Loading...
Logo TinLit
Read Story - Somehow 1949
MENU
About Us  

Tanggal 18 Februari 1949. Terkadang, Geo masih harus mengucek matanya untuk memastikan kalau tahun yang dia lihat benar-benar tahun 1949. Selama ini Geo sudah berada di tahun 1949, tetapi dia masih sering merasa kalau semua itu hanya mimpi. Padahal rasa sakit akibat tertembus peluru dan perasaannya benar-benar nyata.

Geo memelototi kalender di dalam kamarnya. Menatap tahun 1949 yang tercetak besar di sana. Siapa tahu tiba-tiba tahun itu berubah menjadi tahun 2018. Sampai matanya pedih pun tahun itu tidak juga berubah. Padahal Geo sendiri lahir di tahun 1998, bahkan orang tuanya saja belum bertemu. Geo tertawa, merasa lucu karena semesta mempermainkannya. Dia dilempar jauh di tahun ini seolah semua ini adalah hukuman.

Suara detik jam bergema di dalam kamar yang sepi. Geo mendongak, menatap jam dinding kecil berwarna putih itu. Pukul lima pagi. Geo terbangun lebih pagi setelah menyadari kalau dia tidak bisa kembali ke tahun 2018. Selama ini juga tidak ada tanda-tanda ajaib yang memberinya sebuah petunjuk alasan dirinya terlempar jauh di tahun ini.

Geo menggeleng. Dia melangkahkan kakinya menjauhi kalender yang bahkan tidak bisa berubah. Kemudian, dia membuka pintu lemari dan meraih sebuah lencana besar yang tersembunyi di bawah lipatan jaritnya. Lencana RM yang membawa beban besar padanya. Geo yakin kalau Beni sampai melihat lencana itu ada padanya, Geo pasti akan langsung dibunuh di tempat.

Geo mendapatkan lencana itu bukan karena telah terperdaya oleh Belanda melainkan dia punya sebuah strategi. Bahwa dengan menyusup sebagai mata-mata, dia bisa menggunakan itu untuk balik menyerang mereka. Geo menyimpan lagi lencana besar terkutuk itu dan meraih lencana lainnya. Lencana merah putih kecil, lambang dirinya sebagai ketua sebuah perayaan hari bersejarah tetapi sekarang Geo sudah lupa nama acara itu. Geo mengusap lencana itu.

Ingatan tentang ayahnya memenuhi kepalanya. Kalau ayahnya tahu apa yang terjadi pada Geo dan mengetahui kalau Geo tidak berbuat apa pun setelah mendapat sebuah kesempatan untuk kembali ke masa lalu. Ayahnya pasti akan merasa kecewa. Geo meletakkan lencana merah putih itu pelan-pelan takut merusaknya, kemudian menutup pintu lemari rapat-rapat.

Geo terdiam. Sekarang apa yang akan dia lakukan? Geo menatap dipannya, lalu menggeleng. Dia sudah tidak berminat untuk kembali tidur. Akhirnya dia memutuskan untuk keluar. Menghirup udara pagi yang masih segar tanpa dicemari oleh asap kendaraan bermotor. Geo membuka pintu kamarnya dan bertatapan dengan sosok seseorang yang tengah duduk di lincak seberang kamarnya. Geo memekik mengira sosok itu adalah hantu besar. Namun, hantu tidak memakai sarung. Geo memicingkan matanya dan mengamati sosok itu dengan serius.

"Ngapain? Cepat ke sini!" Suara diktator yang tidak asing itu pasti milik Beni. Geo mencibir lalu menutup pintu kamarnya. Geo mendekati Beni yang sedang menikmati ketela rebus dan memposisikan dirinya di sebelah Beni.

"Makan, nih!" Beni menyodorkan sepiring ketela rebus ke dekat Geo.

"Emangnya enak?" Geo memprotes. Dia belum pernah memakan makanan yang seperti itu.

Beni menatap Geo dengan tatapan mengejek. "Kamu hidup di zaman apa sih? Yang begini tidak pernah makan?" Nada suara mengejek dari Beni membuat Geo kesal.

"Maaf, ya. Di zamanku makanan begini tidak populer. Kami lebih suka makan roti daripada makan yang begini."

"Pura-pura jadi bangsawan! Di sini roti itu makanan para bangsawan. Orang desa tidak perlu pura-pura bisa makan roti." Lagi-lagi nada mengejek Beni membuat Geo melirik kesal.

"Aku bukan bangsawan dan juga bukan orang desa tapi bangsawan maupun orang desa pun bisa beli roti di zamanku. Bahkan ada juga roti yang gratis. Roti sobek misalnya. Hehehe." Geo menyeringai membayangkan sesuatu yang lain.

Beni meliriknya. "Kamu pasti sedang membayangkan yang aneh-aneh, kan?"

"Tidak! Apanya yang aneh? Kita kan sedang membicarakan roti. Apanya yang aneh dengan roti?" Geo gelagapan. Sedetik tadi dia tidak sadar sedang membayangkan 'roti sobek'.

Beni merasa ada sesuatu yang disembunyikan Geo. "Kamu tadi bilang roti sobek. Roti yang di sobek?"

"Iya. Cara makannya tinggal di sobek begitu, soalnya roti itu terdiri dari enam bagian dan bentuknya kotak-kotak mirip perut sixpack."

"Apa?" Beni berhasil memancing Geo.

"Eh, apa? Aku tadi ngomong apa? Hehe ... Ketelanya enak, Pak!" Geo berkeringat dingin sambil mengalihkan pembicaraan.

"Pak?"

"Eh, apa?"

Beni memicingkan matanya menatap Geo yang bertingkah aneh. Geo menggigiti ketelanya sedikit demi sedikit. Rasanya menang tidak seenak roti tetapi tidak buruk juga. Bicara mengenai roti, Geo jadi teringat dengan roti chiffon yang dibuat Vea, temannya yang sangat jago membuat roti. Bahkan roti buatan Vea sampai terkenal dikalangan ibu-ibu arisan dan Vea jadi sering mendapat orderan dari mereka. Geo juga sampai ikut membantu karena pesanannya sering membludak.

"Saya tidak ingin tanya tapi saya penasaran. Kamu selama ini berada di mana? Saya pikir kamu benar-benar sudah pergi."

Geo berkedip. Potongan besar ketela serasa menyangkut di tenggorokannya. Geo bingung harus menjawab apa. Dia takut Beni akan marah kalau dia katakan yang sebenarnya. "Ah, itu, aku akan menceritakannya padamu lain kali. Untuk sekarang tolong jangan bertanya."

Beni mengangkat sebelah alisnya. "Kenapa?"

"Bisakah kamu percaya padaku dan menungguku merasa siap untuk mengatakannya padamu?"

"Hmm, baiklah. Saya tidak tahu ini tentang apa tapi jangan khawatir, saya selalu berada di pihakmu. Kamu tidak berencana pulang dalam waktu dekat, kan?" Beni masih merasa curiga kalau Geo sudah menemukan cara untuk kembali dan cepat-cepat ingin pergi.

Geo menoleh, menatap manik hitam Beni yang tampak khawatir. "Aku ... Belum menemukan cara untuk kembali. Sepertinya aku tidak bisa kembali."

Angin berhembus. Seketika suasana menjadi hening seakan semua yang mereka bicarakan melayang ke langit. Di kejauhan terdengar suara ayam berkokok dan ayam milik Beni menyahut menimbulkan suara kokokan yang riuh bersahut-sahutan. Beni dan Geo hanya saling memandang dalam diam, berusaha saling menyelami pikiran lawannya.

"Lalu apa yang akan kamu lakukan?" Setelah keheningan yang lama, Beni berani berucap.

"Tidak masalah. Sekarang aku sudah tidak terganggu dengan itu lagi. Aku akan mencari cara agar diriku bisa berguna di sini." Geo tersenyum. Sekarang dia yakin dengan keputusannya menerima lencana mata-mata Rantai Mas itu. Keputusan itu adalah rencananya untuk bisa berguna di sini. Untuk membantu mereka terutama Beni.

"Kenapa kamu berpikir ingin jadi berguna? Padahal kamu diam begini saja sudah cukup."

Geo menggeleng. "Karena aku ingin membantumu."

Senyum tipis muncul di bibir Beni. Perkataan Geo barusan benar-benar membuatnya bahagia. "Terimakasih dan maaf. Terimakasih karena kamu masih berada di sini, bersedia untuk membantu saya dan maaf karena sebelumnya saya tidak percaya padamu, juga maaf atas sikap saya selama ini terhadap kamu."

Geo terkekeh. "Kamu tahu? Akhirnya kata-kata yang kutunggu terucap juga di bibirmu. Kenapa lama sekali kata itu terucap? Sangat susah, ya, mengucapkannya?"

Beni tertawa. "Ya, begitulah!" Kepalanya mendongak menatap langit yang mulai berubah menjadi terang. Geo ikut menatap ke langit. Kenapa hanya langit yang bisa berubah sedangkan tahun di kalender masih terus sama? Yah, sekarang tidak jadi soal lagi. Geo tersenyum memandangi kumpulan burung yang terbang meliuk-liuk.

"Di masa depan benar-benar sudah tidak ada NICA? Tidak ada perang lagi?"

Mata cokelat Geo menatap mata hitam Beni. Dia berubah menjadi serius. Walaupun dia tidak suka sejarah, tapi dia tahu garis besarnya. "Kalau aku jawab, apa kamu akan berhenti berjuang?"

Beni terdiam. Dia menatap Geo dengan takjub. Sedetik kemudian dia menggeleng. "Saya akan terus berjuang untuk mewujudkan masa depan yang bebas perang itu." Beni berkata dengan mantap.

"Benar. Kamu harus terus berjuang dan aku akan membantumu." Geo tersenyum yang malah membuat Beni mengalihkan tatapannya.

"Kamu ... Mau berjanji akan terus berada di sisi saya?"

"Eh, apa maksudnya?" Dalam titik ini, jantung Geo sudah berdetak lebih kencang dari biasanya. Dia sudah tahu apa maksud Beni tapi dia masih menginginkan sebuah penjelasan.

Sebuah pekikan seseorang membuat Geo terperanjat. "Aduh ... Kalian ini! Masih pagi sudah berduaan!" Mbak Tutik muncul dari balik pintu dapur membawa sekeranjang penuh sayuran. Geo jadi gelagapan. Ini seperti dia tengah kepergok berduaan dengan pacarnya oleh ayahnya.

"Eh, Mbak Tutik. Nggak berduaan, kok. Kami berbanyak, lihat ada ayam-ayam juga." Geo menunjuk ayam-ayam yang bergerombol di sudut tiang jemuran.

Beni menatap Geo dengan tatapan aneh. "Sinting!"

***

Geo sedang mencuci pakaiannya ketika mendengar suara keributan dari arah ruang tamu. Mbak Tutik muncul di dapur dan sibuk menyiapkan minuman. Sepertinya ada tamu yang datang. Mbak Tutik pergi ke depan untuk menyajikan minuman sementara Geo menjemur pakaiannya. Setelah Mbak Tutik muncul lagi di dapur baru Geo bertanya siapa tamu yang datang itu.

Kata Mbak Tutik, tamu itu adalah teman seperjuangan Beni yang menjadi inspektur polisi, namanya Pak Sarjono. Suara tawa yang sepertinya berasal dari tamunya Beni itu sampai terdengar ke dapur. Mbak Tutik berbisik, "Maklum, mereka tidak pernah bertemu." Geo menganggukkan kepalanya dan bersiap pergi ketika Mbak Tutik memintanya untuk mengantarkan lauk ke rumah Hasan.

"Lewat mana, Mbak? Lewat depan? Nanti mengganggu mereka!" Geo berusaha menolak. Rumah Mbak Tutik ini walaupun punya halaman belakang tetapi tidak punya pintu belakang yang menyambung ke rumah Hasan yang berada di sebelah. Satu-satunya jalan hanyalah lewat depan seperti biasanya.

"Tidak akan mengganggu kalau kamu bilang permisi lalu keluar. Supaya tidak mengganggu juga kamu bisa kembali setelah tamu itu pergi, karena rasanya tidak sopan kalau kamu bolak balik."

"Nah, kan. Makanya nanti saja mengantar lauknya."

"Harus sekarang! Memangnya Hasan tidak makan siang? Kasihan dia kalau sampai tidak makan. Saya sudah janji mau antar sebelum jam satu. Tidak usah banyak alasan, sana cepat antar!"

Geo mendengus sebal. Terkadang jiwa diktator Beni sering berpindah ke Mbak Tutik. Geo juga baru sadar kalau mereka itu saudara kandung. Geo mulai merutuki kenapa rumah ini tidak mempunyai pintu belakang. Mbak Tutik memberikan Geo sebuah bungkusan dan menyuruhnya cepat bergerak. Geo dengan langkah kaki gontai mulai berjalan ke depan menuju ruang tamu.

Teman Beni, Pak Sarjono melihat Geo dengan tatapan terkejut. Geo menunduk sambil tersenyum. Beni juga ikut menoleh.

"Permisi." Geo menunduk sopan dan mempercepat jalannya melewati mereka.

"Dia siapa?" Suara Pak Sarjono menggema. Suaranya terdengar sangat berwibawa berbeda dengan suara Beni yang berisi gertakan.

"Geo yang saya bilang tadi. Heh! Mau ke mana?" Baru saja Geo membatin suara Beni penuh gertakan, Beni benar-benar menggertak.

"Rumah Mas Hasan." Geo menjawab singkat tanpa menghentikan langkahnya.

"Berhenti di sana!" Beni memekik dan langkah Geo seketika terhenti seolah Beni sedang memencet tombol stop di tubuh Geo. Sebelah kakinya sudah terjulur keluar dari pintu. Geo menoleh dan dengan bingung menatap Beni.

"Kenapa? Apa?"

"Kenapa tiba-tiba mau ke rumah Hasan siang-siang begini?"

"Apa aku lebih baik mengunjunginya malam-malam?" Seharusnya Geo diam saja kalau tidak ingin membuat Beni marah. Sekarang tatapan Beni seperti kerbau yang terlepas. Merah dan penuh amarah. Geo menggeleng, sikap temperamentalnya itu sangat bermasalah.

"Geo? Kamu bisa ke sini sebentar? Saya mau bertanya sesuatu."

"Ya?" Geo yang bingung menarik kembali kakinya. Berjalan mendekati meja mereka. Mata Beni masih memelototi Geo. Pak Sarjono menyerahkan selembar kertas kepada Geo. Geo menerima kertas itu dengan wajah melongo. "Ini apa?"

"Kamu bisa baca tulisan di sana?"

Geo mengangkat kertas itu dan mulai membaca barisan huruf yang tidak beraturan. Namun, tidak butuh waktu lama, Geo sudah bisa membaca surat itu. "Ya, bisa. Perlu kubacakan?"

Pak Sarjono tertawa terbahak. "Lihat itu, Mas. Dia saja bisa baca."

Beni mendengus. Sementara Geo menatapnya dengan tatapan mengejek. "Jadi, Mas Beni nggak bisa baca?"

"Bisa kok. Saya ini tidak buta huruf."

"Heh, bukan itu lo maksudku." Geo terkekeh mengejek. Beni memelototi Geo dan memperingatinya untuk diam.

"Baiklah. Karena saya bisa baca kertas itu, sekarang saya permisi." Geo membungkuk lalu berbalik arah.

"Masih mau ke rumah Hasan?" Teriakan Beni membuat Geo kembali membalikkan tubuhnya.

"Mas Beni lupa? Tujuanku memang mau ke rumah Mas Hasan!"

"Cepat kemari!"

"Apa sih? Aku ini nggak ada hubungannya dengan perbincangan kalian. Silahkan mengobrol lagi saya mau ke rumah Mas Hasan dulu."

Beni hampir berdiri tetapi Pak Sarjono menahannya. Mengingatkan Beni untuk fokus membahas surat itu. Geo mengangkat bahunya lalu segera keluar dari rumah sebelum Beni mulai menyeretnya masuk. Geo mengobrol bersama Hasan sampai merasa sepertinya tamunya sudah pergi. Geo pamit pada Hasan yang sedang makan siang.

"Sersan Toni, nama itu sepertinya ada di markas NICA." Seruan Pak Sarjono membuat Geo membeku. Pak Sarjono menyebut nama yang membuat Geo berkeringat dingin. Geo melirik Beni gelisah. Apakah Beni sudah mengetahuinya?

Beni menoleh ke arah pintu dan memelototi Geo. Geo menunduk dan segera masuk ke dalam. Menghilang di balik dapur dan masuk ke kamarnya. Tatapan Beni membuatnya kepikiran. Lalu isi surat tadi bunyinya, "Sul, beri laporan. Markas akan segera kami gempur. ST!"

Kalau Sul artinya Sulistyowati dan ST adalah Sersan Toni, artinya Beni sudah menemukan bukti pengkhianatan kekasihnya. Entah Geo harus merasa senang atau sedih. Di sisi lain dia juga takut kalau rahasianya juga terbongkar.

Geo bergerak gelisah di dalam kamar. Tumpukan pakaian kering yang baru dia angkat menumpuk di sudut dipannya. Penemuan surat milik Sulistyowati membuat Geo jadi takut, bagaimana kalau Beni mulai mencurigainya dan menemukan lencana RM di kamarnya. Geo tidak bisa membayangkan Beni akan membunuhnya seketika. Geo menggeleng, mengenyahkan pikiran buruknya. Geo tidak bisa seperti ini. Dia harus berbagi rahasia itu dengan seseorang yang dapat dipercaya. Geo membuka pintu kamarnya dan mengintip. Dilihatnya Mbak Tutik sedang menutup pintu kandang ayam.

"Mbak ... Mbak Tutik ..." Geo berbisik berusaha memanggil Mbak Tutik dengan suara sepelan mungkin supaya Beni tidak mendengar.

Mendengar suara kecil yang lembut memanggil-manggil, Mbak Tutik menoleh. Dilihatnya Geo sedang melambaikan tangan padanya menyuruhnya mendekat.

"Kenapa? Ada apa?" Suara Mbak Tutik terdengar keras. Geo langsung menyuruhnya bicara dengan pelan. "Ada apa?" Sekarang Mbak Tutik berbisik. Geo menggandeng tangan Mbak Tutik dan menuntunnya masuk ke dalam kamarnya. Geo menatap sekeliling terlebih dahulu sebelum menutup pintu kamarnya rapat-rapat.

"Ada apa ini?" Mbak Tutik duduk di atas kursi. Wajahnya menampilkan kesan kalau dia bingung.

"Mbak Tutik, sebelum aku bicara. Bisakah Mbak Tutik tetap percaya padaku?"

Kening Mbak Tutik mengerut tapi dia mengiyakan perkataan Geo.

"Tolong berjanji, apa pun yang Mbak lihat, Mbak tetap mempercayai aku."

"Iya, apa sih?"

Geo beranjak dan mendekati lemarinya. Merogoh sesuatu lalu menariknya keluar. Geo memperlihatkan lencana emas bertuliskan RM kepada Mbak Tutik. Mata Mbak Tutik membelalak.

"Kamu ... Kamu dapat benda itu dari mana? Milik Sulis?"

Geo menggenggam tangan Mbak Tutik dan berlutut. "Aku akan jelaskan tapi Mbak harus berjanji tetap berada di pihakku. Kumohon." Mata Geo berkaca-kaca. Lencana itu terasa berat di tangannya. Rasanya Geo seperti tengah menggenggam bom.

"Oke, sekarang kamu jelaskan kenapa kamu memegang benda itu?"

Geo mengangguk. Menarik nafas panjang dan mulai menjelaskan. "Pertama, benda ini milikku bukan milik Mbak Sulis." Di titik ini, Mbak Tutik menangkupkan tangannya ke wajahnya. Dia tampak terguncang. "Kedua, aku melakukan ini dengan sebuah rencana. Ini adalah tiket untuk membantu pejuang gerilya membalas dendam. Dengan ini, aku bisa memberitahu ke semua gerilya, siapa saja yang menjadi mata-mata Belanda."

"Apa? Apa maksudmu?" Mbak Tutik tercekat. Suaranya serasa terjepit di ujung tenggorokannya.

"Aku mata-mata Belanda tetapi aku berada di pihak Republik. Aku akan cari orang yang bertanggung jawab atas terbentuknya mata-mata ini dan melaporkannya pada kalian. Kalian bisa membalas dendam dengan ini."

Air mata Mbak Tutik mengalir. "Kenapa? Kenapa kamu melakukan itu?"

Geo tersenyum getir. "Menurutku harus ada seseorang dari pihak Republik yang menyusup ke dalam organisasi Rantai Mas ini dan memutus rantainya. Ternyata kesempatan berada di pihakku. Ketika kita tertangkap waktu itu, mereka memisahkanku dari Mbak Tutik dan memberiku tawaran ini. Aku melihat kekejaman mereka dan merasa yakin kalau aku harus melakukan ini."

Mbak Tutik terisak. Air matanya menetes deras. "Ini berbahaya, Geo. Kalau Beni tahu dia akan.. " Geo mengangguk dan menggenggam tangan Mbak Tutik erat.

"Aku tahu. Aku tidak bisa hanya diam saja di sini. Merasa tak berguna sementara aku tidak tahu kapan akan kembali. Karena itu tolong rahasiakan ini dari Mas Beni. Setidaknya sampai aku siap memberitahunya."

Mbak Tutik semakin terisak. Ditariknya Geo ke dalam pelukannya. Mbak Tutik membelai rambut Geo. Mencoba memberikan rasa aman dan menenangkannya bahwa semuanya akan baik-baik saja.

"Mbak Tutik masih percaya padaku?" Geo berucap di dalam pelukan Mbak Tutik.

"Iya, Nduk." Mbak Tutik mengangguk dan semakin mengeratkan pelukannya. Terasa hangat. Geo memejamkan matanya. Mungkin seperti inilah pelukan seorang ibu yang tidak pernah Geo dapatkan.

Tags: Twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
V'Stars'
1471      675     2     
Inspirational
Sahabat adalah orang yang berdiri di samping kita. Orang yang akan selalu ada ketika dunia membenci kita. Yang menjadi tempat sandaran kita ketika kita susah. Yang rela mempertaruhkan cintanya demi kita. Dan kita akan selalu bersama sampai akhir hayat. Meraih kesuksesan bersama. Dan, bersama-sama meraih surga yang kita rindukan. Ini kisah tentang kami berlima, Tentang aku dan para sahabatku. ...
The World Between Us
2371      1025     0     
Romance
Raka Nuraga cowok nakal yang hidupnya terganggu dengan kedatangan Sabrina seseorang wanita yang jauh berbeda dengannya. Ibarat mereka hidup di dua dunia yang berbeda. "Tapi ka, dunia kita beda gue takut lo gak bisa beradaptasi sama dunia gue" "gue bakal usaha adaptasi!, berubah! biar bisa masuk kedunia lo." "Emang lo bisa ?" "Kan lo bilang gaada yang gabis...
Thantophobia
1397      789     2     
Romance
Semua orang tidak suka kata perpisahan. Semua orang tidak suka kata kehilangan. Apalagi kehilangan orang yang disayangi. Begitu banyak orang-orang berharga yang ditakdirkan untuk berperan dalam kehidupan Seraphine. Semakin berpengaruh orang-orang itu, semakin ia merasa takut kehilangan mereka. Keluarga, kerabat, bahkan musuh telah memberi pelajaran hidup yang berarti bagi Seraphine.
Dunia Tiga Musim
3430      1340     1     
Inspirational
Sebuah acara talkshow mempertemukan tiga manusia yang dulunya pernah bertetangga dan menjalin pertemanan tanpa rencana. Nda, seorang perempun seabstrak namanya, gadis ambivert yang berusaha mencari arti pencapaian hidup setelah mimpinya menjadi diplomat kandas. Bram, lelaki ekstrovert yang bersikeras bahwa pencapaian hidup bisa ia dapatkan dengan cara-cara mainstream: mengejar titel dan pre...
Dear You, Skinny!
980      525     5     
Romance
Flower
308      260     0     
Fantasy
Hana, remaja tujuh belas tahun yang terjebak dalam terowongan waktu. Gelap dan dalam keadaan ketakutan dia bertemu dengan Azra, lelaki misterius yang tampan. Pertemuannya dengan Azra ternyata membawanya pada sebuah petualangan yang mempertaruhkan kehidupan manusia bumi di masa depan.
Kisah yang Kita Tahu
5729      1727     2     
Romance
Dia selalu duduk di tempat yang sama, dengan posisi yang sama, begitu diam seperti patung, sampai-sampai awalnya kupikir dia cuma dekorasi kolam di pojok taman itu. Tapi hari itu angin kencang, rambutnya yang panjang berkibar-kibar ditiup angin, dan poninya yang selalu merumbai ke depan wajahnya, tersibak saat itu, sehingga aku bisa melihatnya dari samping. Sebuah senyuman. * Selama lima...
Last Voice
1071      604     1     
Romance
Saat SD Aslan selalu membully temannya dan gadis bernama Hina yang turut menjadi korban bully aslan.akibat perbuatannya dia membully temannya diapun mulai dijauhi dan bahkan dibully oleh teman-temannya hingga SMP.dia tertekan dan menyesal apa yang telah dia perbuat. Di SMA dia berniat berubah untuk masa depannya menjadi penulis."aku akan berusaha untuk berubah untuk mengejar cita-citaku&quo...
FORGIVE
2075      737     2     
Fantasy
Farrel hidup dalam kekecewaan pada dirinya. Ia telah kehilangan satu per satu orang yang berharga dalam hidupnya karena keegoisannya di masa lalu. Melalui sebuah harapan yang Farrel tuliskan, ia kembali menyusuri masa lalunya, lima tahun yang lalu, dan kisah pencarian jati diri seorang Farrel pun di mulai.
complicated revenge
21340      3289     1     
Fan Fiction
"jangan percayai siapapun! kebencianku tumbuh karena rasa kepercayaanku sendiri.."