Esa dan Karla menunggu
gelisah di depan gerbang sekolah Sandi. Satu-satunya cara yang bisa ditempuh
untuk mengetahui kabar Ravi hanyalah cowok itu. Hampir setengah jam mereka
menunggu, tetapi yang dituju tak terlihat juga.
“Pak, ini bubarannya
jam berapa? Lama bener. Sekolah apa umroh?” celetuk Esa menyandarkan tubuhnya
pada gerbang.
“Lima menit lagi, Kang.
Biasa, sekolah sekarang kan lebih lama dibandingkan yang biasa,” ujar satpam
yang ditaksir berusia 30 tahunan.
Karla mendengkus. Hari
ini dia harus bolos beberapa mata kuliah karena mengikuti rencana Esa.
Sebenarnya, Karla tidak begitu rela kuliahnya harus diganggu oleh siapa pun.
Tetapi mengingat ini lebih penting untuk sekarang, Karla rela melakukannya. Itu
pun dengan perjanjian, Esa harus izin bekerja sehari ini saja. Impas.
Pandangan Esa
dipertajam ke sekitar parkiran. Bel pulang berbunyi tak berapa lama setelah
satpam tadi mengatakan hal serupa. Karla bangkit, menunjuk sudut sekolah tempat
memarkirkan motor.
“Sandi!” pekiknya,
berlari tanpa memedulikan Esa. Sandi
yang merasa terpanggil, melirik ke arah Karla. Seketika cowok bertampang mumpuni
dan hampir mirip Ravi itu terkesiap. Apa yang dilakukan Karla di sekolahnya?
“Kak Karla ngapain di
sini?” tanya Sandi turun dari motor dan membuka helmnya.
“Kakak mau tanya soal
Ravi. Dia di mana?” Karla terengah, bukan karena berlari dari gerbang ke
parkiran yang tak seberapa, tetapi perutnya sudah terlalu penuh oleh air hingga
menimbulkan tidak enak. Selama menunggu Sandi, Esa terus menawarinya berbagai
macam minuman. Jadilah perut Karla seperti sumur berjalan.
Sandi tertegun. Air
mukanya berubah seketika mendapat pertanyaan seputar Ravi. Perhatiannya beralih
pada Esa yang baru datang dan menyejajarkan diri dengan Karla. Perlahan tapi
pasti, kegugupan menyeruak ke dalam batin Sandi. Ia harus bisa mengendalikan
diri di hadapan kedua sahabat kakaknya tanpa menimbulkan curiga sedikit pun.
“Hei, San. Apa kabar?”
sapa Esa menyentuh pundak Sandi. Sentuhan itu memberikan efek luar biasa pada
tubuh Sandi. Seluruhnya bergetar, ada ketakutan dan kecemasan yang menjalar.
“Aku baik, Kak. Udah
lama ya, nggak ketemu,” tawanya, berusaha membuat diri sendiri lebih tenang.
“San, Ravi di mana?”
Mata tajam Karla membidik Sandi lagi.
“A-anu … Kak Ravi balik
lagi ke Jogja.”
Esa memicing, lalu
bertanya, “Bohong, ya? Terakhir kali aku ke rumah, Ravi ada di sana. Gani juga
bilang, Ravi nggak ke Jogja. Terus, kapan dia ke Jogja?”
Situasi ini menyudutkan
Sandi yang tidak tahu harus berkata apa lagi.
***
Pikiran Ravi menerawang
jauh ke sekitar kampus. Teman-temannya yang lain sedang sibuk mengerjakan tugas
susulan untuk memenuhi SKS. Ravi sendiri hanya memilih terdiam di koridor,
memeluk gitar, dan merindukan Danika. Tak ada tugas yang harus dikerjakan oleh
Ravi saat ini. Pasalnya, seluruh tugas sudah dikerjakan dengan sangat apik
sebelumnya.
“Kamu nggak tau gimana
sakitnya jadi aku, Ka. Kamu nggak tau gimana tersiksanya ada di posisi aku. Apa
hak Esa ngelarang aku buat sayang lebih dari sahabat sama kamu? Padahal sampai
detik ini aku masih sayang sama kamu, aku masih berharap bisa milikin kamu,
Danika,” gumam Ravi meremas kertas berisi lirik lagu milik Danika.
Sejak menjauhi Danika,
Ravi memang tak pernah dekat dengan cewek mana pun. Pernah suatu ketika, ada
yang mengirimkannya puisi. Dia seorang mahasiswi sastra seperti Danika, tetapi Ravi
tak merasakan getaran apa-apa saat membaca puisi itu. Lain hal jika Danika yang
memberikannya. Sosok cewek konyol, tengil, dan berimajinasi liar memang
sudah membuat perangkap bagi Ravi. Tak ada yang bisa menjadi seperti Danika di
matanya.
Mungkin inilah yang
dinamakan cinta itu buta. Sejauh apa pun Danika saat ini, bahkan setelah dia
menampar Ravi malam itu, tetap saja perasaan sayang tumbuh begitu subur di
dalam hati Ravi. Beberapa kali Ravi sempat menyesalkan mengapa dia dan Danika
harus dipertemukan sebagai sahabat di antara Karla dan Esa? Andai saja mereka
bertemu tanpa ada persahabatan di antara keduanya, mungkin saat ini Ravi dan
Danika sudah saling mengutarakan isi hati mereka.
Ah, memangnya apa arti
dari sebuah pengandaian, jika pada kenyataannya Ravi dan Danika adalah bagian
dari K’DER. Ikatan persahabatan yang terjalin di antara mereka pun sudah
memakan cukup banyak waktu. Rasanya sulit menerima kenyataan, tetapi terlalu
berat hidup dalam bayangan. Danika, Danika, Danika! Otak Ravi terus menyeru
sosok itu.
“Ravi!” Teriakan
seseorang membuat Ravi tersadar. Dari ujung koridor, dua orang yang
dirindukannya berlari menghampiri. Kontan Ravi bangkit menyimpan gitarnya. Dia berharap
apa yang dilihatnya saat ini bukanlah halusinasi semata.
“Ravi! Aku kangen!”
Suara khas milik Karla terdengar semakin dekat. Cewek itu segera menghambur
memeluk Ravi.
Di belakang Karla, Esa
menatap haru. Hati
Esa sudah terbuka sepenuhnya dan menyadari segala kesalahan yang membuat
persahabatannya berantakan. Keegoisan, keserakahan, dan rasa takut berlebihan
justru membuat hidupnya awut-awutan.
Esa merasa hidupnya
seperti itu semenjak berpisah dengan K’DER. Setiap hari dia hanya disuguhkan
dengan drama hidup membosankan, tak ada teman berbagi, belum lagi ketika
ayahnya selalu sibuk dengan segudang pekerjaan. Esa seperti seorang rakyat
semesta yang kehilangan arah hidup dan kebahagiaan. Dia merutuki nasibnya yang
hancur setelah Ibu tiada, juga bubarnya perkumpulan K’DER yang terjadi justru
karenanya.
Terkadang Esa ingin
gantung diri saja untuk menebus semua kesalahan yang pernah dilakukannya tempo
hari. Akan tetapi, Esa sadar jika dirinya masih memiliki sedikit harapan
memperbaiki segala keributan yang ada. Esa tak ingin mati gentayangan seperti
dedemit yang kerap ditontonnya di salah satu channel YouTube yang
diikuti.
“Maaf, Bro!”
kata Esa. Air matanya hampir tertumpah jika tidak ingat ada banyak mahasiswa
dari kelas Ravi yang menyaksikan mereka. Gengsi dong, menangis di hadapan
banyak orang
“Nggak usah minta maaf.
Aku juga salah, Sa.” Ravi memukul lengan Esa dengan sedikit berguyon.
Sudut-sudut mata keduanya terlihat sudah menggenang.
“Aku terharu kita bisa
ketemu lagi. Aku terharu.” Karla duduk di samping Ravi sembari terisak, persis
seperti anak TK yang kehilangan ibunya.
“Kar, nggak malu nangis
kayak gitu? Dilihatin banyak orang, dih,” bisik Esa sedikit menunduk. Ravi hanya terkekeh mendengar
ucapan Esa.
“Kita ngobrol di kantin,
yuk!” ajak Ravi, membawa serta gitar miliknya, kemudian berjalan mengikuti arah
koridor.
Wajah asing Esa dan
Karla sontak menjadi bahan perhatian di sepanjang koridor kampus Ravi. Keduanya
tak henti mendapat tatapan dari beberapa mahasiswa yang sedang mengobrol di
luar. Namun, dari sudut mata Karla, dia merasa ada seseorang yang berusaha
menepuk pantatnya. Dia pun segera menarik baju Esa yang berjalan di sampingnya.
“Apa sih, Kar?” tanya
Esa, kemudian ketiganya berhenti.
“Ada apa?” Ravi ikut
bertanya seraya menatap Karla serius.
“Tuh, cowok itu tadi
mau nepuk pantat aku,” ucap Karla, sedikit tidak nyaman. Mendengar ucapan
Karla, Ravi dan Esa saling bertatapan kesal.
Ravi menghela napas,
laku berkata, “Yang mana?”
“Itu yang rambutnya
agak gondrong.”
Detik itu juga, Ravi
menyerahkan gitar pada Esa dan berjalan menghampiri cowok yang Karla maksud
tadi. Sejak Karla berjalan di koridor itu, dia memang menjadi pusat perhatian
para cowok yang sama sekali bukan tipe Karla.
Dari tempatnya berdiri
bersama Esa, Karla melihat Ravi berbicara dengan cowok tadi. Sesekali
sahabatnya itu menunjuk ke arah Karla tanpa ada rasa segan sedikit pun. Inilah
yang Karla sukai dari hubungan persahabatan yang terjalin antara cewek dan
cowok. Sahabat cowok bisa diandalkan, meskipun ini tidak terlalu berlaku bagi
Esa yang lebih banyak mengandalkan Ravi.
“Teh, maaf ya, tadi
saya iseng.” Cowok yang berniat kurang ajar pada Karla itu datang bersama
dengan Ravi. Orang-orang yang ada di sana, menyaksikan kejadian itu dengan
wajah penuh rasa penasaran. Memang pada dasarnya netizen itu suka kepo.
“Iseng jidat maneh!
Jangan-jangan udah kebiasaan tepok-tepokin pantat cewek, ya?” sambar Esa,
gemas. Sekurang ajar apa pun Esa yang sudah merusak persahabatan K’DER,
tangannya tak pernah sejail dan semesum itu.
“Enggak kok, Kang. Saya
minta maaf, ya,” pintanya lagi, benar-benar terlihat serius.
“Kang, Kang, emangnya aing
Kang Batagor?” cerocos Esa lagi.
“Udah, Sa. Nyerocos
mulu, sih.” Karla menyikut tangan Esa, lalu melanjutkan, “Iya, nggak apa-apa.”
Cowok tadi pun
mengangguk dan berpamitan pada ketiganya dengan wajah memerah. Setelahnya,
sorakan dari para mahasiswa terdengar menggema sepanjang koridor. Ravi sendiri
hanya tersenyum penuh kebanggaan, merasa ketampanannya bertambah berkali-kali
lipat.
“Kamu baik-baik aja,
kan?” tanya Esa saat mereka sudah mendapatkan tempat yang cocok untuk
mengobrol.
“Seperti yang kamu lihat.”
Ravi sibuk memeluk gitarnya. Sesekali dia menutup mata, membayangkan Danika ada
di hadapannya. Setiap kali hal ini dilakukan, air muka Ravi akan berubah dengan
cepat.
“Kamu nggak pernah
baik-baik aja semenjak sayang lebih dari sahabat sama Danika.” Karla menarik
napas kemudian membuangnya kasar. Menyandarkan punggung pada kursi yang
berdekatan dengan tembok.
Mata Ravi terbuka,
melirik ke arah Karla yang duduk di sampingnya. “Ah, ya. Danika apa kabar?”
“Dia baik-baik aja.
Malah waktu aku ke kampusnya, dia udah jadi orang keren di sana. Dia Ketua Komunitas
Sastra kampus,” papar Karla menatap Ravi dan Esa bergantian.
“Aku udah tau kalo dia
bakalan jauh lebih hebat dari yang kita bayangkan. Sayangnya, aku nggak bisa
kayak dia.” Nada bicara penuh keputusasaan terucap jelas dari Ravi.
“Kamu sayang sama
Danika lebih dari sahabat? Kenapa nggak pernah jujur sama kita?” Esa menyela
sebelum Karla menyahut pernyataan Ravi, padahal sebenarnya dia sudah tahu.
“Danika yang larang.
Tapi, aku rasa, kamu juga bego, Sa. Kamu korbanin hati buat kita. Kamu biarin
Karla sama Gani, kamu jadi orang munafik. Kamu bego, jauh lebih bego daripada aku.”
“Please, jangan bahas itu sekarang,” sela Karla menyentuh tangan
Ravi, “Aku nggak apa-apa dan Esa juga nggak apa-apa. Iya kan, Sa?”
“Heem. Aku nggak mau jadi egois lagi. Mungkin, emang udah saatnya kamu
cari Danika, Rav. Kamu mesti jelasin kepergian dan drama ke Jogja. Perjuangin
cinta pertamamu itu, Kisanak!” Esa terkekeh sambil mengeluarkan handphone
dan menekan aplikasi rekam video.
“Caranya? Aku udah
nggak pernah kontak sama dia lagi.” Ravi mengusap wajahnya dengan frustrasi. Dia
bahkan lupa kapan terakhir kali berkomunikasi dengan Danika.
“Kamu duduk di sini,
pegang gitar, terus nyanyi. Kar, sini duduk sama aku,” titah Esa menepuk kursi
di sebelahnya. “Kita bikin kejutan buat Danika.” Esa melanjutkan
ucapannya, diiringi senyuman penuh arti.