Loading...
Logo TinLit
Read Story - After Feeling
MENU
About Us  

“Astaga, kau terlihat sangat buruk.”

Kanaya terus saja berjalan dengan wajah tertekuk. “Ya, ya, aku tahu. Aku tak bisa tidur tadi malam.”

“Ada apa? Apa rentenir mendatangimu malam-malam? Jika memang kesulitan, menginap saja di rumahku.”

“Tidak, tidak, tidak ada yang seperti itu. Aku hanya bergadang tadi malam.”

“Menonton anime lagi?”

“Ya, mau coba menonton bersama?”

“Tidak, terima kasih. Aku lebih menyukai tokoh yang nyata ketimbang tokoh fiksi.”

“Haha, kau tidak tahu kalau tokoh fiksi semakin di depan.”

Sekali dua kali netra cokelat tua itu menyorot ke luar, terik matahari seakan ingin membakar bumi. Hal seperti ini sering terjadi, jika cuaca sudah sehangat itu, maka hujan akan datang di sore atau pun malam hari.

Toko roti buka pukul sepuluh pagi dan tutup pada sepuluh malam. Tidak ada pergantian sif, Kanaya akan melakukan pekerjaannya penuh waktu karena Adelia sibuk kuliah. Lagi pula dia tak di hitung pekerja, karena normalnya dia adalah anak yang punya toko ini. Upahnya lumayan besar, tapi pengeluarannya juga tak kalah besarnya. Hal wajar jika Kanaya selalu ingin menangis saat hari penerimaan gaji. Kanaya melepas celemeknya, masuk ke tempat istirahat untuk berbaring sejenak. Hanya ada tikar kecil, tapi cukup untuk berbaring melepas penat. Sambil mengunyah sebuah roti berisi vanila, ia menerawang jauh. Khayalannya selalu sama tiap kali ia merenung. Jika bukan menjadi orang kaya, dia berkhayal seseorang memberinya uang yang begitu banyak hingga ia bisa melunasi semua utangnya. Namun, khayalan tetap saja khayalan. Tentu saja itu tak mungkin terjadi. Memangnya siapa orang yang akan memberi uang sebegitu banyak pada Kanaya. Jangankan orang asing, para kerabat pun selalu mengalihkan pandangan saat dimintai tolong soal uang. Walau begitu, Kanaya sangat suka berkhayal. Ada kebahagiaan tersendiri saat memikirkan semua itu di dalam kepalanya yang kecil.

Sebenarnya, alasan ia tak bisa tidur adalah ia sedang memikirkan satu hal. Layaknya mendapat sebuah bisikan yang menyuruhnya untuk mengakhiri hidup. Katanya dia lelah, dia ingin bebas dan tak ingin lagi berurusan dengan utang-utang itu. Mungkin mati memang lebih baik. Hanya saja kematian seperti apa yang mudah untuk di lakukan? Haruskah gantung diri? Tidak, tidak, itu pasti menyakitkan sekali. Bagaimana kalau meminum cairan pembersih atau racun? Ya ampun, nanti perutku meledak. Lalu, apa aku harus menyayat lenganku sendiri saja? Pasti ada banyak darah yang keluar, bukan?

Kanaya memejamkan mata. Ia mendesah lemah. Di satu sisi dia ingin mati saja, tapi di sisi yang lain, dia ketakutan. “Bagaimana jika ada yang menyelamatkanku dan membawaku ke rumah sakit?”

Ini bukan tentang mati atau tidaknya, tapi jika dia di bawa ke rumah sakit, itu berarti dia harus mengeluarkan uang untuk perawatannya. Anggaplah dia menyayat lengannya sendiri, kemudian saat dia sedang meregang nyawa, tiba-tiba seseorang entah datang dari mana menyelamatkannya dan memboyongnya ke rumah sakit. Siapa yang akan membayar tagihan rumah sakit nantinya? Tentu saja Kanaya sendiri, ‘kan. Itu malah semakin merepotkan. Jika berhasil mati, maka semuanya selesai. Namun, jika tidak?

“Oh, bagaimana dengan asuransi kesehatanku? Seharusnya bisa memakai itu, ‘kan?”

Gadis itu mulai mengetik sesuatu di ponselnya. Mencari tahu dan menghubungi pihak asuransi untuk memperjelas keraguannya. Dan sayangnya, pihak asuransi tak memberikan klaim untuk mengobati luka akibat percobaan bunuh diri. Kanaya terkekeh pelan, oh menyedihkan pikirnya. Namun, lambat laun dia mulai menangis. Itu berarti, jika dia ingin mati, maka mati saja dengan serius. Kunci semua pintu dan jangan biarkan seseorang masuk untuk menolong. Begitukah?

Kanaya mengusap air matanya yang terjatuh. “Itu agak ... mengerikan,” gumamnya merinding.

Kanaya sedikit mendongak, Adelia sedang menyusun roti selagi dia beristirahat. Namun, istirahat tak membuat pikiran Kanaya membaik, malah otaknya semakin kacau. Gadis itu beranjak, sambil membetulkan rambutnya yang berantakan, dia melenggang ke belakang. Langkahnya gontai, dengan raut wajah datar dan pikiran yang luar biasa kacau. Kanaya berdecak kesal, kecaman di ponselnya tak kunjung berhenti, membuat jantungnya terus berdebar saat ingin mengecek ponsel. Langkahnya mulai pelan saat ia telah sampai ke kamar mandi. Ia membuka bilik dengan lesu, niatnya hanya ingin mencuci tangan dan wajahnya. Namun, dia terperanjat saat melihat makhluk menyeramkan dengan rambut panjang dan baju putih yang lusuh tengah berdiri di sudut toilet. Kanaya menoleh ke kanan dan ke kiri, tentu saja tidak ada siapa-siapa. Anehnya, makhluk seram itu tak membuatnya takut, dia hanya terkejut sebentar dan memasang wajah lesu kembali setelahnya.

Kanaya mendekat, menyalakan air di keran dan mencuci tangannya. Makhluk itu masih ada, dia tak bergeming sambil terus menunduk dengan wajah putih pucat yang tak terlalu kelihatan. “Ada apa? Kenapa kau melihatku seperti itu?” tanya Kanaya yang masih mencuci tangannya. “Asal kau tahu saja, rentenir jauh lebih seram dari pada kau!” lanjutnya.

Hening, tak ada jawaban apa pun. Hanya suara keran dan air yang memenuhi seisi kamar mandi. Makhluk itu masih di sana, menatap tajam dan sedikit pun tak bergeming.

“Apa kau bisa membunuh orang? Jika iya, maka tolong bunuh aku! Aku lelah, aku ingin kebebasan.” Kanaya terus mengoceh. Kanaya mematikan keran, mengibaskan tangannya yang basah dan mengusap-usap wajahnya yang di penuhi air. Namun, mulutnya masih bergerak, “jika kau tak mau membunuhku, maka bantu saja aku! Tolong bantu aku mencicil utangku! Atau kau bisa memberiku saran ....” Kanaya tak melanjutkan perkataannya, karena saat ia menoleh, makhluk itu sudah tidak ada lagi. Kanaya menggigit bibir bawahnya, menahan tangis dan rasa kesal. Gadis itu berjongkok, memegangi kedua sisi kepalanya dengan kedua tangannya. “Ya tuhan, apa kau bercanda? Bahkan makhluk seperti itu pun kabur saat mendengar masalah hidupku. Cabut saja nyawaku, tolong cabut saja!”

***

Muka lesu itu belum hilang dari pandangan Adelia. Biasanya seseorang akan tampak lebih segar saat menyentuh air dingin. Namun, tidak dengan gadis yang tengah merenung itu. Dia semakin kacau, bibirnya melengkung ke bawah seakan-akan ingin jatuh sebentar lagi. Suasana toko sedang sepi, waktu istirahat Kanaya juga masih tersisa setengah jam lagi. Dia berniat untuk berbaring sejenak sebelum melanjutkan pekerjaannya. Langkah kakinya hampir memasuki bilik istirahat, hingga Adelia menghadangnya.

“Kemarin kau ingin kasbon, ‘kan?”

Kanaya mendongak, menatap saja wajah Adelia dengan pikiran ke mana-mana.

“Kata ibuku kau bisa kasbon, tapi tidak boleh lebih dari jumlah gajimu.”

Seketika saja pupil Kanaya membesar. Bibir yang tadinya melengkung ke bawah pun akhirnya terangkat ke atas. “Benarkah?” Kanaya bertanya memastikan.

Saat Adelia mengangguk, mata Kanaya pun semakin berbinar. Perasaan lega mulai menyelimuti dada yang tadinya terasa sesak.

“Ibuku sudah mengirimkannya, cek saja rekeningmu!”

Kanaya tak langsung membuka ponsel, dia malah melonjak dan mengucapkan terima kasih pada Adelia. Tidak usah di periksa pun, perkataan Adelia itu pasti benar. Karena Adelia tak pernah berbohong padanya selama ini.

“Dengar, gunakan uang itu dengan benar. Itu kasbon, loh. Gajimu bulan depan akan di potong untuk membayarnya kembali.”

Kanaya hanya mengangguk sambil terus tersenyum lega. Dia berbalik, masih ada sekitar dua puluh menit untuk beristirahat. Memang benar, dua hari yang lalu, Kanaya sempat meminta Adelia untuk menyampaikan keinginan kasbonnya itu pada ibu Adelia. Dia sudah tak bisa berpikir, sejujurnya dia malu, tapi dia tak bisa memikirkan jalan lain. Dia harus mencicil bunga utang si berengsek itu dan membayar pinjaman online-nya yang sudah menunggak beberapa hari. Beruntung sekali Kanaya mendapatkan bos seperti ibunya Adelia. Bibi sangatlah baik.

Kanaya berbaring dengan satu bantal kecil bersarung warna cokelat, satu kakinya diangkat menumpu di atas kakinya yang lain. Matanya fokus menghadap layar ponsel. Ada sebuah aplikasi iklan yang entah bagaimana membuatnya tertarik. Di sana tertera sebuah pekerjaan sampingan yang menghasilkan satu hingga tiga juta rupiah dalam satu hari.

Karena rasa penasaran, akhirnya Kanaya menghubungi narahubung yang tertera di iklan tersebut. Responsnya sangat cepat, bahkan hanya beberapa detik Kanaya sudah mendapatkan balasan.

Sebuah pekerjaan sampingan yang mudah dan menghasilkan, begitulah mereka para marketing berkata. Kanaya terpaku untuk beberapa saat, netranya masih menghadap ponsel dengan pesan yang seakan menunggu balasan ‘ya’ dari Kanaya.

Kanaya menelan salivanya kasar, hingga akhirnya jari-jari tangannya yang bergetar karena ragu pun mengiakan. Satu menit, dalam satu menit pendaftarannya pun telah berhasil. Kanaya resmi mengikuti kerja sampingan itu. Rasa ragu yang tadinya menyeruak kini berganti dengan perasaan senang, itu karena Kanaya menerima bonus sebesar lima puluh ribu sebagai apresiasi telah mendaftar.

Kanaya melihat waktu, masih ada sepuluh menit lagi. Perasaan menakjubkan seakan menghipnotis dirinya, itu terlihat dari binar mata gadis itu. Netranya tak henti memandang layar ponsel, begitu pula dengan jari-jarinya yang sibuk mengetik.

“Oh, ini sangat mudah. Aku hanya perlu menyukai konten yang mereka buat dan aku mendapatkan uang.” Kanaya tersenyum senang.

Sepuluh menit sudah berlalu, beberapa pelanggan mungkin sudah ada yang masuk dan pergi, tapi Kanaya masih sibuk dengan ponselnya. Dia bahkan mencuri-curi waktu agar bisa melihat ponsel. Kanaya sudah mengumpulkan beberapa puluh ribu hanya dalam hitungan jam, dan itu membuatnya yakin bahwa kerja sampingan itu akan membantunya melunasi utang.

“Nay, jangan lihat ponsel terus, ada pelanggan, tuh.”

“Iya, iya, soalnya aku sedang melakukan hal penting di ponsel ini.”

“Penting?” Adelia memiringkan kepala. Gadis itu tak pernah sesibuk itu dengan ponselnya, bahkan saat dia memiliki kekasih sekali pun.

Dalam benak Kanaya, ini adalah kesempatan yang besar, dia mungkin akan mendapat uang yang lebih banyak jika dia terus melakukan tugas yang disuruh dengan benar. Namun, kenyataan tak selalu begitu. Gadis polos dan putus asa itu bahkan tanpa ragu mendepositkan semua uangnya pada aplikasi itu. Mereka bilang, uang Kanaya akan dikembalikan dua kali lipat.

Sepuluh menit, dua puluh menit, satu jam, tidak ada balasan lagi. Jantung Kanaya berpacu, keringatnya mengucur dengan deras, bibirnya kelu dan terlihat pucat. Kanaya telah mati, seluruh uang yang baru ia dapatkan dari kasbon lenyap.

“Nay, ada apa? Kau melihat ponsel dengan wajah yang pucat. Kau sakit?”

Kanaya memandang Adelia sesaat. Tidak mungkin dia memberitahu Adelia bahwa dia baru saja di tipu orang tak dikenal, itu memalukan sekaligus menyedihkan. Pada akhirnya, dia tersenyum getir. “Tidak apa-apa, aku baru sadar kalau paket internetku habis.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Just Another Hunch
494      340     3     
Romance
When a man had a car accident, it\'s not only his life shattered, but also the life of the ones surrounding him.
Matchmaker's Scenario
1363      721     0     
Romance
Bagi Naraya, sekarang sudah bukan zamannya menjodohkan idola lewat cerita fiksi penggemar. Gadis itu ingin sepasang idolanya benar-benar jatuh cinta dan pacaran di dunia nyata. Ia berniat mewujudkan keinginan itu dengan cara ... menjadi penulis skenario drama. Tatkala ia terpilih menjadi penulis skenario drama musim panas, ia bekerja dengan membawa misi terselubungnya. Selanjutnya, berhasilkah...
MERAH MUDA
518      376     0     
Short Story
Aku mengenang setiap momen kita. Aku berhenti, aku tahu semuanya telah berakhir.
LATHI
2011      819     3     
Romance
Monik adalah seorang penasihat pacaran dan pernikahan. Namun, di usianya yang menginjak tiga puluh tahun, dia belum menikah karena trauma yang dideritanya sejak kecil, yaitu sang ayah meninggalkan ibunya saat dia masih di dalam kandungan. Cerita yang diterimanya sejak kecil dari sang ibu membuatnya jijik dan sangat benci terhadap sang ayah sehingga ketika sang ayah datang untuk menemuinya, di...
Pacarku Pergi ke Surga, Tapi Dia Lupa Membawa Buku Catatan Biru Tua Itu
1687      504     7     
Fantasy
Lily adalah siswa kelas 12 yang ambisius, seluruh hidupnya berputar pada orbit Adit, kekasih sekaligus bintang pemandunya. Bersama Adit, yang sudah diterima di Harvard, Lily merajut setiap kata dalam personal statement-nya, sebuah janji masa depan yang terukir di atas kertas. Namun, di penghujung Juli, takdir berkhianat. Sebuah kecelakaan tragis merenggut Adit, meninggalkan Lily dalam kehampaan y...
Le Papillon
3256      1284     0     
Romance
Victoria Rawles atau biasa di panggil Tory tidak sabar untuk memulai kehidupan perkuliahannya di Franco University, London. Sejak kecil ia bermimpi untuk bisa belajar seni lukis disana. Menjalani hari-hari di kampus ternyata tidak mudah. Apalagi saat saingan Tory adalah putra-putri dari seorang seniman yang sangat terkenal dan kaya raya. Sampai akhirnya Tory bertemu dengan Juno, senior yang terli...
When Home Become You
440      331     1     
Romance
"When home become a person not place." Her. "Pada akhirnya, tempatmu berpulang hanyalah aku." Him.
Bismillah.. Ta\'aruf
834      523     0     
Short Story
Hidup tanpa pacaran.. sepenggal kalimat yang menggetarkan nurani dan menyadarkan rasa yang terbelenggu dalam satu alasan cinta yang tidak pasti.. Ta\'aruf solusi yang dia tawarkan untuk menyatukan dua hati yang dimabuk sayang demi mewujudkan ikatan halal demi meraih surga-Nya.
LAST MEMORIES FOR YOU ARAY
588      432     5     
Short Story
Seorang cewe yang mencintai seorang cowo modus,php, dan banyak gebetannya. Sejak 2 tahun Dita menyukai Aray, tapi Aray hanya menganggapnya teman. Hingga suatu hari di hari ulang tahun Aray ia mengungkapkan perasaan yang selama ini bernama cinta, yang tak pernah ia sadari. Tapi semua sudah terlambat dihari ulang tahunnya juga hari dimana kepergian Dita untuk selama-lamanya.
Love and Pain
623      382     0     
Short Story
Ketika hanya sebuah perasaan percaya diri yang terlalu berlebih, Kirana hampir saja membuat dirinya tersakiti. Namun nasib baik masih berpihak padanya ketika dirinya masih dapat menahan dirinya untuk tidak berharap lebih.