Ravi menyukai salah satu anggota K'DER yang sudah menjadi sahabatnya sejak SMP. Sepulangnya Ravi dari Yogyakarta, dia harus dihadapkan dengan situasi yang tidak mendukung sama sekali. Termasuk kenyataan tentang ayahnya. ...Read More >>"> Cinta Pertama Bikin Dilema (Bisikan Kata) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Cinta Pertama Bikin Dilema
MENU
About Us  

Tuhan memang selalu adil di setiap jalan yang ditempuh. Sakit ataupun tidak, suka maupun duka, semua berbaur di atas kuasa-Nya. Tak ada yang bisa menampik apalagi menangguhkan tentang apa pun yang telah digariskan.

Seluruh barisan kata diselesaikan Danika menjelang tengah malam. Bertemu dengan Karla dan bercerita banyak hal adalah kebahagiaan yang tak akan pernah dilupakan. Pukul sembilan malam dia baru pulang hingga Bunda mengira jika Danika kabur dari rumah lagi. Di samping tangan Danika, dua pesawat origami siap melesatkan segenap harapannya ke angkasa. Seandainya Danika bisa lebih bersikap bijaksana terutama pada hatinya sendiri, mungkin saat ini tak akan ada kecemasan berarti tentang Ravi.

Berbicara soal Ravi, cowok yang sudah resmi menjadi mahasiswi musik itu tersenyum setiap kali membaca sebuah kertas yang dijatuhkan Danika saat berkunjung ke kamarnya, seperti yang Sandi bilang. Awalnya Ravi mengira jika kertas itu hanya coretan tidak penting miliknya. Namun, saat Sandi mengatakan ada sesuatu yang menarik dari kertas itu, Ravi langsung merebutnya.

Tepat di bagian bawah kertas terdapat nama Danika. Secara saksama, mata Ravi memfokuskan pandangan dan membacanya. Dia jadi terpikir untuk mengubah coretan Danika menjadi sebuah lagu. Barangkali jika keadaan sudah membaik, Ravi bisa menunjukkan lagu hasil kreasinya di hadapan yang lain, terlebih Danika.

Sekali dua kali, Ravi gagal membuat chord yang cocok untuk lirik lagu karya Danika. Bukan Ravi namanya jika menyerah begitu saja. Seharian selama di kampus, dia mengulik senar-senar gitar. Dari satu nada ke nada yang lainnya.

Terlalu pilu semua kurasakan

Masa berlalu terlalu cepat

Hanya satu yang mampu kukatakan

Kenanglah semua dalam cinta

Kenanglah kita

Bait terakhir lagu yang diberi judul “Kenanglah Kita”[1] itu membuat Ravi tertegun. Mengenang sesuatu tentang Danika dan persahabatan bukanlah kesanggupan dalam hidupnya. Dia bisa kuat saat ibunya meninggal karena kehadiran mereka. Lantas, apa jadinya Ravi jika justru kehilangan penguatnya selama ini?

***

Menggeluti dunia hobi sembari mencari ilmu adalah tugas Ravi pagi ini. Ayah sudah menunggu di meja makan dengan sarapan ala kadarnya. Hanya nasi goreng sosis dengan telur dadar di atasnya, ditambah satu gelas air putih tanpa susu. Ravi sudah bukan anak balita yang diwajibkan minum susu formula.

“Wah, jagoan Ayah tambah ganteng aja, nih.” Pak Gio menyeru saat melihat Ravi sedikit terburu-buru menuruni tangga.

“Kak Ravi aja yang ganteng, Yah? Aku enggak?” sela Sandi, menyendok sarapannya. 

“Kamu nggak ganteng, kamu itu tampan.” Ravi nyengir menimpali ucapan Sandi.

“Haha, bisa aja. Eh iya, coba kamu cerita sama Kak Ravi. Barangkali dia bisa bantu ngasih ide,” ujar Pak Gio menyentuh lengan Sandi yang masih asyik menyantap makanannya.

“Ide apaan, Yah? Sandi mau ngapain emang?” tanya Ravi menatap Sandi dan ayahnya bergantian.

“Jadi gini,” kata Sandi, meraih gelas minum. “Bakalan ada acara pentas seni di sekolah dua bulan lagi. Nah, aku bingung nentuin konsepnya. Padahal bukan OSIS kan ya, tapi wali kelas malah percayain semuanya sama aku,” jelas Sandi serius.

Ravi bergeming mendengarkan dengan saksama. Sarapan ditambah memikirkan ide untuk adiknya adalah perpaduan yang tidak seimbang. Bisa-bisa sampai kapan pun perutnya tak akan kenyang jika asupan itu langsung dipakai untuk berpikir keras.

“Nanti di kampus Kakak pikirin, deh,” putus Ravi kembali menyantap sarapan. Dari lain arah, Pak Gio memperhatikan sejak tadi. Ravi yang biasanya selalu banyak bicara, akhir-akhir ini lebih cenderung pendiam. Lebih tepatnya, sejak masuk kuliah.

“Rav, lagi patah hati?” tanya Pak Gio, kontan membuat Ravi tersedak. Buru-buru dia minum dengan napas terengah-engah seperti sudah maraton. Sandi mentertawakan begitu puas melihat respons kakaknya. Belakangan ini, Sandi lebih sering memperhatikan gelagat Ravi yang tidak bisa ditebak. Kadang ceria, tetapi tak lama berselang wajahnya ditekuk penuh kesedihan. Kakaknya itu memang penuh misteri.

“Ya ampun, hati-hati kalo makan,” imbuh Ppak Gio, kembali menuangkan air minum pada gelas Ravi.

“Ayah kok nanya kayak gitu?” Ravi mengerutkan kening kesal, karena seharusnya tak pernah ada pertanyaan semacam itu di rumah ini.

“Ayah nanya aja. Habisnya Ayah perhatiin, kamu jadi jarang ngomong. Biasanya cerewet.” Pria yang berperan sebagai ayah sekaligus ibu di rumah itu menyandarkan punggungnya pada kursi makan. Tatapan tajam khas seorang ayah tak luput tertuju pada Ravi.

“Aku berangkat dulu. Nanti konsepnya dipikirin di kampus.” Ravi bangkit dan meraih jaketnya dari dekat pintu, berusaha menghindar dari serangan pertanyaan Pak Gio selanjutnya.

***

Motor Esa berhenti tepat di seberang indekos Karla. Kedatangannya kali ini untuk memastikan jika Karla baik-baik saja. Selain itu, dia juga ingin bertanya mengenai kabar yang lain, terutama Danika. Meski sudah sampai sekitar sepuluh menit yang lalu, Esa masih berbetah diri duduk di motor tanpa beranjak. Hatinya ragu untuk menemui Karla yang menurutnya masih tak bisa menerima kenyataan tentang perasaan Esa. Sekeras mungkin Esa berusaha untuk meyakinkan diri dengan merangkai beberapa kalimat pembuka yang enak.

“Apa aku ngomong gini aja, ya, ‘Kar, maafin aku. Maafin aku!’ Dih, masa urang selebay itu, sih?” ujarnya, masih mencari kalimat pembuka untuk Karla agar kedatangannya kali ini tidak sia-sia.

“Atau ngomong gini aja, ‘Karla! Sumpah aku nyesel, Kar! Aku nggak mau kamu musuhin aku. Aku mohon, Karla! Aku mohon’. Ah! Enggak, deh. Urang nggak sedrama itu.” Lagi-lagi Esa menggeleng. Memang bukan hal mudah saat berbicara dengan Karla dalam situasi yang serius seperti ini.

“Lah, gimana nanti aja, deh. Tinggal ngomong minta maaf sama Karla, bukan mau lamar dia. Pake banyak mikir pula.” Akhirnya Esa memutuskan berjalan mendekati pintu indekos.

“Assalamualaikum, Karla?” panggil Esa, beberapa saat setelah menimbang-nimbang. Mendengar namanya dipanggil, Karla yang sedang bersiap ke kampus pun mengintip dari jendela. Jantungnya hampir copot saat menyadari kedatangan Esa yang tidak terduga sebelumnya.

“Assalamualaikum,” seru Esa sekali lagi karena sama sekali tak ada yang menyahut. Para penghuni indekos memang sudah memulai aktivitas. Hanya Karla seorang diri yang masih ada di dalam.

Esa mengusap wajahnya dengan kasar. Secara tidak langsung kedatangannya kali ini sudah ditolak, padahal Esa sangat yakin Karla ada di dalam atau bahkan belum bangun karena sekarang masih pukul tujuh lewat lima belas. Setahu Esa, Karla bukan orang yang hobi bangun pagi buta. Ya, bisa dibilang Karla itu tukang molor.

“Assalam–Suara Esa tersekat saat melihat pintu terbuka. Malah dia tidak sengaja mengetuk wajah Karla yang dikiranya adalah pintu.

“Dateng pagi-pagi main getok wajah orang,” celetuk Karla melipat tangannya di dada.

Sorry, sorry, aku kira pintunya masih ditutup.” Gigi putih milik Esa berderet di hadapan Karla.

“Ada apa?” Air muka Karla judes, belum lagi cara bicaranya yang begitu ketus.

“Masih marah sama aku? Aku ke sini mau mastiin kamu baik-baik aja. Aku juga mau tanya kabar yang lain,” jawab Esa agak ciut melihat tampang Karla begitu menakutkan.

“Yang lain siapa?” Karla keluar dari pintu lantas duduk di kursi depan diikuti dengan Esa.

“Danika sama Ravi, lah. Kita udah hampir setahun nggak saling nanya. Kayak nggak pernah ada cerita di antara kita. Kalo Peterpan bilang mah, semua tentang kita.” Sifatnya yang nyerocos itu kembali muncul. Sudut mata Karla bisa menangkap ekspresi cowok di sebelahnya begitu menyebalkan.

“Kamu nggak gila kan, Sa?” bisik Karla.

“Aku serius, ini.” Meja di hadapan menjadi sasaran tangan Esa hingga digebrak.

“Eh, buset! Serius sih serius, tapi nggak usah ngerusak fasilitas di tempat aku juga kali.” Mata cokelat Karla mengerling tidak terima. Pagi ini Esa lebih mirip dengan preman pasar yang sering Karla lihat jika sedang membeli sayuran.

Hehe, sorry. Berarti kamu udah nggak marah sama aku?” Esa mencengkeram lengan Karla dengan dua tangannya. Kedua matanya berbinar bahagia, begitu ekspresif.

“Ya sebenernya aku masih marah sama kamu. Apalagi pas tadi kamu getok wajah aku. Tapi ya udahlah, kamu emang begitu orangnya.”

“Makasih banyak, Kar. Aku nggak sia-sia dateng ke sini.” Seketika Karla sudah ada di pelukan Esa. Jika soal memeluk, Esa orang nomor satu yang akan antusias. Kehangatan yang hidup, begitu katanya.

“Iya, iya. Nggak usah bahas yang udah. Kita pikirin aja gimana caranya biar Danika sama Ravi mau saling ketemu. Aku rasa, mereka juga saling suka.” Karla tampak berpikir disusul dengan desisan Esa.

“Maksudnya, kamu bakalan biarin mereka jadian?” tanya Esa antusias.

“Iya, lah. Kamu kira ngalahin perasaan sendiri itu gampang? Sekarang, aku tanya sama kamu. Kamu masih suka sama aku lebih dari sahabat, kan?” Tatapan tajam dilayangkan pada Esa yang masih terpaku di kursi. Wajahnya ditekuk, persis orang sedang menahan buang air besar. Ah, padahal Esa tampan. Kontan Esa mengangguk dan disambut sorakan penuh kemenangan dari Karla.

***

Suasana hening tercipta di ruangan dengan begitu banyak kursi. Suara AC dan ketukan pulpen pada buku catatan, seolah ikut andil mengisi ruangan itu. Mata kuliah ini menjadi mata kuliah favorit Danika. Dosen berusia sekitar 48 tahun berhasil mengalihkan dunia Danika sepenuhnya. Mungkin inilah salah satu alasan mengapa dia begitu menyukai sastra. Baginya, sastra bukan hanya tentang mengekspresikan jiwa, melainkan menjadi alat menuangkan perasaan yang sulit dikatakan.

Danika begitu saksama memperhatikan yang diselingi dengan mencatat. Tak pernah melewatkan apa pun yang bisa membuat mimpinya berkembang. Setidaknya, sampai dia berhasil mendapat surat kontrak penerbitan. Semua mimpi yang selalu digenggamnya sangat kuat, seolah menjadi kekuatan terbesar Danika saat ini.

Dalam keheningan, tiba-tiba terdengar sesuatu yang patah di bagian belakang. Suaranya berdebum cukup keras hingga mengalihkan perhatian orang-orang. Dosen yang sedang memberi mata kuliah pun terdiam seketika, mengamati apa yang sedang terjadi di kelasnya.

“Haha, makanya kalo duduk itu jangan dimainin kursinya. Jatoh kan, nih,” kata Jaka yang memang duduk di belakang. Salah satu teman dengan bobot badan 85 kilogram terjungkal ke belakang. Kursi yang didudukinya ambruk karena tak kuat menahan beban. Awalnya para mahasiswa hanya melongo memperhatikan, tetapi akhirnya mereka tertawa bersamaan.

Dosen pun beringsut ke belakang untuk menolong mahasiswa tersebut. Bukannya membangunkan, yang ada dosennya malah ikut terjungkal. Sekali lagi ledakan tawa pecah di kelas itu. Danika geleng-geleng melihat kejadian terunik antara mahasiswa, dosen, dan kursi yang patah.

“Sini, Pak, saya bantu.” Danika mengulurkan tangannya untuk membantu dosen, sedangkan teman yang memang menjadi sumber keributan masih kepayahan karena terselip di antara kursi-kursi di sekitar.

“Diet, ngapa! Badanmu berlebih banget. Pantesan aja badan Danika singset gitu. Habis semua sama kamu sih, dagingnya,” ceracau Jaka ikut membantu walau harus mendapatkan jitakan dari Danika.

“Ngeselin ya, si Jaka! Malah ngatain segala!” Danika memprotes. Gemuruh tawa pun kembali meledak di ruang perkuliahan. Danika memang tak pernah terima jika dirinya diledek singset. Bagi Danika, apalah artinya bentuk tubuh jika masih bernapas? Percuma badan bagus seperti gitar Spanyol, kalau sudah tidak bernapas sih, tetap saja dikubur di tanah.

“Sudah, sudah. Ayo kita kembali melanjutkan tentang perkuliahan kali ini.” Mata dosen itu mengedar awas ke seantero ruangan. “Danika, saya dengar kamu sedang mengadakan sayembara puisi, ya?” Pertanyaan itu membuat Danika grogi. Berita sayembara yang diadakan untuk pertama kalinya, ternyata sampai juga di telinga dosen tersebut.

“Iya, Pak. A-apa ada sesuatu?” tanya Danika, benar-benar tidak menyangka kalau dirinya akan mendapatkan pertanyaan begitu.

“Oh, tidak. Sama sekali tidak, Danika. Saya justru bangga sama kamu. Mahasiswi yang aktif, apalagi giat menghidupkan literasi di kampus kita. Saya sangat mengapresiasi kegiatan sayembara itu. Nanti kamu temui saya di ruang dosen, ya,” ucap dosen tersenyum bangga.

“Memangnya ada apa, Pak? Ma-maaf, saya banyak tanya.”

“Ah, jangan takut begitu. Pokoknya nanti kamu datang ke ruangan saya sama temanmu itu, siapa namanya?”

“Jaka, Pak,” seru Jaka, tak jauh cemasnya dengan Danika.

“Nah, iya. Kalian berdua jangan lupa ke ruangan saya.”

Danika maupun Jaka hanya mengangguk lesu, lalu keduanya saling bertatapan satu sama lain. Di pikiran masing-masing tengah bergumul banyak pertanyaan tentang permintaan dosen. Apakah mereka akan terkena masalah?

***

Sesuai perintah dosen, setelah jam perkuliahan selesai akhirnya Danika dan Jaka bergegas ke ruangan dosen. Danika berjalan lebih dulu dibandingkan Jaka yang terkesan lebih pendiam daripada biasanya. Tepatnya sejak dosen menyuruh mereka ke ruangan tanpa alasan yang jelas. Wajar juga sih, kalau mereka ketakutan begitu. Jangankan ke ruangan dosen, ke ruangan guru saat masih sekolah saja rasanya malu.

Tiba di depan ruangan, Danika membungkukkan badan sebagai bentuk penghormatan. Orang tua bilang, jika sedang berjalan di depan orang yang lebih tua hendaknya kita membungkuk sedikit. Kalau orang Sunda biasanya sambil mengatakan punten atau ngiring ngalangkung. Saat ini, Danika dan Jaka sedang menerapkan aturan tata krama yang berlaku itu.

“Eh, kalian. Sini, sini.” Dosen paruh baya itu memanggil sambil berdiri dari tempat duduknya. Danika berjalan mendekat, disusul oleh Jaka. “Saya mau kasih ini buat kamu. Sebagai tanda bangga saya karena kamu sudah bersedia menghidupkan literasi di kampus ini.” Satu buah novel karya Andrea Hirata dengan judul Orang-Orang Biasa yang masih bersegel itu diserahkan pada Danika.

“Waktu pertama saya dengar soal sayembara itu, saya langsung memutuskan untuk membeli buku tersebut. Saya rasa, kamu harus banyak membaca karya-karya hebat agar kamu juga tambah hebat!” seru dosen, begitu menggebu-gebu.

“Makasih banyak, Pak.Danika tersenyum penuh kebahagiaan. Jaka yang ada di sampingnya tak kalah tersenyum bangga. Menurutnya, Danika pantas mendapatkan apresiasi seperti itu.



[1] Lagu original penulis.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
SEMPENA
2386      881     0     
Fantasy
Menceritakan tentang seorang anak bernama Sempena yang harus meraih harapan dengan sihir-sihir serta keajaiban. Pada akhir cerita kalian akan dikejutkan atas semua perjalanan Sempena ini
Aku Milikmu
1199      569     2     
Romance
Aku adalah seorang anak yang menerima hadiah terindah yang diberikan oleh Tuhan, namun dalam satu malam aku mengalami insiden yang sangat tidak masuk akal dan sangat menyakitkan dan setelah berusaha untuk berdamai masa lalu kembali untuk membuatku jatuh lagi dengan caranya yang kejam bisakah aku memilih antara cinta dan tujuan ?
INTERTWINE (Voglio Conoscerti) PART 2
2900      791     2     
Romance
Vella Amerta—masih terperangkap dengan teka-teki surat tanpa nama yang selalu dikirim padanya. Sementara itu sebuah event antar sekolah membuatnya harus beradu akting dengan Yoshinaga Febriyan. Tanpa diduga, kehadiran sosok Irene seolah menjadi titik terang kesalahpahaman satu tahun lalu. Siapa sangka, sebuah pesta yang diadakan di Cherry&Bakery, justru telah mempertemukan Vella dengan so...
Hello, Troublemaker!
1086      473     6     
Romance
Tentang Rega, seorang bandar kunci jawaban dari setiap ujian apapun di sekolah. Butuh bantuan Rega? mudah, siapkan saja uang maka kamu akan mendapatkan selembar kertas—sesuai dengan ujian apa yang diinginkan—lengkap dengan jawaban dari nomor satu hingga terakhir. Ini juga tentang Anya, gadis mungil dengan tingkahnya yang luar biasa. Memiliki ambisi seluas samudera, juga impian yang begitu...
Konspirasi Asa
2137      681     3     
Romance
"Ketika aku ingin mengubah dunia." Abaya Elaksi Lakhsya. Seorang gadis yang memiliki sorot mata tajam ini memiliki tujuan untuk mengubah dunia, yang diawali dengan mengubah orang terdekat. Ia selalu melakukan analisa terhadap orang-orang yang di ada sekitarnya. Mencoba untuk membuat peradaban baru dan menegakkan keadilan dengan sahabatnya, Minara Rajita. Tetapi, dalam mencapai ambisinya itu...
Sepotong Hati Untuk Eldara
1320      610     7     
Romance
Masalah keluarga membuat Dara seperti memiliki kepribadian yang berbeda antara di rumah dan di sekolah, belum lagi aib besar dan rasa traumanya yang membuatnya takut dengan kata 'jatuh cinta' karena dari kata awalnya saja 'jatuh' menurutnya tidak ada yang indah dari dua kata 'jatuh cinta itu' Eldara Klarisa, mungkin semua orang percaya kalo Eldara Klarisa adalah anak yang paling bahagia dan ...
Luka Dan Perkara Cinta Diam-Diam
4912      2021     22     
Romance
Kenangan pahit yang menimpanya sewaktu kecil membuat Daniel haus akan kasih sayang. Ia tumbuh rapuh dan terus mendambakan cinta dari orang-orang sekitar. Maka, ketika Mara—sahabat perempuannya—menyatakan perasaan cinta, tanpa pikir panjang Daniel pun menerima. Sampai suatu saat, perasaan yang "salah" hadir di antara Daniel dan Mentari, adik dari sahabatnya sendiri. Keduanya pun menjalani h...
Under a Falling Star
657      399     7     
Romance
William dan Marianne. Dua sahabat baik yang selalu bersama setiap waktu. Anne mengenal William sejak ia menduduki bangku sekolah dasar. William satu tahun lebih tua dari Anne. Bagi Anne, William sudah ia anggap seperti kakak kandung nya sendiri, begitupun sebaliknya. Dimana ada Anne, pasti akan ada William yang selalu berdiri di sampingnya. William selalu ada untuk Anne. Baik senang maupun duka, ...
AKSARA
3924      1580     3     
Romance
"Aksa, hidupmu masih panjang. Jangan terpaku pada duka yang menyakitkan. Tetaplah melangkah meski itu sulit. Tetaplah menjadi Aksa yang begitu aku cintai. Meski tempat kita nanti berbeda, aku tetap mencintai dan berdoa untukmu. Jangan bersedih, Aksa, ingatlah cintaku di atas sana tak akan pernah habis untukmu. Sebab, kamu adalah seseorang yang pertama dan terakhir yang menduduki singgasana hatiku...
BlueBerry Froze
3436      1071     1     
Romance
Hari-hari kulalui hanya dengan menemaninya agar ia bisa bersatu dengan cintanya. Satu-satunya manusia yang paling baik dan peka, dan paling senang membolak-balikkan hatiku. Tapi merupakan manusia paling bodoh karena dia gatau siapa kecengan aku? Aku harus apa? . . . . Tapi semua berubah seketika, saat Madam Eleval memberiku sebotol minuman.