Loading...
Logo TinLit
Read Story - Let Me be a Star for You During the Day
MENU
About Us  

Asia masih terpaku menatap layar laptopnya. Ia tidak menyangka bahwa keberuntungan sedang tidak berada di pihaknya. Tentu saja, gadis itu selalu merasa keberuntungan tidak pernah berada disisinya. Apa yang dia harapkan tidak pernah terwujud begitu saja. Gadis itu merasa jika ia selalu harus berusaha keras untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Berbanding terbalik dengan nasib teman-temannya yang menurutnya selalu beruntung dalam segala hal.

Salah satu dari sekian banyak ketidakberuntungan yang terjadi di dalam kehidupan seorang Asia Hardjono adalah saat ia masih duduk di bangku SMA. Asia bersaing dengan salah satu temannya untuk meraih jabatan sebagai ketua OSIS. Gadis itu merasa lebih unggul dan optimis bahwa dialah yang akan terpilih karena sudah pasti jurusan IPA lebih baik daripada pesaingnya yang notabene dari kelas IPS. Namun takdir berkata lain. Asia kalah telak. Pemilihan suara terbanyak didapatkan oleh temannya itu. Ia yakin jika temannya hanya iseng saat mengikuti pemilihan ketua osis. Ia merasa bahwa temannya tidak pantas terpilih menjadi ketua OSIS karena dalam sudut pandang Asia temannya itu tidak serius dan lebih banyak bercanda saat rapat OSIS berlangsung. Asia merasa bahwa dunia tidak adil padanya.

Kini ia harus menerima kenyataan pahit bahwa untuk kesekian kalinya ia kembali gagal meraih mimpinya menjadi seorang calon mahasiswa di universitas negeri. Tidak, bukan hanya impiannya, tetapi juga impian ibunya. Sejak Asia duduk di bangku kelas sepuluh, ibunya selalu mengingatkannya untuk terus meningkatkan prestasi belajarnya agar dia bisa berpartisipasi melalui Jalur Seleksi Nasional Berbasis Prestasi (SNBP). Asia selalu menuruti perkataan ibunya. Ia tahu bahwa ibunya selalu memintanya untuk ini dan itu hanya untuk masa depannya yang cemerlang.

Sedari Asia duduk di bangku sekolah dasar, ibunya sudah mengajarinya membuat skema belajar agar kegiatannya dapat berjalan secara runtut. Apabila mereka berada di sebuah kapal yang sama, ibunya adalah nakhkoda yang selalu berusaha mengendalikan kapal agar selalu seimbang saat terapung di atas air dan Asia adalah kapal tersebut. Apabila Asia selalu terlihat berusaha keras dalam meraih keinginannya, maka ibunyalah yang lebih banyak berjuang agar Asia berhasil meraih mimpinya itu. Ibunya yang membiayai Asia untuk mengikuti bimbingan belajar di luar. Namun hal itu masih belum cukup bagi ibunya. Beliau juga memanggil guru privat untuk Asia setelah pulang dari bimbingan belajar. Ibunya juga menginisiasi ibu-ibu para siswa di sekolah Asia untuk membentuk kelompok belajar anak-anak mereka yang berprestasi.

Awalnya saat itu, Asia merasakan keberuntungan kecil sedang berada di pihaknya ketika ia membaca bahwa namanya masuk ke dalam jalur Seleksi Nasional Berbasis Prestasi (SNBP). Ibunya merancang jurusan yang harus dipilih Asia adalah jurusan kedokteran dari kedua universitas negeri yang bergengsi di Surabaya. Asia pun tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang jarang hadir di dalam hidupnya. Sambil menunggu pengumuman, dia menghabiskan waktu untuk belajar terkait materi perkuliahan kedokteran di perpustakaan. Sampai pada akhirnya pengumuman itu tiba.

“Asia, aku diterima di universitas negeri impianku!” seru Valeria, salah satu teman terdekatnya sekaligus siswa yang berprestasi di bidang olahraga. Dipeluknya Asia sambil kegirangan. Sementara Asta, teman terdekatnya yang lain juga berhasil lolos masuk ke universitas impiannya. Giliran Asia yang mencari barisan namanya sambil memicingkan matanya.

“Ketemu!” ujung jarinya mengarahkan namanya samai ke arah pojok kanan. Disana dia menemukan dua kata yang bertuliskan ‘TIDAK LOLOS’ dan membuat kepalanya tiba-tiba terasa pening. “Ini nggak mungkin! Seharusnya aku lolos! Nilai dan prestasiku juga nggak main-main!” dia berseru di depan teman-temannya. Valeria dan Asta mencoba menenangkannya dan membawanya menjauh dari kerumunan.

“Sabar, Asia. Masih ada jalur seleksi lain kok. Jalur undangan bukan satu-satunya jalan. Kamu pasti masih bisa mengejar universitas impianmu,” hibur Valeria. Gadis itu memeluk Asia yang masih tampak tegang. Sementara Asta tampak memikirkan sesuatu di dalam benaknya.

“Asia, jangan marah ya? Aku ingin mengatakan apa yang seharusnya ingin aku katakan sejak lama,” Asta mulai berbicara. “Bukankah kita sudah berkonsultasi dengan guru BK sebelumnya? Beliau kan juga menyarankan pilihan yang sebenarnya baik untukmu. Tetapi waktu itu kamu bersikukuh memilih jurusan kedokteran, di universitas bergengsi lagi.”

Asia melepaskan pelukan Valeria dan langsung berdiri tegak dengan nafas tak beraturan. Ia tampak begitu emosional.

“Jurusan kedokteran di universitas bergengsi itu pilihan dari ibuku. Pilihan terbaik untukku! Seharusnya aku bisa masuk disitu. Ini pasti ada siswa yang merebut kursi-ku. Dia pasti diterima karena menggunakan orang dalam!” tuduhnya. Kedua sahabatnya saling melihat satu sama lain. Valeria meminta Asia untuk kembali duduk disampingnya dan membantunya menarik nafas panjang agar menjadi tenang. Asta menggeleng-gelengkan kepala. “Kenapa kamu? Nggak setuju sama fakta yang aku tahu?!” tanya Asia agak tersinggung melihat lelaki yang kini melihatnya dengan tatapan heran.

“Itu bukan fakta, Asia! Itu hanya opini dan imajinasi kamu! Terimalah kenyataan yang ada. Kamu tidak lolos. Tetapi bukan berarti dunia akan berakhir. Seperti apa yang dikatakan oleh Valeria, kamu masih bisa mengejar universitas pilihanmu itu melalui jalur lain,” pernyataan Asta membuat Asia tercenung. Gadis itu berusaha menenangkan dirinya dan kembali pada akal sehatnya. Air matanya menetes, tetapi dirinya masih diam membisu. Tanpa suara. Jelas sekali kedua sahabatnya terlihat mengkhawatirkan keadaan Asia. Valeria memberikan pelukan hangat padanya. Asta menepuk bahu Asia perlahan, “Tenang saja, Asia. Apapun pilihanmu dan dimana pada akhirnya kamu berkuliah, kami berdua akan tetap mendukungmu. Walaupun kami berdua tidak berada di kampus yang sama denganmu, tetapi kami janji akan tetap berhubungan baik denganmu.”

“Jangan menyerah ya, Asia,” tambah Valeria. Ketiganya saling mengaitkan jari mereka satu sama lain. Namun janji hanyalah janji. Pinky promise yang tanpa mereka sadari akan terlupakan begitu saja di masa mendatang.

“Bagaimana hasilnya, nak?” pertanyaan ibunya kembali menyadarkannya dari lamunan. Ia melirik ke arah ibunya yang duduk di hadapannya dengan menunjukkan wajah penuh harapan. Kedua tangan Asia menjadi gemetaran. Ia tidak sanggup membuka mulutnya. Ibunya langsung bergegas melihat layar laptop milik anaknya. Huruf tebal yang bertuliskan ‘TIDAK LOLOS’ terpampang jelas di layar monitor. Ibunya terduduk lemas di lantai. Sedangkan Asia masih menatap lurus tulisan dibawahnya yang bertuliskan ‘Jangan patah semangat’. Ibunya menggelengkan kepala tidak percaya, “Ibu maklumi kamu yang tidak bisa menembus jalur undangan. Demi mempersiapkan masa depanmu yang cerah itu, ibu sampai memanggil guru privat yang merupakan lulusan dari universitas bergengsi khusus mengajarimu agar kamu bisa lolos SNBT dengan nilai cemerlang. Memang nilai kamu bagus, tapi kamu masih saja tidak bisa lolos di universitas itu. Meskipun rasa malu masih menyelimuti ibu, tetapi ibu tetap mengijinkanmu untuk mengikuti jalur seleksi mandiri demi perguruan tinggi negeri bergengsi itu. Tapi apa hasilnya sekarang?! NIHIL!”

Ibunya terus saja mengeluarkan segala uneg-unegnya. Anak gadisnya hanya diam membisu. Kedua matanya masih menatap lurus layar laptop tanpa bereaksi apapun. “Ibu sudah menjadi orang tua yang gagal. Memang semenjak ayah kamu meninggalkan kita berdua, ibu sudah menjadi orang tua yang gagal mempertahankan rumah tangga ini. Bahkan sekarang ibu gagal membesarkanmu menjadi anak yang bisa dibanggakan di depan banyak orang. Apa kata keluarga besarmu nanti? Bagaimana juga pandangan para orang tua dari teman-temanmu yang sebelumnya memandang ibu dengan hormat?! Mereka semua akan memandang rendah ibu. Memandang rendah dirimu yang gagal dan akan segera menjadi seorang pengangguran!” segala keluh kesah diteriakkan dengan nyaring di depan Asia.

“Tidak, bu. Ini bukan akhir dari segalanya,” tiba-tiba saja Asia mulai bersuara. Ibunya terpaku melihat anaknya yang meletakkan laptop di atas meja dan berdiri menghadap ibunya. Asia kembali mengulang perkataannya, “Ini bukanlah akhir dari segalanya. Aku yakin segala masalah pasti akan ada jalan keluarnya. Ada satu jalan pintas, bu.”

Asia tersenyum canggung. Kali ini dia memberanikan diri untuk mengutarakan pendapatnya. Selama ini Asia selalu menuruti dan mengikuti segala aturan dari ibunya hingga ia lupa bahwa seharusnya ia juga berhak memiliki suara untuk dirinya sendiri. Asia sangat berharap agar ibunya menyetujui pendapatnya untuk pertama kalinya. Asia mencoba mengutarakannya dengan penuh kehati-hatian, “Universitas swasta disini juga tidak begitu buruk. Bahkan disana juga ada tes seleksi. Di universitas swasta itu juga ada jurusan yang disarankan oleh guru BK kepadaku. Kata beliau, jurusan itu cocok dengan tes peminatan yang aku lakukan sebelumnya di sekolah. Ibu tidak perlu malu lagi karenaku.”

“Universitas swasta, katamu?!” tiba-tiba saja wajah ibunya semakin menjadi merah padam. Kedua matanya melotot seraya jari telunjuknya menunjuk-nunjuk pundak anaknya. Ibunya berseru, “Dengarkan ibu, kampus negeri lebih menjanjikan. Disana tersedia spektrum jurusan yang lebih luas daripada kampus swasta. Banyak siswa pintar yang tersaring di kampus negeri daripada swasta. Coba bayangkan seandainya kamu lulusan dari universitas negeri, kamu akan dipermudah dalam mencari pekerjaan. Privilage yang akan kamu dapatkan lebih besar dan masa depanmu akan terjamin. Lagipula jurusan yang disarankan oleh gurumu itu bukanlah kedokteran! Asia, kenapa logikamu semakin menyusut?! Sudahlah, terserah kamu mau ngapain. Ibu sudah merasa gagal untuk kedua kalinya.”

Asia langsung merengkuh ibunya yang baru saja hendak berbalik meninggalkannya. Ibunya mencoba melepaskan pelukan darinya, tetapi Asia terus saja mempererat pelukannya. Sembari terisak, Asia berkata, “Jika Asia diterima di kampus swasta, aku berjanji akan lebih serius belajar dan aktif berorganisasi. Akan aku tunjukkan pada semua orang kalau ibu tidak gagal membesarkanku. Aku akan berhasil disana. Aku akan lulus sarjana dengan predikat lulusan terbaik. Tunggu aku, bu. Aku akan membuktikannya kepada ibu!”

Ibunya melepaskan pelukan Asia secara perlahan. Tanpa berbalik, ibunya mengucapkan sepatah kata yang membuat hati Asia cukup teriris, “Silakan lakukan sesuai keinginanmu. Tetapi jangan harap ibu mendukung pilihanmu itu. Kalau kamu tetap bersikukuh masuk di kampus konyol itu, biarkan ayahmu itu yang membiayaimu. Ibu sudah capek melihat kelakuanmu itu.”

Dengan terpaksa, Asia membiarkan ibunya melangkah gontai menuju ke kamar. Gadis itu berusaha untuk tetap berdiri tegak di depan ibunya. Setelah ibunya masuk ke dalam kamar, barulah Asia terduduk lemas di lantai. Asia menyesali perkataannya.

‘Bagaimana bisa aku begitu berani melontarkan pendapatku di depan ibu? Padahal selama ini ibu sudah bersusah payah mendukungku. Sekarang apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus menelepon ayah yang tidak pernah menemuiku selama sepuluh tahun lamanya?’

***

 Asia masih menyimpan nomor HP ayahnya di dalam buku jurnal hariannya yang sudah lama ia simpan. Memang sudah sedari kecil, Asia memiliki kebiasaan mencatat segala hal yang menurutnya penting seperti nomor handphone kedua orang tuanya, jadwal kegiatan harian, serta rentetan segala keluh kesahnya ke dalam jurnal harian. Entah sudah berapa buku jurnal yang sudah ia pakai dan masih tertata rapi di dalam lemari bukunya. Ia menyalin nomor handphone ayahnya ke dalam buku jurnalnya yang sekarang. Saat hendak memasukkan nomor ayahnya ke dalam handphone miliknya, terdengar suara ketukan dari pintu depan. Ibunya mengintip dari balik tirai semambu dan bergegas menarik tangan Asia sampai masuk ke dalam kamar.

“Kamu tetap disini. Jangan berpikir untuk keluar kamar sampai mereka pulang. Mengerti?!” suara ibunya memang terdengar lemah lembut, tetapi kata-kata perintah darinya membuat Asia menurut seketika. ‘Ini demi kebaikanku,’ pikirnya kemudian.

Saat ibunya keluar dan mengunci pintu kamar anaknya, Asia hanya duduk di atas kasur dengan tenang. Lantas sayup-sayup terdengar suara dari dua wanita yang tidak asing olehnya.

“Apa kabar, jeng?”

“Kenapa diajeng kelihatan semakin kurus sih. Pasti terlalu banyak yang dipikirkan ya?”

“Itu suara mama Valeria dan bunda Asta,” gumam Asia dengan wajah datar.

“Eh, jeng. Bagaimana hasil seleksi tes mandiri yang diikuti oleh Asia?” tanya mama Valeria.

Bunda Asta ikut menimpali, “Kami tahu kabar Asia dari anak-anak kita. Kasihan ya Asia. Padahal kecerdasannya di atas rata-rata loh. Tapi kenapa SNBT saja Asia masih belum bisa lolos. Memangnya soal-soalnya sesulit itu ya?”

“Ya harus bagaimana lagi, jeng. Waktu itu kan Asia sedang sakit demam. Tetapi dia memaksakan diri untuk tetap ikut tes SNBT. Jadinya hasilnya tidak sesuai perkiraan,” perkataan ibunya membuatnya ingat bahwa pada hari itu dia benar-benar dalam keadaan sakit demam.

Kemungkinan besar karena Asia belajar terlalu keras setiap harinya sampai lupa makan dan minum. Belum lagi hari sebelumnya dia tetap pulang-pergi ke perpustakaan daerah dalam keadaan basah kuyup karena hujan. Pada hari-H, dia sakit demam dan memutuskan untuk tidak pergi mengikuti tes seleksi. Tetapi ibunya terus memaksanya untuk pergi. Padahal ibunya juga tahu kalau Asia sedang sakit.

“Sudah, jangan manja. Yang penting kamu sudah makan dan minum obat. Semua ini demi masa depanmu, Asia!”

Asia memang menjalani tes itu dengan langkah yang berat. Bagaimana tidak? Karena pengaruh obat, dia menjadi sangat mengantuk. Asia berusaha keras untuk tetap membuka matanya lebar-lebar. Bayangan tentang ibunya yang tersenyum bahagia membuatnya mengerjakan soal dengan sungguh-sungguh. Hingga di detik-detik mengerjakan soal terakhir, ia sudah tidak kuat lagi dan tertidur saat tes hampir berakhir.

“Tapi saya yakin, tes seleksi mandiri ini hanyalah hal kecil untuk Asia. Dia pasti akan lolos. Kapan pengumumannya?” tanya mama Valeria.

Asia mengira ibunya akan mengatakan yang sebenarnya terjadi. Tetapi ia tidak menyangka dengan jawaban dari ibunya, “Saya masih belum tahu kapan pengumumannya. Sekarang saja Asia sedang berlibur di rumah ayahnya. Mungkin nanti akan aku tanyakan padanya setelah pulang ke rumah.”

“Oh, jadi Asia sudah bertemu dengan ayahnya lagi? Syukurlah. Parenting kalian berdua itu cukup bagus loh. Jarang sekali kedua orang tua yang sudah bercerai masih bisa berhubungan baik dan memberikan perhatian yang sama dengan anaknya. Asia cukup beruntung memiliki kalian berdua,” ucap bunda Asta.

“Bagaimana bisa memberi perhatian yang sama? Saya dengar kalau ayah Asia kan sudah menikah lagi dan memiliki anak perempuan juga toh,” lontaran yang keluar dari mulut mama Valeria membuat suasana menjadi hening dalam beberapa saat. Lantas terdengar lagi suara darinya, “Eh, sudah waktunya kami pamit. Kami berdua mau mengajak anak-anaknya mengunjungi universitas baru mereka. Kami pulang dulu ya, diajeng.”

Tak lama kemudian terdengar suara-suara mereka kian menjauh. Terdengar juga suara pintu depan yang dikunci dua kali. Asia menunggu kedatangan ibunya. Tetapi beliau tidak kunjung datang. Sayup-sayup terdengar suara tangisan. Ia menempelkan telinga di pintu kamar untuk mendengar dengan jelas.

“Benar dugaanku. Ibu sedang menangis,” gumamnya. Lalu dia terduduk dan menyandarkan tubuhnya di pintu kamar. “Dulu ibu menangis karena ditinggalkan oleh ayah. Sekarang aku yang membuat ibu menangis. Aku harus lebih berusaha lagi untuk membuat segalanya kembali sempurna. Tekadku sudah bulat,” ucap Asia sambil melihat nomor handphone ayahnya yang sudah disalin sebelumnya. Kemudian dia memutuskan untuk menghubungi ayahnya tanpa pikir panjang. Teleponnya tersambung, tetapi panggilan teleponnya masih belum dijawab.

“Halo. Selamat pagi. Ini dari siapa ya?” terdengar suara pria dari seberang sana. Asia tergagap seketika. Dia tidak tahu harus berbicara apa. Rasanya ingin menangis pada saat itu juga. Sudah sekian lama mereka tidak bertemu dan kini Asia begitu merindukan suara ayahnya. “Asia?” tanya pria itu lagi. Asia terkejut saat ayahnya mengenalinya begitu saja.

Asia berusaha untuk tenang kembali. Dia menahan air matanya dan menghela nafas panjang. Kemudian dia memulai pembicaraan, “Ayah, ini aku. Asia.”

“Ya Tuhan! Asia! Akhirnya hari ini datang juga. Ayah sengaja tidak pernah mengganti nomor hape ayah agar suatu saat ayah bisa mendengar suara kamu lagi. Ayah kangen sekali sama kamu, nak.”

‘Aku juga kangen sama ayah,’ ungkap Asia yang menjerit keras dari dasar lubuk hatinya yang terdalam. Gadis itu menyelonjorkan kakinya ke depan karena kesemutan. Lalu Asia membicarakan inti dari masalah yang kini ia hadapi. Ayahnya mendengarkannya dengan seksama.

“Maaf ya, yah. Aku malah menghubungi ayah hanya untuk kepentinganku saja. Tetapi kalau ayah berat untuk membiayai kuliahku, aku tidak akan memaksa kok. Aku akan mencari jalan lain..,”

“Ada kok,” potong ayahnya. Asia menelan ludah sesaat. Ia masih bimbang apakah benar keputusannya untuk menelepon ayahnya hanya demi kepentingannya sendiri. Ayahnya melanjutkan pembicaraannya lagi, “Justru ayah sangat mendukungmu untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Sejak dulu kamu itu anak yang pantang menyerah, Asia. Selalu menemukan jalan lain jikalau berhadapan dengan jalan buntu. Ayah rasa ibumu terlalu berlebihan. Negeri maupun swasta itu sama bagusnya. Biarkan ayah yang membiayai kuliahku. Kamu belajar saja yang rajin. Tidak perlu memikirkan uang kuliah lagi. Kalau perlu kamu tinggal disini saja bersama dengan ayah.”

Deg! Entah kenapa hatinya terasa senang ketika ayahnya menawarkannya untuk tinggal bersamanya. Asia menari-nari bahagia di bawah alam sadarnya.

Namun setelah itu, dia kembali tersadarkan dengan realita bahwa kini ayahnya sudah memiliki keluarga baru. Asia sudah membayangkan betapa rumitnya jika ia harus beradaptasi di lingkungan yang baru dan harus berinteraksi dengan keluarga ayahnya. Asia juga tidak tega jikalau harus berpisah dengan ibunya dan meninggalkannya sendirian.

“Terima kasih atas tawaran ayah. Tetapi aku lebih memilih tinggal bersama dengan ibu. Bukan karena aku tidak menyayangi ayah. Aku sayang kalian berdua. Tetapi sekarang ayah sudah memiliki keluarga sendiri. Tetapi ibu hanya punya aku saja. Aku akan selalu berada di sisinya sampai kapanpun juga. Maaf ya, yah,” ucapnya dengan hati-hati. Terdengar tawa ayahnya dari seberang sana.

“Ternyata Asia sudah dewasa ya. Sudah bisa menjaga dan melindungi ibu. Baiklah. Nanti kamu kirim saja nomor rekening kamu. Ayah akan kirimkan berapapun biaya yang kamu butuhkan,” mendengar perkataan ayahnya membuat air mata Asia hampir tumpah.

Di sela-sela mempertahankan air matanya yang hampir saja menyeruak, Asia bertanya, “Sebegitu percayanya ayah padaku?”

“Tentu saja. Ayah sangat mempercayai anak ayah yang sudah dewasa ini. Kamu baik-baik ya disana. Kalau rindu, sering-seringlah telepon ayah,” ucapan ayahnya membuat Asia tidak dapat lagi membendung air matanya. Riak-riak air mata mengalir di pipinya. Bibirnya bergetar kala mengucapkan Terima kasih kepada ayahnya. Kemudian dia menutup telepon duluan.

Saat mendengar suara kunci yang diputar dari luar, Asia langsung berhenti menangis seraya mengusap bulir-bulir air matanya. Pintu kamarnya pun dibuka dari luar. Wajah ibunya tampak sembab. Begitu pula dengan wajah Asia.

“Ibu tahu tidak dibenarkan menguping pembicaraan orang. Tetapi telinga ibu begitu peka sampai mendengar percakapanmu dengan ayahmu itu,” ucapan ibu membuat Asia agak sedikit tersentak. Ia merasa telah melakukan kesalahan lagi yang membuat ibunya semakin marah. Asia mengira kalau ibunya hendak menamparnya, tetapi ternyata beliau langsung memeluknya dengan penuh kasih sayang. Ibunya mengutarakan kembali perkataannya, “Maafkan ibu karena sudah menyuruhmu meminta ayahmu untuk membiayai kuliah. Ibu hanya merasa kecewa karena usaha yang ibu lakukan untukmu terasa sia-sia. Mendengar kamu yang lebih memilih tinggal dengan ibu membuat ibu tersadar betapa pentingnya kamu di hidup ibu. Bagaimana hidup ibu kalau nggak ada kamu, sayang.”

Asia semakin yakin bahwa Tuhan akan mengirimkan jalan baru untuknya. Seperti tulisan di layar laptopnya sebelumnya yang bertuliskan ‘Jangan Patah Semangat!’ telah memberikannya keberanian untuk menjalani hidupnya yang baru. Asia terperangah saat mendengar ibunya berkata, “Ibu mendukungmu untuk menjalani tes di universitas swasta. Tetapi satu hal pesan ibu, jangan sia-sia kan kesempatan yang ibu berikan untukmu. Kamu harus menjalani hidupmu sesuai dengan jadwal yang sudah kamu tata sebelumnya. Dengan begitu, kamu tidak akan tersesat.”

Asia menganggukkan kepala dengan sungguh-sungguh. “Aku janji, bu,” jawabnya kemudian.

***

Satu minggu berlalu. Asia berlari-lari kecil menuju papan pengumuman yang kini sudah banyak kerumunan orang disana. Asia harus berdesak-desakkan dengan banyak orang hingga sampai di depan papan pengumuman. Dia menutup matanya sesaat. Menarik nafas perlahan. Lalu menbuka mata kembali dan mulai mencari namanya di jajaran nama lainnya. Tidak lama dia menemukan nama lengkapnya ‘Asia Hardjono' dan jarinya mulai bergeser hingga sampai di pojok tulisan. Asia merasa dejavu dengan situasi tersebut. Ia tidak ingin hasilnya akan sama nihilnya seperti waktu itu. Dia tidak sanggup melihat tulisan yang ditunjuknya. Kepalanya tertunduk lesu.

“Kamu lolos kok,” suara cowok disebelahnya membuatnya kembali menengadah ke arah tulisan yang ditunjuknya. Terdapat tulisan LOLOS di depan matanya. Asia tidak mampu menyembunyikan kebahagiaannya. Tanpa sadar dia berteriak keras sembari melonjak kegirangan. Dia tidak peduli dengan tatapan orang-orang saat ini. Yang terpenting baginya saat ini adalah menelepon ayah dan ibunya.

Asia menjauh dari kerumunan dan membuat panggilan video call secara bersamaan. Tak lama wajah ayah dan ibunya terpajang di layar handphone. Dia berteriak kegirangan, “Ayah! Ibu! Akhirnya aku diterima! Aku yakin tidak lama lagi aku akan menyandang gelar menjadi lulusan mahasiswa terbaik di Universitas ini!”

Asia mengangkat salah satu tangannya seraya berkata, “Saya Asia Hardjono akan selalu berusaha keras untuk menjadi mahasiswa terbaik dari yang terbaik. Semua sudah terjadwal dan.. Hey, gelar S. Psi., sudah menantikan kehadiranku loh, yah, bu. Kalian juga ikut senang kan?!”

Hari itu merupakan hari paling membahagiakan bagi seorang Asia Hardjono. Baginya, saat ini keberuntungan sedang memihaknya. Namun bagi kedua orang tuanya, Asia sudah berjuang keras untuk membangun fondasi masa depannya kelak. Rupanya kebahagiaan Asia tidak hanya dirasakan olehnya maupun kedua orang tuanya. Ada seseorang yang ikut tersenyum di belakangnya. Sejak tadi dia tertarik melihat kebahagiaan yang terpancar di mata gadis itu. Orang itu bergumam sambil tersenyum dengan masih melihat Asia yang melonjak kegirangan, “Kak, ternyata kebahagiaan itu bisa menular ya?”

***

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Da Capo al Fine
274      232     5     
Romance
Bagaimana jika kau bisa mengulang waktu? Maukah kau mengulangi kehidupanmu dari awal? Atau kau lebih memilih tetap pada akhir yang tragis? Meski itu berarti kematian orang yang kau sayangi? Da Capo al Fine = Dari awal sampai akhir
Arloji Antik
398      258     2     
Short Story
"Kalau langit bisa dikalahkan pasti aku akan ditugaskan untuk mengalahkannya" Tubuh ini hanya raga yang haus akan pengertian tentang perasaan kehidupan. Apa itu bahagia, sedih, lucu. yang aku ingat hanya dentingan jam dan malam yang gelap.
Orkanois
2635      1023     1     
Fantasy
Ini adalah kisah yang ‘gila’. Bagaimana tidak? Kisah ini bercerita tentang seorang siswa SMA bernama Maraby, atau kerap dipanggil Mar yang dengan lantang menginginkan kiamat dipercepat. Permintaannya itu terwujud dengan kehadiran Orkanois, monster bertubuh tegap, berkepala naga, dengan tinggi 3 meter, dan ia berasal dari planet Orka, planet yang membeku. Orkanois mempunyai misi berburu tubuh ...
The Unbreakable Love
41      40     0     
Inspirational
Ribuan purnama sudah terlewati dengan banyak perasaan yang lebih berwarna gelap. Dunia berwarna sangat kontras dengan pemandangan di balik kacamataku. Aneh. Satu kalimat yang lebih sering terdengar di telinga ini. Pada akhirnya seringkali lebih sering mengecat jiwa dengan warna berbeda sesuai dengan 'besok akan bertemu siapa'. Di titik tidak lagi tahu warna asli diri, apakah warna hijau atau ...
Perjalanan Tanpa Peta
52      47     1     
Inspirational
Abayomi, aktif di sosial media dengan kata-kata mutiaranya dan memiliki cukup banyak penggemar. Setelah lulus sekolah, Abayomi tak mampu menentukan pilihan hidupnya, dia kehilangan arah. Hingga sebuah event menggiurkan, berlalu lalang di sosial medianya. Abayomi tertarik dan pergi ke luar kota untuk mengikutinya. Akan tetapi, ekspektasinya tak mampu menampung realita. Ada berbagai macam k...
NADA DAN NYAWA
15377      2890     2     
Inspirational
Inspirasi dari 4 pemuda. Mereka berjuang mengejar sebuah impian. Mereka adalah Nathan, Rahman, Vanno dan Rafael. Mereka yang berbeda karakter, umur dan asal. Impian mempertemukan mereka dalam ikatan sebuah persahabatan. Mereka berusaha menundukkan dunia, karena mereka tak ingin tunduk terhadap dunia. Rintangan demi rintangan mereka akan hadapi. Menurut mereka menyerah hanya untuk orang-orang yan...
Menjadi Aku
412      323     1     
Inspirational
Masa SMA tak pernah benar-benar ramah bagi mereka yang berbeda. Ejekan adalah makanan harian. Pandangan merendahkan jadi teman akrab. Tapi dunia tak pernah tahu, di balik tawa yang dipaksakan dan diam yang panjang, ada luka yang belum sembuh. Tiga sahabat ini tak sedang mencari pujian. Mereka hanya ingin satu halmenjadi aku, tanpa takut, tanpa malu. Namun untuk berdiri sebagai diri sendi...
Langkah Pulang
360      269     7     
Inspirational
Karina terbiasa menyenangkan semua orangkecuali dirinya sendiri. Terkurung dalam ambisi keluarga dan bayang-bayang masa lalu, ia terjatuh dalam cinta yang salah dan kehilangan arah. Saat semuanya runtuh, ia memilih pergi bukan untuk lari, tapi untuk mencari. Di kota yang asing, dengan hati yang rapuh, Karina menemukan cahaya. Bukan dari orang lain, tapi dari dalam dirinya sendiri. Dan dari Tuh...
Langkah yang Tak Diizinkan
162      138     0     
Inspirational
Katanya dunia itu luas. Tapi kenapa aku tak pernah diberi izin untuk melangkah? Sena hidup di rumah yang katanya penuh cinta, tapi nyatanya dipenuhi batas. Ia perempuan, kata ibunya, itu alasan cukup untuk dilarang bermimpi terlalu tinggi. Tapi bagaimana kalau mimpinya justru satu-satunya cara agar ia bisa bernapas? Ia tak punya uang. Tak punya restu. Tapi diam-diam, ia melangkah. Dari k...
Batas Sunyi
1812      815     108     
Romance
"Hargai setiap momen bersama orang yang kita sayangi karena mati itu pasti dan kita gak tahu kapan tepatnya. Soalnya menyesal karena terlambat menyadari sesuatu berharga saat sudah enggak ada itu sangat menyakitkan." - Sabda Raka Handoko. "Tidak apa-apa kalau tidak sehebat orang lain dan menjadi manusia biasa-biasa saja. Masih hidup saja sudah sebuah achievement yang perlu dirayakan setiap har...