Oleh karena kecelakaan yang menimpa ayahnya, Ansel memendam trauma terhadap mobil. Dia bisa menangis kencang kalau harus naik mobil, dan karena itulah, dia jadi suka bersepeda. Tadinya aku enggak bisa naik sepeda, tapi karena enggak mau ditinggalin Ansel waktu main sore-sore, aku minta dibeliin sepeda biar sama kayak Ansel.
Walaupun sekarang dia sudah bisa mengatasi trauma itu dan enggak masalah saat naik mobil, bersepeda masih jadi hobi yang kujalani bareng Ansel. Meski akhir-akhir ini kebiasaan itu sedikit berkurang setelah aku makin sibuk syuting vlog, dan Ansel juga mulai disibukkan dengan Heart Scent.
“Balapan lagi, ya.” Ansel menyengir lebar di depanku.
Aku membenarkan letak helm. Meski cuma bersepeda di lokasi kompleks yang aman, helm tetap penting. Ansel bisa mencak-mencak kalau aku menolak pakai helm.
“Nanti dulu. Capek.” Aku mengambil botol minum dan meneguk isinya. Padahal ini cuma sepedaan santai, tetap saja menguras tenaga.
“Lo udah lama enggak olahraga, ya?”
“Lagi nyobain Zumba sekarang.”
Ansel melirikku dengan sebelah alis terangkat, dengan ekspresi wajah skeptis saat mendengar jawabanku.
“Oke, gue ngaku. Disuruh nyokap, karena dapat endorse dari studio Zumba.”
Sesuai dugaanku, tawa Ansel pecah saat mendengar kejujuran tersebut.
“Berhubung gue suka dance, dikit-dikit bisa dance, udah terlatih juga di cheers, jadi ya gue enggak keberatan ikut Zumba.” Aku menambahkan.
“Lo enggak pernah complain, sih. Enggak kayak kelas yoga waktu itu.”
Refleks aku menyemburkan tawa. “Setahu gue yoga itu supposed to be nenangin ya, tapi kelas yoga waktu itu bikin gue mau mati.”
Salah satu cara mempertahankan eksistensi adalah dengan mengikuti apa yang sedang tren. Termasuk olahraga. Makanya, Mama juga menerima endorse dari pusat olahraga. Sebenarnya menguntungkan untukku, sih. Hitung-hitung aku bisa olahraga dengan benar. Jadi, aku mencoba banyak jenis olahraga yang sedang hits, walau frekuensinya hanya dalam hitungan jari.
Satu-satunya olahraga yang kusukai, dan kujalani dengan senang hati, ya bersepeda bareng Ansel.
“Jadi mau balap enggak?” tanya Ansel lagi.
“Hadiahnya apa?” balasku, balik bertanya.
“Kalau gue menang, lo traktir gue mie ayam depan kompleks.”
“Kalau gue yang menang?”
“Ya, gue traktir mie ayam juga. Tapi jangan kasih tahu nyokap lo.”
Aku membenarkan letak helm dan melakukan peregangan. “Deal. Finish di rumah gue, kan?”
Ansel memasang ancang-ancang untuk memulai balapan. Aku sudah dalam posisi siap ketika Ansel mulai menghitung mundur.
Sebenarnya aku sudah tahu hasilnya. Enggak mungkin bisa menang balapan dari Ansel. Yang ada, aku akan tertinggal jauh di belakang. Selama ini, Ansel selalu menyamakan kecepatan kayuhannya denganku. Hanya saat balapan aja dia mengayuh sesuai kecepatannya yang seharusnya, tapi biasanya saat sudah mendekati rumahku, Ansel mulai memperlambat kayuhannya sampai aku menyusulnya, sehingga dia enggak meninggalkanku terlalu jauh.
Kali ini pun sama. Ansel langsung memelesat sementara aku cukup kesulitan mengejarnya. Ketika memasuki jalan utama ke rumahku, aku bisa melihat Ansel mengayuh santai di depan, enggak begitu jauh dari posisiku. Entah sejak kapan dia memperlambat kayuhannya. Ketika melihatku yang berada tepat di belakangnya, Ansel kembali mempercepat kayuhan hingga dia tiba duluan di depan rumahku.
Saat sampai di depan rumah, aku melihat mobil Dafa terparkir di depan rumahku. Dia enggak memberitahukan soal kedatangannya, jadi aku enggak tahu sudah berapa lama dia menunggu. Selama bersepeda, aku memang enggak membawa handphone karena enggak pergi jauh dari rumah.
“Ada pacar lo. Gue langsung balik, ya.” Ansel bahkan enggak turun dari sepedanya, hanya berhenti dan menahan sepedanya dengan satu kaki.
“Langsung balik banget?” rajukku.
“Males gue sama cowok lo, enggak tahan dengerin omongannya.” Ansel terkekeh.
Aku menoleh ke balik punggung dan mendapati Dafa menungguku di teras. Wajahnya memerah, kayak kepiting rebus.
“Ya udah, deh. Besok lagi?”
Ansel angkat bahu. “Kalau gue enggak ke Heart Scent. Bye, An!”
Aku bergeming melepas kepergian Ansel, sampai sosoknya berbalik di tikungan yang membawanya ke jalan menuju rumahnya dan sosoknya enggak terlihat lagi.
“Kamu dari mana, Babe?” tanya Dafa.
“Sepedaan keliling kompleks bareng Ansel,” sahutku. Isn’t it obvious? Harusnya Dafa enggak perlu nanya basi basi kayak barusan.
Aku mendorong sepeda ke dalam garasi dan memarkirnya di dekat Mini Cooper milikku, sebelum berbalik menuju teras. Aku membuka helm dan melepas ikatan rambut. Pasti rambutku sudah enggak jelas bentuknya. Lepek karena keringat dan terbungkus helm selama dua jam.
“Kamu keringetan, Babe.”
Sekuat tenaga aku menahan diri untuk enggak memutar bola mata. “Ya namanya abis olahraga, wajar kali keringetan.”
Dafa melangkah mundur, sengaja menjaga jarak dariku. Dia bahkan mengernyit jijik, seakan-akan keringatku mengandung toksik berbahaya yang bisa mengancam keberadaan dirinya.
Yeah, well, Dafa memang lebay.
“Kamu sepedaan sama Ansel doang?”
“Yup,” sahutku, sambil menggelosor di lantai dan membuka sepatu. Sementara Dafa berada di sisi lain teras rumahku, dengan jarak yang lumayan jauh.
“Aku enggak suka, deh, kamu sama dia.”
Oh no, here we go again.
Ini bukan kali pertama Dafa mengutarakan hal tersebut. Sejak awal dia memang sudah terang-terangan enggak suka sama Ansel.
“Bukan urusanku juga kamu mau suka atau enggak sama dia.”
“Ya urusan aku dong. Kamu, kan, pacarku.”
Aku menoleh ke arah Dafa. “He’s my best friend.”
Dafa mendengus. “Kemarin kamu juga bareng dia, ya?”
Kalau orang pacaran normal, let’s say Arisha dan Theo, Arisha pasti akan mempertimbangkan jawaban yang akan diberikannya jika berada di posisi sepertiku. Namun, hubunganku dan Dafa jauh dari kata normal.
Jadi, aku mengangguk di hadapannya. Memangnya kenapa kalau aku sering bareng Ansel?
Statusku memang pacaran dengan Dafa, tapi kegiatan pacaran yang kulakukan hanya sebatas untuk konten. Di luar itu? Nothing.
“Ngapain, sih, bareng dia terus?”
“Karena dia temanku. Salah?”
“Dia cowok, Key!”
“Terus? Kayak kamu enggak punya teman cewek aja. Beberapa hari ini kamu sering pergi bareng Kenny, kan?”
Oke, kalau Dafa mau memerankan pasangan yang sedang berantem, I’m in.
“Itu demi konten, Babe. Aku dan Kenny cuma bikin konten bareng.”
Well, this is Dafa. Hidupnya ya demi konten, konten, dan konten.
“Ya sama aja. Intinya kamu bareng Kenny, jadi enggak punya hak buat complain kayak gini.”
“Terus, ngapain kamu post foto bareng dia segala?”
Dahiku berkerut. “Perlu dicek ulang deh yang post foto sama orang lain siapa? Aku post fotoku yang dipotret Ansel, kamu post semua kegiatan kamu dan Kenny sampai Instagram Story kamu jadi kayak titik-titik gitu.”
“Bukan kamu, sih. Tapi Arisha yang post. Pakai caption double date segala. Orang-orang bisa salah paham.” Dafa menggerutu. “Kalau kamu enggak mau dibilangin biar enggak bareng Ansel, paling enggak bilangin sama temanmu buat enggak post foto yang bisa bikin ribut kayak kemarin.”
Jujur saja, aku belum mengecek foto yang diunggah Arisha, jadi enggak tahu caption apa yang dibuatnya. Kemarin Arisha memang bercanda sedang double date, yang dijawab Ansel dengan cengiran, dan aku mengaminkan dalam hati.
“Arisha mau nulis caption apa juga urusan dia, Daf. Aku mana bisa ikut campur.”
“Ya bisa, ini kan menyangkut nama kamu.” Dafa masih menatapku dengan wajah kesal.
“Kamu keberatan karena kamu juga dibawa-bawa, kan?” tebakku.
Dafa mendengkus, tapi enggak menjawab pertanyaanku.
“Oke, narasinya aku bareng Ansel sementara kamu bareng Kenny. Jadi ada yang menebak kita udah putus?”
“Itu kamu tahu. Makanya bilangin sama temanmu.”
Di luar dugaan, aku malah tertawa. Tentu saja ini bukan krisis penting yang bisa membuatku ikut kelimpungan kayak Dafa. Lagipula, aku yakin otak Dafa sudah bekerja memikirkan konten semacam apa yang bisa dia buat untuk mematahkan gosip liar di luar sana.
“Kamu, kan, paling senang kalau ada gosip. Malah, bisa jadi banyak konten kalau ada gosip. Sekarang kamu pasti udah mikirin mau bikin konten apa, kan?” tantangku.
“Terserah kamu. Capek, ya, pacaran sama kamu.”
“Kalau capek, ya, udahan aja,” tukasku.
Dafa berjengit, tampak tidak setuju dengan pernyataanku barusan. “Kita bahkan belum first anniversary, ya, Key.”
“Terus?”
“Aku udah punya rencana buat first anniversary, jadi enggak mungkin udahan. Ya, aku aja yang harus sabar-sabar pacaran sama cewek keras kepala kayak kamu.”
Aku bangkit berdiri dan tanpa sengaja mengibaskan rambut, membuat keringatku berterbangan. Dafa refleks melompat mundur ke taman kecil di samping teras, berusaha menghindar sejauh mungkin dari keringatku. Dalam hati aku menertawakan tindakannya. Tahu begini, aku bisa sengaja mengibaskan rambut biar Dafa makin kesal.
Enak aja dia menyebutku keras kepala. Kalau saja dia berpikir seperti orang normal, enggak melulu apa pun harus jadi konten, dan menjalani hubungan ini layaknya orang normal, mungkin aku enggak akan bersikap ketus kepadanya. Aku begini ya karena Dafa juga.
Jadi, terserah dengan penilaiannya.
“Nanti aku ke Bali, ya. Udah ada rencana beberapa konten.”
“Ya, Mama udah bilang.”
“Ansel enggak ikut, kan?”
Mataku memicing menatap Dafa. Selintas ide muncul di benakku. “Katanya, sih, mau nyusul. Aku jadi kepikiran, ntar kontennya bareng Ansel juga, ya.”
Ansel pasti enggak mau, aku tahu itu. Aku mengutarakan niat itu biar Dafa kelimpungan.
Benar saja, dia langsung memasang wajah berang. Seperti ingin mengajak berantem.
“No way. Mama Nica pasti enggak setuju. Lagian, dia mau ngapain? Pasti, deh, kaku di kamera. Ntar yang ada bikin kacau.”
Aku tertawa kecil menanggapi kegusaran Dafa. Pasti setelah ini dia akan mengadu ke Mama.
“We’ll see,” sahutku, dan memasuki rumah meninggalkan Dafa yang masih mencak-mencak.