Hari-hari Danika berubah drastis sejak menjadi mahasiswi. Setiap pagi dia ke kampus menggunakan motor kesayangannya. Walau sudah kembali ke rumah sendiri dan menjadi mahasiswi, penampilan Danika tetaplah sama. Hanya dengan kaus kasual, celana jeans, tas gendong, serta rambut diikat satu, lengkap dengan sepatu tali berwarna hitam. Danika memang lebih nyaman berpakaian seperti itu ketimbang harus memakai rok atau pakaian yang identik dengan kecewekan.
Di kampus, Danika dikenal sebagai mahasiswi yang asyik. Sifatnya yang mudah bergaul dengan siapa saja, membuat Danika tak terlalu kepayahan dalam hal mendapatkan teman baru. Malah yang ada, dia ditunjuk sebagai penggagas komunitas literasi kampus. Siapa yang tak girang mendapat penghargaan seperti itu?
Danika-lah orangnya. Pada saat yang lain bersorak atas penunjukkan itu, Danika malah biasa saja. Dia sibuk mencari gelombang radio dari handphone jadulnya. Barang itu tetap dipakai walau sering kena bully-an. Meskipun begitu, ada satu hal yang berbeda. Danika tak lagi murung memikirkan keadaan K’DER dan hatinya sendiri. Sekarang dia telah kembali menjadi Danika yang ceria, konyol, dan masa bodoh.
“Gokil nih, si Danika. Baru kali ini aku lihat mahasiswi kayak kamu,” puji salah satu temannya saat melihat puisi Danika yang lolos media cetak.
“Berlebihan banget, haha. Aku masih penulis receh,” cetus Danika mengunyah permen karet.
“Eh, emang kamu nggak malu punya tampilan kayak gitu?” Mata temannya menyelidik saksama dari atas ke bawah kemudian kembali lagi ke atas. Danika menggeleng. “Ini, hp jadul masih kamu pake?” tanyanya lagi, begitu ingin tahu.
“Emangnya kenapa? Masalah ya, kalo pake hp jadul?”
“Enggak, sih. Cuma baru kali ini aja aku punya temen secuek kamu. Semoga kamu tetep kayak gini, ya. Aku seneng punya temen cewek yang nggak jaiman.”
Hampir setiap hari Danika mendapat pujian serupa dari teman-teman di kelas. Masa perkuliahan memang baru berlangsung satu semester. Tetapi rasanya, Danika sudah memiliki kampus dan fakultas ini sepenuhnya. Dia bahagia karena sedikit demi sedikit perjalanan hidupnya mulai membaik lagi.
“Kantin, yuk!” Danika membuang permen karet dan menarik temannya ke arah kantin. Jam perkuliahan baru akan dimulai pukul satu siang, sedangkan sekarang baru pukul sebelas. Cukup banyak waktu untuk mengisi perut.
Beberapa pasang mata menatapnya serius. Bukan tatapan mengintimidasi, tetapi lebih pada rasa kagum. Sebenarnya Danika risi dijadikan pusat perhatian karena di kampus keren ini masih banyak mahasiswi yang lebih pantas dijadikan pusat perhatian ketimbang dirinya.
Meja kantin paling pojok menjadi pilihan terbaik bagi Danika. Pesanan favoritnya adalah batagor pedas dan jus alpukat tanpa gula. Tingkat nafsu makannya akan berkali-kali lipat jika lidahnya sudah bersentuhan dengan jenis-jenis makanan itu. Laptop hitam pun dikeluarkan dari dalam tas. Danika langsung menghubungkannya dengan sambungan WiFi kampus, kursor pun digerakkan pada e-mail. Tujuannya untuk mengecek e-mail apa saja yang dikirimkan untuknya seminggu ini. Akhir-akhir ini Danika memang lebih sering menulis di kertas daripada mengutak-atik laptop.
“Makan dulu batagornya. Anteng bener melototin laptop.” Temannya menegur dengan menyikut sedikit keras.
“Bentar, tanggung.” Pandangan Danika tak beralih dari e-mail masuk. Beberapa saat kemudian, dia kembali berseru, “Aku nggak nyangka!” Meja kantin digebrak spontan oleh Danika. Tentu saja kuah bakso yang sedang dilahap oleh temannya hampir masuk hidung. Wajahnya merah dengan keringat menuruni pelipis, persis orang yang sedang sesak napas.
Menyadari sikapnya membahayakan, Danika nyengir menyodorkan air minum. Danika tak ingin ditetapkan jadi tersangka pembunuhan mahasiswa dengan semangkuk kuah bakso.
“Nyebut, Ka! Untung aja itu kuah nggak jadi masuk hidung urang[1].”
“Hihi, sorry. Aku cuma nggak nyangka aja tuh proposal disetujui.”
“Proposal kegiatan sayembara komunitas kita?” Jaka mempertegas, sontak Danika mengangguk diiringi cengiran khasnya. “Anday, keren!”
Dua minggu sebelum libur semester lalu, Danika selaku ketua komunitas literasi kampus mengajukan proposal tentang sayembara puisi. Kegiatan itu merupakan debutnya sebagai ketua sekaligus memperkenalkan komunitas mereka di kalangan mahasiswa di kampusnya. Jaka memang teman dekat Danika di kampus. Awal pertama bertemu dengan Danika adalah saat masa ospek perkuliahan. Cowok tinggi itu lebih senang menghabiskan waktu dengan Danika ketimbang berbaur bersama kumpulannya. Lebih bermanfaat, begitu katanya.
“Eh, bentar! Nama komunitasnya apa?” Pandangan Jaka yang tadinya fokus pada laptop, kembali lagi pada mangkuk baksonya.
“Udah, tenang aja. Aku udah siapin semuanya.” Alis Danika naik turun. Dia memang tidak banyak bicara dalam melakukan suatu hal, tetapi segalanya pasti sudah dirancang dengan sangat matang.
***
“Terima kasih atas kunjungannya.” Cowok berseragam khas pegawai supermarket mengakhiri ucapannya dengan tersenyum. Baru satu tahun bekerja, gajinya harus selalu dipotong karena alasan tertentu yang sebetulnya bukan murni kesalahannya.
Semenjak memutuskan hidup masing-masing dari K’DER, Esa memilih bekerja di supermarket sebagai pramuniaga. Pendapatan yang lumayan, bisa membuatnya mencukupi kehidupan pribadi. Ayahnya memang masih ada, tetapi Esa lebih senang jika hidup dari hasil kerja kerasnya sendiri.
Esa selalu berharap bisa bertemu dengan ketiga sahabatnya lagi, termasuk Ravi. Esa ingin meminta maaf atas keegoisannya selama ini. Walau permintaan maaf itu sudah dikatakan saat perkumpulan mereka yang terakhir kalinya. Setiap pulang bekerja, Esa selalu berusaha menghubungi K’DER satu per satu. Sayangnya, tak ada satu pun dari mereka yang merespons. Mungkin karena nomor Esa sudah dimusnahkan dalam daftar kontak sahabat-sahabatnya.
Kepergian sang ibu memberikan perubahan yang cukup signifikan dalam hidup Esa dan keadaan di sekitarnya. Mulai dari keputusannya resign dari tempat bekerja yang lama, hingga break-nya hubungan persahabatan dengan K’DER. Esa lebih senang menyebut break ketimbang bubar. Baginya, persahabatan tak akan pernah berakhir secepat itu.
Getaran handphone di dalam saku celana membuat Esa terkesiap. Langkahnya beranjak meminta izin ke toilet pada rekan kerja sebelum benar-benar menerima telepon. Peraturan di tempat bekerja memang begitu. Tidak boleh menerima telepon pada saat sedang melayani pembeli.
Esa mengusap wajahnya kasar saat melihat nama Gani terpampang jelas di layar handphone miliknya. Cowok yang sudah berani membuat orang yang disayanginya selama ini menangis tersedu-sedu. Esa memang sudah melupakan dendamnya pada Gani sejak lama, meski rasanya masih tak bisa terima setiap kali kejadian itu menari-nari di pikirannya.
“Halo?” seru Esa mengetuk tembok dengan telunjuknya.
“Hei, Sa. Apa kabar?” Gani berbasa-basi, sewajarnya yang dilakukan pada teman lama.
“Baik. Ngapain telepon?” Cara berbicara Esa ini terdengar begitu ketus, mirip seorang penagih utang.
“Aku mau tanya soal Karla. Kamu masih suka ketemu dia?”
Sejenak Esa tercenung mengingat kapan terakhir kali bertemu dengan Karla. “Enggak. Lost kontak,” ujarnya kemudian.
“Lho, kok bisa? Emangnya kamu sama K’DER nggak pernah ngumpul lagi?” Bukannya senang mendengar pertanyaan itu, Esa malah mendengkus sebal pada Gani.
“Kalo mau ketemu Karla, ya hubungin dia, lah. Dan satu lagi, nggak usah bahas-bahas K’DER,” sergahnya, mematikan telepon. Esa mengumpat pada Gani berulang kali. Sikapnya yang sok peduli pada K’DER, membuat Esa kembali menaruh kesal. Sudah jelas-jelas dulu Gani terlihat tak merasa bersalah sama sekali saat mengatakan sudah memutuskan Karla demi dirinya.
***
Tanpa sepengetahuan Danika, Karla sudah ada di kampusnya sejak pukul sepuluh pagi. Cewek itu nekat ke kampus Danika sendirian karena tidak tahan menahan rindu pada sahabatnya. Karla memang tak pernah memiliki permasalahan serius dengan Danika. Justru selama ini dia selalu menunggu kabar dari sahabat yang telah merusak lemari peninggalan ibunya.
Karla memilih duduk di kantin dekat fakultas Danika. Tak sulit baginya untuk menemukan cewek seantik sahabatnya. Beberapa orang yang ditanya juga bisa langsung hafal. Entah harus bangga atau sebaliknya ketika mengetahui Danika cukup terkenal di kampus. Dia hanya takut jika Danika dikenal karena perilakunya yang lain daripada mahasiswa-mahasiswa di sini.
“Jangan lupa ya, sayembaranya dimulai minggu depan. Kalian wajib ikutan, nih.” Suara iklan itu mengalihkan perhatian Karla. Beberapa mahasiswa mengerubuni orang yang sedang berkoar-koar membahas sayembara. Karla memutuskan ikut larut dalam keriuhan yang ada daripada harus penasaran.
Sebuah kertas iklan memang sedang dibagi-bagikan. Senyum Karla melebar melihat contact person di bagian bawah. Rasanya tidak menyangka jika Danika bisa segemilang sekarang di kampusnya. Sang Ketua Komunitas PEKA alias Pekan Kreativitas Mahasiswa.
“Udah, ya. Nggak usah nyubitin aku segala. Aku mah emang lucu orangnya,” keluh orang tadi berusaha keluar dari kerumunan dan mendapat sambutan sorakan. Karla menatap orang itu penuh tanya. Pikirannya sangat yakin jika ialah orang yang tahu keberadaan Danika sekarang.
“Kar-Karla, ya?” tanya Jaka memastikan matanya tidak bermasalah ketika berhasil keluar dari kerumunan.
“Kok tau nama aku?” Karla menunjuk dirinya sendiri dengan tatapan bingung.
“Kamu beneran Karla sahabatnya cewek jadul, kan?”
Dahi Karla terlipat, lalu bertanya, “Cewek jadul? Siapa?”
“Eh, Danika. Maksudnya Danika. Haha, sorry, aku kebiasaan ledekin dia cewek jadul,” gelagap Jaka menggaruk tengkuknya. Tawa Karla tak bisa ditahan saat mendengar pengakuan Jaka. Benar dugaannya, Danika memang tidak pernah berubah sejak dulu. Terlalu patuh pada pendirian jadul yang sering disebutnya “melestarikan produk lama”.
“Eh, ngapain di sini? Kuliah juga?” Jaka mengajak Karla berbincang sebentar di kantin, sedangkan di ruang kepengurusan, Danika tengah mengomel karena Jaka tak kunjung kembali.
“Enggak, aku ke sini mau ketemu Danika. Tapi aku bingung nyari dia ke sebelah mana,” tutur Karla kembali mengamati kertas iklan sayembara yang dibagikan Jaka tadi.
“Kalian udah lama ya, nggak ketemu? Danika ada kok, di ruang kepengurusan. Kamu mau ketemu dia sekarang?” tawarnya, menatap Karla hangat.
“Nggak usah. Aku rasa Danika lagi sibuk.”
“Mau sibuk atau enggak, dia mah sama aja. Lagian aku rasa Danika juga pengen ketemu sama kamu, deh. Danika sering cerita soal kamu dan nunjukkin foto kalian. Terutama soal K–”
“K’DER!”
“Nah, iya. Eh, ayo kita samperin Danika. Kalo aku lama-lama di sini, dia pasti ngomel kayak kereta api. Kamu pasti tau sendiri gimana omelan mautnya.” Jaka tertawa sembari bangkit menuju ruang kepengurusan. Karla yang awalnya tak ingin menemui Danika karena takut mengganggu pun akhirnya mengekor.
“Apa aja yang Danika ceritain soal aku? Apa dia juga cerita kalo dulu pernah bikin ambruk lemari di kosan?” Karla kembali membuka percakapan dengan kejadian konyol.
Jaka tertawa dan menghentikan langkahnya. “Serius pernah kayak gitu? Haha, dasar emang tuh si Danika satu-satunya mahasiswi gokil yang aku kenal di sini.”
Karla mengangguk menimpali. Tanpa diperjelas seperti itu saja sebenarnya Karla tahu bagaimana sifat Danika. Mereka bersahabat bukan hanya satu atau dua bulan saja. Melainkan sudah hampir 7 tahun. Bau kentutnya saja Karla sangat hafal.
“Ini ruangannya. Kamu mau ikut masuk atau aku panggilin aja?” tawar Jaka berhenti di depan ruangan dengan pintu terbuka. Sejenak, Karla mengintip untuk memastikan Danika ada di dalam. Benar apa yang dikatakan oleh Jaka. Danika sedang sibuk merapikan beberapa berkas sembari duduk di lantai dengan telinga disumbat earphone dan mengenakan kacamata kesayangannya.
“Hm, aku di sini aja, deh,” putus Karla disambut berlalunya Jaka ke dalam.
Di luar, Karla duduk sembari menunggu dipanggil. Momen semacam ini sudah ditunggunya sejak lama. Seandainya bisa, Karla ingin mengajak Ravi dan Esa ikut serta. Jangankan mengajak ke kampus Danika, saling bertegur sapa lewat handphone saja sudah menjadi kejadian langka.
“Danika, kertas iklannya udah aku sebar di kantin. Banyak banget yang minta.” Jaka duduk di hadapan Danika, tetapi cewek itu sama sekali tidak merespons. “Oh Tuhan, telinganya disumbat,” desis Jaka baru menyadari. Tanpa menunggu lama, earphone-nya dilepas dari telinga Danika. Kontan ia sedikit kesal.
“Dateng-dateng gangguin,” decak Danika. “Dari mana aja sih, Jak? Pasti godain mahasiswi dulu, ya?” Telunjuknya menunjuk ke arah Jaka.
“Bener banget! Aku ketemu cewek cakep di sana.”
“Aku bilang juga apa! Punya pacar sana, Jak.” Meski nada bicaranya terkesan galak, Danika tetap mengakhiri ucapannya dengan cekikikan. Hobi lain Danika selain menulis dan membuat pesawat origami adalah menggoda Jaka.
“Aku serius, Ka.”
“Haha, oke, oke. Mana ceweknya? Biar aku juga kenalan. Aku pengen tau, cewek kayak apa yang bisa takluk sama cowok kayak kamu ini.” Pandangan Danika memendar seantero ruangan. Rupanya dia belum menyadari kehadiran Karla di luar. Mendengar cekikikan Danika, Karla spontan melongok ke dalam. Begitu bahagianya sahabat yang sudah lama tak dia temui itu. Karla bisa menyimpulkan demikian karena tawa khas Danika yang terdengar sangat alami.
Tiba-tiba saat Karla melihat ke dalam, tak sengaja Danika pun melihat ke arahnya. Aktivitas yang sejak tadi merenggut seluruh perhatian, kini teralih seketika oleh kehadiran Karla. Danika bangkit melepas earphone dan melewati Jaka.
“Karla?” Mereka saling berpelukan melepas rindu yang benar-benar tumbuh subur semenjak tak ada komunikasi di antara keduanya. Selama Karla memutuskan tak pernah menghubungi Danika, dia jadi sering membuat pesawat origami sebagai penyampai harapan-harapannya.
Karla selalu ingat jika Danika pernah mengatakan, “Apa pun yang kita rasakan, semesta berhak tahu sekalipun hal mustahil itu ditertawakan.” Ya, Karla mempraktikkan diri menjadi pilot pesawat origami seperti Danika.
“Nah, kan. Aku dilupain. Emang dasar cewek.” Jaka menyeru dari dalam. Cowok itu merasa dirinya terabaikan oleh Danika maupun Karla. Tanpa bantuannya, mereka tak akan bisa berpelukan seperti Teletubbies tadi.
“Jak! Ini cewek yang kamu maksud tadi?” pekik Danika jail, lalu tak lama setelahnya Jaka bangkit menemui mereka dengan memasang wajah kesal.
“Ketawa aja terus, Ka. Kamu belum tau sih, kalo sebenernya aku ini mempesona. Cowok cakep se-Bandung Raya.” Jaka tersenyum jemawa.
“Iya, se-Bandung Raya kalo di Bandung udah nggak ada cowoknya sama sekali, alias kamu sendiri doing.” Danika tertawa puas bisa meledek sahabatnya yang satu itu.
“Emang ya, omongan kamu kayak pisau. Nusuk banget sampe ke ubun-ubun. Untung nggak aku cekek, Ka!”
Karla tertawa mendengar ucapan Jaka. “Tenang, Jak. Bukan cuma kamu doang yang pernah berpikiran mau cekek nih anak. Aku juga pernah, kok. Tapi aku sayang sama dia.”
“Karla, kamu emang sahabat terbaik aku!” seru Danika, merasa menang melawan Jaka.
[1] Saya