Loading...
Logo TinLit
Read Story - Liontin Semanggi
MENU
About Us  

"Ersa, hari ini jadwal saya piket. Tapi belum ada yang minta dispensasi. Takutnya Binar absensinya alfa. Karena ini udah hampir masuk, kamu sekalian ikut saya ke tempat guru piket aja. Saya buatin surat dispennya Binar. Nanti sekalian kamu bawain ke kelas."

Selesai pembicaraan soal olimpiade, Bu Aisyah malah menunjukkan perhatiannya pada Binar.

'Astaga ... Binar lagi ... Binar lagi!'

"Iya, Bu."

Padahal tadi ia sengaja menyuruh Roy untuk meminta surat dispensasi Binar. Eh, sekarang tetap Ersa sendiri yang harus berurusan dengan hal itu.

Bu Aisyah dan Ersa berjalan beriringan menuju lokasi guru piket. Ternyata sudah ada seseorang yang menunggu -- Roy.

Roy rela menunggu guru piket, hanya untuk meminta surat dispensasi Binar.

Ersa iri sebenarnya dengan persahabatan Roy dan Binar. Mereka sangat dekat, sudah seperti saudara.

Sementara Ersa ... sejak lahir Ersa belum pernah punya teman dekat.

Roy asyik bicara dengan seseorang via telepon. Sampai-sampai tidak menyadari kedatangan Bu Aisyah dan Ersa.

Bu Aisyah mengkode Ersa untuk tidak mengganggu Roy. Membiarkan Roy meyelesaikan obrolannya dengan seseorang ... Binar.

Bu Aisyah tahu, selain karena Roy baru saja menyebut-nyebut nama 'Bin'. Juga karena seantero sekolah juga tahu ... Binar ke mana-mana selalu bersama Roy. Mereka berdua adalah sepasang konco kenthel.

Tanpa bertanya pun, Bu Aisyah juga sudah tahu sebab Roy nongkrong di guru piket. Yang pasti bukan karena gabut.

Baru lah setelah Roy selesai bicara dengan Binar, Bu Aisyah sengaja berdeham kecil. Supaya Roy menyadari kehadiran mereka.

Roy menoleh. Ia cengengesan tahu ada Bu Aisyah di belakangnya.

Tapi senyum Roy langsung hilang, ketika tahu siapa yang sedang bersama guru cantik itu. Seseorang yang menjadi vitamin E untuk Roy -- vitamin emosi!

"Bu Aisyah ... udah lama di sini?"

"Barusan kok, Roy. Tadi kamu ngobrol sama Binar, kan?"

"Iya, Bu. Binar adiknya lagi sakit. Makanya tadi pergi. Saya mau minta surat dispensasi buat dia, Bu." Sekalian Roy memberi tahukan maksud keberadaannya.

"Iya. Saya tahu. Ersa tadi saya ajak sekalian ke sini, mau saya titipin. Eh, ternyata kamu di sini. Saya senang murid-murid memiliki jiwa sosial yang baik."

Roy langsung melirik Ersa. Tadi bocah itu ogah-ogahan dimintai tolong minta surat dispensasi. Eh, giliran yang minta Bu Aisyah ... malah pasrah saja. 'Si Cemen emang!'

"Ya udah, saya buatin surat dispennya dulu." Bu Aisyah mengambil lembar surat dispensasi.

Bel masuk baru saja berbunyi. Saat itu lah Ersa jadikan kesempatan untuk segera pergi duluan. "Bu, karena sudah ada Roy ... saya pamit ke kelas duluan."

"Iya boleh, Sa. Makasih, lho. Besok jangan lupa ... kamu sama Binar temui saya, untuk membicarakan soal olimpiade."

"Iya, Bu. Permisi." Ersa buru-buru pergi dari sana.

Ia bahkan tidak mau repot-repot melirik balik Roy, yang sedang meliriknya dengan sengit.

"Jadi urusannya ada kepentingan keluarga ya, Roy?" Bu Aisyah bertanya untuk memastikan.

"Iya, Bu," sahut Roy yang segera pasang tampang ramah pada Bu Aisyah.

"Rangkap 2 yang, Roy. Satunya buat kelas. Satunya buat Pak Sastro." Bu Aisyah menyerahkan 2 lembar surat dispensasinya.

"Baik, terima kasih, Bu."

***

Keesokan harinya ....

Setelah bel istirahat berbunyi, Binar tidak terburu-buru menemui Bu Aisyah. Ia mampir ke kantin dulu beli roti. Sejak semalam perutnya belum terisi apa pun.

Ia tetap kerja walau pun Pijar opname. Namanya juga anak buah, harus menurut pada juragan kalau tak mau dipecat.

Pijar tak masalah ditinggal. Karena anak itu sudah biasa sendiri. Toh ia sebenarnya tidak benar-benar sendirian. Ya begitu enaknya kalau punya asuransi kelas 3. Di kamar jadi banyak teman. Walau pun kekurangannya ... privasi seolah menghilang dari muka bumi.

Meski begitu Binar sebenarnya tetap tak tega meninggalkan adiknya. Tapi mau bagaimana lagi.

Biasanya di rumah sebelum berangkat sekolah, Pijar selalu sudah menyiapkan makanan. Juga memaksanya untuk makan. Pagi ini tidak ada siapa-siapa di rumah. Mau membuat makanan juga sudah terlambat. Makanya sekarang mau tak mau Binar harus mengisi perutnya. Supaya lambungnya tidak makin rewel.

Binar sempat bersimpangan dengan Ersa tadi. Ia buru-buru sekali menuju ke ruang guru. Sementara Binar masih menyantap sarapannya.

***

"Lho, Binar mana, Sa?" Bu Aisyah langsung menanyakan Binar, bahkan hanya selangkah sejak Ersa masuk ruang guru.

Belum-belum suasana hati Ersa sudah dibuat jelek. Tapi demi olimpiade, Ersa tahan-tahan emosinya.

"Tadi beres pelajaran saya lihat dia langsung keluar kelas. Saya pikir udah ke sini duluan." Ersa menjawab apa adanya.

"Kalian ini satu kelas lho, harusnya ke sini barengan."

Ersa hanya tersenyum tipis. Hampir tak terlihat, saking terpaksanya.

"Permisi ...." Suara seseorang yang baru saja masuk.

Bu Aisyah, Ersa, dan beberapa guru lain di dalam sana langsung menoleh ke sumber suara. Binar ternyata.

"Maaf ya, Bu. Saya baru datang. Sarapan dulu tadi." Binar membungkuk sopan sebelum duduk di sebelah Ersa.

"Oalah ... iya nggak apa-apa, Bin. Gimana adik kamu? Sudah sehat?"

"Alhamdulillah, sudah lebih baik, Bu. Tapi masih opname."

"Semoga cepet baikan adiknya."

"Aamiin. Terima kasih doanya."

Ersa melihat ketulusan dalam setiap kata yang diucapkan oleh Binar. Kentara bahwa Binar sangat menyayangi adiknya. Sebuah perasaan yang tidak dipahami oleh Ersa.

Karena Ersa tidak punya saudara.

"Kamu pasti sudah dengar dari Ersa atau Roy, soal olimpiade itu, kan?"

Binar mengangguk. "Iya, Bu."

"Syukur lah kalau begitu. Saya jadi nggak perlu menjelaskan lagi. Kalian berdua akan jadi perwakilan sekolah. Ibu harap, salah satu dari kalian bisa lanjut ke tingkat nasional. Atau lebih baik, kalau dua-duanya berhasil lolos nasional."

Bu Aisyah tertawa kecil mengakhiri kata-katanya. Binar ikut tertawa bersamanya. Sementara Ersa tidak. Bahkan hanya pura-pura tertawa pun terlalu sulit untuk Ersa.

"Mulai besok, pihak sekolah akan memberikan pembekalan dan bimbingan khusus untuk kalian, supaya persiapan menjelang olimpiade lebih matang. Kalau perlu di luar jam pembekalan, kalian juga bisa belajar bersama. Supaya lebih maksimal lagi. Kalian ini sama-sama genius. Kalau kapasitas otak kalian kompak disatukan, niscaya akan menghasilkan perpaduan yang hebat. Bukan begitu?"

Binar masih mempertahankan senyumnya. Dan Ersa masih dalam mode batu, alias diam tak bergerak.

"Bu, terima kasih sebelumnya. Untuk bimbingan dan perbekalannya ... waktunya kapan, ya? Maksudnya apakah setelah sekolah? Atau ketika akhir pekan? Atau ada waktu lain?" Binar yang bertanya.

"Sepertinya akan lebih fleksibel pulang sekolah, Bin. Kenapa? Kamu keberatan?"

"Uhm ... selain karena adik saya masih opname, saya sebenarnya juga punya kegiatan yang harus dilakukan setelah pulang sekolah." Binar nampak tak enak.

"Padat jadwal kamu, Bin. Sejak dulu setiap kali menjelang olimpiade dan pembekalan, alasan kamu konsisten. Kalau bukan soal adikmu, ya kegiatan lain di luar sekolah."

"Iya, Bu. Karena memang itu yang saya lakukan secara konsisten."

"Kalau boleh tahu, kesibukan kamu itu apa, Binar? Apa sebegitu pentingnya, sampai nggak bisa ditinggalkan sama sekali?"

"Iya, Bu. Itu penting. Sebenarnya saya kerja paruh waktu," jawab Binar jujur.

Ia tahu, cepat atau lambat ia memang harus jujur soal kegiatannya sehari-hari. Kalau tidak, Bu Aisyah bisa salah paham. Bisa-bisa ia dianggap tidak menghargai bantuan pihak sekolah dalam memberi pembekalan dan bimbingan.

"Kenapa kamu harus bekerja, Binar? Kamu kan masih sekolah. Apa uang saku dari orang tua kurang?"

Binar menggeleng. "Sebenarnya orang tua saya sudah meninggal, Bu. Saya mau nggak mau harus kerja."

"Innalilahi wa innailairajiun. Maaf, saya nggak tahu, Binar. Bisa-bisanya setelah sekian lama -- bahkan kamu sering ikut olimpiade saya dampingi juga -- tapi saya nggak tahu soal ini. Pantas saja kemarin kamu yang kalang kabut saat adikmu sakit. Saya turut berduka cita, Bin."

"Terima kasih, Bu."

"Ya sudah, nanti bimbingan dan pembekalannya nggak usah lama-lama. Kalau sudah jadwal kerja, kamu bisa izin pulang duluan."

Binar mengangguk setuju. "Sekali lagi terima kasih."

Ketika Bu Aisyah dan Binar banyak bicara ... Ersa masih bertahan dalam mode batu. Namun semakin lama ia jadi mirip batuan vulkanik. Karena emosi dalam hatinya hampir membuatnya meletus.

Ia kesal sekali. Ia menganggap Binar sedang menjual cerita sedih untuk cari muka pada Bu Aisyah.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • muymuy

    Gak di next kak?

    Comment on chapter Hari Pembagian Rapor
Similar Tags
Tanpo Arang
54      45     1     
Fantasy
Roni mengira liburannya di desa Tanpo Arang bakal penuh dengan suara jangkrik, sinyal HP yang lemot, dan makanan santan yang bikin perut “melayang”. Tapi ternyata, yang lebih lemot justru dia sendiri — terutama dalam memahami apa yang sebenarnya terjadi di sekitar villa keluarga yang sudah mereka tinggali sejak kecil. Di desa yang terkenal dengan cahaya misterius dari sebuah tebing sunyi, ...
Menyulam Kenangan Dirumah Lama
867      330     0     
Inspirational
Sinopsis Di sebuah rumah tua yang nyaris dilupakan, kenangan-kenangan bersarang seperti debu di sudut-sudut ruang. Dina, seorang perempuan berusia tiga puluh lima tahun, kembali ke rumah masa kecilnya setelah kepergian sang ibu. Di tengah suara lantai kayu yang berderit dan aroma kayu lapuk yang khas, Dina perlahan membuka kembali kotak-kotak memori yang selama ini dia kunci rapat. Melalui benda...
My First love Is Dad Dead
56      53     0     
True Story
My First love Is Dad Dead Ketika anak perempuan memasuki usia remaja sekitar usia 13-15 tahun, biasanya orang tua mulai mengkhawatirkan anak-anak mereka yang mulai beranjak dewasa. Terutama anak perempuan, biasanya ayahnya akan lebih khawatir kepada anak perempuan. Dari mulai pergaulan, pertemanan, dan mulai mengenal cinta-cintaan di masa sekolah. Seorang ayah akan lebih protektif menjaga putr...
Main Character
1455      865     0     
Romance
Mireya, siswi kelas 2 SMA yang dikenal sebagai ketua OSIS teladanramah, penurut, dan selalu mengutamakan orang lain. Di mata banyak orang, hidupnya tampak sempurna. Tapi di balik senyum tenangnya, ada luka yang tak terlihat. Tinggal bersama ibu tiri dan kakak tiri yang manis di luar tapi menekan di dalam, Mireya terbiasa disalahkan, diminta mengalah, dan menjalani hari-hari dengan suara hati y...
Unknown
260      211     0     
Romance
Demi apapun, Zigga menyesal menceritakan itu. Sekarang jadinya harus ada manusia menyebalkan yang mengetahui rahasianya itu selain dia dan Tuhan. Bahkan Zigga malas sekali menyebutkan namanya. Dia, Maga!
Kota Alkroma: Tempat Ternyaman
527      208     1     
Fantasy
Kina tidak pernah menyukai kota kecil tempat tinggalnya. Impiannya dari kecil adalah untuk meninggalkan kota itu dan bahagia di kota besar dengan pekerjaan yang bagus. Dia pun setuju untuk menjual rumah tempat tinggalnya. Rumah kecil dan jelek itu memang seharusnya sudah lama ditinggalkan tetapi seluruh keluarganya tidak setuju. Mereka menyembunyikan sesuatu. Kemudian semuanya berubah ketika Kina...
Mentari Diujung Senja
1653      885     2     
Fan Fiction
Dunia ini abu untuk seorang Verdasha Serana Kana. Hidupnya ini seperti dipenuhi duri-duri tajam yang tak ada hentinya menusuknya dari seluruh penjuru arah. Ibunya yang tak pernah menghargai dirinya, hanya bisa memanfaatkan Sasha. Lelaki yang di kaguminya pada pandangan pertama malah jadi trauma baginya. Dia tak tahu harus lari kemana lagi untuk mencari perlindungan Philopophy series : Ba...
Kejar Mika!
3584      1140     5     
Romance
Sudah bukan rahasia lagi kalau Pinky jatuh cinta setengah mati dengan Mikail Angelo, pemuda tampan paling populer di sekolahnya yang biasa dipanggil Mika. Jungkir balik dan jatuh bangun mengejar cintanya sedari SMP, yang ia dapat adalah penolakan. Lagi, lagi dan lagi. Pantang menyerah, Pinky berjuang keras demi bisa masuk SMA yang sama dengan pemuda itu. Dan ketika ia berhasil berada di ...
Bunga Hortensia
1652      101     0     
Mystery
Nathaniel adalah laki-laki penyendiri. Ia lebih suka aroma buku di perpustakaan ketimbang teman perempuan di sekolahnya. Tapi suatu waktu, ada gadis aneh masuk ke dalam lingkarannya yang tenang itu. Gadis yang sulit dikendalikan, memaksanya ini dan itu, maniak misteri dan teka-teki, yang menurut Nate itu tidak penting. Namun kemudian, ketika mereka sudah bisa menerima satu sama lain dan mulai m...
Kamu
4016      1583     1     
Romance
Dita dan Angga sudah saling mengenal sejak kecil. Mereka bersekolah di tempat yang sama sejak Taman Kanak-kanak. Bukan tanpa maksud, tapi semua itu memang sudah direncanakan oleh Bu Hesti, ibunya Dita. Bu Hesti merasa sangat khawatir pada putri semata wayangnya itu. Dita kecil, tumbuh sebagai anak yang pendiam dan juga pemalu sejak ayahnya meninggal dunia ketika usianya baru empat tahun. Angg...