Loading...
Logo TinLit
Read Story - Sweet Seventeen
MENU
About Us  

Oleh karena kecelakaan yang menimpa ayahnya, Ansel memendam trauma terhadap mobil. Dia bisa menangis kencang kalau harus naik mobil, dan karena itulah, dia jadi suka bersepeda. Tadinya aku enggak bisa naik sepeda, tapi karena enggak mau ditinggalin Ansel waktu main sore-sore, aku minta dibeliin sepeda biar sama kayak Ansel.

Walaupun sekarang dia sudah bisa mengatasi trauma itu dan enggak masalah saat naik mobil, bersepeda masih jadi hobi yang kujalani bareng Ansel. Meski akhir-akhir ini kebiasaan itu sedikit berkurang setelah aku makin sibuk syuting vlog, dan Ansel juga mulai disibukkan dengan Heart Scent.

“Balapan lagi, ya.” Ansel menyengir lebar di depanku.

Aku membenarkan letak helm. Meski cuma bersepeda di lokasi kompleks yang aman, helm tetap penting. Ansel bisa mencak-mencak kalau aku menolak pakai helm.

“Nanti dulu. Capek.” Aku mengambil botol minum dan meneguk isinya. Padahal ini cuma sepedaan santai, tetap saja menguras tenaga.

“Lo udah lama enggak olahraga, ya?”

“Lagi nyobain Zumba sekarang.”

Ansel melirikku dengan sebelah alis terangkat, dengan ekspresi wajah skeptis saat mendengar jawabanku.

“Oke, gue ngaku. Disuruh nyokap, karena dapat endorse dari studio Zumba.”

Sesuai dugaanku, tawa Ansel pecah saat mendengar kejujuran tersebut.

“Berhubung gue suka dance, dikit-dikit bisa dance, udah terlatih juga di cheers, jadi ya gue enggak keberatan ikut Zumba.” Aku menambahkan.

“Lo enggak pernah complain, sih. Enggak kayak kelas yoga waktu itu.”

Refleks aku menyemburkan tawa. “Setahu gue yoga itu supposed to be nenangin ya, tapi kelas yoga waktu itu bikin gue mau mati.”

Salah satu cara mempertahankan eksistensi adalah dengan mengikuti apa yang sedang tren. Termasuk olahraga. Makanya, Mama juga menerima endorse dari pusat olahraga. Sebenarnya menguntungkan untukku, sih. Hitung-hitung aku bisa olahraga dengan benar. Jadi, aku mencoba banyak jenis olahraga yang sedang hits, walau frekuensinya hanya dalam hitungan jari.

Satu-satunya olahraga yang kusukai, dan kujalani dengan senang hati, ya bersepeda bareng Ansel.

“Jadi mau balap enggak?” tanya Ansel lagi.

“Hadiahnya apa?” balasku, balik bertanya.

“Kalau gue menang, lo traktir gue mie ayam depan kompleks.”

“Kalau gue yang menang?”

“Ya, gue traktir mie ayam juga. Tapi jangan kasih tahu nyokap lo.”

Aku membenarkan letak helm dan melakukan peregangan. “Deal. Finish di rumah gue, kan?”

Ansel memasang ancang-ancang untuk memulai balapan. Aku sudah dalam posisi siap ketika Ansel mulai menghitung mundur.

Sebenarnya aku sudah tahu hasilnya. Enggak mungkin bisa menang balapan dari Ansel. Yang ada, aku akan tertinggal jauh di belakang. Selama ini, Ansel selalu menyamakan kecepatan kayuhannya denganku. Hanya saat balapan aja dia mengayuh sesuai kecepatannya yang seharusnya, tapi biasanya saat sudah mendekati rumahku, Ansel mulai memperlambat kayuhannya sampai aku menyusulnya, sehingga dia enggak meninggalkanku terlalu jauh.

Kali ini pun sama. Ansel langsung memelesat sementara aku cukup kesulitan mengejarnya. Ketika memasuki jalan utama ke rumahku, aku bisa melihat Ansel mengayuh santai di depan, enggak begitu jauh dari posisiku. Entah sejak kapan dia memperlambat kayuhannya. Ketika melihatku yang berada tepat di belakangnya, Ansel kembali mempercepat kayuhan hingga dia tiba duluan di depan rumahku.

Saat sampai di depan rumah, aku melihat mobil Dafa terparkir di depan rumahku. Dia enggak memberitahukan soal kedatangannya, jadi aku enggak tahu sudah berapa lama dia menunggu. Selama bersepeda, aku memang enggak membawa handphone karena enggak pergi jauh dari rumah.

“Ada pacar lo. Gue langsung balik, ya.” Ansel bahkan enggak turun dari sepedanya, hanya berhenti dan menahan sepedanya dengan satu kaki.

“Langsung balik banget?” rajukku.

“Males gue sama cowok lo, enggak tahan dengerin omongannya.” Ansel terkekeh.

Aku menoleh ke balik punggung dan mendapati Dafa menungguku di teras. Wajahnya memerah, kayak kepiting rebus.

“Ya udah, deh. Besok lagi?”

Ansel angkat bahu. “Kalau gue enggak ke Heart Scent. Bye, An!”

Aku bergeming melepas kepergian Ansel, sampai sosoknya berbalik di tikungan yang membawanya ke jalan menuju rumahnya dan sosoknya enggak terlihat lagi.

“Kamu dari mana, Babe?” tanya Dafa.

“Sepedaan keliling kompleks bareng Ansel,” sahutku. Isn’t it obvious? Harusnya Dafa enggak perlu nanya basi basi kayak barusan.

Aku mendorong sepeda ke dalam garasi dan memarkirnya di dekat Mini Cooper milikku, sebelum berbalik menuju teras. Aku membuka helm dan melepas ikatan rambut. Pasti rambutku sudah enggak jelas bentuknya. Lepek karena keringat dan terbungkus helm selama dua jam.

“Kamu keringetan, Babe.”

Sekuat tenaga aku menahan diri untuk enggak memutar bola mata. “Ya namanya abis olahraga, wajar kali keringetan.”

Dafa melangkah mundur, sengaja menjaga jarak dariku. Dia bahkan mengernyit jijik, seakan-akan keringatku mengandung toksik berbahaya yang bisa mengancam keberadaan dirinya.

Yeah, well, Dafa memang lebay.

“Kamu sepedaan sama Ansel doang?”

“Yup,” sahutku, sambil menggelosor di lantai dan membuka sepatu. Sementara Dafa berada di sisi lain teras rumahku, dengan jarak yang lumayan jauh.

“Aku enggak suka, deh, kamu sama dia.”

Oh no, here we go again.

Ini bukan kali pertama Dafa mengutarakan hal tersebut. Sejak awal dia memang sudah terang-terangan enggak suka sama Ansel.

“Bukan urusanku juga kamu mau suka atau enggak sama dia.”

“Ya urusan aku dong. Kamu, kan, pacarku.”

Aku menoleh ke arah Dafa. “He’s my best friend.”

Dafa mendengus. “Kemarin kamu juga bareng dia, ya?”

Kalau orang pacaran normal, let’s say Arisha dan Theo, Arisha pasti akan mempertimbangkan jawaban yang akan diberikannya jika berada di posisi sepertiku. Namun, hubunganku dan Dafa jauh dari kata normal.

Jadi, aku mengangguk di hadapannya. Memangnya kenapa kalau aku sering bareng Ansel?

Statusku memang pacaran dengan Dafa, tapi kegiatan pacaran yang kulakukan hanya sebatas untuk konten. Di luar itu? Nothing.

“Ngapain, sih, bareng dia terus?”

“Karena dia temanku. Salah?”

“Dia cowok, Key!”

“Terus? Kayak kamu enggak punya teman cewek aja. Beberapa hari ini kamu sering pergi bareng Kenny, kan?”

Oke, kalau Dafa mau memerankan pasangan yang sedang berantem, I’m in.

“Itu demi konten, Babe. Aku dan Kenny cuma bikin konten bareng.”

Well, this is Dafa. Hidupnya ya demi konten, konten, dan konten.

“Ya sama aja. Intinya kamu bareng Kenny, jadi enggak punya hak buat complain kayak gini.”

“Terus, ngapain kamu post foto bareng dia segala?”

Dahiku berkerut. “Perlu dicek ulang deh yang post foto sama orang lain siapa? Aku post fotoku yang dipotret Ansel, kamu post semua kegiatan kamu dan Kenny sampai Instagram Story kamu jadi kayak titik-titik gitu.”

“Bukan kamu, sih. Tapi Arisha yang post. Pakai caption double date segala. Orang-orang bisa salah paham.” Dafa menggerutu. “Kalau kamu enggak mau dibilangin biar enggak bareng Ansel, paling enggak bilangin sama temanmu buat enggak post foto yang bisa bikin ribut kayak kemarin.”

Jujur saja, aku belum mengecek foto yang diunggah Arisha, jadi enggak tahu caption apa yang dibuatnya. Kemarin Arisha memang bercanda sedang double date, yang dijawab Ansel dengan cengiran, dan aku mengaminkan dalam hati.

“Arisha mau nulis caption apa juga urusan dia, Daf. Aku mana bisa ikut campur.”

“Ya bisa, ini kan menyangkut nama kamu.” Dafa masih menatapku dengan wajah kesal.

“Kamu keberatan karena kamu juga dibawa-bawa, kan?” tebakku.

Dafa mendengkus, tapi enggak menjawab pertanyaanku.

“Oke, narasinya aku bareng Ansel sementara kamu bareng Kenny. Jadi ada yang menebak kita udah putus?”

“Itu kamu tahu. Makanya bilangin sama temanmu.”

Di luar dugaan, aku malah tertawa. Tentu saja ini bukan krisis penting yang bisa membuatku ikut kelimpungan kayak Dafa. Lagipula, aku yakin otak Dafa sudah bekerja memikirkan konten semacam apa yang bisa dia buat untuk mematahkan gosip liar di luar sana.

“Kamu, kan, paling senang kalau ada gosip. Malah, bisa jadi banyak konten kalau ada gosip. Sekarang kamu pasti udah mikirin mau bikin konten apa, kan?” tantangku.

“Terserah kamu. Capek, ya, pacaran sama kamu.”

“Kalau capek, ya, udahan aja,” tukasku.

Dafa berjengit, tampak tidak setuju dengan pernyataanku barusan. “Kita bahkan belum first anniversary, ya, Key.”

“Terus?”

“Aku udah punya rencana buat first anniversary, jadi enggak mungkin udahan. Ya, aku aja yang harus sabar-sabar pacaran sama cewek keras kepala kayak kamu.”

Aku bangkit berdiri dan tanpa sengaja mengibaskan rambut, membuat keringatku berterbangan. Dafa refleks melompat mundur ke taman kecil di samping teras, berusaha menghindar sejauh mungkin dari keringatku. Dalam hati aku menertawakan tindakannya. Tahu begini, aku bisa sengaja mengibaskan rambut biar Dafa makin kesal.

Enak aja dia menyebutku keras kepala. Kalau saja dia berpikir seperti orang normal, enggak melulu apa pun harus jadi konten, dan menjalani hubungan ini layaknya orang normal, mungkin aku enggak akan bersikap ketus kepadanya. Aku begini ya karena Dafa juga.

Jadi, terserah dengan penilaiannya.

“Nanti aku ke Bali, ya. Udah ada rencana beberapa konten.”

“Ya, Mama udah bilang.”

“Ansel enggak ikut, kan?”

Mataku memicing menatap Dafa. Selintas ide muncul di benakku. “Katanya, sih, mau nyusul. Aku jadi kepikiran, ntar kontennya bareng Ansel juga, ya.”

Ansel pasti enggak mau, aku tahu itu. Aku mengutarakan niat itu biar Dafa kelimpungan.

Benar saja, dia langsung memasang wajah berang. Seperti ingin mengajak berantem.

“No way. Mama Nica pasti enggak setuju. Lagian, dia mau ngapain? Pasti, deh, kaku di kamera. Ntar yang ada bikin kacau.”

Aku tertawa kecil menanggapi kegusaran Dafa. Pasti setelah ini dia akan mengadu ke Mama.

“We’ll see,” sahutku, dan memasuki rumah meninggalkan Dafa yang masih mencak-mencak.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Konfigurasi Hati
436      304     4     
Inspirational
Islamia hidup dalam dunia deret angka—rapi, logis, dan selalu peringkat satu. Namun kehadiran Zaryn, siswa pindahan santai yang justru menyalip semua prestasinya membuat dunia Islamia jungkir balik. Di antara tekanan, cemburu, dan ketertarikan yang tak bisa dijelaskan, Islamia belajar bahwa hidup tak bisa diselesaikan hanya dengan logika—karena hati pun punya rumusnya sendiri.
Kainga
1125      660     12     
Romance
Sama-sama menyukai anime dan berada di kelas yang sama yaitu jurusan Animasi di sekolah menengah seni rupa, membuat Ren dan enam remaja lainnya bersahabat dan saling mendukung satu sama lain. Sebelumnya mereka hanya saling berbagi kegiatan menyenangkan saja dan tidak terlalu ikut mencampuri urusan pribadi masing-masing. Semua berubah ketika akhir kelas XI mereka dipertemukan di satu tempat ma...
KUROTAKE [SEGERA TERBIT]
5897      2092     3     
Romance
Jadi pacar ketua ekskul tapi hanya purapura Hal itu dialami oleh Chihaya Hamada Ia terpaksa jadi pacar Mamoru Azai setelah foto mereka berdua muncul di akun gosip SMA Sakura dan menimbulkan kehebohan Mamoru adalah cowok populer yang menjadi ketua klub Kurotake klub khusus bagi para otaku di SMA Sakura Setelah pertemuan kembali dengan Chihaya menjadi kacau ia membuat kesepakatan dengan Chih...
Melody untuk Galang
517      319     5     
Romance
Sebagai penyanyi muda yang baru mau naik daun, sebuah gosip negatif justru akan merugikan Galang. Bentuk-bentuk kerja sama bisa terancam batal dan agensi Galang terancam ganti rugi. Belum apa-apa sudah merugi, kan gawat! Suatu hari, Galang punya jadwal syuting di Gili Trawangan yang kemudian mempertemukannya dengan Melody Fajar. Tidak seperti perempuan lain yang meleleh dengan lirikan mata Gal...
Selfless Love
4618      1304     2     
Romance
Ajeng menyukai Aland secara diam-diam, meski dia terkenal sebagai sekretaris galak tapi nyatanya bibirnya kaku ketika bicara dengan Aland.
Andai Kita Bicara
543      440     3     
Romance
Revan selalu terlihat tenang, padahal ia tak pernah benar-benar tahu siapa dirinya. Alea selalu terlihat ceria, padahal ia terus melawan luka yang tak kasat mata. Dua jiwa yang sama-sama hilang arah, bertemu dalam keheningan yang tak banyak bicaratetapi cukup untuk saling menyentuh. Ketika luka mulai terbuka dan kenyataan tak bisa lagi disembunyikan, mereka dihadapkan pada satu pilihan: tetap ...
Bifurkasi Rasa
137      117     0     
Romance
Bifurkasi Rasa Tentang rasa yang terbagi dua Tentang luka yang pilu Tentang senyum penyembuh Dan Tentang rasa sesal yang tak akan pernah bisa mengembalikan waktu seperti sedia kala Aku tahu, menyesal tak akan pernah mengubah waktu. Namun biarlah rasa sesal ini tetap ada, agar aku bisa merasakan kehadiranmu yang telah pergi. --Nara "Kalau suatu saat ada yang bisa mencintai kamu sedal...
Unknown
255      207     0     
Romance
Demi apapun, Zigga menyesal menceritakan itu. Sekarang jadinya harus ada manusia menyebalkan yang mengetahui rahasianya itu selain dia dan Tuhan. Bahkan Zigga malas sekali menyebutkan namanya. Dia, Maga!
One Milligram's Love
1009      775     46     
Inspirational
Satu keluarga ribut mendapati Mili Gram ketahuan berpacaran dengan cowok chindo nonmuslim, Layden Giovani. Keluarga Mili menentang keras dan memaksa gadis itu untuk putus segera. Hanya saja, baik Mili maupun Layden bersikukuh mempertahankan hubungan mereka. Keduanya tak peduli dengan pandangan teman, keluarga, bahkan Tuhan masing-masing. Hingga kemudian, satu tragedi menimpa hidup mereka. Layden...
Rumah Tanpa Dede
119      79     1     
Inspirational
Kata teteh, Bapak dan Mama bertengkar karena Dede, padahal Dede cuman bilang: "Kata Bapak, kalau Bi Hesti jadi Mama kedua, biaya pengobatan Dede ditanggung Bi Hesti sampai sembuh, Mah." Esya---penyintas penyakit langka Spina Bifida hanya ingin bisa berjalan tanpa bantuan kruk, tapi ekonomi yang miskin membuat mimpi itu terasa mustahil. Saat harapan berwujud 'Bi Hesti' datang, justru ban...