“Ini pembayaran terakhir dari kontrak yang kepaksa dibatalin karena kelakuanmu.” Mama menggerutu sambil menekan remote tv.
Sementara itu, aku dan Trin cuma saling melirik. Enggak perlu ditanggapi, itu aturan yang kupegang sekarang.
Mama memang masih belum terima, Mama juga sering mengungkit soal penalti yang harus dibayar karena aku membatalkan kontrak. Rasanya pengin membalas karena itu risiko dari Mama yang keras kepala. Kalau saja Mama enggak ngotot dan bisa menerima keputusanku dengan menolak kontrak baru, hal ini enggak akan terjadi.
“Capek-capek Mama bikin image kamu baik, tapi kamu malah begini. Sekarang Dafa dan Kenny yang dapetin peran itu, kamu malah enggak dapat apa-apa.” Mama masih melanjutkan gerutuannya.
Tiga hari yang lalu, Dafa mengunggah konten kalau dia jadian dengan Kenny. Entah itu beneran atau setting-an, aku enggak peduli. Aku sempat membaca komentar di video itu. Ada yang mendukung, tapi enggak sedikit juga yang curiga dengan hubungan itu. Beberapa membawa namaku, membandingkan hubungan Dafa denganku, juga Dafa dan Kenny.
Mereka juga dapetin peran di serial yang selama ini diincar Mama. Jadi, makin banyak yang berspekulasi kalau hubungan mereka cuma setting-an demi kebutuhan promosi dan konten.
Melalui Arisha, aku masih sering mendengar info terbaru soal diriku. Memang banyak yang menghujatku, salah satunya akun Karianna Godzilla yang makin menjadi-jadi dengan semua komentar jahatnya, tapi enggak sedikit juga yang memuji keberanianku.
Namun, aku menegaskan kepada diriku sendiri untuk enggak ambil pusing. Termasuk, mengabaikan si Karianna Godzilla. Siapa pun dia, enggak ada hubungannya denganku.
Mama melempar remote TV ke sofa dan beranjak dari ruang tengah. Aku mengikuti Mama menuju halaman samping yang kini makin rimbun berkat hobi baru Mama, berkebun.
“Kasih Mama waktu, nanti juga Mama capek sendiri. Kayak dulu sama gue,” seru Trin, saatn hanya tinggal aku berdua dengannya.
“Bukan capek, tapi Mama ngalihin energinya ke gue. Sekarang, enggak ada lagi tempat pengalihan,” bantahku.
Trin terkekeh. “Sekarang Mama udah punya pengalihan energi lain. Tuh, tanaman di rumah makin banyak.”
Aku ikut tertawa. Itu ide Papa, alasannya biar Mama punya kesibukan lain daripada uring-uringan terus. Jadi, Mama mulai suka berkebun. Papa sempat mengeluh karena hobi baru Mama lumayan mahal, tapi itu cuma bercanda. Papa sama sekali enggak keberatan, mungkin itu cara Papa untuk menghindari konflik berkelanjutan di rumah ini.
“So, how’s life?”
“Better, I guess,” sahutku. “Much better, karena enggak ada lagi orang-orang toksik di dekat gue.”
Selain enggak perlu lagi berurusan dengan Dafa, aku juga enggak lagi berteman dengan Ghania. Dia makin akrab dengan Sofia, dan di luar sekolah, dia masuk geng Kenny. Aku enggak tahu apakah dia masih menyukai Dafa dan gimana tanggapannya soal Dafa dan Kenny. Memang ada rasa penasaran, tapi aku segera membungkamnya.
Sekarang aku lebih nyaman berteman dengan Arisha. Kadang kami jalan berempat bareng Ansel dan Theo. Aku juga sering menemani Arisha nungguin Theo main basket, lalu pulang bareng Ansel. Aku juga semakin sering nemenin Ansel di toko sambil bikin PR.
Sekarang aku juga sering nemenin Ansel hunting foto. Momen itu dulu miliknya dan Nashila, tapi aku enggak keberatan itu menjadi momenku dan Ansel sekarang.
“Minggu depan gue ke sekolah, lihatin latihan teater. I’m watching you,” ujar Trin dengan mata menyipit.
“I’ll blow your mind,” sahutku. Akhir-akhir ini kepercayaan diriku semakin meningkat.
Soal teater, Tammy enggak lagi menunjukkan kekesalannya. Kata Arisha, dia pasti enggak menyesal sudah memberikan peran itu kepadaku, karena aku bisa membuktikan diri kalau aku mampu. Bahkan Mr. Sam juga selalu memuji perkembanganku.
Sekarang, waktu latihan semakin menipis. Enggak sampai sebulan lagi sebelum jadwal pementasan perdana. Mikirin hal itu membuat perutku selalu mules. Waktu sebulan kayaknya enggak cukup karena rasanya masih belum maksimal.
“Bulan depan gue bakal lihat latihan lagi, yang terakhir. Jangan lupa ingetin Papa soal jadwal, biar bisa ambil cuti,” ujar Trin.
Aku menjawab dengan anggukan mantap.
“Abis ini film?” tanya Trin lagi.
Aku menggeleng. “Nantilah. Sekarang mau fokus sekolah dulu.”
Ternyata kenyataan enggak semenakutkan yang aku pikir. Sekalipun aku sudah enggak terlalu aktif lagi, tapi masih ada beberapa tawaran yang diberikan kepadaku. Namun, aku terpaksa menolaknya. Menurutku itu jauh lebih baik daripada memaksakan diri.
Mama sempat melunak ketika menerima tawaran casting, tapi kembali meradang ketika aku menolak. Kata Mama, aku menyia-nyiakan kesempatan.
Mungkin, aku memang menyia-nyiakan kesempatan yang datang kepadaku. Namun aku enggak mau memaksakan diri seperti dulu lagi.
Just take it slowly. Itu prinsipku saat ini.
“Fokus sekolah dan Ansel?” ledek Trin.
Refleks aku menunduk untuk menyembunyikan wajahku yang bersemu.
Enggak ada acara penembakan yang grande seperti waktu bareng Dafa. Malah aku rasa Ansel enggak pernah benar-benar memintaku jadi pacarnya. Semua terjadi begitu saja, seolah memang sudah seharusnya begitu.
Ansel cuma bilang, “Jadi, kita pacaran?” sewaktu mengantarku pulang.
Dan, aku mengangguk.
Dia pun memutuskan kalau hari itu, status kami berubah dari sahabat jadi pacar.
“Ngomongin Ansel, mau sepedaan dulu.” Aku bangkit berdiri dan beranjak ke kamar untuk berganti pakaian.
Aku mendorong sepeda keluar dari garasi. Di depan rumah, Ansel sudah menunggu di atas sepedanya.
Enggak ada yang berubah sekalipun saat ini aku dan Ansel pacaran. Sepedaan sore-sore masih jadi salah satu rutinitas yang enggak bisa dihilangkan.
“Babe, ntar makan mie ayam depan kompleks, ya,” ujar Ansel, begitu aku tiba di depannya. Dia menyengir lebar, tampak puas dengan keisengannya.
“Babe?” balasku. Itu salah satu sikap jailnya yang selalu membuatku ingin menggetok kepalanya, tapi malah membuatnya semakin sering memanggilku babe.
Ansel terbahak. Dia memacu sepedanya, meninggalkan tawanya yang terdengar lepas itu sementara aku kesulitan mengayuh sepeda untuk mengejarnya.
THE END