"Berhenti bertindak gila, Agatha!" Molly berlari mengejar. Sebelum kakaknya melintasi pintu yang menghubungkan gua bagian dalam, Molly berhasil meraih lengan Agatha. Ia mencengkramnya erat-erat. "Kita hanya punya sedikit waktu sebelum mereka menyadari keberadaan kita!"
"Tapi ini penting, Molly! Tanpa benda itu, aku tak ada apa-apanya!" Agatha bersikeras, menarik lengannya dari cengkraman tangan adiknya. Matanya berkilat dengan penuh semangat dan harapan. Sebuah tekad yang tak dapat digoyahkan.
Seperti biasa, sikap keras kepala Agatha adalah cerminan Molly sendiri, dan itu menjengkelkan. Barang apa yang dimaksud? Apakah kakaknya telah menemukan Keajaiban Bilena?
Molly mengeraskan rahang dan tangannya kembali meraih lengan Agatha.
"Aku tidak peduli seberapa pentingnya benda itu," ucap Molly tanpa celah untuk beradu argumen. "Keselamatan kita sekarang adalah yang terpenting."
Molly tahu, dengan caranya bicara ini, pasti melukai ego Agatha yang setinggi angkasa. Terbukti bagaimana si kakak memandangnya, melotot penuh keterkejutan, lantas menajam dingin. Agatha menarik kembali tangannya dalam satu tarikan yang hampir membuat Molly terhuyung ke depan.
"Tidak. Aku akan mengambilnya—"
"Agatha, sedikit lagi kau akan bebas!" Molly mengerang, suaranya menggema dalam gua sunyi, membuat ketiga kawannya menghentikan pelarian mereka di dekat pintu ilusi.
Sudut mata Agatha menyipitkan, masih bersikeras dalam pendiriannya. "Aku tidak akan pergi dari desa ini."
"Jangan bercanda, kita pulang sekarang! Walaupun hari berganti gelap sekalipun!" Molly mengepalkan tangannya, suaranya meninggi.
Agatha melemparkan tatapan tajam kepada adiknya. Mulutnya terkatup rapat-rapat, tak ada respon lain selain menggelengkan kepala pelan. "Kau tak mengerti—"
"Kita baru saja bertemu, dan kau baru saja bebas!" Molly melangkah mendekat, rasa frustrasinya meletup-letup, tangannya dikepalkan demi menahan agar tak menampar wajah kakaknya. "Aku tidak bisa membiarkanmu terjebak lagi hanya gara-gara ... benda apa pun itu!"
"Benda itu bukanlah benda biasa, Mol," sahut Agatha, masih keras kepala. "Aku rela pergi dari rumah untuk mendapatkannya, dan aku tak bisa meninggalkannya begitu saja. Hanya itu, Mol, hanya benda itu jalan satu-satunya bagiku untuk mengontrol essentia-ku. Dan kau—"
"Jangan bercanda, apa yang kau lakukan hanyalah mendatangkan kekacauan lain, Agatha," Molly menggeram. "Taruhannya sudah jelas, kau akan mencelakakan kita lagi karena keegoisanmu! Kau bukan satu-satunya yang mempertaruhkan segalanya di sini. Aku adikmu, dan aku peduli padamu, tapi aku tidak akan membiarkan egomu menyeretku dan Pandia ke lubang neraka yang kau ciptakan!"
Keheningan membentang di antara kedua saudari itu. Masing-masing menatap mata tajam dan berkaca-kaca. Mereka memiliki maksud baik tersendiri, namun terhalang oleh ego tinggi yang membungkam logika.
Rolan, Aldir, dan Adamus menyaksikan dalam penuh kekhawatiran. Kemudian, Rolan menyuruh ayah dan anak itu agar pergi terlebih dulu dari Sarang Dalam. Sedangkan Rolan sendiri memilih untuk melerai kakak dan adik itu.
"Mawar Merah." Rolan menepuk bahu Molly yang menegang. "Kita harus pergi dari sini. Efek kemampuanku terbatas."
"Aku tahu!" bentak Molly.
Meskipun begitu, Agatha tetap berdiri tegak, memutar badannya penuh presisi, dan berkata tegas, "Aku akan tetap mengambil benda itu. Jika kau ingin pergi, pergilah, adikku. Aku akan menemuimu nanti di luar desa."
Molly tersentak melihat kakaknya berlari masuk ke bagian terdalam gua. Ia mengulurkan tangan hendak meraih tangan kakaknya, namun Agatha terlalu cepat dan licin.
"Agatha, jangan!" Molly mengumpat, mendapati kakaknya menghilang dalam bayangan gelap, bergerak cepat menuju ke ruangan Druid Agung. Hati Molly semakin tenggelam dalam keputusasaan ketika melihat kakaknya yang serius atas keputusannya. "Kau tidak mungkin serius!" teriaknya seraya berlari mengejar Agatha dari belakang.
"Hei!" Rolan berteriak, dia mengulurkan tangan hendak menarik Molly kembali, namun perempuan itu sama licinnya. Terjebak antara kekhawatirannya pada Molly dan kebebasannya sendiri, Rolan hanya bisa berdiri di sana, bingung dan kacau.
Namun, saat Rolan akhirnya memilih untuk menyusul, tepat ketika baru saja hendak melangkahkan kaki, tiba-tiba suara gemuruh derap kaki dari arah penjara terdengar. Dia dan Moko terkejut, mendapati dua druid penjaga penjara yang telah terbangun.
"Jangan bergerak!" teriak yang berambut terang seraya menodongkan tombaknya ke arah Rolan.
Yang satunya berubah menjadi serigala purba besar dan berbulu lebat. Dalam bentuk serigalanya, si penjaga penjara melolong memanggil bantuan. Rolan hanya bisa mengangkat kedua tangannya ke udara, begitupun Moko yang ketakutan di bahunya.
Detik berikutnya terdengar kegaduhan dari pintu utama Sarang Dalam.
"Hebat," gumam Rolan tidak habis pikir dengan kondisi mereka sekarang. "Benar-benar hebat."