Mendengar kata-kata ibu, membuatku tiba-tiba merasa seperti seorang anak yang durhaka. Aku sudah begitu egois dengan hanya memikirkan perasaanku sendiri. Tak ada jalan lain, selain menuruti keinginan ibu. Bagiku, kata-kata ibu adalah hukum yang wajib aku patuhi. Bukan karena aku takut, tapi karena aku sangat menyayangi dan menghormati ibu.
Sejak kecil, aku melihat betapa beratnya hidup yang harus ibu jalani dan juga besarnya tanggung jawab yang harus ibu pikul seorang diri untuk mengurusku serta menyekolahkanku hingga saat ini. Bagaimana ibu bekerja begitu keras dengan menjual kue di pasar, hingga kini akhirnya ibu bisa punya toko kue sendiri. Aku tak ingin mengecewakan ataupun membuat ibu bersedih, apalagi hanya karena masalah cowok. Ah sudahlah, berteman lebih baik. Menjadi saudara apalagi -- itu bahkan jauh lebih baik. Sebatas itu saja. Ya, hanya sebatas itu saja yang ibu ijinkan -- sebatas suka, sebatas teman, dan sebatas saudara.
Aku mengangguk lemah mengiyakan apa yang ibu sampaikan. Tak ada lagi kata yang dapat keluar dari bibirku saat ini. Aku harus mulai membiasakan diri. Entah apakah aku mampu? Ah, semoga saja aku mampu. Aku tahu, saat ini Angga juga merasakan hal yang sama denganku. Hal ini pasti terasa berat juga baginya.
Ibu memandangku dengan wajah sendu, membuat pikiranku semakin kacau. Aku tahu bahwa ibu juga pasti sedih karena meminta hal ini dariku. Kami berdua berpelukan dalam diam. Ibu mengelus pundakku lembut, terdengar desahan panjang dari bibir ibu. Tanpa sadar airmataku luruh.
Ibu berbisik pelan di telingaku, "Dita, Ibu tak mengira, kini kau sudah tumbuh dewasa. Tapi bagi ibu, kau selamanya tetap gadis kecil kesayangan ibu. Maafkan Ibu ya sayang, meminta ini darimu. Maafkan ibu!"
“Tidak apa-apa, Bu. Ibu berhak meminta ini dariku dan sudah sepantasnya aku memenuhi keinginan ibu, ucapku sambil memeluk ibu. Kalaupun ada yang harus berkorban, itu adalah aku