“Tumben cuma berdua, biasanya bertiga,” komentar Theo sambil menyengir lebar.
Aku mendapati Theo di samping toko Ansel. Ada bangku kayu di sana, dengan pohon kecil dan daun seadanya di antara kedua bangku tersebut. Di sampingnya, ada sekotak donat dan gelas plastik berisi ice latte.
Sepanjang sisa hari ini, aku hanya melihat Ghania sekilas karena tidak sekelas. Dia langsung pulang dengan alasan mau nemenin ibunya. Tadinya aku mau langsung pulang, tapi Arisha mengajakku ke toko Ansel karena janjian dengan Theo, sehingga aku memutuskan untuk ikut.
Arisha mengambil sebuah donat, sementara aku menatap donat-donat itu dengan liur yang hampir menetes.
“Ambil aja kalau mau,” tawar Theo.
Masalahnya bukan itu, tapi kalori di dalam donat yang membuatku enggan.
Tapi, godaan itu juga cukup kuat. Apalagi saat aku melihat Arisha dan Theo dengan lahap menyantapnya.
Oke, cuma satu aja. It’s not a big deal.
Akhirnya aku melawan semua pertentangan di otakku dan mengambil sebuah donat. Saat memakannya, ada rasa pemberontakan yang membuatku puas. Hanya sedikit, tapi tetap saja rasanya puas.
“Ansel mana?” tanyaku.
Theo menunjuk ke arah toko dengan dagu. “Lagi ada yang beli.”
Aku meninggalkan Arisha dan Theo, lalu beranjak memasuki toko Ansel. Enggak ada siapa-siapa di sana selain Ansel. Dia sudah mengganti seragam sekolahnya dengan kaus navy polos, tapi masih memakai celana seragam sekolah.
“An, enggak bilang mau datang,” ujarnya, di sela kesibukan menyusun lilin di rak.
“Arisha janjian sama Theo, jadi gue ikut, deh.” Aku menghabiskan gigitan donat terakhir sebelum beranjak mendekati Ansel. Di dekat kakinya ada kotak berisi lilin. “Butuh bantuan?”
Aku meletakkan tas di dekat konter kasir, lalu kembali mendekati Ansel. Aku menghidu aroma salah satu lilin, dan menangkap aroma yang asing. “Ini apa ya, An?”
Ansel menoleh ke arahku. Aku menyodorkan lilin itu ke arah hidungnya, sehingga Ansel bisa menciumnya.
“Sage,” sahutnya. “Mama lagi suka banget sama aroma sage. Rumah gue sekarang bau sage.”
“Suka, deh. Gue beli ini, ya.” Bukannya meletakkan lilin itu di rak, aku malah menyimpannya di konter kasir.
“Ambil aja kalau mau.”
“Gue beli,” tegasku. “Lo enggak mungkin terus-terusan ngasih, An. Gimana mau dapat untung kalau semua orang lo kasih gratis?”
“Enggak semuanya gue kasih gratis. Kalau Theo gue suruh beli.”
“Gue juga dong harusnya. Nyokap lo udah sering banget ngasih gratis ke gue,” protesku.
“Okay, if you insist.” Ansel akhirnya mengalah.
Aku kembali mengambil lilin lainnya. Sebelum meletakkan ke rak, aku selalu mencium aroma setiap lilin dan mencoba menebak aromanya.
“Ini segar, deh. Citrus, tapi lebih soft,” ujarku.
Ansel melirikku. “Enggak mau beli juga, kan?”
Aku tergelak. “Pengin, sih. Tapi ntar baunya nabrak sama yang itu,” sahutku sambil menunjuk lilin beraroma sage.
“Semuanya aja lo beli,” canda Ansel.
“Maunya gitu. Soalnya aromanya enak semua. Nyokap lo emang paling jago, deh,” timpalku.
“Made up your mind. Enggak mungkinlah semuanya lo borong, mau ditaroh di mana? Lagian, yang ada ntar lo malah pusing kalau nyalain semua lilin ini barengan.” Ansel mengakhiri omelannya dengan tawa.
Bagiku, momen ini sangat priceless. Dulu aku menganggap kebersamaan dengan Ansel sebagai sesuatu yang biasa. Namanya bersahabat ya memang sudah seharusnya begini. Namun sekarang aku enggak lagi taken him for granted. Aku jadi lebih menghargai setiap momen yang kulewati bersamanya.
Ansel yang mengajarkanku akan pemahaman ini. Tepatnya setelah Ansel bercerita soal penyesalannya enggak punya banyak waktu dengan ayahnya.
Bagi Ansel, itu salah satu penyesalan yang terus ditanggungnya sampai sekarang.
Berbeda denganku yang terbiasa bercerita apa saja, Ansel lebih tertutup. Dia tipe pendengar, bukan si pencerita. Di satu sisi, aku senang, karena dia pendengar yang baik. Ansel tahu cara menempatkan diri. Dia mendengarkan ceritaku sampai selesai, enggak pernah menyelak, dan memberi masukan kalau memang dibutuhkan. Dia enggak sok tahu, apalagi sok dewasa. Tapi justru itu yang membuatnya terlihat dewasa.
Sejak dulu, Ansel sudah terlihat jauh lebih dewasa. Aku rasa karena pengalaman buruk yang dialaminya, yang membuatnya kehilangan ayah di usia tujuh tahun.
Di hari ulang tahunnya yang ke-15, untuk kali pertama, Ansel menjadi si pencerita sementara aku menjadi si pendengar. Hari itu, kami bertukar peran.
Orangtua Ansel bercerai sewaktu dia kecil. Ansel dan ibunya pindah ke kompleks yang sama denganku. Aku enggak begitu kenal dengan ayahnya, karena dia tinggal di Surabaya dan hanya sesekali ke Jakarta untuk melihat Ansel. Jarak itu juga yang membuat Ansel punya memori terbatas dengan ayahnya. Hanya sekali sebulan saat ayahnya ke Jakarta dan mereka menghabiskan weekend bareng, atau saat libur sekolah, ketika Ansel ke Surabaya.
Waktu itu Ansel lagi di Surabaya dan mau balik ke Jakarta karena libur sudah selesai. Ansel dan ayahnya mutusin untuk road trip, sehingga ayahnya menyetir ke Jakarta. Ansel sedang tidur, dan sudah malam, ketika mobil yang mereka kendarai bertabrakan dengan truk. Kata polisi, ayahnya meninggal di tempat sementara Ansel dirawat cukup lama.
Pengalaman itu sangat membekas, membuat Ansel sempat takut naik mobil sehingga Tante Silvia membawanya ke psikolog untuk mengatasi trauma. Meski sudah bertahun-tahun lewat, Ansel masih menyimpan penyesalannya.
Pengalaman itu juga yang membuat Ansel selalu memperingatkanku untuk enggak terlalu ambil pusing dengan semua komentar buruk, karena menurutnya, hanya membuang tenaga dan waktu.
Time is short, so we have to make the most of it.
Itu moto hidup Ansel.
“An, gue ditawarin ikut audisi Act 8.”
Ansel mengambil lilin terakhir dari dalam kotak dan meletakkannya di atas rak. “Serius? Bagus, dong. Peran utama?”
Aku menggeleng. Tammy sudah mengirim naskah yang sementara berjudul Bandung, 10 Juni. Dia memberi highlight untuk peran Sasta, anak kedua dari keluarga Soerya, yang menjadi pusat cerita di pementasan. Bukan peran utama, tapi memegang peranan yang cukup penting.
Ansel menganggukkan kepala setelah aku bercerita soal peran Sasta. Wajahnya terlihat begitu antusias saat mendengarkanku.
“Gue bakal beli tiket kelas VIP,” serunya. “Mama dan Tante Lea pasti ikutan di VIP juga.”
“Jangan antusias dulu, belum tentu dapat.”
Ansel menggeleng. “Di The Secret ada ask, believe, and receive. Lo enggak minta, tapi ditawarin, but it’s equal. Jadi, ya harus percaya kalau lo bisa.”
Aku tergelak mendengar penuturannya. “Lo baca The Secret sekarang?”
“Punya Tante Lea,” sahutnya sambil cengengesan. “But the point is, percaya sama kekuatan positif.”
“Lo enggak kepikiran buat jadi motivator aja?”
Ansel menggeleng. “Gimana mau jadi motivator, gue juga butuh motivasi. Anyway, enggak usah ngalihin omongan. Gue yakin lo bisa, I’ll cheer for you.”
Aku menyikut lengannya. Pipiku terasa panas, pasti sekarang wajahku memerah. Ansel hanya bersikap seperti sahabat yang seharusnya, tapi sikapnya ini menghangatkan hatiku.
That’s so sweet of him.
“Kalau nanti gue dapet perannya, pas pementasan lo harus kasih gue bunga yang gede, ya.”
Ansel mengangguk dengan wajah serius. “Tenang aja, gue pesenin bunga yang spesial buat lo.”
Aku bercanda, dan Ansel tahu itu. Namun, dari caranya menanggapi candaan itu membuat hatiku tersentuh.
“Kayaknya baru kali ini, deh, gue lihat lo seantusias ini pas mau sesuatu. Belum tentu dapat, tapi lo udah semangat. Gue tahu lo senang dengan web series, tapi ini beda. Kalau soal vlog, apalagi bareng Dafa, lebih parah lagi. Lo ogah-ogahan.” Ansel berkata serius.
Aku tidak menjawab, tapi dalam hati mengiyakan kata-kata Ansel. Kayaknya memang baru kali ini aku begitu antusias ketika memutuskan sesuatu. Apalagi, aku sendiri yang memutuskannya, tanpa campur tangan Mama.
Rasanya jauh lebih puas ketimbang saat makan donat tadi.
“Good for you, tho’,” sambung Ansel.
Aku sudah membuka mulut untuk menjawab tapi urung ketika pintu dibuka dengan keras dan suara Theo yang menggelegar terdengar memekakkan.
“Pacaran mulu, jadi mau bikin tugas, enggak?”
Aku enggak berniat membantah ucapan Theo, meski dia cuma bercanda. Dulu, Theo sempat salah paham dan mengira aku pacarnya Ansel. Bahkan, setelah Ansel jadian dengan Nashila, Theo masih sering meledekku sebagai pacar Ansel.
Hanya ledekan, tapi kuamini dalam hati.
“Lo yang pacaran mulu di luar.” Ansel terkekeh, sebelum beralih ke arahku. “Pulang bareng, ya. Tapi gue bikin tugas dulu sama kunyuk satu ini.”
Aku mengangguk, lalu meninggalkan Ansel dan Theo yang mulai sibuk mengeluarkan buku pelajaran.
“Pelet lo apa, sih? Punya dua cewek, cantik-cantik lagi,” ledek Theo, yang masih sempat kudengar sebelum menutup pintu. “Kenapa lo enggak pacaran sama Key?”
Aku bergeming di pintu, berusaha untuk tidak terlihat menguping.
“She’s my best friend.”
“Best friend, my ass. Kalau gue punya sahabat kayak dia, udah gue pacarin sejak lama.”
Aku makin menajamkan pendengaran, dengan hati berdebar menunggu jawaban Ansel.
“An butuhnya sahabat, makanya gue jadi sahabat dia. Udahan ah, kerjain bagian lo. Awas jangan asal. Ntar malah gue yang repot.”
Aku menangkap nada gusar di balik jawaban Ansel, tapi justru rasa gusar yang kurasakan lebih enggak nyaman. Jadi, selama ini Ansel menganggap aku membutuhkan sahabat, dan dia menempatkan dirinya sebagai sahabat?
Bagaimana kalau Ansel tahu yang aku butuhkan bukan sahabat, melainkan pacar? Apa dia mau mutusin Nashila dan jadi pacarku?
“Key, mau jajan enggak?”
Panggilan Arisha menyentakku. Aku menutup pintu dan mengikuti Arisha menuju toko yang menjual boba milk tea. Mungkin minuman dingin bisa membuatku menghapus keinginan barusan.
Aku enggak sejahat itu, mau Ansel mutusin Nashila demi keinginanku. Lagian, apa ada jaminan kalau Ansel juga menyukaiku?