Bimbingan pembekalan olimpiade, mulai dilakukan hari ini. Seperti perjanjian di awal, Binar hanya bisa sebentar turut serta dalam bimbingan.
Mengingat kesibukan Binar banyak sekali. Tidak melulu soal kerja, ia juga punya tanggung jawab sebagai kapten kesebelasan sekolah.
Dulu Binar ikut klub sepak bola sekolah karena hobi. Setidaknya dari sekian banyak kegiatannya, ada satu yang benar-benar Binar minati. Eh, Binar sekarang malah jadi kapten. Di mana ia tidak bisa sembarangan meninggalkan tanggung jawab.
Kalau Binar terlalu banyak kegiatan yang berhubungan dengan akademik, anak-anak klub sepak bola jadi iri. Apa lagi sebentar lagi akan ada turnamen. Binar rasanya sudah tidak sabar ingin serah terima jabatan dengan kapten baru. Sebentar lagi. Mengingat Binar sudah kelas XII.
Binar nanti akan mampir ke lapangan sebentar, sebelum nanti pamit lagi untuk lanjut kerja.
Remaja itu semakin kewalahan, sampai rasanya ingin berguru pada Naruto, untuk belajar jurus seribu bayangan. Lumayan Binar jadi bisa bagi tugas dengan bayangan-bayangannya.
"Udahan, Bin?"
"Iya, Bu. Saya pamit dulu. Sudah terlambat soalnya." Binar menyerahkan hasil pekerjaannya.
"Iya. Jangan ngebut!" Bu Aisyah puas melihat lembar jawaban Binar yang sudah terisi penuh.
Bu Aisyah menatap Binar yang berlari keluar kelas.
Ersw juga menatapnya. Namun dengan tatapan yang kontras dengan Bu Aisyah. Bu Aisyah menatapnya dengan penuh rasa bangga, sebaliknya Ersa menatap penuh rasa benci.
"Kamu juga sudah, Sa?" Bu Aisyah mengalihkan atensinya pada Ersa.
Ersa mengangguk. "Sudah, Bu."
"Kalau begitu, mulai kita koreksi dan bahas satu per satu prediksi soalnya, ya."
"Iya, Bu."
***
Binar mana bisa tidak ngebut. Tadi ia tidak bisa pamit cepat dari lapangan. Semua protes karena Binar jarang ikut latihan. Yang berakhir membuat Binar ikut latihan sebentar.
Jika biasanya ia bisa pulang dulu untuk ganti baju, hari ini tidak bisa. Ia tadi pagi sudah sekalian bawa baju ganti di tasnya. Nanti ganti baju di toilet kedai soto.
Sampai sama, warung soto sudah ramai. Binar berlari masuk, dihadiahi tatapan tajam Mbah Siti.
"Telat terus tiap hari! Makin hari makin lama telatnya!" Mbah Siti mengomel saat Binar melewatinya.
"Maaf, Mbah. Saya ganti baju dulu." Binar lanjut menuju toilet.
Tak butuh waktu lama hingga Binar memulai pekerjaannya. Binar berusaha konsentrasi walau Mbah Siti masih mengomel dan menyindir keterlambatannya.
Saking ramainya, warung soto sudah tutup dalam kurun waktu 3 jam saja. Seperti biasa, ketika sudah tenang seperti ini ... Mbah Siti sudah tidak emosional lagi. Sudah berubah dalam mode malaikat.
"Bin ... kamu tadi udah makan?"
Binar menggeleng. "Nggak sempat, Mbah. Aku ada bimbingan sebentar. Terus ada latihan sepak bola. Aku ditunjuk ikut olimpiade, Mbah. Jadi perlu bimbingan."
"Bimbingannya setiap hari?"
"Jadwalnya Senin sampai Kamis, tiap pulang sekolah, Mbah. Sebenarnya durasi waktunya 1,5 jam. Tapi saya diberi izin untuk ikut 30 menit aja. Terus latihan bolanya nggak setiap hari kok, besok enggak. Maaf ya, Mbah. Tolong aku jangan dipecat."
Mbah Siti tersenyum. "Kamu beneran pinter ternyata, ya. Perasaan kok sering banget ikut olimpiade. Ya udah, mau gimana lagi? Kamu yang semangat. Dijaga kondisi badannya."
"Iya, Mbah."
"Ini ada sisa jeroan goreng. Ambil nasi sama kuah soto. Tambah gorengan ini mantap, Bin."
"Iya, Mbah. Makasih."
Kadang Binar memang dapat jatah makanan dari Mbah Siti juga. Hanya jika masih ada dia seperti ini. Kalau sudah tidak bersisa sama sekali, ya tidak. Mbah Siti hanya menambah uang sakunya.
"Bin, Mbah sebenernya bangga. Kamu sebagai anak muda memang harus aktif dan produktif. Tapi kamu kayaknya terlalu produktif. Sekolah, kerja, olimpiade, sepak bola. Waktu itu pernah izin nyanyi juga kan kamu."
"Iya, Mbah. Aku sebenarnya juga cape. Aku dari dulu hobi banget sepak bola. Jadi seneng aja tiap kali main."
"Kalau kamu memang seneng, ya terusin aja. Tapi kamu telatnya jangan lama-lama. Soalnya nggak ada yang bantuin Mbah!"
"Iya, Mbah. Aku usahakan datang secepatnya. Pokoknya aku jangan dipecat. Nggak apa-apa deh aku diomelin setiap hari. Yang penting aku tetep kerja sama Mbah Siti."
Mbah Siti tertawa lagi. "Lagian kan udah Mbah bilang, nggak ada yang betah kerja sama Mbah selain kamu, Bin. Yang lain pada takut. Cuma kamu itu yang paling kuat!"
Binar ikut tertawa. Ia sudah selesai makan, sekalian ia cuci mangkoknya.
***
Ersa memarkir mobilnya di pelataran minimarket, yang dekat dengan tempat bimbingan belajarnya yang baru. Dalam satu hari saja, Ersa harus menjalani bimbingan di tempat yang berbeda.
Mulai dari jam 5 sore sampai jam 7 malam. Istirahat sebentar, mulai lagi jam 8 sampai jam 10 malam. Dan terakhir adalah yang terbaru ini. Mulai jam 11 malam sampai jam 12 nanti.
Hanya 1 jam, sih. Tapi cukup untuk menambah taraf stres Ersa. Hidupnya terlalu terbebani oleh tingginya ekspektasi orang tua.
Eh, ekspektasi ayahnya saja, sih. Karena ibunya tidak terlalu menuntut.
Sembari menunggu jam 11 datang, Ersa mau ngopi dulu sebentar. Sekalian ia mau makan mie instan dan juga sosis bakar. Kalau di rumah mana boleh ia makan junk food seperti itu.
Ersa masuk ke minimarket. Ia menuju ke area coffee maker. Ia mengambil cup berisi es batu di dalam freezer. Dan menuangkan Americano ke dalam cup itu.
Ersa fokus sekali pada aktivitasnya, sampai-sampai tidak sadar, bahwa ada sepasang mata yang sejak tadi memperhatikannya sejak masuk ke tempat ini.
Ersa lanjut menyeduh mie instan cup jumbo ekstra pedas. Selesai, ia menuju ke kasir. Karena untuk sosisnya harus dibakarkan oleh karyawan minimarket.
Ersa seketika melotot saat melihat siapa orang yang berdiri di balik meja kasir. Orang itu justru tertawa melihat reaksi Ersa.
"Kenapa? Nggak pernah lihat kasir seganteng gue?" Binar malah meledek.
Ersa benar-benar masih terpaku di tempat. Masih merasa asing dengan keberadaan Binar, dengan seragam khas minimarket. Yang menjadi bukti bahwa bocah itu memang bekerja di sini.
Ersa pikir Binar hanya mengada-ada soal pekerjaannya. Ia pikir Binar cuma kerja di pagi hari saja, di warung pecel tumpang.
Eh, ternyata tengah malam begini ... Binar juga kerja di sini.
"Udah buruan ini berapa?" ketus Ersa.
"Nggak sekalian tambah sosis bakar?" Binar menawarkan, trik marketing yang template.
Ersa buru-buru menggeleng. Ia sudah tidak nafsu makan sosis bakar. Ogah makan buatan Binar. "Nggak mau, jangan-jangan lo racun!"
Binar tergelak. Sepertinya setiap kelakuan Ersa terlihat lucu sekali di mata Binar.
"Semuanya 30 ribu." Binar menyerahkan struk pada Ersa.
Ersa langsung menyerahkan kartunya saja pada Binar. Karena ia memang jarang bawa uang cash. Sebenarnya sekalian pamer juga. Karena kartu kreditnya berwarna hitam.
Tapi Binar malah tidak ada reaksi. Agak membuat Ersa kesal. Memangnya apa sih dari diri Binar, yang tidak membuat Ersa kesal?
"Ngapain lo malam-malam masih keluyuran, Sa? Mana sendirian." Binar coba bertanya karena ia memang peduli.
"Bukan urusan lo!" Seperti biasa, Ersa akan selalu ketus pada Binar dalam urusan apa pun.
Selesai Ersa langsung membawa makanannya keluar. Padahal tadi ia sebenarnya mau makan di dalam saja. Tapi jadi tidak nafsu karena ada Binar.
Setidaknya jika makan di meja yang disediakan di luar, Binar tidak akan kelihatan terlalu jelas.
Gak di next kak?
Comment on chapter Hari Pembagian Rapor