Berbisnis itu mudah. Hanya dengan modal yang cukup, semua orang bisa berbisnis. Hanya saja, yang rumit itu adalah menjalankannya. Butuh beberapa relasi dan kepiawaian untuk menjadikan bisnis kita tetap lancar. Gencar melakukan promosi dan yang terpenting cara berkomunikasi.
Kanaya mungkin tak memiliki modal atau pun relasi dan kepiawaian, tapi dia memiliki sikap bersosialisasi yang cukup baik. Penjaga toko roti, itu berarti dia harus menjaga agar penilaian pelanggan terhadap toko itu selalu bagus. Lalu, melayani pelanggan, kemampuan Kanaya sudah di atas rata-rata untuk hal itu. Sebenarnya, semua itu bukan tentang prinsip, hanya saja Kanaya bisa melupakan sejenak permasalahan hidup saat sibuk melayani pelanggan. Semacam keberuntungan tersendiri. Namun, adakalanya toko menjadi sepi, dan tak banyak pelanggan yang harus benar-benar di layani. Jika saat itu tiba, Kanaya akan frustrasi. Melihat berapa banyak telepon dan pemberitahuan tagihan yang harus segera di bayar, seketika dia ingin membenturkan kepalanya sendiri.
Kanaya memejamkan mata sejenak, berharap bahwa toko ini adalah sebuah ruang doa, sehingga dia bisa memanjatkan satu keinginan. Jangan sampai rentenir atau penagih lainnya mendatangi toko ini. Itu yang dia ucapkan saat memejamkan mata. Dia teringat kejadian di masa lalu, saat si rentenir yang berwujud tante-tante galak itu datang ke tempat kerjanya yang dulu. Ada banyak hal yang ia dapatkan. Salah satunya rasa malu yang tak tertahankan. Selain itu, dia juga di pecat. Alhasil, utangnya semakin bertambah gara-gara dia tak ada penghasilan.
“Hei, berhentilah melamun seperti itu!” tukas Adelia yang entah datang dari mana. “Lebih baik kau bantu aku mengisi roti di etalase depan. Sudah banyak yang kosong di sana.”
Lamunan akan masa lalu pelik itu akhirnya buyar. Etalase depan ini biasanya di isi dengan jajanan pasar. Stok jajanan pasar sudah habis, karena hari ini cukup ramai dan orang-orang memburu jajanan pasar sedari tadi, sebagai gantinya mereka memajang beberapa roti isi yang bentuknya sangat unik.
“Bagaimana kabar Leo?” tanya Kanaya.
“Sehat. Dia semakin menggemaskan. Dia semakin jinak dan penurut dari hari ke hari.”
“Benarkah? Aku jadi merindukannya. Bukankah sudah satu tahun sejak kau merawatnya.”
Adelia mengangguk pelan. “Iya, dulu dia sangat pemarah dan sering murung. Dia hampir menggigitku beberapa kali.”
“Haha, ya itu benar. Dia juga pernah mengejarku dan hampir menggigitku. Hah, sudah lama sekali. Terakhir aku melihatnya adalah dua minggu yang lalu.”
“Main saja ke rumahku. Leo pasti senang melihat kau datang.”
Kanaya mengangguk dengan tangannya yang terampil menyusun roti-roti berbentuk lucu itu di etalase. Ibu Adelia cukup kreatif dalam memilih bentuk. Kanaya memegang satu buah roti yang di bentuk mirip sekali dengan wajah kucing. Ada telinga dan juga ada kumisnya. Tentu saja anak-anak menyukai roti seperti ini. Jika dia memelihara kucing yang lucu seperti roti ini, akankah menyenangkan? Dia sering kali merasa kesepian saat di rumah. Namun, memelihara kucing bukan berarti hanya memungutnya di jalan, memberi makan ala kadar dan membiarkannya saja setelah itu. Ya, itu tidak mungkin bagiku.
“Kanaya, kenapa kau tak mencari pacar saja?”
Seolah tahu bahwa memiliki kekasih lebih baik daripada memelihara hewan. Hanya saja, itu tak semudah perkataannya. “Pacar? Itu ide yang cukup bagus, tapi aku belum menemukan laki-laki yang cocok untuk saat ini. Terlebih, kau tahu sendiri bagaimana hubunganku terakhir kali.”
"Hm, kau diselingkuhi.”
“Kau mengetahuinya lebih baik dari yang kukira.”
“Tidak juga. Maksudku, kau tak harus mencari laki-laki yang sesuai tipemu. Bagaimana kalau kau memacari pria tua yang kaya raya. Lumayan ‘kan, hitung-hitung untuk membantumu membayar cicilan.”
Kanaya menekuk wajahnya, dia memukul lengan berisi Adelia yang sedang tertawa geli. “Sialan kau!”
Jika dipikir-pikir, kejadian itu sudah berlalu setidaknya setengah tahun yang lalu. Laki-laki yang menyelingkuhinya itu adalah laki-laki yang sama yang mengejar-ngejarnya dulu. Kanaya bahkan tak mencari tahu siapa gadis yang berselingkuh dengan mantan pacarnya itu. Sebab, setelah tahu tingkah gila laki-laki itu, Kanaya segera memutuskan hubungan mereka.
Sering kali sebuah candaan itu menempel di otak kita yang kecil. Entah itu menyakiti hati atau juga menggoyahkan hati. Lazimnya, menjual diri itu sesuatu yang tercela, lalu memacari pria tua yang kaya, bukankah itu semacam menjual diri dengan versi yang lainnya. Kanaya mengembuskan napas kasar, walau begitu, melakukan keduanya tidaklah semudah memikirkannya. Dia tak berpengalaman menggoda pria dewasa, setidaknya pria yang bukan tipenya. Ya, jika dilihat dari fisik, gadis itu memang lumayan. Kulitnya putih walau agak kering, tubuhnya sintal, layaknya idaman para laki-laki di luaran sana. Dia juga mempunyai lesung pipi di sebelah kiri, membuatnya lebih manis saat tersenyum atau pun tertawa. Namun, dia miskin dan kehidupan pribadinya kacau akibat utang. Hal itu yang membuatnya tak percaya diri, menyebut dirinya sebagai orang yang tak beruntung dan tak tahu apakah dirinya mempunyai masa depan yang bagus nantinya.
Kanaya akan berumur dua puluh tiga tahun sebentar lagi. Usia yang pas untuk menggandeng calon suami yang di bawa ke mana pun dia pergi. Oh, lupakan saja. Kanaya melirik, Adelia juga belum menemukan pasangan, tapi mereka tak bisa sepenuhnya dikatakan sama. Adelia mempunyai kehidupan yang jauh lebih baik dan beruntung. Dia berkuliah, tentu saja akan ada banyak pemuda yang mengantre untuk gadis berpendidikan tinggi sepertinya.
“Ada apa lagi?”
Suara rendah Adelia membuat Kanaya tersentak. “Ah, tidak. Aku hanya sedang berpikir. Kalau saja hidupku sama sepertimu, aku pasti tak akan kesulitan seperti sekarang ini.”
“Kau mulai lagi! Jangan terlalu banyak memikirkan hal yang tidak perlu, Kanaya. Kau harusnya bersyukur, setidaknya kau tidak di buang oleh orang tuamu.”
Setiap perkataan akan berbeda-beda maksud dan tujuannya, tergantung telinga yang mendengar.
“Ah, maafkan aku, Adelia.”
Adelia mendesah lemah, “sudahlah, jangan terlalu di pikirkan lagi. Semua masalah pasti ada jalan keluarnya.”
Perkataan itu melukai harga dirinya. Seakan menyentuh luka yang susah payah ia lupakan. Orang tua Adelia menitipkannya ke panti asuhan sejak dia berumur lima tahun. Mereka berjanji akan kembali jika permasalahan mereka telah selesai. Namun, setelah bertahun-tahun, orang tuanya tak kunjung kembali. Hingga, sepasang suami istri pun mengadopsi dan mengangkat Adelia menjadi anak mereka. Begitulah cerita singkat tentang Adelia. Walau bagaimana pun, jauh dalam tatapannya, terdapat kegetiran. Dia merindukan orang tua aslinya, berharap dia tidaklah di buang oleh mereka. Dari kisah itu, Kanaya mengetahui satu hal, harapan sama halnya dengan udara di ruangan yang kedap. Semakin kita hirup, semakin kita merasa sesak. Kita bisa selamat jika kita keluar dari ruangan itu, tapi kita akan mati jika kita memilih untuk tetap menghirupnya.
***
Kanaya berdiri sambil menatap panci yang berisi mi instan itu dengan sabar. Berkat uang yang di pinjamkan Adelia, dia bisa memakan mi instan dan telur. Sampai akhir, dia hanya menyakiti Adelia lewat kata-katanya. Adelia bukan orang yang penuh dendam, dia tahu itu. Hanya saja dia merasa bersalah, maksudnya mengatakan hal itu bukan semata-mata untuk menyinggung status Adelia. Harusnya Adelia sudah mengetahui hal itu.
Dengan hati-hati, ia mengangkat panci itu dan memindahkan mi ke mangkuk yang telah ia siapkan. Makanlah selagi hangat. Itu adalah slogan dari kedai mi di dekat rumah kos Kanaya. Karena tak ada televisi, Kanaya memutar animasi jepang lewat ponselnya. Dia menyukai film animasi jepang, sebagai bentuk hiburan di kala otaknya hampir pecah. Bahkan, setelah kenyang pun dia masih menonton sembari merebahkan diri di kasur kesayangannya. Kasur yang ia beli dengan cicilan selama satu tahun.
“Oh, episodenya sudah sampai yang terakhir.”
Hiburannya sudah selesai. Kini, ia menatap langit-langit kamarnya yang tak menarik. Kamar kecil yang cukup tertata. Dindingnya berwarna biru muda yang dihiasi dengan beberapa tempelan karakter dari animasi yang ia tonton. Walau hanya sekadar rumah yang ia sewa, tapi dia merawatnya dengan baik. Ia beruntung mendapatkan rumah ini, kondisinya bagus dan berada di kompleks perumahan. Satu lagi yang ia syukuri, selain harga sewanya murah, para tetangganya juga tidak usil, terutama para penghuni kos lain yang berada tepat di sebelahnya.
Gadis itu termenung. Mengerjapkan mata beberapa kali sembari berpikir, apa aku mati saja?
Mati, itu mengerikan, tapi kehidupan di dunia juga tak kalah menyeramkan. Orang-orang yang menagih utang tiada henti, belum lagi rasa malu saat di tagih di depan umum. Kata-kata kasar, umpatan bahkan kadang cacian keluar dari mulut-mulut mereka. Kanaya hanya bisa diam, menerima dan menelan semua perkataan mereka, karena posisinya yang memang tak di haruskan untuk melawan. Hal itu melelahkan, mentalnya dipermainkan. Bukan hanya itu, perasaan sepi yang menyesakkan hingga kesulitan yang setiap hari tak pernah absen, oh semuanya menyiksa.
Kanaya berbaring, menatapi seisi kamarnya tanpa alasan. Merenung dan melamun, dadanya sesak, tanpa ia sadari ia malah menangis. Tidak ada tempat untuk berkeluh kesah. Jika itu Adelia, Kanaya bisa saja menelepon untuk membagi keresahannya. Namun, dia tak melakukannya. Kanaya sudah terlalu banyak membagi bebannya pada Adelia, dan dia tak berniat untuk menambahkannya lagi. Rasanya ia ingin kembali ke waktu dulu, saat dia masih kanak-kanak. Saat itu dia hanya akan menangis saat tubuhnya terluka, tidak seperti sekarang.
Kanaya mengusap air mata di pipinya, ia merasa matanya sudah agak sembab. Jika diteruskan melamun, dia mungkin tak akan berhenti menangis. Kanaya meraba di samping tubuhnya, mengambil ponsel dan memainkannya karena bosan menangis. Namun, dia menyesal setelahnya. “Gila! Aku bekerja dan di gaji satu bulan sekali, dan mereka malah memintaku membayar bunganya satu minggu sekali. Oh, ya ampun, aku rasa aku akan terkena serangan jantung.”