Tuhan
memang selalu adil di setiap jalan yang ditempuh. Sakit ataupun tidak, suka
maupun duka, semua berbaur di atas kuasa-Nya. Tak ada yang bisa menampik
apalagi menangguhkan tentang apa pun yang telah digariskan.
Seluruh barisan kata
diselesaikan Danika menjelang tengah malam. Bertemu dengan Karla dan bercerita
banyak hal adalah kebahagiaan yang tak akan pernah dilupakan. Pukul sembilan
malam dia baru pulang hingga
Bunda mengira jika Danika kabur dari rumah lagi. Di samping tangan Danika, dua
pesawat origami siap melesatkan segenap harapannya ke angkasa. Seandainya
Danika bisa lebih bersikap bijaksana terutama pada hatinya sendiri, mungkin
saat ini tak akan ada kecemasan berarti tentang Ravi.
Berbicara soal Ravi,
cowok yang sudah resmi menjadi mahasiswi musik itu tersenyum setiap kali
membaca sebuah kertas yang dijatuhkan Danika saat berkunjung ke kamarnya,
seperti yang Sandi bilang. Awalnya Ravi mengira jika kertas itu hanya coretan
tidak penting miliknya. Namun, saat Sandi mengatakan ada sesuatu yang menarik
dari kertas itu, Ravi langsung merebutnya.
Tepat di bagian bawah
kertas terdapat nama Danika. Secara saksama, mata Ravi memfokuskan pandangan
dan membacanya. Dia jadi terpikir untuk mengubah coretan Danika menjadi sebuah
lagu. Barangkali jika keadaan sudah membaik, Ravi bisa menunjukkan lagu hasil
kreasinya di hadapan yang lain, terlebih Danika.
Sekali dua kali, Ravi
gagal membuat chord yang cocok untuk lirik lagu karya Danika. Bukan Ravi
namanya jika menyerah begitu saja. Seharian selama di kampus, dia mengulik
senar-senar gitar. Dari satu nada ke nada yang lainnya.
Terlalu pilu semua kurasakan
Masa berlalu terlalu cepat
Hanya satu yang mampu kukatakan
Kenanglah semua dalam cinta
Kenanglah kita
Bait terakhir lagu yang
diberi judul “Kenanglah Kita”[1]
itu membuat Ravi tertegun. Mengenang sesuatu tentang Danika dan persahabatan
bukanlah kesanggupan dalam hidupnya. Dia bisa kuat saat ibunya meninggal karena
kehadiran mereka. Lantas, apa jadinya Ravi jika justru kehilangan penguatnya
selama ini?
***
Menggeluti dunia hobi
sembari mencari ilmu adalah tugas Ravi pagi ini. Ayah sudah menunggu di meja
makan dengan sarapan ala kadarnya. Hanya nasi goreng sosis dengan telur dadar
di atasnya, ditambah satu gelas air putih tanpa susu. Ravi sudah bukan anak
balita yang diwajibkan minum susu formula.
“Wah, jagoan Ayah tambah
ganteng aja, nih.” Pak Gio menyeru saat melihat Ravi sedikit terburu-buru menuruni
tangga.
“Kak Ravi aja yang
ganteng, Yah? Aku enggak?” sela Sandi, menyendok sarapannya.
“Kamu nggak ganteng,
kamu itu tampan.” Ravi nyengir
menimpali ucapan Sandi.
“Haha, bisa aja. Eh
iya, coba kamu cerita sama Kak Ravi. Barangkali dia bisa bantu ngasih ide,”
ujar Pak Gio menyentuh lengan Sandi yang masih asyik menyantap makanannya.
“Ide apaan, Yah? Sandi
mau ngapain emang?” tanya Ravi menatap Sandi dan ayahnya bergantian.
“Jadi gini,” kata
Sandi, meraih gelas minum. “Bakalan ada acara pentas seni di sekolah dua bulan
lagi. Nah, aku bingung nentuin konsepnya. Padahal bukan OSIS kan ya, tapi wali
kelas malah percayain semuanya sama aku,” jelas Sandi serius.
Ravi bergeming
mendengarkan dengan saksama. Sarapan ditambah memikirkan ide untuk adiknya
adalah perpaduan yang tidak seimbang. Bisa-bisa sampai kapan pun perutnya tak
akan kenyang jika asupan itu langsung dipakai untuk berpikir keras.
“Nanti di kampus Kakak pikirin,
deh,” putus Ravi kembali menyantap sarapan. Dari lain arah, Pak Gio memperhatikan
sejak tadi. Ravi yang biasanya selalu banyak bicara, akhir-akhir ini lebih
cenderung pendiam. Lebih tepatnya, sejak masuk kuliah.
“Rav, lagi patah hati?” tanya Pak Gio,
kontan membuat Ravi tersedak. Buru-buru
dia minum dengan napas terengah-engah seperti sudah maraton. Sandi mentertawakan begitu puas melihat
respons kakaknya. Belakangan ini, Sandi lebih sering memperhatikan gelagat Ravi
yang tidak bisa ditebak. Kadang ceria, tetapi tak lama berselang wajahnya
ditekuk penuh kesedihan. Kakaknya itu memang penuh misteri.
“Ya ampun, hati-hati
kalo makan,” imbuh Ppak Gio, kembali menuangkan air minum pada gelas Ravi.
“Ayah kok nanya kayak
gitu?” Ravi mengerutkan kening kesal, karena seharusnya tak pernah ada pertanyaan
semacam itu di rumah ini.
“Ayah nanya aja.
Habisnya Ayah perhatiin, kamu jadi jarang ngomong. Biasanya cerewet.” Pria yang
berperan sebagai ayah sekaligus ibu di rumah itu menyandarkan punggungnya pada
kursi makan. Tatapan tajam khas seorang ayah tak luput tertuju pada Ravi.
“Aku berangkat dulu.
Nanti konsepnya dipikirin di kampus.” Ravi bangkit dan meraih jaketnya dari
dekat pintu, berusaha menghindar dari serangan pertanyaan Pak Gio selanjutnya.
***
Motor Esa berhenti
tepat di seberang indekos Karla. Kedatangannya kali ini untuk memastikan jika
Karla baik-baik saja. Selain itu, dia juga ingin bertanya mengenai kabar yang
lain, terutama Danika.
Meski sudah sampai sekitar sepuluh menit yang lalu, Esa masih berbetah diri
duduk di motor tanpa beranjak. Hatinya ragu untuk menemui Karla yang menurutnya
masih tak bisa menerima kenyataan tentang perasaan Esa. Sekeras mungkin Esa
berusaha untuk meyakinkan diri dengan merangkai beberapa kalimat pembuka yang
enak.
“Apa aku ngomong gini
aja, ya, ‘Kar, maafin aku. Maafin aku!’ Dih, masa urang selebay itu,
sih?” ujarnya, masih mencari kalimat pembuka untuk Karla agar kedatangannya
kali ini tidak sia-sia.
“Atau ngomong gini aja,
‘Karla! Sumpah aku nyesel, Kar! Aku nggak mau kamu musuhin aku. Aku mohon,
Karla! Aku mohon’. Ah! Enggak, deh. Urang nggak sedrama itu.” Lagi-lagi
Esa menggeleng. Memang bukan hal mudah saat berbicara dengan Karla dalam
situasi yang serius seperti ini.
“Lah, gimana nanti aja,
deh. Tinggal ngomong minta maaf sama Karla, bukan mau lamar dia. Pake
banyak mikir pula.” Akhirnya Esa memutuskan berjalan mendekati pintu indekos.
“Assalamualaikum,
Karla?” panggil Esa, beberapa saat setelah menimbang-nimbang. Mendengar namanya dipanggil, Karla
yang sedang bersiap ke kampus pun mengintip dari jendela. Jantungnya hampir
copot saat menyadari kedatangan Esa yang tidak terduga sebelumnya.
“Assalamualaikum,” seru
Esa sekali lagi karena sama sekali tak ada yang menyahut. Para penghuni indekos
memang sudah memulai aktivitas. Hanya Karla seorang diri yang masih ada di
dalam.
Esa mengusap wajahnya
dengan kasar. Secara tidak langsung kedatangannya kali ini sudah ditolak,
padahal Esa sangat yakin Karla ada di dalam atau bahkan belum bangun karena sekarang
masih pukul tujuh lewat lima belas. Setahu Esa, Karla bukan orang yang hobi
bangun pagi buta. Ya, bisa dibilang Karla itu tukang molor.
“Assalam–” Suara Esa tersekat saat melihat
pintu terbuka. Malah dia tidak sengaja mengetuk wajah Karla yang dikiranya adalah
pintu.
“Dateng pagi-pagi main
getok wajah orang,” celetuk Karla melipat tangannya di dada.
“Sorry, sorry, aku kira pintunya masih ditutup.” Gigi putih milik
Esa berderet di hadapan Karla.
“Ada apa?” Air muka
Karla judes, belum lagi cara bicaranya yang begitu ketus.
“Masih marah sama aku? Aku
ke sini mau mastiin kamu baik-baik aja. Aku juga mau tanya kabar yang lain,”
jawab Esa agak ciut melihat tampang Karla begitu menakutkan.
“Yang lain siapa?”
Karla keluar dari pintu lantas duduk di kursi depan diikuti dengan Esa.
“Danika sama Ravi, lah.
Kita udah hampir setahun nggak saling nanya. Kayak nggak pernah ada cerita di
antara kita. Kalo Peterpan bilang mah, semua
tentang kita.” Sifatnya yang nyerocos itu kembali muncul. Sudut mata Karla
bisa menangkap ekspresi cowok di sebelahnya begitu menyebalkan.
“Kamu nggak gila kan,
Sa?” bisik Karla.
“Aku serius, ini.” Meja
di hadapan menjadi sasaran tangan Esa hingga digebrak.
“Eh, buset! Serius sih
serius, tapi nggak usah ngerusak fasilitas di tempat aku juga kali.” Mata
cokelat Karla mengerling tidak terima. Pagi ini Esa lebih mirip dengan preman pasar
yang sering Karla lihat jika sedang membeli sayuran.
“Hehe, sorry. Berarti kamu udah nggak marah sama aku?” Esa
mencengkeram lengan Karla dengan dua tangannya. Kedua matanya berbinar bahagia,
begitu ekspresif.
“Ya sebenernya aku
masih marah sama kamu. Apalagi pas tadi kamu getok wajah aku. Tapi ya udahlah, kamu
emang begitu orangnya.”
“Makasih banyak, Kar. Aku
nggak sia-sia dateng ke sini.” Seketika Karla sudah ada di pelukan Esa. Jika
soal memeluk, Esa orang nomor satu yang akan antusias. Kehangatan yang hidup,
begitu katanya.
“Iya, iya. Nggak usah
bahas yang udah. Kita pikirin aja gimana caranya biar Danika sama Ravi mau
saling ketemu. Aku rasa, mereka juga saling suka.” Karla tampak berpikir
disusul dengan desisan Esa.
“Maksudnya, kamu
bakalan biarin mereka jadian?” tanya Esa antusias.
“Iya, lah. Kamu kira
ngalahin perasaan sendiri itu gampang? Sekarang, aku tanya sama kamu. Kamu masih
suka sama aku lebih dari sahabat, kan?” Tatapan tajam dilayangkan pada Esa yang
masih terpaku di kursi. Wajahnya ditekuk, persis orang sedang menahan buang air
besar. Ah, padahal Esa tampan. Kontan Esa
mengangguk dan disambut sorakan penuh kemenangan dari Karla.
***
Suasana hening tercipta
di ruangan dengan begitu banyak kursi. Suara AC dan ketukan pulpen pada buku
catatan, seolah ikut andil mengisi ruangan itu. Mata kuliah ini menjadi mata
kuliah favorit Danika. Dosen berusia sekitar 48 tahun berhasil mengalihkan
dunia Danika sepenuhnya. Mungkin inilah salah satu alasan mengapa dia begitu
menyukai sastra. Baginya, sastra bukan hanya tentang mengekspresikan jiwa,
melainkan menjadi alat menuangkan perasaan yang sulit dikatakan.
Danika begitu saksama
memperhatikan yang diselingi dengan mencatat. Tak pernah melewatkan apa pun
yang bisa membuat mimpinya berkembang. Setidaknya, sampai dia berhasil mendapat
surat kontrak penerbitan. Semua mimpi yang selalu digenggamnya sangat kuat,
seolah menjadi kekuatan terbesar Danika saat ini.
Dalam keheningan, tiba-tiba terdengar sesuatu yang patah di bagian belakang.
Suaranya berdebum cukup keras hingga mengalihkan perhatian orang-orang. Dosen yang sedang memberi mata
kuliah pun terdiam seketika, mengamati apa yang sedang terjadi di kelasnya.
“Haha, makanya kalo
duduk itu jangan dimainin kursinya. Jatoh kan, nih,” kata Jaka yang memang
duduk di belakang. Salah satu teman dengan bobot badan 85 kilogram terjungkal
ke belakang. Kursi yang didudukinya ambruk karena tak kuat menahan beban.
Awalnya para mahasiswa hanya melongo memperhatikan, tetapi akhirnya mereka tertawa
bersamaan.
Dosen pun beringsut ke
belakang untuk menolong mahasiswa tersebut. Bukannya membangunkan, yang ada
dosennya malah ikut terjungkal. Sekali lagi ledakan tawa pecah di kelas itu.
Danika geleng-geleng melihat kejadian terunik antara mahasiswa, dosen, dan
kursi yang patah.
“Sini, Pak, saya
bantu.” Danika mengulurkan tangannya untuk membantu dosen, sedangkan teman yang
memang menjadi sumber keributan masih kepayahan karena terselip di antara
kursi-kursi di sekitar.
“Diet, ngapa! Badanmu berlebih banget. Pantesan aja badan Danika singset gitu. Habis semua sama kamu
sih, dagingnya,” ceracau Jaka ikut membantu walau harus mendapatkan jitakan
dari Danika.
“Ngeselin ya, si Jaka!
Malah ngatain segala!” Danika memprotes. Gemuruh
tawa pun kembali
meledak di ruang perkuliahan. Danika memang tak pernah terima jika dirinya
diledek singset. Bagi Danika, apalah artinya bentuk tubuh jika masih bernapas?
Percuma badan bagus seperti gitar Spanyol, kalau sudah tidak bernapas sih,
tetap saja dikubur di tanah.
“Sudah, sudah. Ayo kita
kembali melanjutkan tentang perkuliahan kali ini.” Mata dosen itu mengedar awas
ke seantero ruangan. “Danika, saya dengar kamu sedang mengadakan sayembara
puisi, ya?” Pertanyaan itu membuat Danika grogi. Berita sayembara yang diadakan
untuk pertama kalinya, ternyata sampai juga di telinga dosen tersebut.
“Iya, Pak. A-apa ada
sesuatu?” tanya Danika, benar-benar tidak menyangka kalau dirinya akan
mendapatkan pertanyaan begitu.
“Oh, tidak. Sama sekali
tidak, Danika. Saya justru bangga sama kamu. Mahasiswi yang aktif, apalagi giat
menghidupkan literasi di kampus kita. Saya sangat mengapresiasi kegiatan
sayembara itu. Nanti kamu temui saya di ruang dosen, ya,” ucap dosen tersenyum
bangga.
“Memangnya ada apa,
Pak? Ma-maaf, saya banyak tanya.”
“Ah, jangan takut
begitu. Pokoknya nanti kamu datang ke ruangan saya sama temanmu itu, siapa
namanya?”
“Jaka, Pak,” seru Jaka,
tak jauh cemasnya dengan Danika.
“Nah, iya. Kalian
berdua jangan lupa ke ruangan saya.”
Danika maupun Jaka hanya
mengangguk lesu, lalu keduanya saling bertatapan satu sama lain. Di pikiran
masing-masing tengah bergumul banyak pertanyaan tentang permintaan dosen.
Apakah mereka akan terkena masalah?
***
Sesuai perintah dosen,
setelah jam perkuliahan selesai akhirnya Danika dan Jaka bergegas ke ruangan
dosen. Danika berjalan lebih dulu dibandingkan Jaka yang terkesan lebih pendiam
daripada biasanya. Tepatnya sejak dosen menyuruh mereka ke ruangan tanpa alasan
yang jelas. Wajar juga sih, kalau mereka ketakutan begitu. Jangankan ke ruangan
dosen, ke ruangan guru saat masih sekolah saja rasanya malu.
Tiba di depan ruangan,
Danika membungkukkan badan sebagai bentuk penghormatan. Orang tua bilang, jika
sedang berjalan di depan orang yang lebih tua hendaknya kita membungkuk
sedikit. Kalau orang Sunda biasanya sambil mengatakan punten atau ngiring
ngalangkung. Saat ini, Danika dan Jaka sedang menerapkan aturan tata krama
yang berlaku itu.
“Eh, kalian. Sini,
sini.” Dosen paruh baya itu memanggil sambil berdiri dari tempat duduknya. Danika berjalan mendekat, disusul
oleh Jaka. “Saya mau kasih
ini buat kamu. Sebagai tanda bangga saya karena kamu sudah bersedia
menghidupkan literasi di kampus ini.” Satu buah novel karya Andrea Hirata
dengan judul Orang-Orang Biasa yang masih bersegel itu diserahkan pada
Danika.
“Waktu pertama saya
dengar soal sayembara itu, saya langsung memutuskan untuk membeli buku
tersebut. Saya rasa, kamu harus banyak membaca karya-karya hebat agar kamu juga
tambah hebat!” seru dosen, begitu menggebu-gebu.
“Makasih banyak, Pak.” Danika tersenyum penuh kebahagiaan.
Jaka yang ada di sampingnya tak kalah tersenyum bangga. Menurutnya, Danika
pantas mendapatkan apresiasi seperti itu.