Molly melintasi lorong gelap nan dingin di sepanjang gua, mengabaikan seruan Rolan. Sepanjang pelariannya mengejar Agatha, dia hanya mendengar derap langkah kaki kakaknya di depan, miliknya, serta tetesan air dari langit-langit.
Napasnya tersengal-sengal, dadanya berdebar-debar, dan tungkainya terasa sakit hingga membuatnya sempat tersandung batu. Untungnya Molly berhasil menyeimbangkan tubuhnya dan melanjutkan pelariannya menyusul Agatha.
Langkah kakinya berhenti saat tiba di sebuah ruangan besar dengan kursi dan meja yang terbuat dari batu. Molly terengah-engah dan bertumpu pada sebuah meja batu. Dia memanggil nama kakaknya lemah.
Grek!
Molly berjingkat, merasakan getaran tidak biasa dari telapak kakinya. Debu pada langit-langit gua jatuh rontok mengenai rambut emasnya.
Di sana, Molly melihat Agatha sedang berdiri di depan sebuah pintu batu, yang bergeser ke atas membuka sebuah jalan. Perempuan berambut emas itu terperangah, pintu batu itu benar-benar bergerak sendiri hingga menimbulkan suara gesekan yang membuat bumi bergetar pelan.
"Agatha," panggil Molly lemah, masih berusaha mengatur napas akibat berlarian di lorong barusan. Sayangnya, Agatha tak menggubris dan malah masuk ke dalam ruangan itu. "Sialan!"
Mau tak mau, Molly mengejar dari belakang. Dia menghentikan langkah saat tiba di ambang pintu batu. Mendapati ruangan itu adalah kamar tidur biasa, dengan ranjang batu dan selimut dari kulit hewan. Dilengkapi oleh rak buku dari batu. Lantainya berbeda dengan di aula depan, tanahnya lebih padat dan ditumbuhi oleh rumput liar kecil. Ketika Molly menengadah, dia melihat cahaya bulan masuk melalui celah bebatuan di langit-langit.
Di sana, di dekat sebuah rak buku yang terbuat dari batu, Agatha membungkuk seraya mengulurkan tangan untuk meraih sesuatu.
"Agatha, ruangan ini terlarang," Molly berkata seraya berjalan mendekat. "Bagaimana bisa kau membukanya?"
Agatha tidak menjawab, wajahnya sempat ditekuk ketika dia sedang mengambil sesuatu itu. Namun Molly dapat melihat sesuatu yang melingkar di bagian kepala kakaknya, sebuah mahkota sederhana yang terbuat dari akar tumbuhan. Dia heran, sebab Agatha tidak memakai benda itu sebelumnya.
"Agatha," Molly menuntut.
"Diam, Molly!" tegur Agatha setengah menggeram, masih berusaha untuk mengambil sesuatu dari balik rak buku itu. Kemudian dengan susah payah, Agatha menarik sesuatu yang terbuat dari batu dari sana.
Mata Molly membulat. Sebuah patung batu, tinggi selutut, entah bagaimana bentuknya. Jadi benar, Agatha mencuri patung itu dan menyembunyikannya di ruangan pribadi Druid Agung, pantas para druid tidak bisa menemukannya.
"Syukurlah masih ada di sini," Agatha bergumam seraya mengusap patung itu perlahan.
Molly menunjuk patung itu dan berkata, "Demi para leluhur, apa yang kau lakukan, Agatha? Kau betulan mencuri benda itu?"
"Aku hanya meminjamnya," Agatha menjawab acuh tak acuh, menaikkan kedua bahunya.
"Ini salah, Agatha," tegur Molly. Namun, Agatha masih tidak peduli dengan omelan adiknya. "Kau membuat kekacauan di tempat orang lain. Lalu, masuk ke ruangan tanpa dipersilakan, aku berani bertaruh mahkota dari akar itu pasti juga kau curi dari seorang druid."
"Berhenti menyebutku pencuri, Mol, mahkota ini kubeli di pasar gelap." Agatha memutar matanya jengkel. Dia kemudian berjalan cepat menuju ke bagian bawah meja batu, menarik sebuah pedang panjang—pedang yang biasa dibawa Agatha untuk bertugas, juga mengumpulkan barang-barang yang berhasil disembunyikannya.
Molly melipat tangannya dan berkata, "Membelinya? Aku tidak percaya itu." Dia menggertakan rahangnya dan menambahkan, "Apakah kau tahu kekacauan yang kau buat, Agatha?"
"Santai, Molly. Setelah memakai patung ini, aku akan mengembalikannya," sahut Agatha. Nadanya sangat santai, tanpa beban, dan riang. Jari-jari lentiknya menyusuri setiap ukiran rumit dan lekuk patung.
Namun sikap Agatha yang acuh tak acuh hanya membuat darah Molly semakin mendidih.
"Santai, kau bilang?" Molly melotot tidak percaya. "Apa yang kau pegang adalah milik para druid, dan mereka mengagungkannya, Agatha. Mereka panik mencari patung itu. Jangan main-main!"
Tangan Molly terulur hendak meraih patung itu, namun Agatha dengan cepat mengambil jarak dan menjauhkan benda itu dari jangkauan adiknya.
"Mereka bisa mengatasinya, kalau perlu membuatnya kembali," jawab Agatha ringan seraya mengangkat bahunya. "Selain itu, aku hanya meminjam. Kalau mereka heboh, mungkin ini adalah saatnya mereka belajar untuk lebih memperketat penjagaan agar siap menghadapi ketidakpastian di masa depan."
Agatha lantas berjalan menuju ke sebuah dinding batu di dekat rak buku di seberang ruangan.
Molly menutup matanya, menarik napas dalam-dalam, tangannya dikepalkan di samping tubuh, dan bahunya menegang. Akan tetapi dia harus menjaga emosinya, semakin Molly mendorong Agatha, kakaknya hanya akan semakin menjauh.
"Ini bukan tentang pembelajaran," sahut Molly mendekat. "Ini tentang konsekuensinya. Orang-orang khawatir karena satu-satunya yang menghubungkan mereka dengan alam adalah patung itu."
Agatha menengadah, mengamati dinding batu yang ada di hadapannya. Tangannya menggendong patung itu dengan erat. "Mungkin memang sudah waktunya bagi mereka mengalihkan fokus dari patung ini dan mulai menjelajahi kepercayaan yang ada dalam diri mereka sendiri."
"Kau berbicara seolah kau tidak membutuhkan artefak untuk tujuan tertentu," Molly menggeram jengkel.
Agatha melirik tajam adiknya dan menjawab, "Yah, keajaiban bisa datang dari mana saja, Mol."
Baru saja mengatupkan mulut, ketika Agatha menolehkan kepalanya ke arah dinding batu, tiba-tiba dinding batu itu bergeser menjadi tiga bagian, bergerak menuju ke kanan, kiri, dan atas. Suaranya menggema dan bergemuruh. Hingga terbukalah sebuah pintu rahasia yang menghubungkan sebuah jalan yang sunyi dan gelap. Angin dari dalam berhembus dan membelai wajah kedua bersaudara itu.
Sial, Agatha benar-benar merencanakan sesuatu yang dapat membahayakan kita berdua.
"Bagaimana dengan Pandia, Agatha?" tanya Molly lembut memecah keheningan, berharap Agatha mengurungkan niatnya untuk masuk lebih jauh lagi. "Pandia sendirian di rumah. Kau tahu bagaimana jadinya kalau dia sampai ketakutan."
Pernyataan itu membuat Agatha berhasil menghentikan langkah kakinya. Bahunya merosot dan pandangannya melembut sebentar. "Aku sudah meninggalkan catatan untuknya." Sikap defensifnya kian menjengkelkan. "Dia akan baik-baik saja."
"Catatan? Catatan apa, Agatha? Dan apakah menurutmu catatan itu akan membuat Pandia baik-baik saja?" Molly menyipitkan matanya, masih memprotes. "Asal kau tahu, kau telah lari dari tanggung jawabmu. Kenapa kau selalu saja bersikap egois, tanpa memikirkan konsekuensinya terhadap orang lain?"
Dan Agatha hanya menanggapinya dengan menghela napas panjang. Mata birunya melihat sekeliling lorong, jelas lebih tertarik dengan pemandangan gelap tanpa batas ini dibanding omelan Molly.
"Kau akan mengerti begitu aku berhasil menemukan artefak itu." Dengan begitu, Agatha berlari melintasi lorong gelap menjauh dari adiknya.
"Apa?!" Suara Molly menggema, kemudian dia terhuyung mengikuti Agatha kembali.
Keduanya berlari di lantai tanah yang padat dan ditumbuhi oleh rumput liar. Semakin mereka masuk ke dalam, semakin sesak dan pengap pula kondisi gua ini. Namun, Agatha tidak ambil pusing, dia tetap berjalan lurus, begitupun Molly yang mengikutinya dari belakang. Setiap langkah kaki disertai oleh napas pendek dan debaran dada yang tidak menentu.
Lama sekali berada dalam lorong itu, kini Molly dan Agatha melihat secercah cahaya di ujung jalan. Tibalah mereka di sebuah gua yang lain. Kedua bersaudara itu terperangah, membuka mulut mereka lebar-lebar kagum.
Gua ini terhampar megah, dindingnya dilapisi oleh stalaktit yang berkilauan bagai permata berwarna biru dan hijau. Pada tengah-tengah, terdapat air terjun yang memancarkan air berkilauan dari Sungai Berlian, menciptakan suara gemuruh yang menenangkan. Di samping air terjun terdapat tanah yang menjorok ke depan, membentuk tanjakan kokoh dengan meja batu misterius di permukaan. Dari atas, cahaya bulan menembus celah gua, masuk lurus ke bagian meja batu.
Belum selesai Molly terkagum-kagum dengan pemandangan ini, dia dikejutkan oleh Agatha yang telah lebih dulu berada di bawah, berjalan cepat menuju ke tanah yang menjorok di dekat air mancur.
Cepat-cepat Molly berlari menuruni jalanan licin untuk menyusul kakaknya. Namun Agatha telah lebih dulu berada pada tanjakan tanah di dekat air terjun. Dia juga telah meletakkan patung batu itu di atas meja batu. Belum sempat bernapas lega, cahaya biru pada Sungai Berlian padam. Seluruh tempat di gua menjadi gelap gulita.
Molly tercekat, dadanya berdebar semakin tidak menentu. Langkah kakinya terhambat oleh lumpur yang licin.
"Agatha!"
Molly terus melangkah cepat, menajamkan fokus pandangannya, berharap dalam hati bahwa matanya bisa segera beradaptasi dengan kegelapan.
"Agatha!" Molly berteriak dengan suara serak.
Molly tersentak saat melihat cahaya jingga terang dari arah tanjakan. Ia mempercepat langkahnya, hanya untuk mendapati Agatha yang terbungkus dalam pelukan api bercahaya terang, seolah alam semesta memutuskan untuk menari di sekelilingnya. Api itu berputar lembut, menciptakan pola tarian penuh gairah, seakan menyampaikan kisah-kisah dalam jiwanya. Bagaikan dua sisi koin yang sama, api itu melambangkan kelembutan juga kekuatan.
Api itu berbisik lembut dan penuh penghormatan pada Agatha. Menyampaikan pesan yang mendesak tentang keberanian dan penaklukan. Lantas merangkul tubuh Agatha erat, membentuk lingkaran perlindungan, seolah mengingatkan siapa pun bahwa dalam setiap jiwa ada bara api yang tak akan pernah padam.
"Wow."
Molly terperangah. Agatha memeluk kemampuannya dengan penuh rasa percaya diri, tidak ada penyangkalan sepertinya, dan api itu tunduk kepada sang essentor dalam penuh penghormatan. Tidak mirip seperti Molly yang masih kurang percaya diri.
Baru saja terpaku mengagumi sosok kakaknya, api itu mengurung tubuh ramping Agatha. Molly berteriak sejadi-jadinya dan berlari menyusul. Matanya melekat kuat-kuat pada sosok Agatha. Api yang membara besar menyinari seluruh bagian gua. Kobarannya mirip hewan buas di tengah hutan, liar tak terkendali. Suara gemuruh teriakan kesakitan Agatha memekakan telinga Molly, menggema dan teredam oleh guyuran air terjun.
"Agatha!" Teriakan Molly diselingi rasa takut. Hatinya tergigit oleh kepanikan juga kekhawatiran. Seluruh dunia berputar, setiap detik dia melangkah, terasa seperti seabad lamanya.
Agatha yang panik berusaha memadamkan api dalam tubuhnya. Mata mereka bertumbuk ketika Molly hampir tiba di dekatnya. Namun, saat tangan mereka hampir bersentuhan, Molly menyaksikan usahanya meleset.
"Molly!"
"Tidak, tidak, Agatha!"
Teriakan keputusasaan itu menggema seraya Agatha mengulurkan tangannya ke udara, berharap si adik dapat meraihnya, menariknya hingga terbebas dari panas api.
Dengan napas terengah-engah, Molly melongok ke bawah tanjakan, Agatha tidak ada di sana. Nyala api yang membakar tubuh kakaknya lenyap begitu saja dalam satu kedipan mata, menguap di udara bagai embun di pagi buta.
Hening, kecuali suara air terjun yang deras di belakangnya yang terdengar. Detik itu juga, sungai Berlian kembali bersinar, stalaktit dan stalakmit kembali bersinar biru kehijauan.
Molly berlari mengecek ke dekat sungai. Pandangannya mengedar ke seluruh ruangan. Sampai akhirnya, dia berlutut lesu, tubuhnya membeku, napasnya sesak, seolah jiwanya telah kosong. Tidak ada suara cipratan air atau petunjuk lain setelah Agatha terjatuh.
"Agatha!" Kali ini Molly berteriak panjang, sekuat tenaga yang dimilikinya, hingga membuat dadanya sakit. Napasnya tersengal-sengal, dadanya naik turun cepat, dan matanya berkaca-kaca. Pikirannya dikaburkan oleh rasa panik.
Molly memanggil nama kakaknya berkali-kali.
Namun nihil.
Di mana Agatha sekarang?[]