“Ava...,” kataku. Tapi lalu aku tidak mampu melanjutkannya.
“Anna, jangan katakan,” katanya. Dan untuk sesaat aku begitu tergoda untuk tidak mengatakannya. Bukankah memang ada hal-hal yang lebih baik tidak dikatakan? Dan yang sebenarnya, bukankah semua tengkorak memang lebih baik ditinggalkan di dalam lemari? Tapi tidak, aku tidak punya banyak waktu dan aku tahu aku akan menyesal seumur hidup bila aku tidak mengatakan hal ini padanya.
“Ava bukan anakmu.” Begitulah. Sudah kukatakan. Aku sudah membuka pintu lemarinya lebar-lebar dan mengeluarkan tengkorak itu dari sana, tulang demi tulangnya. Aku merasakan tangannya pada kepalaku. Dengan lembut, ia menariknya sampai kepalaku terbaring pada dadanya lagi.
“Aku sudah tahu,” katanya. Aku mengangkat kepalaku lagi dan memandangnya tak percaya.
“Kau.. tahu?” tanyuaku.
“Tentu saja aku tahu,” katanya.
“Bagaimana... sejak.. sejak kapan?” tanyaku.
“Sejak kapan ya... mungkin sejak lesung pipit Ava terlihat jelas. Harus kau akui Ava memiliki lesung pipit papanya,” katanya.
“Lesung pipit? Kau tahu hanya dari lesung pipit itu?” tanyaku keheranan.
“Suatu hari aku perlu si sopir untuk mengantar sesuatu dan waktu ku telpon, ia bilang ia sedang di tempat parkir hotel Borobudur, menunggumu. Aku tahu itu bukan tempat yang biasa kau kunjungi dengan teman-temanmu. Dan malamnya saat aku bertanya tentang harimu, kau tidak menyinggung apa-apa tentang pergi ke sana. Pertamanya aku tidak memikirkannya. Tapi waktu lesung pipit itu muncul, aku lalu mulai menghitung,” katanya.
“Dan... dan selama ini.. kau tidak pernah marah padaku?” tanyaku.
“Oh aku marah. Sangat marah,” katanya.
“Tapi kau tidak bilang padaku?” tanyaku.
“Yah, jika aku bilang lalu apa yang akan terjadi? Kau mungkin akan pergi kepadanya. Dan aku berani bertaruh nyawa bahwa kau akan membawa Liam dan Ava. Lalu aku akan sendirian. Paling-paling aku bisa merebut hak asuh atas Liam. Jika aku berhasil, lalu Liam yang akan menderita. Dan akhirnya, keluarga kita akan dibantai seperti tukang daging memotong daging sapi,” katanya. Suaranya kecil, kering dan penuh kekalahan. Aku memeluknya sekuat yang kubisa.
“Tidak. Aku tidak akan mungkin meninggalkanmu dan pergi kepadanya,” kataku.
“Aku tahu. Kau tidak mungkin berinisiatif melakukan itu. Tapi bagaimana jika aku mengatakan atau melakukan sesuatu yang membuatmu tidak punya pilihan lain selain melakukan itu?” tanyanya. “Bagaimana jika aku yang membuatmu pergi?” lanjutnya. Dan aku benar-benar tidak tahu bagaimana membantah kalimat itu. Jika ia marah dan bilang bahwa dia tidak dapat memaafkanku, pilihan apa yang kupunya? Dan tiba-tiba aku sadar bahwa pria ini telah menemukan tengkorak yang kusembunyikan di lemari dan ia telah memilih untuk ikut menyembunyikannya demi menjaga keutuhan keluarga kami. Selama ini kukira aku memikul beban ini sendirian. Aku salah. Dia telah mengambil alih beban ini tanpa kusadari. Dan sekarang hanya ada satu lagi hal yang perlu kutanyakan.
“Apakah kau...” aku memulainya. Tapi lagi-lagi aku tidak mampu melanjutkannya.
“Sama sekali tidak, Anna. Aku tidak membencimu karena ini,” jawabnya. Dan aku heran bagaimana dia tahu itu yang akan kutanyakan. “Dan yang sebenarnya, aku menyalahkan diriku sendiri,” katanya.
“Kenapa?” tanyaku.
“Mungkin jika... jika aku lebih baik, kau akan lebih mencintaiku dan akan lebih mudah melupakannya,” katanya.
“Tidak, Justin. Jangan katakan seperti itu,” kataku.
“Maafkan aku,” katanya.
“Jangan bilang maaf. Ini bukan salahmu. Aku yang harus minta maaf,” kataku.
“Aku pernah berjanji padamu bahwa cintaku akan cukup. Tapi rupanya ...” katanya.
“Cukup. Memang cukup. Lebih dari cukup,” potongku. Aku membenamkan wajahku pada dadanya dan untuk sementara kami hanya diam.
“Anna, kau tahu aku menyayangi Ava seperti anakku sendiri, bukan?” tanyanya. Aku mengangguk. Memang terlihat sekali betapa Justin menyayangi Ava. Dan tadinya kukira itu karena dia tidak tahu Ava bukan anaknya. Bagaimana bisa aku seberuntung ini untuk menikah dengan orang berhati besar seperti dirinya?
Keberuntunganku habis tiga hari kemudian. Seperti biasa, jika Justin tidak di ICU, aku tidur di sofa bed di ruangannya. Pagi itu saat aku bangun, aku langsung merasa ada yang berbeda pada ruangan itu. Ruangannya tentu masih sama dan semua perabot terletak di tempatnya masing-masing. Tapi rasanya berbeda seolah ruang itu hanya sebuah kulit kosong. Aku melompat dari sofa bed dan berlari ke tempat tidur Justin yang tidak jauh dari sana. Tapi bahkan saat aku mengambil beberapa langkah terakhir, aku tahu bahwa walaupun tubuhnya terbaring di sana, ia sudah pergi.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page