat yang lain ya? Tapi tempat dudukku sudah strategis. Kenapa Aria, si cowok random itu bisa duduk di barisan ini juga?’
Dosen itu memperkenalkan dirinya, “Nama saya bapak Inggih. Saya dosen wali kalian. Supaya nggak ribet, kelompok kalian dibuat sampai tiga kelompok saja ya. Jadi masing-masing kelompok ada lima orang. Nah, kelompok satu dari barisan depan ini. Barisan kedua itu kelompok kedua dan seterusnya. Nggak ribet kan? Nggak dong! Cuma selama satu tahun saja kalian dengan kelompok yang sama. Tapi jangan lupa untuk membina hubungan yang baik dengan sesama kelompok yang lainnya juga ya.”
Kepala Asia berputar-putar. Ia tidak memahami sepenuhnya informasi dari pak Inggih setelah dia mendapatkan pesan yang mengatakan bahwa dia, Mayu, Marella, Satria, dan terutama Aria harus berkelompok selama satu tahun. Asia tenggelam dalam dunianya sendiri, ‘Badai apa lagi ini? Kenapa aku selalu kehilangan keberuntunganku! Tidaaaaakkkk!!!!!’
***