Loading...
Logo TinLit
Read Story - Arsya (The lost Memory)
MENU
About Us  

“Saat ini, berteriakpun aku tidak mampu. Aku harap diamku yang akan menjadi jawaban”

__Arsya Abiseka G

________________________________________________________________________________________________

Langit-langit retak menggantung di atasnya seperti peta mimpi buruk yang membeku. Di balik kegelapan, setiap garis pecahannya berbisik tentang hal-hal yang hampir diingat Arsya—dan segala yang masih ingin dilupakannya.

Hari merambat makin larut, tapi Arsya terjaga. Ia berbaring di kasur sempit, mata menelusuri retakan-retakan di langit-langit kamar. Di sekelilingnya, tiga anak lain sudah lelap. Dengkuran halus mereka berseliweran di udara pengap.

Tiga jam... hanya tiga jam. Jarak itu mengusik pikirannya. Ia belum pernah berjalan selama itu, tapi tiga jam bukan satu hari penuh—hanya sepotong kecil dari dua puluh empat jam. Kalau terpaksa jalan kaki, aku kuat, yakinku pada diri sendiri.

Arsya membalik badan. Tapi mengapa harus menunggu besok? Kenapa tidak sekarang? Andai ia berjalan malam ini, pagi nanti sudah sampai. Bayangkan senyum Dokter Nata...

Tiiiin! Suara klakson bus malam menyayat dari kejauhan. Bus malam... Mungkin itu jalan keluarnya. Tapi naik bus perlu uang. Mustahil ia bisa menumpang tanpa membayar.

Ia memejamkan mata, memaksa diri tidur. Wajah Dokter Nata muncul: senyumnya yang hangat, suaranya yang menenangkan, cara dokter itu selalu melindunginya...

“Aku kangen,” bisiknya pada kegelapan.

Baru sekejap ia terlelap, mimpi itu menyergap. Arsya terperanjat bangun—keringat dingin membasahi piyama, napasnya tersengal-sengal. Ia membayangkan diri terjepit di kolong tempat tidur, gemetar menunggu langkah kaki yang mendekat—

Arsya lompat dari ranjang. Pintu kamar belum terkunci. Kania bilang akan menguncinya pukul sepuluh, dan jarum jam baru menunjukkan pukul sembilan. Dia mengendap-endap keluar. Takut membangunkan yang lain.

Ia teringat ruang bayi saat berkeliling dengan Alana. Lima bayi tidur di sana—tanpa ranjang, hanya kasur di lantai. Tempat yang lebih aman, pikirnya.

Di depan pintu ruangan, ia ragu. Semua bayi terlelap, tapi Mbak Fatma—salah satu pengurus—masih terjaga di sana.

“Permisi…” sapa Arsya lirih.

“Aku… boleh di sini?”

Fatma tersenyum. “Kenapa, Nak? Tidak bisa tidur?” Tangannya menunjuk kasur kosong di sudut. “Sini. Kamu boleh tidur di sini malam ini.”

“Terima kasih, Mbak,” gumam Arsya sebelum merebahkan diri.

Ruangan bayi memang lebih tenang. Ajaibnya, ia pun lelap.

Sampai tangisan bayi yang melengking membelah fajar yang belum tiba. Arsya mengencangkan genggaman selimut. Pura-pura tidur. Jangan merepotkan siapa pun.

***

Pagi datang dengan riuh rendah anak-anak. Arsya terketak dari tidurnya, jantung berdebar penuh harap. Hari ini! Hari ini mereka akan menelepon Rumah Sakit Pelita Harapan!

Ia melesat ke kamar mandi, menyiram wajahnya dengan air dingin, lalu berlari mencari Kania. Tapi pemandangan yang menyambutnya membuat dadanya sesak.

Kania dikerubungi balita menangis. Satu menggigil demam, lainnya muntah di seragamnya. Ibu pengurus lain mondar-mandir membawa obat dan handuk basah.

“Kak Kania!” teriak Arsya.

“Sebentar, ya, Dek!” sahut Kania tanpa menoleh. “Keadaan darurat!”

Arsya menunggu di sudut. Lima menit. Sepuluh menit. Lima belas menit. Jarum jam berdetak lebih keras dari tangisan bayi.

“Kapan kita telepon rumah sakit?” tanyanya lagi.

“Nanti, Sayang. Tunggu keadaan tenang.”

Tapi keadaan tak kunjung tenang. Malah makin kacau: ada yang muntah lagi, ada yang menjerit minta susu. Pukul sembilan. Sepuluh. Sebelas.

“Kak Kania…” bisik Arsya kali ketiga.

“Dek, Kakak tak bisa tinggalkan mereka sekarang.”

Sesuatu di dalam Arsya mengempis perlahan—seperti balon udara yang tertusuk duri.

Ia menyelinap ke teras, duduk di bangku kayu dekat pintu gerbang. Alana menghampiri, membawa sepotong roti tawar.

“Kamu belum sarapan?”

Arsya menggeleng. Perutnya keroncongan, tapi tak ada selera.

“Katanya mau telepon rumah sakit? Sudah?”

“Belum,” jawabnya lirih. “Kak Kania sibuk.”

Alana mendekat. “Sabar, ya. Pasti bisa nanti.”

Tapi Arsya ragu. Sejak pagi, ia melihat kebenaran pahit: panti ini bagai kapal yang terus kebocoran—selalu ada darurat yang lebih genting daripada nasib satu anak.

“Alana,” Arsya menatapnya. “Pernah ada anak di sini... yang akhirnya ketemu keluarga?”

Alana diam sesaat. “Ada... tapi jarang.”

“Jarang?”

“Aku pun pernah dijemput keluarga,” ia tersenyum getir. “Mereka bilang mau menjadikanku anak... tapi mengembalikanku karena ‘kurang layak’.”

Kurang layak. Kata-kata itu menggantung. Apa aku akan dibuang pula jika tak sesuai harapan Dokter Nata?

“Tapi kamu beda,” sambung Alana cepat. “Kamu masih ingat. Pasti bisa ketemu ayahmu!”

Arsya mengangguk tanpa keyakinan. Kalau terus menunggu, kapan?

Siang menjelang sore. Kania masih terlihat mondar-mandir dengan handuk dan termometer. Ponsel Gesang tergeletak di meja—berdebu, tak tersentuh.

“Kak Kania…”

“Sebentar lagi, Kakak janji!”

“Sebentar” itu tak kunjung tiba.

Saat matahari mulai merayap ke barat, Arsya kembali ke bangku teras. Dadanya sesak. Ia bukan prioritas. Hanya satu dari puluhan anak yang harus diurus.

Tapi Dokter Nata... pasti sedang mencari. Khawatir. Dan dia cuma tiga jam dari sini!

Tiga jam. Bukan waktu lama. Ia pernah menjalani rehabilitasi lebih dari itu. Bisa tanya arah. Bisa berjalan kaki.

Matanya menatap gerbang besi. Jalan raya di baliknya ramai oleh kendaraan. Pasti ada bus. Jika tidak ada, dia hanya perlu berjalan. 

Kalau berangkat sekarang, sebelum gelap…

Sebuah keputusan mengkristal dalam benak: Aku nggak bisa terus-terusan menunggu. Aku harus bergerak sendiri. 

Arsya berdiri. Kakinya gemetar, tapi tekadnya membatu.

Dia akan pulang. Hari ini juga.

***

Sore itu, panti sunyi. Riuh rendah anak-anak terkurung di balik dinding ruang makan, meninggalkan pelataran kosong yang diterangi cahaya jingga senja.

Arsya berdiri di depan pintu keluar, telapak tangannya basah mencengkeram gagang besi. Jantungnya berdebar kencang—denting-denting kecil yang menggedor tulang rusuknya.

Ini dia.

Ia menarik napas dalam, membuka pintu, dan meluncur keluar.

“Dek! Hei!” Teriak Kania dari belakang.

Arsya tidak menoleh. Kakinya yang tanpa alas menyepak debu jalanan menuju gerbang. Tak apa. Asal sampai jalan raya. Dia bisa bertanya arah nanti, pada orang yang dia temui. Aku berani… Aku bisa, Aku mau pulang…

“Anak baru! Tunggu!” Alana mengejar dari samping. Kania menyusul dari bangunan utama.

Di gerbang terbuka, dua jalur terbentang. Arsya mengambil kanan—menuju keramaian.

Aspal panas membakar telapak kakinya. Kerikil tajam melukai kulit, tapi ia terus berlari. Tiga jam. Hanya tiga jam menuju Dokter Nata.

Teriakan Kania makin dekat.

Di pertigaan ramai, Arsya terhenti. Tiga pilihan jalan: mana yang ke Yogyakarta?

Ia memilih tengah—jalur terlebar.

Tiba-tiba—

“WESSSS!”

Lampu motor menyilaukan dari kiri. Klakson meraung-raung.

Arsya membeku. Bagai kijang disorot lampu pemburu. Mesin menderu mendekat...

“AWAS LE…!”

Sebuah tangan menyambar lengannya—menyeretnya ke pinggir jalan.

“Ngunten, Paklik,” kata suara penyelamatnya.

Arsya memejamkan mata. Jantungnya nyaris melompat dari dada. Cengkeraman di lengannya terlalu kuat. Hampir saja Arsya mengucapkan terima kasih. Hingga suara yang begitu dia hapal dikepalanya terdengar.

“Mau kabur ke mana?”

Darahnya membeku.

Suara itu.

Serak. Kasar. Suara orang jahat yang pernah membekap mulutnya di ruang rawat. Suara yang menyeretnya dari tempat aman...

Tubuhnya kaku bagai patung. Napas tercekat di kerongkongan. Bau tembakau dan mirip obat terhidu oleh Arsya. Bau itu melekat di ingatannya.

“Jangan merepotkan,” desis suara itu. Pisau dingin. “Bersyukur kau masih kubiarkan hidup.”

 

Gesang melepaskan cengkeraman—tapi tidak sebelum jarinya menekan bahu Arsya sampai ngilu.

“Tinggallah di panti sampai kujemput,” bisiknya. “Dan lupakan hal-hal yang bukan urusanmu.”

Arsya terpaku. Tak bisa berteriak. Tak bisa lari. Hanya bisa diam di depan Gesang. Tidak bisa bergerak, bahkan menggeser badan sedikit.

Di kejauhan, suara Kania memanggilnya.

Tapi yang bergema di kepalanya hanya bisikan tadi:

Bersyukur kau masih kubiatur hidup.

***

“Apa yang kamu pikirkan, Dek. Kamu bisa celaka tadi.” omelan Kania terdengar, suaranya dipenuhi kekhawatiran. “Untung ada Kak Gesang.” 

Tapi kata-kata itu menguap sebelum menyentuh kesadaran Arsya. Pikirannya masih terperangkap di cengkeraman dingin tadi. 

“Dek… Maaf kalau kamu dari tadi menunggu, kamu bisa lihat, anak-anak sakit. Kakak harus mengurus mereka dulu, Kakak akan mencoba menelpon lagi, tapi… kali ini jangan kabur lagi. oke?”

"Alana, kamu bisa mengajaknya makan? Dia sejak pagi sepertinya belum makan” perintah Kania.

"Siap, Kak Kania," jawab Alana semangat. Dia kemudian menarik Arsya. Suasana ruang makan yang sangat bising menyambut pendengaran Arsya. Dua belas anak dengan perkiraan usia 4 hingga 9 tahun berkumpul di satu meja makan kecil, bergantian mengambil makanan yang tersusun di meja lainnya.

"Kemari, Nak! Kamu anak baru, kan?" tanya seorang wanita paruh baya yang sedang membagikan makanan kepada anak-anak yang mengantri.

"Ayo, beruntung hari ini Ibu yang membagikan makan, jadi kita tidak akan berebut," ajak Alana.

Arsya kemudian diperintahnya untuk mengambil piring dan sendok, lalu mendatangi Ibu panti yang mengisi piringnya dengan nasi, sayur, dan seiris telur goreng. Alana mengajaknya duduk bersama anak-anak lainnya.

Semua situasi yang terjadi masih membuat Arsya bingung. Dia hanya diam, makanan di depannya tidak tersentuh. Kejadian yang baru saja menimpanya, suara orang yang menyelinap ke ruang rawat, identitas aslinya ternyata mantan anak panti yang bernama Gesang, Lingkungan sekitarnya yang mendadak bising karena banyaknya anak membuat suasana semakin mencekam. Suara mereka seakan berlipat ganda, terutama karena Arsya bisa membaca pikiran mereka dengan jelas.

Suara Ibu panti menginterupsi mereka, "Anak-anak, kalau makan harus?"

"Diam!" sahut mereka bersamaan.

Suara mereka berkurang, tetapi bagi Arsya, kebisingan tetap saja terasa mengganggu.

"Kamu tidak makan?" bisik Alana.

Arsya menggeleng. Nafsu makannya menghilang. Dia sama sekali tidak lapar, padahal tadi pengurus panti bernama Kania menjelaskan bahwa Arsya sudah tidak makan selama dua hari karena banyak tidur.

Anak-anak yang sudah selesai menghabiskan makanan mereka dengan teratur menuju wastafel, mencuci piring mereka sendiri, dan menaruhnya di rak peniris. Yang sudah selesai diizinkan bermain di halaman samping panti.

Arsya dan Alana masih berada di ruang makan. Arsya duduk diam, melamun dengan pandangan tertunduk ke bawah.

"Ibu, anak barunya nggak mau makan," teriak Alana, memanggil perhatian Ibu Panti yang segera mendekati mereka.

"Kenapa, Nak? Kamu tidak nafsu makan?" tanyanya lembut. "Kamu dari tadi belum makan, kan?" lanjutnya dengan nada penuh perhatian. Gaya bicaranya mencerminkan kentalnya darah Jawa.

"Hari ini masakan Ibu enak," puji Alana, membuat Ibu Panti tersenyum. "Besok menunya apa, Bu?"

"Besok Ibu masak yang lain," jawabnya. "Ada tempe goreng kesukaanmu."

"Yey!" seru Alana ceria. 

"Nak, mau makan yang lain?" tawar Ibu Panti. "Atau Ibu suapi? Kamu harus makan, nanti kamu sakit."

Arsya menggeleng, benar-benar tak bernafsu. Isi pikirannya terlalu penuh, membuatnya tak ingin apa pun.

"Ibu suapi, ya?" ulang Ibu Panti, kali ini sambil menyendok makanan dari piring Arsya dan mendekatkannya ke mulut. Bayangan kejadian penculikan melintas di benaknya. Arsya tersentak, menjauhkan tangan Ibu Panti hingga nasi yang sudah disendok tumpah ke lantai.

"Ih, kamu nakal! Membuang makanan!" seru Alana, memperingatkan Arsya dengan nada jengkel.

Ibu panti sama terkejutnya dengan Alana. Tapi dia tahu, untuk menghadapi Arsya dia butuh pendekatab pribadi dengan Arsya "Alana, boleh main dulu? Biar Ibu bicara sama anak baru," ujar Ibu Panti dengan lembut, tapi tegas.

Alana menurut, pergi bermain meninggalkan Arsya dan Ibu Panti.

"Nak, ada yang mengganggumu? Atau kamu masih memikirkan telpon kemarin?” tanya ibu panti “Nanti kita coba sambungkan lagi. Kita usahakan sampai bisa tersambung.”

Sebagian kecemasan Arsya memang berkurang, tapi banyak hal lain masih mengganggu pikirannya. "Mau pulang," ucapnya lirih, hampir tak terdengar.

"Kamu nggak mau di sini?" tanya Ibu Panti, memastikan. Arsya mengangguk pelan. Meski rumah sakit bukan tempat yang nyaman, Arsya merasa lebih aman di sana. Lingkungannya tidak sebising sekarang, dan banyak orang yang sudah ia kenal.

"Nak, Ibu nggak tahu di mana rumahmu. Ibu juga nggak tahu siapa namamu, apalagi siapa orang tuamu, kamu hanya ingat nama rumah sakit, tapi itu juga jauh dari sini." jelasnya dengan nada penuh simpati, membuat Arsya semakin larut dalam pikirannya. "Ibu belum tahu cara agar kamu bisa pulang. Tapi kamu coba bertahan di sini, siapa tahu besok ada orang yang menjemputmu."

Kata "bertahan" menggema di benak Arsya. Bahkan di dalam mimpi, dia diminta untuk bertahan. Tapi sampai kapan? 

Pertanyaan-pertanyaan itu akhirnya meruntuhkan pertahanan Arsya. Tangisnya pecah, perlahan tetapi semakin lama semakin terdengar.

"Kenapa, Nak?" tanya Ibu Panti, terlihat khawatir. "Dengar, kalian semua di sini sama, nggak apa-apa. Kamu nggak sendirian," ujarnya berusaha menghibur.

Namun tangisan Arsya belum juga berhenti. Ibu Panti kesulitan mencari kata-kata yang tepat untuk menenangkan anak itu. Akhirnya, ia mengusulkan agar Arsya ikut bermain bersama anak-anak lain. Harapannya, suasana ceria di antara mereka akan menular pada Arsya.

Ibu Panti menggendong Arsya yang masih menangis, membawanya ke halaman samping. Ia memanggil Alana agar mau bermain bersama Arsya.

"Hei, anak baru," panggil Alana dengan ceria, meskipun Arsya masih terisak. "Kamu kenapa lagi? Masih mau pulang?”

Arsya menangis sampai tak ada lagi air mata yang tersisa. Tangisannya mereda, tapi hatinya masih terasa berat. Alana, dengan cara khas anak-anak, mencoba menghibur Arsya. Dia mengajak Arsya bermain, mengajaknya melupakan sejenak rasa sakit yang dirasakannya. Tapi Arsya tidak merasakan keceriaan yang sama. Dia hanya diam, hatinya tertutup rapat. Namun, Alana tidak menyerah, tetap berusaha membuat Arsya tersenyum dengan caranya yang sederhana.

Akhirnya, Arsya mengikuti Alana, bukan karena dia benar-benar ingin bermain, tetapi karena dia merasa tidak ada pilihan lain. Ia merasa terjebak dalam lingkaran kesepian yang hanya bisa sedikit terpecahkan dengan mengikuti ajakan Alana, meski hatinya belum sepenuhnya siap untuk kembali tersenyum.

“Ayo kita main bola.” serunya. “Kita ke lapangan sana. Anak laki-laki suka main bola, kan?”

Sesampainya di lapangan, bola yang tidak terpakai menggelinding sampai ke kaki Arsya. 

“Bola ini dibuang karena kempis. Atau… karena dia tidak berguna, jadi dia mengempis” pikiran aneh menyelinap saat dia melihat bola “Aku… aku tiba-tiba ada di sini, karena memang tuhan yang mau. Atau aku yang memilih untuk di sini, makanya aku hidup begini…” 

“Sabar… bertahan… bukannya aku nggak mau, tapi aku nggak bisa. Aku nggak bisa sekarang, apa nggak boleh bilang nggak mau sabar lagi? nggak mau nunggu lagi?”

pikirannya benar-benar penuh. Semalaman sulit tidur, tidak ada makanan yang mengisi perutnya, hampir terlibat kecelakaan, bahkan mendengar semua orang yang memintanya bertahan, tanpa menjelaskan caranya. Semua terlalu berat untuk Arsya. Malam dipenuhi dengan demam menjadi puncaknya. Seperti malam sebelumnya, dia memilih beristirahat di ruang bayi. namun menjelang tengah malam, badannya menggigil. sekujur tubuhnya panas. Seharian pengurus panti sudah memberikan bayak obat-obatan untuk anak lain, tidak ada obat penurun panas yang tersedia. Membawa ke klinik, mereka juga kesulitan. Mereka hanya bisa bergantung pada handuk dingin untuk menurunkan demamnya.
***

Malam panjang itu menghentikan paksa pergerakan Arsya. Namun kali ini, semesta tidak menutup mata. Di ruanganya Dokter Nata memandang ponselnya dengan gelisah. 

“Sudah empat hari, semua terasa tidak ada perubahan. Keluarga Arsya, terakhir kali hanya membaca pesan Rajendra. Alin belum menemukan petunjuk, bahkan kepolisian seolah kehilangan jejak penculikan. Haruskah aku mengirimnya? Rumah sakit akan terkena dampak. Tapi akan banyak komentar dimana-mana, mungkin aku akan menemukan petunjuk keberadaan Arsya. Tidak masalah… jika memang harus menghadapi sidang, Rajendra dan Alin tidak akan terlibat. Aku bisa beralasan, yang terpenting saat ini aku harus menemukannya”

Dokter Nata menelepon seseorang. “Silakan rilis beritanya” ujarnya pada seseorang diujung telepon

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Hello, Me (30)
18998      814     6     
Inspirational
Di usia tiga puluh tahun, Nara berhenti sejenak. Bukan karena lelah berjalan, tapi karena tak lagi tahu ke mana arah pulang. Mimpinya pernah besar, tapi dunia memeluknya dengan sunyi: gagal ini, tertunda itu, diam-diam lupa bagaimana rasanya menjadi diri sendiri, dan kehilangan arah di jalan yang katanya "dewasa". Hingga sebuah jurnal lama membuka kembali pintu kecil dalam dirinya yang pern...
A Missing Piece of Harmony
222      176     3     
Inspirational
Namaku Takasaki Ruriko, seorang gadis yang sangat menyukai musik. Seorang piano yang mempunyai mimpi besar ingin menjadi pianis dari grup orkestera Jepang. Namun mimpiku pupus ketika duniaku berubah tiba-tiba kehilangan suara dan tak lagi memiliki warna. Aku... kehilangan hampir semua indraku... Satu sore yang cerah selepas pulang sekolah, aku tak sengaja bertemu seorang gadis yang hampir terbunu...
Langkah yang Tak Diizinkan
153      129     0     
Inspirational
Katanya dunia itu luas. Tapi kenapa aku tak pernah diberi izin untuk melangkah? Sena hidup di rumah yang katanya penuh cinta, tapi nyatanya dipenuhi batas. Ia perempuan, kata ibunya, itu alasan cukup untuk dilarang bermimpi terlalu tinggi. Tapi bagaimana kalau mimpinya justru satu-satunya cara agar ia bisa bernapas? Ia tak punya uang. Tak punya restu. Tapi diam-diam, ia melangkah. Dari k...
Wabi Sabi
87      70     2     
Fantasy
Seorang Asisten Dewi, shinigami, siluman rubah, dan kucing luar biasa—mereka terjebak dalam wabi sabi; batas dunia orang hidup dan mati. Sebuah batas yang mengajarkan jika keindahan tidak butuh kesempurnaan untuk tumbuh.
Sebab Pria Tidak Berduka
103      87     1     
Inspirational
Semua orang mengatakan jika seorang pria tidak boleh menunjukkan air mata. Sebab itu adalah simbol dari sebuah kelemahan. Kakinya harus tetap menapak ke tanah yang dipijak walau seluruh dunianya runtuh. Bahunya harus tetap kokoh walau badai kehidupan menamparnya dengan keras. Hanya karena dia seorang pria. Mungkin semuanya lupa jika pria juga manusia. Mereka bisa berduka manakala seluruh isi s...
Dalam Satu Ruang
129      84     2     
Inspirational
Dalam Satu Ruang kita akan mengikuti cerita Kalila—Seorang gadis SMA yang ditugaskan oleh guru BKnya untuk menjalankan suatu program. Bersama ketiga temannya, Kalila akan melalui suka duka selama menjadi konselor sebaya dan juga kejadian-kejadian yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Deep End
35      34     0     
Inspirational
"Kamu bukan teka-teki yang harus dipecahkan, tapi cerita yang terus ditulis."
Loveless
5199      2559     604     
Inspirational
Menjadi anak pertama bukanlah pilihan. Namun, menjadi tulang punggung keluarga merupakan sebuah keharusan. Itulah yang terjadi pada Reinanda Wisnu Dhananjaya. Dia harus bertanggung jawab atas ibu dan adiknya setelah sang ayah tiada. Wisnu tidak hanya dituntut untuk menjadi laki-laki dewasa, tetapi anak yang selalu mengalah, dan kakak yang wajib mengikuti semua keinginan adiknya. Pada awalnya, ...
Menanti Kepulangan
39      35     1     
Fantasy
Mori selalu bertanya-tanya, kapan tiba giliran ia pulang ke bulan. Ibu dan ayahnya sudah lebih dulu pulang. Sang Nenek bilang, suatu hari ia dan Nenek pasti akan kembali ke bulan. Mereka semua akan berkumpul dan berbahagia bersama di sana. Namun, suatu hari, Mori tanpa sengaja bertemu peri kunang-kunang di sebuah taman kota. Sang peri pun memberitahu Mori cara menuju bulan dengan mudah. Tentu ada...
40 Hari Terakhir
457      373     1     
Fantasy
Randy tidak pernah menyangka kalau hidupnya akan berakhir secepat ini. Setelah pertunangannya dengan Joana Dane gagal, dia dihadapkan pada kecelakaan yang mengancam nyawa. Pria itu sekarat, di tengah koma seorang malaikat maut datang dan memberinya kesempatan kedua. Randy akan dihidupkan kembali dengan catatan harus mengumpulkan permintaan maaf dari orang-orang yang telah dia sakiti selama hidup...