Jika Papa masih ada, sudah pasti dia yang akan mengantar Ava berangkat kuliah seperti saat ia mengantarku. Tapi Papa tidak ada di sini jadi kata Mama dia yang akan mengantar Ava.
“Mama tidak perlu mengantar. Ava bisa pergi bersamaku,” kataku.
“Orientasi Ava itu tanggal 1. Kamu kan masih magang tanggal segitu. Kamu menyusul saja sebelum semester mulai tanggal 21,” katanya.
“Aku bolos magang saja. Programnya membosankan,” kataku.
“Jangan. Tidak baik seperti itu. Kau harus menyelesaikannya,” kata mama.
“Tapi Ma, kami tahu kau tidak suka pergi ke Amerika,” kataku.
“Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?” tanyanya. Aku memutar bola mataku.
“Ava, beritahu Mama bahwa kamu tidak perlu diantar,” kataku.
“Aku tidak perlu diantar, Ma,” kata Ava.
“Aku akan mengantarmu,” jawab Mama.
“Ma, aku sudah besar. Aku bisa berangkat sendiri,” kata Ava. Mama memandangnya seolah ia baru mengatakan sesuatu yang ajaib. Mungkin sedewasa apapun kita, kita tidak pernah sedewasa itu di mata orang tua kita. Lalu tiba-tiba Mama menangis. Aku dan Ava duduk lebih dekat dengannya.
“Ma,” kataku sambil memeluknya dari sisi ini. Ava melakukan hal yang sama dari sisinya. Dan untuk sementara kami hanya berdiam seperti itu. Tanpa harus mengatakannya, kami tahu bahwa kami semua begitu merindukan papa. “Ma,” bisikku. “Jika Mama mau mengantar Ava, oke. Tapi jangan terpaksa pergi hanya karena Mama merasa harus menjadi mama dan juga menjadi papa bagi kami. Ava tidak masalah jika tidak diantar. Begitu kan, Ava?” kataku. Ava mengangguk-anggukan kepalanya.
“Ya. Tidak apa-apa, Ma. Aku bisa berangkat sendiri,” katanya.
“Aku.. aku tidak ingin kau merasa... terabaikan,” kata Mama.
“Tidak, Ma. Aku tidak merasa itu,” kata Ava.
“Iya, Ma. Kami tidak pernah sama sekali merasa Mama mengabaikan kami. Mama hanya tidak suka pergi ke Amerika. Mama tidak suka penerbangan panjang,” kataku, meminjam alasan yang waktu itu pernah disebut Papa.
“Begini saja, aku akan minta lembur supaya dapat menyelesaikan program magangku lebih pagi. Dengan begitu aku dan Ava bisa berangkat bersama,” kataku.
“Bisa begitu?” tanya Mama.
“Bisa. Tapi aku punya satu permintaan,” kataku.
“Apa?” tanya Mama.
“Tahun depan Mama harus ke Amerika. Karena aku diwisuda,” kataku. Mama mengangguk.
“Ya. Pasti,” kata mama. Dan kami berdua kembali memeluknya seerat yang kami bisa.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page