Tadinya aku pikir sudah bisa hidup dengan tenang. Seminggu berlalu, dan belum ada video balasan dari Dafa. Malah sebaliknya, dia seperti sedang menahan diri. Dia juga jarang update, which is itu sesuatu yang enggak Dafa banget. Biasanya dia selalu update, sampai jadi titik-tiitk saking banyaknya, meski isinya enggak penting sama sekali.
Jadi, ketika Arisha mengirimkan link video di akun YouTube Dafa, aku terkejut. Dia enggak sendirian, melainkan bareng Ghania.
Aku memasang headset dan menonton video itu.
Dafa masih bergeming dengan cerita ngaco versi dia. Kali ini, dia menyalahkanku dan menuduhku mengada-ada.
“Key bilang cuma setting-an? Itu bohong, karena gue sayang sama Key. Lo juga tahu itu, kan, Ghe?”
Rasanya ingin muntah ketika mendengar penuturan Dafa.
Juga Ghania, yang mendukung Dafa.
“Gue juga mau lurusin soal hubungan gue dan Dafa. Sejak awal gue udah curiga sama Key, soalnya dia enggak pernah nunjukin kalau dia sayang sama Dafa. Sebagai temannya Key dan Dafa, gue mau bantu. Makanya, gue dan Dafa bikin rencana buat nyari tahu yang sebenarnya. Soal cerita gue dicium Dafa, itu bohong. Itu cuma buat bikin Key cemburu. Tapi, dia enggak cemburu sekalipun teman baiknya ciuman sama pacarnya. Now I know the reason. She likes Ansel, not Dafa. Jadi, siapa yang munafik di sini?” Ghania terdengar berapi-api, membuatku semakin ingin muntah.
“Kalau ngomongin korban, ya korbannya gue dan Ghania yang difitnah kayak gini. Terus sekarang Key deactivate akun, menghilang setelah menyakiti gue dan Ghania. Ada ya orang setega itu?”
Aku membuka headset dengan napas memburu. Ada untungnya juga Dafa dan Ghania enggak ada di sini, karena aku enggak yakin bisa menahan diri buat enggak menonjok mereka.
“Kenapa lo?” tanya Ansel, yang menghampiriku di depan kedai kopi yang terletak di seberang tokonya. Ansel mengambil kopi miliknya yang tadi ditinggalkan karena harus kembali ke toko saat ada pelanggan.
“Ghania bikin video sama Dafa. Narasinya ngaco, makin mojokin gue. But people buy it,” semburku.
Ansel menyeruput kopi smabil meliriknya. “Mau bikin video tandingan?”
Aku mendengus. “Kalau nurutin emosi, sih, mau. Tapi kalau nurutin akal sehat, buat apa? Ntar dibalas lagi. Gitu aja terus. Yang ada gue capek, Dafa senang karena stok kontennya makin banyak. Malah dia sengaja kayaknya mancing gue, biar gue bikin video tandingan. Males banget ngasih duit ke dia lewat konten enggak penting.”
Di sampingku, Ansel tertawa kecil. “Udah bener begini. Biarin aja dia drama sendiri sampai capek.”
“Enggak bakal capek. Kan hidupnya buat konten. But at least, udah enggak ada hubungan lagi sama gue.” Aku menyahut pelan.
“Nyesel udah deactivate akun?” tanya Ansel.
Aku enggak langsung menjawab, alih-alih menanyakan pertanyaan itu ke dalam hatiku. Bukan kali ini aku mendapat pertanyaan yang sama dari orang berbeda. Bahkan, aku juga mempertanyakan hal yang sama.
Seperti yang sudah-sudah, enggak ada penyesalan seditikit pun.
“Enggak. Mungkin ini ya yang namanya peaceful. Gue bisa nikmatin waktu tanpa mikir harus bikin konten apa. Gue bisa jalan ke mana tanpa mikirin OOTD. Gue bisa makan apa aja tanpa mikir makanannya cukup Instagram friendly atau enggak. Oh, gue bisa bikin PR tanpa keganggu syuting vlog.” Aku terkekeh.
“Lo bisa nemenin gue jaga toko tanpa pusing mikirin angle selfie.” Ansel ikut terkekeh.
“Enggak sesering itu juga, An,” bantahku.
Ansel tertawa dengan ekspresi geli di wajahnya. “Sering banget sampai kuping gue panas dengerin keluhan lo soal angle kiri yang kurang oke.”
“Memang iya, kan?”
Bukannya menjawab, Ansel mengambil handphone. Tangannya bergulir membuka galeri foto, hingga dia berhenti di salah satu foto. Ansel meyodorkan handphone itu ke arahku.
Di depanku, ada foto hitam putih dengan aku sebagai objek foto.
“Ini angle kiri lo.”
Foto itu memang dipotret dari angle kiri. Kalau melihat foto ini, enggak akan ada yang complain atau mengejek bentuk rahangku.
“Ini, sih, karena yang motret jago,” tukasku.
Ansel menyimpan handphone itu ke dalam saku baju seragamnya dan kembali menyeruput kopi. “Ini foto yang gue submit dan menang lomba.”
Ucapannya membuatku tertegun. Aku mengurungkan niat untuk meminum kopi, dan memilih untuk menataonya.
“Foto gue banget?”
Ansel menunduk, tapi aku bisa menangkap semu merah di wajahnya. “Ini yang paling bagus. Makanya gue submit ini. Thanks, lho. Karena foto lo, gue menang. Lo enggak ngerasa dimanfaatin, kan?”
Aku menyikut lengannya. “Ngapain bilang makasih ke gue? Itu karena lo yang berbakat di foto. Dan gue sama sekali enggak ngerasa dimanfaatin. Malah gue cukup tersanjung.”
Selama beberapa saat, suasana terdengar hening. Namun, aku enggak merasa canggung. Malah sebaliknya, aku merasa menikmati keheningan ini. Sambil menyeruput kopi, aku memainkan kakiku dan menatap nanar ke kejauhan.
This is so peaceful.
“An, soal kita…”
Aku menoleh ke arah Ansel, menunggunya menyelesaikan ucapannya. Kenapa aku malah jadi deg-degan begini?
Ansel menghela napas panjang. “Kalau lo udah selesai menata hidup lo, kasih tahu gue ya.”
“Buat apa?” timpalku.
Ansel melirikku sekilas dengan senyum dikulum. “Biar gue nyiapin diri buat nembak lo.”
“Lo mau nembak gue?”
Alih-alih menjawab, Ansel malah melirikku. Ada yang berbeda di balik tatapannya, meski aku masih menangkap kelembutan di balik tatapan itu.
“Kind of,” jawabnya.
He’s too cute.
Aku mengalihkan wajah dari Ansel, meski itu percuma karena Ansel pasti sudah menangkap wajahku yang memerah. Kalau dia lebih peka, dia pasti bisa dengerin jantungku yang berdetak sangat cepat saat ini.
“Oke,” sahutku akhirnya.
Ansel enggak berkata apa-apa lagi, tapi aku bisa menangkap senyum di wajahnya.
Senyum itu menyadarkanku kalau aku enggak bisa terima Ansel cuma jadi temanku. Mungkin aku belum bisa menatap hidupku jadi lebih baik, tapi aku sedang menuju ke sana.
Jadi, setelah satu tarikan napas, akhirnya aku angkat suara.
“Sekarang juga udah boleh, An,” ujarku.
Ada rasa lega di hatiku begitu mengutarakan keinginan terpendam itu.
Ansel melirikku. “Perlu dibikin jadi konten enggak?”
Refleks aku menyikut rusuknya, membuat Ansel mengaduh. Namun, dia langsung terbahak setelahnya.
Seperti biasa, tawa Ansel menular. Pun kali ini, karena untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku bisa ikut tertawa tanpa beban apa-apa.
This is very peaceful.