Loading...
Logo TinLit
Read Story - Arsya (Proses Refisi)
MENU
About Us  

“Dunia tak memberiku peta. Tapi Ajaibnya, dia mempertemukanku dengan satu kata yang menjadi kompas untuk jalan pulang”

__Arsya Abiseka G
________________________________________________________________________________________________
Dunia masih berputar lamban di mata Arsya. Benda-benda di depannya mengabur, bagai terlihat dari balik air keruh. Suara tawa anak-anak, derap langkah kaki, bahkan suara Kania—semua teredam, seakan ia terjebak dalam akuarium raksasa.

Kania merasakan tubuh kecil dalam pelukannya masih kaku. Arsya hanya membiarkanya dipeluk, tapi tidak membalas. Seperti patung yang bisa bernapas. “Apa aku berlebihan?”

Perlahan, dunia mulai kembali fokus. Mata Arsya berkedip berkali-kali, berusaha menjernihkan pandangan. Napasnya masih pendek-pendek, tapi jantungnya tidak lagi berpacu seperti tikus dalam perangkap.

"Sudah lebih baik?" suara Kania terdengar seperti dari ujung terowongan panjang.

Arsya mengangguk lemas. Rasa mual menggelombang di ulu hatinya. Sesuatu penting tadi hampir muncul—sekilas nomor telepon?—tapi kini tenggelam lagi ke dasar kesadarannya. Seperti koin yang tercebur ke sumur gelap.

“Aku... mau pulang,” keluhnya, suaranya parau.

“Kita pasti akan bantu kamu pulang, Sayang,” Kania membelai pipinya yang basah. Pergerakan tiba-tiba yang membuat Arsya menarik badan. “Nanti Kak Gesang datang. Dia dulu tinggal di sini. Sekarang sukses di kota. Mungkin bisa bantu cari Ayahmu.”

Arsya menatap Kania bingung “Kak Gesang siapa?”

“Donatur. Ia mengurus anak-anak seperti...” Kania tercekat, lalu tersenyum getir. “Seperti kita. Orangnya baik. Mau keluar? Biar nggak bosan di kamar.” 

Arsya menoleh ke jendela. Matahari sore mulai condong ke barat, cahayanya tidak lagi menyilaukan. Suara tawa anak-anak dari luar terdengar samar. Dunia di luar kamar sempit ini sepertinya... tidak begitu menakutkan.

“Boleh,” jawabnya menyetujui.

Kania tersenyum. “Ayo.” Ia membantu Arsya turun dari tempat tidur. Kaki Arsya masih agak lemas, tapi dia bisa berjalan.

Di koridor, seorang anak berambut kepang dua menyela. “Anak baru!” seru gadis itu. Sorot matanya berbinar. “Aku Alana, delapan tahun! Mau kuajak keliling?”

Tangannya terulur, tapi Arsya hanya mematung. Alana tak mengkerut. Senyumnya tetap merekah—hanya sesaat, ada bayang lara yang melintas di pelupuknya. “Aku dulu juga diam kayak kamu. Sekarang, panti ini sudah seperti rumah.” suara Alana terekam jelas dalam telinga Arsya. 

“Alana, dia sama seperttiku? dia juga nggak punya orang tua.” batin Arsya

“Kak Kania, boleh aku ajak dia jalan-jalan? Mungkin dia bosan dikamar terus.”

Kania menoleh ke Arsya. “Mau, Dek? Alana bisa pandu kamu.”

Arsya mengangguk. Lebih baik daripada diam di kamar sambil memikirkan nomor yang tak kunjung muncul.

“Ayo!” Alana langsung menyambar tangannya. “Panti kita luas! Ada taman tempat burung gereja suka berkumpul, dan dapur tempat Ibu Ita suka buat puding labu.”

***

Mereka berjalan menyusuri koridor dengan plafon rendah. Alana menunjuk ke kiri-kanan sambil berceloteh. Arsya mengikuti dengan langkah gontai. Suara Alana seperti radio yang volumenya terlalu kencang, tapi anehnya... menenangkan. Seperti berada di dekat orang yang tidak akan menyakitinya. 

Dalam ingatannya sepertinya baru kali ini dia bicara dengan anak seusianya. Kak Rajendra sih baik, Kak Alin Juga, tapi mereka sudah dewasa. Sedangkan Alana... dia sama-sama anak kecil. Sama-sama nggak punya orang tua.

“Itu ruang bayi. Berisik banget kalau malam!” Alana tertawa getar. “Untung kamar kita jauh. Itu ruang makan—nanti sore kita makan bareng! Menunya lumayan, cuma nasinya kadang keras.”

Arsya melirik pintu ruang bayi yang tertutup. Bayi... dia pernah punya adik bayi? Atau dia pernah melihat bayi sebelumnya, saat bersama Dokter Nata? Kepalanya mulai pusing lagi kalau dipaksa mengingat.

Alana terus melesat, sementara kaki Arsya terasa dibelenggu. Kenapa berat sekali? Seperti ada tangan tak kasat mata menahan kakinya, menariknya kembali ke kamar sempit tadi. Kamar yang sesak tapi… aman.

“Nih, ruang favoritku!” Alana mendorong pintu kayu yang catnya mengelupas seperti kulit kusta. “Ruang baca!” soraknya, matanya berbinar-binar.

Favorit. Kata itu asing. Arsya tak punya kesukaan. Segalanya netral, seperti dinding kamar. Tapi tiba-tiba ia teringat Rajendra yang tertawa membalik halaman komik. Memiliki sesuatu yang disukai ternyata menyenangkan. Alana pasti sama, buktinya dia menceritakan dengan mata berbinar. 

“Apa Alana pernah kehilangan sesuatu sepertiku?” Pikiran itu menyelinap tanpa diundang.

Ruangan itu kecil. Rak-rak buku kayu lapuk berjajar, dihiasi noda bekas jari. Meja pendek dan kursi plastik kuning teronggok di bawah jendela. Cahaya senja menyelinap masuk, menerangi debu-debu yang berterbangan seperti hantu kecil.

“Buku-bukunya sumbangan sih, jadi campur-campur. Ada bacaan ringan, ada yang berag. Tapi yang paling seru itu buku dongeng!” Alana menarik Arsya ke rak di pojok.

Di sudut ruang baca, seorang bocah berambut ikal sedang duduk bersila, buku bergambar terbentang di pangkuannya. Matanya bulat-bulat menatap halaman penuh warna seperti menatap dunia ajaib.

“Shelly!” sapa Alana riang. “Mau dibacain lagi?”

Gadis kecil itu mengangguk antusias, jari mungilnya menunjuk ke Arsya. “Mau! Tapi bukan Alana yang baca. Aku mau sama Kakak baru. Aku bosen sama suara Alana."

“Ih, jahat!” Alana tertawa, tapi tidak tersinggung. “Gimana? Mau bacain dongeng buat Shelly?” tanyanya pada Arsya.

Arsya menggeleng. “Aku nggak bisa…”

“Masa nggak bisa baca?” Alana terkejut. “Kamu kan sudah besar.”

“Bukan itu…” Arsya menunduk. “Aku nggak pernah bacakan dongeng buat orang lain.”

Shelly sudah beranjak mendekat, menyodorkan buku bergambar. “Ini dong! Aku suka yang ini!”

Arsya melirik sampul buku. ‘Timun Mas’ dengan ilustrasi gadis kecil berlari di hutan. Buku yang sudah lusuh, sudut-sudutnya terlipat.

“Aku udah tahu ceritanya,” ujar Arsya. “Kenapa dibaca lagi? Kan sudah tahu akhirnya,” protes Arsya.

“Tapi Shelly belum bisa baca sendiri,” bujuk Alana. “Lagian, kamu kan nggak ada kerjaan. Dan lihat Shelly—dia percaya kamu bisa bacain cerita itu buat dia… ya?”

Arsya menatap mata Shelly yang berbinar penuh harap. Gadis kecil itu menunggu dengan sabar, buku masih terjulur di tangannya. Ada sesuatu di mata Shelly yang mengingatkan Arsya pada dirinya sendiri—rasa ingin tahu yang besar, tapi tidak bisa melakukan apa-apa sendiri.

“... Baiklah,” Arsya akhirnya menyetujui. Ia mengambil buku itu dan duduk di kursi plastik. Shelly langsung duduk di lantai, menatap penuh perhatian.

Alana tersenyum puas, lalu duduk di kursi sebelah.

Arsya membuka halaman pertama. Suaranya gemetar sedikit. “Dahulu kala, hiduplah seorang nenek di tepi hutan…”

Suara yang keluar terdengar kaku, seperti robot. Tapi Shelly tidak peduli. Matanya berbinar menatap gambar.

Halaman kedua. Suara Arsya sedikit lebih stabil. “Nenek itu ingin sekali punya anak…”

Ada sesuatu yang aneh. Membaca keras-keras untuk orang lain... pernah dia lakukan ini sebelumnya? Kenapa hal itu menyenangkan? Kenapa rasanya familiar?

Arsya terus membaca. Cerita tentang nenek yang meminta anak pada dewi, tentang timun emas yang menjadi gadis cantik, tentang perjanjian dengan raksasa...

“Terus gimana Nenek dapet anaknya?” Shelly bertanya dengan mata bulat.

“Sabar dong,” Arsya hampir tersenyum. Hampir. “Dengar dulu.”

Halaman demi halaman berlalu. Arsya mulai terbawa cerita, suaranya lebih hidup. Shelly tertawa ketika Timun Mas mengecoh raksasa dengan biji-bijian ajaib.

“Terus gimana?” tanya Shelly penasaran.

Arsya membalik halaman. Di sana, ilustrasi Timun Mas di hutan gelap, memegang sesuatu yang bersinar.

“Timun Mas berlari kencang di hutan yang gelap,” baca Arsya. “Ia takut tersesat. Tapi untung, ia membawa pelita kecil yang bersinar terang. Pelita itu menerangi jalan, menuntunnya pulang ke rumah…”

Arsya berhenti. Jarinya masih menunjuk kata itu. Pelita. P-E-L-I-T-A.

Kenapa dadanya tiba-tiba sesak? Kenapa kata itu terasa... familiar?

Pelita.

Kata itu bergema di kepalanya. Pelita... pelita...

“Kenapa berhenti?” tanya Shelly.

Tapi Arsya tidak mendengar. Matanya masih menatap kata ‘pelita’ di buku, tapi pikirannya melayang jauh. Ada sesuatu... sesuatu yang familiar...

Pelita... Pelita Harapan...

Dan tiba-tiba, seperti petir yang menyambar—

RUMAH SAKIT PELITA HARAPAN!

Arsya melompat berdiri. Buku jatuh dari pangkuannya, terhempas ke lantai dengan bunyi yang keras.

“Inget! Aku inget!” teriaknya.

Shelly dan Alana terlonjak kaget.

“Inget apa?” tanya Alana bingung.

“Aku ingat!” Teriak Arsya meledak, tangannya mengepal di dada. “Pelita Harapan! Rumah Sakit Pelita Harapan!”

“Rumah sakit?” Alana bangun, wajahnya pucat.

“Tempat Dokter Nata! Namanya… Pelita Harapan!” Mata Arsya bersinar lebih terang dari pelita dalam dongeng. “Aku bisa pulang!”

Shelly bertepuk tangan: “Yey! pulang!”

Alana tersentak. Padahal dia baru saja menganggap anak baru sebagai teman, dia sudah ingat rumahnya. Dia bisa pulang. Sedangkan Alana…
Alana menggeleng, ada kabar bahagia, dia harus ikut bahagia. Senyumnya mengembang, tapi air mata tiba-tiba membasahi pipinya. “Cepat… cari Kak Kania!”

Arsya sudah melesat keluar ruangan. Kakinya ringan seperti diberi sayap. Koridor panjang yang tadi terasa seperti terowongan gelap, kini dipenuhi cahaya jingga.

“Arsya! Tunggu!” Teriak Alana dari belakang, suaranya parau. Shelly berlari kecil-kecil mengikuti dengan gelak tawa yang campur aduk.

***

Arsya menemukan Kania sedang berbincang dengan seorang ibu paruh baya di teras depan. Wajah perempuan itu ramah—mungkin pengurus panti. Di tangan Kania, smartphone baru pemberian Gesang berkilau tertimpa cahaya matahari.

“Kak Kania!” Teriak Arsya sambil berlari mendekat, wajahnya berseri. “Aku ingat! Ingat nama rumah sakitnya!”

Kania dan ibu itu menoleh serentak.

“Rumah Sakit Pelita Harapan!” seru Arsya, napasnya tersengal. “Tempat Dokter Nata bekerja!”

Alana dan Shelly menyusul dari belakang, sama-sama terengah.

“Benarkah?” Kania berjongkok, matanya berbinar. “Kamu yakin?”

“Yakin! Seratus persen!” Arsya mengangguk berkali-kali.

Ibu pengurus tersenyum lega. “Alhamdulillah. Sekarang kita bisa hubungi ayahmu.”

Kania mengerutkan kening. “Pelita Harapan... Aku tak pernah mendengar nama itu. Di mana lokasinya?”

“Benar,” ibu pengurus menganggak. “Rumah sakit daerah pun namanya berbeda.”

“Kita cari informasinya,” ujar Kania membuka smartphone-nya. “Kalau perlu, hubungi langsung.”

 

“Itu hadiah dari Mas Gesang tadi?” tanya ibu panti.

“Iya, Bu. Katanya untuk mencari informasi di internet.”

Tanpa sadar tangan Arsya menggenggam kuat. Ini dia! aku bisa pulang!

Setelah beberapa saat, Kania berseru: “Ketemu! Rumah Sakit Pelita Harapan... di Yogyakarta.”

“Yogyakarta?” Ibu pengurus menghela napas. “Jauh sekali.”

“Sekitar tiga jam perjalanan,” Kania membaca layar. “Tak apa. Yang penting bisa terhubung.”

Dada Arsya berbunga-bunga. Tiga jam? Tak seberapa. Setara durasi terapi Kak Rajendra, atau menunggu Dokter Nata selesai operasi.

“Ini nomornya,” Kania menunjuk layar. “Kucoba telepon, ya?”

“Iya! Cepat!”

Kania menekan nomor. Arsya menahan napas.

Dering telpon terdengar. Tuuut… tuut….

“Halo?” Suara perempuan di seberang.

“Selamat sore, saya dari Panti Asuhan Harapan Bangsa. Ingin menanyakan Dokter Na—”

Piiiip—

Sambungan terputus. Layar bertuliskan “Panggilan Berakhir”.

“Kenapa?!” panik Arsya.

“Sinyal mungkin lemah,” Kania berusaha tenang. “Kucoba lagi.”

Dering telepon kedua itu panjang, menyayat harap. Tak ada jawaban. Bilah sinyal di pojok layar tetap satu garis tipis—merah menyala seperti luka.

Kerutan halus muncul di dahi Arsya. “Kenapa saat seperti ini…”

***

Bukan tanpa alasan Arsya tidak bisa menghubungi rumah sakit. Lima kilometer jauhnya, di ruangan tanpa jendela sebuah gedung tua, dalam waktu yang sama—

Gesang menatap tablet yang memantulkan cahaya biru pucat di kacamatanya. “Rumah Sakit Pelita Harapan,” gumamnya. Senyum tipis mengembang. “Bocah itu mulai memunguti serpihan ingatannya.”

Di seberang meja, Bara mendongak. Asap rokoknya membentuk lingkaran keruh. “Bahaya?”

“Belum.” Jari Gesang mengetuk peta digital di layar—titik merah berkedip di lokasi panti. “Blokir semua panggilan keluar. Pertahankan saja sinyal di level critical low.”

“Kania?” Bara menyela. “Dia lumayan tanggap apa kita—”

“Dia nggak begitu berbahaya. Kita cuma perlu mengawasi dia,” sela Gesang. Matanya tak lepas dari live transcript percakapan teras panti yang bergulir di sisi layar. “Kalau perlu... alihkan perhatiannya.” Gesang tersenyum, namun justru membuat bara begidik

“Nggak usah senyum, lo kalau senyum, ngeri.” protesnya

“Mengalihkan perhatian... gampang itu mah…” Gesang mengakhiri kalimatnya dengan senyum tipis.

***

Di teras panti, dering telepon ketiga pecah dalam keheningan.

“Kenapa nggak diangkat?” tanya Arsya, jemarinya mengguncang lengan Kania.

 

Kania menekan tombol redial lebih keras. “Sabar, Dek.”

Kali ini, suara mesin menjawab: ‘Nomor yang Anda tuju berada di luar jangkauan.’

Mata Arsya berkaca-kaca. “Kenapa? Tadi... tadi sempat tersambung!”

Ibu pengurus melirik jam tangan. “Mungkin jam operasional sudah tutup. Sudah petang.”

“Atau sinyal memang sedang bermasalah,” tambah Kania. “Daerah sini sering begitu.”

Arsya menunduk. Harapan yang tadi menggumpal di dadanya, runtuh seperti pasir. Baru saja ia menyentuh jalan pulang—kini ia terlempar kembali ke ketidakpastian.

“Enggak apa-apa, Sayang,” Kania membelai rambutnya yang kusut. “Besok kita coba lagi. Pasti tersambung.”

“Besok?” Arsya menatapnya. “Kenapa nggak sekarang?”

“Karena rumah sakit punya jam kerja, Arsya. Pagi hingga sore.”

Ia mengangguk paksa. Besok. Hanya semalam. Tapi mengapa terasa seperti jurang?

“Enggak apa-apa,” gumamnya, lebih untuk meyakinkan diri. “Dokter Nata nggak kemana-mana. Hanya tiga jam dari sini...”

***

Ribuan kilometer jauhnya, di rumah singgah Kyoto yang sepi, Pak Damar menatap ponsel lawas di tangannya—seperti memegang bom waktu. Sama halnya dengan Arsya yang sedang menunggu, Kakeknya—Pak Damar juga sedang menunggu. 

Setelah tidurnya terganggu oleh panggilan Arsya, entah mengapa, ia memberanikan diri membuka nomor yang sengaja ia abaikan berbulan-bulan. Takut. Itulah yang menghantuinya. Ia yakin Arsya hidup, tapi deretan riwayat penipuan di ponsel ini bisa menghancurkan sisa harapannya.

Yang ia temukan malam itu mengoyak ketenangannya.

“Abbas,” jarinya gemetar mengetik pesan ke sekretaris sekaligus saudara seperjuangannya itu. “Tolong. Aku yakin salah satunya penipu.”

Di sisi lain kota, Pak Abbas segera membalas telepon.

“Bantu aku…” suara Pak Damar parau, nyaris tak dikenali. “Kau sudah lihat lampirannya?”

“Sudah,” jawab Abbas tenang. Terlalu tenang.

Kebingungan Damar wajar. Dua pesan bertolak belakang menghantamnya:

Pertama, dari Perawat Rajendra:

Foto Arsya tersenyum pucat. Sorot matanya sayu. Perban putih melingkar di dahinya, nyaris tersamar tertutup topi rajut. Tubuhnya terlihat kurus dalam balutan seragam rumah sakit yang kebesaran. Pesannya mendesak: “Tolong hubungi segera. Kondisi darurat.”

Kedua, dari Damian:

Arsya telanjang dada. Jahitan cokelat kusam membentang di perutnya seperti peta neraka. “Kutemukan terlantar di jalan. Hubungi aku segera.”

“Lihat foto kedua, Bas!” desak Pak Damar. “Luka di perutnya… Tuhan, jangan-jangan dia korban perdagangan organ? Ini salahku jika—”

“Tenang,” sela Abbas tegas. “Keputusan gegabah hanya memperburuk keadaan.”

“Tapi bagaimanapun juga, Arsya dalam bahaya jika kita tidak segera bertindak,” ujar Pak Damar dengan nada panik. Dia menekan pelipisnya yang berdenyut. “Aku tak bisa berpikir jernih, Bas…”

***

Di ujung telepon, Pak Abbas terdiam sejenak. Layar komputernya menyala - di sebelah kiri foto profil Rajendra dalam kontak (seragam biru, wajahnya dihiasi senyum), di sebelah kanan Damian (foto logo apotek. Logo bergambar ular dan mangkuk.)

“Kalau kau tak sanggup memilih,” suaranya tiba-tiba datar seperti baja dingin, “Biar aku yang ambil alih.”

Jari Abbas membeku di atas keyboard.

"Baik, kalian berdua,” ujar Pak Abbas sambil melihat profil Rajendra–Damian. “beri petunjuk padaku…”

“Harus telepon siapa?”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Semesta Berbicara
1651      955     10     
Romance
Suci Riganna Latief, petugas fasilitas di PT RumahWaktu, adalah wajah biasa di antara deretan profesional kelas atas di dunia restorasi gedung tua. Tak ada yang tahu, di balik seragam kerjanya yang sederhana, ia menyimpan luka, kecerdasan tersembunyi yang tak terbaca, dan masa lalu yang rumit. Sosok yang selalu dianggap tak punya kuasa, padahal ia adalah rahasia terbesar yang tak seorang pun duga...
Nuraga Kika
37      34     0     
Inspirational
Seorang idola sekolah menembak fangirlnya. Tazkia awalnya tidak ingin melibatkan diri dengan kasus semacam itu. Namun, karena fangirl kali ini adalah Trika—sahabatnya, dan si idola adalah Harsa—orang dari masa lalunya, Tazkia merasa harus menyelamatkan Trika. Dalam usaha penyelamatan itu, Tazkia menemukan fakta tentang luka-luka yang ditelan Harsa, yang salah satunya adalah karena dia. Taz...
Let Me be a Star for You During the Day
1179      658     16     
Inspirational
Asia Hardjono memiliki rencana hidup yang rapi, yakni berprestasi di kampus dan membahagiakan ibunya. Tetapi semuanya mulai berantakan sejak semester pertama, saat ia harus satu kelompok dengan Aria, si paling santai dan penuh kejutan. Bagi Asia, Aria hanyalah pengganggu ritme dan ambisi. Namun semakin lama mereka bekerjasama, semakin banyak sisi Aria yang tidak bisa ia abaikan. Apalagi setelah A...
Wabi Sabi
215      157     2     
Fantasy
Seorang Asisten Dewi, shinigami, siluman rubah, dan kucing luar biasa—mereka terjebak dalam wabi sabi; batas dunia orang hidup dan mati. Sebuah batas yang mengajarkan jika keindahan tidak butuh kesempurnaan untuk tumbuh.
CTRL+Z : Menghapus Diri Sendiri
165      142     1     
Inspirational
Di SMA Nirwana Utama, gagal bukan sekadar nilai merah, tapi ancaman untuk dilupakan. Nawasena Adikara atau Sen dikirim ke Room Delete, kelas rahasia bagi siswa "gagal", "bermasalah", atau "tidak cocok dengan sistem" dihari pertamanya karena membuat kekacauan. Di sana, nama mereka dihapus, diganti angka. Mereka diberi waktu untuk membuktikan diri lewat sistem bernama R.E.S.E.T. Akan tetapi, ...
Kamu Tidak Harus Kuat Setiap Hari
2800      1536     0     
Inspirational
Judul ini bukan hanya sekadar kalimat, tapi pelukan hangat yang kamu butuhkan di hari-hari paling berat. "Kamu Tidak Harus Kuat Setiap Hari" adalah pengingat lembut bahwa menjadi manusia tidak berarti harus selalu tersenyum, selalu tegar, atau selalu punya jawaban atas segalanya. Ada hari-hari ketika kamu ingin diam saja di sudut kamar, menangis sebentar, atau sekadar mengeluh karena semua teras...
Metanoia
55      47     0     
Fantasy
Aidan Aryasatya, seorang mahasiswa psikologi yang penuh keraguan dan merasa terjebak dalam hidupnya, secara tak sengaja terlempar ke dalam dimensi paralel yang mempertemukannya dengan berbagai versi dari dirinya sendiri—dari seorang seniman hingga seorang yang menyerah pada hidup. Bersama Elara, seorang gadis yang sudah lebih lama terjebak di dunia ini, Aidan menjelajahi kemungkinan-kemungkinan...
Kainga
1616      909     12     
Romance
Sama-sama menyukai anime dan berada di kelas yang sama yaitu jurusan Animasi di sekolah menengah seni rupa, membuat Ren dan enam remaja lainnya bersahabat dan saling mendukung satu sama lain. Sebelumnya mereka hanya saling berbagi kegiatan menyenangkan saja dan tidak terlalu ikut mencampuri urusan pribadi masing-masing. Semua berubah ketika akhir kelas XI mereka dipertemukan di satu tempat ma...
Surat yang Tak Kunjung Usai
883      569     2     
Mystery
Maura kehilangan separuh jiwanya saat Maureen saudara kembarnya ditemukan tewas di kamar tidur mereka. Semua orang menyebutnya bunuh diri. Semua orang ingin segera melupakan. Namun, Maura tidak bisa. Saat menemukan sebuah jurnal milik Maureen yang tersembunyi di rak perpustakaan sekolah, hidup Maura berubah. Setiap catatan yang tergores di dalamnya, setiap kalimat yang terpotong, seperti mengu...
Bittersweet Memories
66      65     1     
Mystery
Sejak kecil, Aksa selalu berbagi segalanya dengan Arka. Tawa, rahasia, bahkan bisikan di benaknya. Hanya Aksa yang bisa melihat dan merasakan kehadirannya yang begitu nyata. Arka adalah kembarannya yang tak kasatmata, sahabat sekaligus bayangan yang selalu mengikuti. Namun, realitas Aksa mulai retak. Ingatan-ingatan kabur, tindakan-tindakan di luar kendali, dan mimpi-mimpi aneh yang terasa lebih...