Berdasarkan saran dari May, Ellie dan Novietta, Aku menghindari kantin bu Tri yang sering didatangi Yano juga menghindari segala kegiatan yang berdekatan dengan kelompok mereka. Aku selalu pulang sekolah paling awal bersama May. Aku tidak pernah jauh jauh dari May dan murid yang lain, makanya aku terlindung dari Yano yang sering nongkrong disekolah.
Memang berhasil, gara-gara usahaku itu frekuensiku bertemu dengan Yano jadi berkurang. Sayangnya taktik Yano lebih canggih dibanding taktikku, Ellie, May dan Novietta. Kelompoknya sudah merencanakan sesuatu yang lain. Kali ini entah bagaimana aku dan Novietta masuk dalam kelompok relawan bersih bersih ruang perpustakaan padahal seingat kami aku dan Novietta boro-boro pernah mendaftar.
Awalnya, bu Hana guru bahasa Indonesia kami tiba-tiba memanggil nama kami saat ditengah pelajaran beliau. Bu Hana senang sekali karena kami bersedia untuk membantunya dan petugas sekolah untuk bersih bersih ruang perpustakaan. Awalnya aku dan Novietta hanya bisa bengong, tapi kemudian setalah ditelusur ternyata Yano dan teman-temannya bilang ke pak Yusuf, penjaga sekolah kami kalau aku dan Novietta bersedia untuk membantu-bantu.
Aku dan Novietta terjebak dalam keadaan sulit. Kita sama-sama nggak tega memberitau yang sebenarnya ke bu Hana kalau kita nggak tau menahu soal proyek bersih-bersih. Apalagi setelah mempertimbangkan kalau seandainya kami menolak, kami pasti nggak enak dengan bu Hana dan pak Yusuf. Lagian kalau menolak, bingung juga harus menjelaskan panjang lebar tentang hubungan kami dan Yano. Maka dari itu akhirnya mau nggak mau kami mengiyakan.
Puncaknya, aku juga nggak mengira kalau Novietta juga bakalan gagal menghentikan usaha Bella untuk memajang fotoku lagi. Mengerikan, bahkan sekarang aku saja sampai terbiasa melihat foto jelekku nongkrong di mading sekolah. Yang pertama fotoku sedang bersin, minggu selanjutnya fotoku sewaktu menguap dilanjutkan fotoku sedang bengong.
Fotoku edisi minggu ini yang terparah dibanding foto-foto sebelumnya. Fotoku sedang mengangkat jaring berisi banyak bola basket dipunggung. Yaa mirip-mirip sinterklas sedang membawa karung hadiah. Fotonya nggak aneh- bagiku. Wajahku biasa- biasa saja seperti sedang mencangklong tas mewah mahal. Ya tapi justru itulah yang jadi masalah, kesannya aku kecil tapi tenaganya besar seperti pesumo. Karena foto itu aku jadi sering dimintai anak-anak dikelas buat ngangkat-ngangkat barang.
“Kamu sekarang sudah kayak maskot sekolah.” Gumam Saga dari sebelahku. Aku nggak ngerti kenapa dia mengikutiku ke depan mading saat jam istirahat dihari ketiga setelah foto itu dipajang. Aku curiganya sih kemungkinan besar supaya ia bisa ngeledekin.
“Itu pujian atau ngejek?” Tanyaku balik
“Kamu bisa nekut tanganmu kayak gini?” tanya Saga sambil menekuk lengan dan mengempalkan tangannya seperti atlet badan besi sedang pamer otot lengan.
“Ya bisalah.” Jawabku bingung, mengikuti gerakan Saga.
Saga memandangi lenganku lalu aku sadar aku sedang dikerjai olehnya. Tentu saja aku nggak punya urat-urat yang bermunculan di lengan. Tentu saja dagingku lembek seperti pada umumnya orang yang gak tau olahraga. Tentu saja nggak kayak tangan Saga yang rajin main basket dan futsal tiap hari. Saga mendengus tertawa.
“Apa Saga belum tau kalau ada fotomu juga dipajang?” Sahutku untuk menakut-nakutinya. Tapi aku nggak bohong soal itu, Novietta yang memberitauku.
Senyum Saga hilang. Mulutnya melengkung cemberut. Ternyata ia belum tau kalau ada fotonya dipajang. Aku tertawa, Saga mengedarkan pandangan kesepanjang mading mencari fotonya begitu juga aku-aku juga belum lihat.
Begitu menemukan fotonya, alis Saga naik satu-nggak peduli. Aku menyusup didepan Saga untuk melihat bentuk fotonya. Begitu melihat, dalam hati aku mengasihani diriku sendiri. Kok bisa-bisanya foto Saga justru seperti model yang muncul di halaman depan majalah fashion terkenal.
“Kamu fotogenik.” Pujiku.
“Huh?” Sahut Saga kesal. Ia langsung menarik pipiku. Aku harus minta maaf berkali-kali dulu sampai Saga mau berhenti menarik-narik pipiku.
Aku memegangi pipiku yang habis ditarik-tarik Saga. Tiba-tiba mataku bertubrukan dengan mata Yano dan Bella yang berdiri beberapa langkah dari tempatku dan Saga berdiri. Wajah mereka seperti hendak mencincangku menjadi 12 bagian.
Tadinya kalau aku kebetulan sedang berjalan di sebelah Saga dan kebetulan berpapasan dengan geng Yano, geng Yano nggak banyak berkutik. Keberadaan Saga membuat Yano dan teman-temannya mati kutu entah karena apa. Setiap melihat wajah canggung Yano saat kami berpapasan, selalu berhasil membuatku terkikik geli. Sayangnya, begitu mendengar berita dari Novietta kalau ada rumor menyebar kalau aku suka ngintilin Saga kemana-mana kayak perangko, aku mencoba untuk menghindari terlalu sering kelihatan berjalan disebelah Saga.
Aku terbirit-birit melipir pergi. Saga mengejar langkah kakiku dengan mudahnya, “Kenapa lari?”
“Aku nggak lari.” Protesku.
“Bohong! Kenapa lari?” Seru Saga.
“Terus ngapain? Masa aku ngajak mereka adu jotos?” Tanyaku heran.
Saga mengangkat alisnya.
“Moga-moga Yano nggak naik kelas.” Ujarku pelan.
Tiba-tiba Saga berbalik arah menuju kearah Yano. Mulutnya nyaris berteriak memanggil nama Yano. Aku buru-buru mencoba membekap mulutnya, panik.
“Kenapa? Doamu mau kusampaikan ke Yano.”
“Hah?” Pekikku nyaris menjerit buru-buru menarik tangannya masuk kedalam kelas.
Saat berada didalam kelas, Saga tertawa terbahak-bahak sampai anak-anak satu kelas menatapnya heran dari posisi mereka masing-masing. Semakin aku mencoba cemberut semakin lebar tawanya.
Aku berusaha masa bodoh dengan mengeluarkan handphone dari dalam kantung rokku, tanpa sengaja contekan rumus yang kubuat untuk persiapan ulangan Matematika jatuh di lantai. Saga dengan senyum gentleman mengambilkan contekan itu dan menyerahkannya kedepan wajahku. Kali ini aku sungguhan menjerit malu dalam hati.