Terik mataharinya menembus tirai berwarna cokelat muda yang bergantung di jendela kaca. Pemuda itu memicingkan mata, menutupi wajahnya dengan sebelah tangan. Jam dinding warna merah di tengah kamarnya sudah menunjukkan pukul dua belas siang.
Hari ini mungkin dia sedikit terlambat atau mungkin dia akan bolos di tempat kerjanya. Pemuda itu beranjak, keluar dari selimut warna putih yang sedari tadi menutupi tubuhnya. Ia mengambil segelas air putih di atas nakas dan meneguknya secara perlahan.
Terasa membosankan, setiap hari selalu melakukan rutinitas yang itu-itu saja. Dia melangkah pelan, tanpa memakai baju, hanya memakai celana panjang berbahan katun berwarna putih tulang dan menghadap cermin, terlihat pantulan dari seorang pemuda yang menyedihkan. Ada bekas luka di tangan kiri maupun tepi perutnya. Tubuhnya bagus, mungkin karena dia rutin olahraga. Lalu, warna bola mata yang tak kontras itu membuatnya mengerutkan dahi. Warna cokelat tua di sebelah kanan dan biru muda di sebelah kiri, semua itu cukup membuatnya terlihat aneh di antara semua orang.
Bulan lalu, umurnya telah genap dua puluh lima tahun. Itu berarti, hari-hari yang membosankan ini telah dilaluinya selama sepuluh tahun. Dia berjalan pelan, memutar sebuah lagu yang biasa ia dengar sejak dulu lewat ponselnya.
Lagunya menggema, memenuhi setiap inci kamarnya.
I would never fall in love again until I found her.
I said, "I would never fall unless it's you I fall into"
I was lost within the darkness, but then I found her.
I found you.
Dia sangat menyukai lagu ini. Lalu, pemuda itu pun memandangi secarik foto yang ia ambil dari dalam laci. Potret wanita dewasa yang memiliki warna mata yang sama persis seperti dirinya. Wajah kakunya tampak datar, walau dia ingat bahwa wanita yang ada di dalam foto itu telah mati. Bukan kematian biasa, omong-omong. Wanita itu gantung diri dan meregang nyawa tepat di hadapannya. Wanita itu sempat di bawa ke rumah sakit, tapi dia kehilangan nyawanya satu menit setelah sampai di sana. Dia hampir tak pernah menangis lagi selama sepuluh tahun ini. Hari pemakaman Ibunya adalah hari terakhir di mana ia menitikkan air mata.
Sebenarnya, dia adalah anak yang baik, tenang dan pasrah. Dia memang pendiam dan tak pandai bergaul, oleh sebab itu pula dia sering menjadi sasaran bully teman-temannya. Apalagi karena warna mata yang berbeda itu. Kerap kali dia di bilang makhluk jadi-jadian. Tak ada gadis di sekolahnya yang menyukai dia. Sebaliknya, dia juga tak tertarik pada gadis-gadis yang hanya tahu cara menghina fisik seseorang. Walau begitu, setidaknya hidupnya masih terkesan menyenangkan, karena sang ibu selalu ada di sampingnya.
Lalu, sejak hari itu, semuanya berubah. Tak ada lagi kata menyenangkan dalam menjalani hidup. Dia berkecukupan, ayahnya pebisnis, dan rumahnya bagus. Namun, semuanya tak lagi sama ketika sang ibu yang lebih memilih untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Entah apa masalahnya, dia terlalu muda untuk mengetahui hal itu.
Dia kembali menghadap cermin, rambut hitam pekatnya terlihat berantakan. Lama menatap wajahnya sendiri, tanpa sadar ia tersenyum geli. Ia jadi mengenang kejadian di masa lalu. Sejak kepergian ibunya, dia sering sekali berkelahi, itu karena dia tak bisa meredam amarahnya. Dia jadi sangat sensitif, bahkan dia kesulitan mengontrol emosi kalah itu. Dia bukan lagi anak pendiam yang akan pasrah jika seseorang mengganggunya. Bahkan, dia pernah masuk kantor polisi hanya karena memukuli teman-temannya. Dia juga ingat, Ayahnya datang dengan wajah yang menahan malu dan kesal. Pada dasarnya dia menyimpan sifat pemarah yang luar biasa, dia bersikap tenang karena sang ibu yang selalu mengingatkan, dan sekarang sosok ibu itu sudah tidak ada lagi.
Kejadian seperti itu tidak terjadi sekali atau dua kali, berkelahi maksudnya. Hal itu terjadi berkali-kali, hingga ayahnya pun lelah dan terpaksa mengusirnya dari rumah.
Dia betul-betul pergi, saat itu dia berumur sembilan belas tahun. Sekarang dia tinggal sendirian di sebuah rumah pemberian ayahnya. Ya, hanya tempat tinggal, selebihnya dia menolak semua pemberian sang Ayah. Sejak saat itu dia enggan bertemu dengan ayahnya lagi. Namun, tidak menutup kemungkinan dia merindukan sosok itu. Semenjak punya pedamping hidup yang baru, ayahnya seakan tak peduli lagi padanya.
Ya, seorang Ayah akan tetap menjadi ayah, dia tak akan pernah bisa menjadi seorang Ibu. Walau begitu, bukan berarti dia membenci Ayahnya, hanya saja dia tak ingin mengenang sosok itu di pikirannya. Dia tersenyum kecut, menatap wajahnya sendiri di cermin. Bagaimana bisa Ayahnya melupakan sang Ibu secepat itu. Bagaimana bisa dia memberikan Ibu baru untuk pemuda itu, bahkan tanpa persetujuan darinya terlebih dulu.
Baiklah, lupakan saja.
Namun, bayangan masa lalu itu terus saja menghantui. Bagaimana raut wajah Ibunya saat itu dan perasaan tak nyaman yang mengganggu setiap kali dia mengingatnya. Katanya, seorang Ibu itu sangat mencintai anaknya. Lalu, mengapa Ibunya pergi begitu saja?
Alih-alih memercayai kata cinta, dia memilih menjalani hidup tanpa melibatkan perasaan itu, karena ia yang paling tahu bahwa ditinggalkan orang yang di sayangi itu tidak menyenangkan. Dia lebih baik menutup diri, hidup dengan caranya sendiri.
Pemuda itu menunduk, menatap sayu luka di tangan dan di tepi perutnya. Semua bekas luka itu adalah bukti dia pernah depresi. Dia kesepian, sebenarnya. Namun, dia tak tahu harus berbuat apa. Saat semua orang berpikir pemuda itu aneh dan sedikit gila, dia tak peduli, sama sekali tak, peduli.
Dia memang mempunyai kepribadian yang buruk. Namun, dia masih memiliki wajah yang tampan. Dulu dia tidak setampan sekarang. Gayanya lebih cupu. Sebab itulah dia di rundung.
Dia jarang tersenyum, wajahnya kaku dan terkesan menakutkan. Dia juga tak pandai bersosialisasi. Namun, itu tetap tak mengubah apa pun, dia tetap tampan. Kulitnya berwarna kuning langsat, bulu matanya lentik, mempunyai rahang yang tegas dan suaranya bagus. Semenjak sekarang, memang sulit melihatnya tersenyum, tapi bisa di pastikan bahwa senyumnya sangat menawan.
Ah, tapi dia tak pernah berpacaran. Ada beberapa gadis yang mencoba mendekatinya, tapi dia tidak tertarik. Dia tak pernah peduli soal cinta-cintaan. Apalagi saat bertemu gadis yang tanpa bersalah menyebut warna matanya aneh. Dia muak akan hal itu. Dia sudah tahu itu aneh, dari dulu dia sudah mengetahuinya.
Pemuda itu mengembuskan napas, mengambil handuk yang bertengger di gantungan, lalu melangkah ke kamar mandi. Suara air yang menderu terdengar samar-samar. Dia tak banyak bersuara, itu karena dia terbiasa dengan keheningan. Saat deru air berhenti, dia keluar dengan air yang menetes dari rambut hitamnya, membuka lemari dan memilih pakaian dengan wajah tak berekspresi.
Kaus putih dengan kemeja biru jins sebagai luaran, lalu jins biru elektrik yang sobek di bagian lutut sebagai bawahan. Pemuda itu juga menyiapkan jaket hitam dan topi hitam yang ia gantung di dekat lemarinya. Entah untuk apa itu.
Kemudian, dia melirik botol parfum yang baru ia beli kemarin lalu. Wajahnya menekuk sambil memerhatikan parfum itu, aroma dan kemasannya sangat berbeda. Dia kira aromanya maskulin, ternyata parfum ini sangat manis. “Aku tidak akan pernah membeli ini lagi.”
Setelah semuanya, ia melenggang pergi ke dapur, menghangatkan makanan siap saji yang ia beli di minimarket, kemudian mengisi perut. Otaknya masih berpikir ketika suapan demi suapan makanan itu masuk ke mulutnya. Kali ini dia telah memikirkan hal yang berbeda, bukan membuat luka di tubuhnya, tapi akan lebih seru di banding itu. Semoga saja ini menyenangkan.