Loading...
Logo TinLit
Read Story - Somehow 1949
MENU
About Us  

"Sekarang baru percaya? Atau masih tidak percaya?" Geo menatap Beni dengan tatapan galaknya. Dia sudah berkali-kali bilang kalau Sulistyowati adalah mata-mata tetapi Beni terlalu dibutakan oleh cinta segingga tidak mau mendengar apa yang orang lain katakan.

Beni melirik ke arah Hasan. Hasan mengangguk seakan mengerti. Geo merasa sangat kesal sekarang. Beni sepertinya percaya dengan perkataan orang lain padahal Geo juga sudah mengatakan hal yang sama.

"Kamu, kenal dengan perempuan itu Sri?" Baru saja Beni mengajukan pertanyaannya, datang seseorang melotot ke arah mereka.

Mbak Sri terlihat waspada. "Kang, niki gedang e kalih atus nggih?" (Kang, ini pisangnya dua ratus, ya?) Mbak Sri langsung pura-pura menawar pisang yang sedang dia bawa dengan suara keras.

"Wah, mboten saget. Kilakanipun sampun awis." (Wah, tidak bisa. Kulakannya sudah mahal.) Beni menimpali seakan tahu apa yang harus dia lakukan.

"Pikantuk regi pinten niku, Mbak?" (Dapat harga berapa, Mbak?) Orang yang melotot tadi menghampiri Mbak Sri sambil mengawasi Beni.

"Ah, niki, kulo tawi kalih atus mboten saget." (Ah, ini, saya tawar dua ratus tidak boleh.)

"Ngagem arto nopo?" (Pakai uang apa?)

"Landi ngaten." (Belanda begitu.)

Orang itu langsung melotot marah. "Wong ndeso we, kowe ngremehke duit Londo, yo! Ra ngajeni karo duit Londo, po? Kowe mesti wong eksrimis! Iki rasakno!" (Dasar orang desa, kamu meremehkan uang Londo, ya! Tidak menghormati uang Londo apa? Kamu pasti orang ekstrimis! Ini rasakan!)

Orang itu langsung menghajar Beni. Menendangnya seenak hatinya. Melihat itu, Mbak Sri langsung pergi. Hasan juga langsung menyeret Geo pergi dari sana. Geo mendadak ngilu. Beni dihajar tanpa ampun di depan banyak orang. Geo menoleh, meratap pada Hasan. Memohon pada Hasan untuk menolong Beni. Hasan menggeleng. Dia berbisik pada Geo untuk mendiamkan Beni seperti itu saja. Katanya kalau dia menolong yang ada keduanya bisa kena dan identitas mereka sebagai pejuang gerilya akan ketahuan. Karena disekitar sana banyak orang-orang yang berasal dari NICA.

"Sampun, Den. Kulo, kan, mboten lepat." (Sudah, Den. Saya, kan, tidak salah.) Beni tidak berusaha melawan. Dia memohon ampun pada orang itu. Namun, orang itu malah semakin marah. Beni dipukul menggunakan batang kelapa di kepalanya. Kepalanya jadi bermandikan darah. Geo mengalihkan pandangannya. Tidak berani menatap keadaan Beni yang seperti itu.

Keadaan di dalam pasar mendadak menjadi panik. Hasan menggemeretakkan giginya kesal tetapi dia tidak berani berbuat apa-apa. Beni sudah terkapar di tanah tak bergerak. Orang itu merasa puas hatinya.

"Mampus koe!" (Mampus kamu!) Setelah itu orang itu pergi dengan gaya sombongnya.

Setelah sosok orang itu sudah tidak terlihat, Geo dan Hasan segera berlari menghampiri Beni. Mbak Sri juga ikut menghampiri. Mbak Sri menangis melihat keadaan Beni. Hasan sangat geram. Dia menguncang tubuh Beni, memastikan kalau Beni tidak meninggal di tempat. Beni tersadar lalu mengerang kesakitan. Geo menghembuskan nafas lega. Setidaknya Beni masih hidup. Hasan memapah Beni. Geo dan Mbak Sri mengikuti mereka.

"Bade dibeto dateng pundi, Mas?" (Mau dibawa ke mana, Mas?) Mbak Sri bertanya pada Hasan.

"Wonten deso." (Ke desa) Hasan menjawab sambil membetulkan posisi Beni.

"Aduh, mesakaken. Dibeto wonten griyo kulo mawon, Mas." (Aduh, kasihan. Dibawa ke rumah saya saja, Mas.) Mbak Sri memekik.

"Lha griyanipun wonten pundi?" (Lha, rumahnya ada di mana?)

"Celak kemawon. Niku wonten ngupasan." (Dekat, kok. Itu di Ngupasan.)

Hasan melirik ke arah Geo dan Geo mengangguk mengiyakan. Lagipula kasihan Beni kalau dibawa pulang ke desa. Bisa-bisa Beni tidak selamat saat diperjalanan. Hasan langsung melambai memanggil becak. Beni dipangku Hasan dan mereka melaju menuju Ngupasan. Mbak Sri pergi bersama Geo menggunakan sepeda. Mengikuti becak itu.

Sampai di rumah Mbak Sri, Beni dibaringkan di dipan dan diobati oleh Mbak Sri. Beni tidak bisa mengeluh. Diam saja seperti orang mati. Lukanya sangat mengkhawatirkan. Geo tidak bisa menangis padahal Mbak Sri sudah menangis sedari tadi. Entah kenapa air matanya tidak mau keluar. Mungkin karena hatinya masih sakit dengan perlakuan Beni padanya. Hasan duduk di sebelah Beni sambil tangannya mengepal. Dia merasa sangat marah dan mendendam. Kelakuan orang itu sangat tidak bisa di maafkan.

Sore harinya. Hasan terpaksa pulang ke desa bersama Geo. Tidak ada hal yang penting sehingga meninggalkan Beni di rumah Mbak Sri adalah pilihan yang tepat. Hasan terus bersumpah akan membalas dendam. Sementara Geo terus mempertanyakan hatinya.

Selama seminggu Beni hanya bisa terbaring di dipan. Hasan menjenguk setiap pagi. Mbak Tutik yang sudah mendengar kabar tentang Beni kemudian mengajak Geo untuk menemaninya menjenguk Beni.

***

Mbak Tutik berjalan bersama Geo menyusuri jalan biasanya untuk menjenguk Beni. Lagi-lagi Beni harus mendapatkan luka lagi. Mbak Tutik bercerita kalau dia sangat khawatir dengan Beni. Mungkin bukan hanya luka tubuh yang akan dia dapat tetapi juga kematian. Membayangkan Beni akan mendapatkan kematian membuat hati Mbak Tutik terasa sakit. Ingin rasanya Mbak Tutik menyuruh Beni berhenti tetapi negara ini sangat menbutuhkan orang seperti Beni. Dilema itulah yang terkadang membuat Mbak Tutik nelangsa.

Geo menepuk punggung Mbak Tutik. Mengatakan kalau perjuangan Beni tidak sia-sia. Bagaimana pun juga perjuangan Beni sangat berguna di masa depan. Mbak Tutik menggenggam tangan Geo, hatinya sudah merasa lebih baik.

"Entah kenapa, saya senang kamu ada di sini." Geo membalas dengan sebuah senyuman tulus. Sekarang sepertinya Geo sudah merasa nyaman tinggal di tempat ini. Mereka melanjutkan perjalanan tanpa berkata apa-apa lagi.

Tiba-tiba di tengah perjalanan, ada beberapa tentara Belanda yang mengepung mereka. Menodongkan senjata dan menyuruh mereka berlutut dengan kasar. Seorang tentara Belanda yang menurut Geo wajahnya tidak asing muncul dari balik barisan para tentara itu. Wajahnya sombong dengan senyum jahat.

"Bawa mereka!" Perintahnya. Nada bicaranya terdengar aneh seperti seorang bule pada umumnya yang berusaha bicara menggunakan bahasa Indonesia.

"Ampun, Den. Saya tidak salah. Ampun." Mbak Tutik terus memohon ampun atas sesuatu yang bahkan tidak dia lakukan. Dia hanya memohon ampun agar mereka tidak memperlakukannya dengan kasar.

"Kamu tidak perlu minta ampun! Bawa yang ini langsung ke penjara!"

Dua orang tentara berbadan tegap dan tinggi menyeret tubuh gempal Mbak Tutik. Orang-orang yang melihat itu hanya menjadi penonton tanpa ada yang berusaha menolong. Dua orang tentara lainnya juga membawa Geo. Geo tidak berbicara sepatah kata pun selama para tentara itu menyeretnya pergi.

Mereka di seret sampai di sebuah gedung putih. Ada dua orang penjaga di depan pintu utama. Salah satunya memiliki wajah lokal. Geo bertatapan mata dengan penjaga itu dan menyumpahinya tanpa suara. Namun, penjaga itu langsung mengalihkan tatapannya. Banyak sekali para pengecut yang memihak Belanda. Geo jadi merasa sangat marah.

Tubuh Mbak Tutik terus di seret ke ujung koridor sementara Geo di belokkan ke sebuah ruangan. Wajah Geo menjadi panik karena terpisah dari Mbak Tutik. Bayangan tentang apa yang akan dilakukan Belanda membuatnya ketakutan. Sejauh ini dia sudah tahu bagaimana perlakuan Belanda terhadap rakyat lokal tetapi dia belum tahu apa yang akan mereka lakukan pada rakyat lokal berjenis kelamin perempuan.

Dua tentara yang membawa Geo mendudukkan Geo paksa di atas kursi dan mengikat tangan Geo ke belakang. Kemudian, dua tentara itu pergi meninggalkan Geo sendirian di dalam sebuah ruangan yang mirip seperti ruang kerja seseorang. Geo menatap sekeliling. Sebuah potret besar terpampang di dinding belakangnya. Geo tidak bisa melihat dengan jelas potret itu tanpa memutar tubuhnya. Ruangan itu penuh dengan rak yang terisi buku di satu sisi dan kosong di sisi yang lain. sebuah jendela besar nan tinggi menghiasi sisi yang kosong.

Pintu berderit terbuka. Langkah sepatu pantofel bergema di dalam ruangan itu. Si pemilik suara langkah kaki itu memasuki ruangan. Seringaian kejamnya muncul. Itu orang yang tadi memerintahkan para tentara untuk membawa Geo. Geo menatap tajam ke arah orang itu. Hatinya merasa sangat benci melihat orang sombong itu. Orang itu melangkah mendekati Geo dan berdiri di depannya. Tangannya menyentuh dagu Geo dan memaksa Geo menatap mata orang itu.

"Kamu! Terlalu cantik untuk membusuk di penjara. Kamu harus berterimakasih pada saya karena telah menyelamatkanmu dan sebagai balas budinya kamu harus melakukan sesuatu supaya kamu bisa bebas lagi."

"Kenapa menangkap saya? Saya tidak tahu apa-apa."

"Benarkah? Padahal menurut seorang informan, kamu terlibat juga. Kamu mau memberitahu saya di mana keberadaan Beni? Tikus kecil itu sungguh merepotkan. Kabarnya dia terluka parah. Akan lebih menyenangkan kalau dia sudah mati."

"Informan itu, apakah namanya Sulistyowati?"

"Ho, matamu jeli juga. Bagiamana kamu tahu? Ah, tidak jadi soal. Sebentar lagi, kamu juga akan jadi seperti dia."

Perasaan Geo menjadi tidak enak. Orang ini tengah menjebaknya. Mencoba menghasutnya untuk melakukan apa yang orang ini perintahkan. Kemungkinan besarnya mencoba membuat Geo menjadi seorang pengkhianat.

Geo membuang mukanya ke samping hingga membuat pegangan orang itu di dagu Geo terlepas. Mata Geo terus menatap tajam orang itu. Orang itu terkekeh. "Saya suka tatapanmu. Biasanya tatapan itu tidak akan bertahan lama. Saya akan membiarkan kamu di sini untuk membuatmu berpikir. Saya harap kamu tidak mengecewakan saya." Orang itu mengelus pipi Geo dan menepuk-nepuknya pelan, kemudian berjalan keluar dari ruangan itu.

Hening, sepi dan kelaparan. Tangan Geo masih terikat di belakang kursi. Pandangannya juga terbatas. Hanya bisa mendongak dan menoleh. Geo berusaha menggerakkan tangannya untuk melepaskan diri dari ikatan tali di tangannya. Sia-sia. Geo kelelahan setelah mencoba beberapa kali. Keadaan dirinya yang kelaparan memperburuk kondisinya.

Matahari sudah menghilang digantikan oleh langit malam. Geo melihat itu dari jendela besar. Suara langkah kaki berdebam di kejauhan. Para tentara itu pasti sedang patroli. Geo masih berusaha menggerakkan tubuhnya terutama tangannya tetapi tidak berhasil. Dia hanya membuang-buang energi untuk itu. Suasana yang hening membuat ruangan itu jadi mencekam. Suara-suara kecil terdengar jelas. Sebuah bisikan kadang menyapa telinga Geo dan membuat punggungnya merinding.

Sepertinya malam semakin larut. Geo yang hampir memejamkan matanya menjadi terkejut kala mendengar suara keributan di luar ruangan yang dia tempati. Puluhan langkah kaki berlarian dan makian-makian tentara Belanda terdengar jelas.

"Mereka kabur! Berengsek! Tangkap mereka!" Begitulah kira-kira umpatan yang didengar Geo. Sisanya mungkin juga umpatan dalam bahasa Belanda.

Tidak tahu apa yang terjadi, Geo hanya mendesah pasrah. Tenaganya sudah habis. Sepertinya sekarang adalah akhir dari hidupnya. Geo kembali menutup matanya. Mencoba tidur dalam keadaan tangan yang terikat itu sangat tidak nyaman.

Geo terbangun dan langsung membuka matanya. Lehernya terasa sangat pegal karena tidur dengan kepala miring. Seseorang berdiri di depannya sambil menyeringai. Rambut pirangnya itu berhasil membuat Geo kesal. Apalagi wajah sombong dengan seringaian menjijikkan itu.

"Oh, sudah bangun? Kamu mau tahu berita hangat pagi ini?" Geo melotot pada orang itu. Orang itu memasukkan tangannya ke dalam saku celananya sambil tersenyum. "Semalam, keparat gerilya itu membebaskan para tahanan. Kamu tahu? Kami kehilangan semua tahanan. Namun, mereka menyisakan satu. Kamu!" Orang itu menyeringai.

Geo terdiam. Jadi keributan semalam itu berasal dari pembebasan para tahanan. Artinya Mbak Tutik juga ikut bebas. Menyadari itu Geo bernafas lega. Setidaknya Mbak Tutik bisa bebas.

"Kamu senang? Cuma kamu yang ditinggal. Mereka bahkan tidak tahu kamu ada di sini. Sekarang bagaimana? Apa yang akan kamu lakukan?" Orang itu mendekati Geo. Melepas tali yang mengikat tangan Geo dan menyeret Geo pergi bersamanya.

Orang itu mendorong Geo masuk ke dalam mobil dan membuat Geo terjebak di dalam. Membawanya pergi entah ke mana. Wajah Geo tampak panik. Mobil melaju di tengah pemukiman penduduk. Dari jendela mobil Geo melihat masyarakat yang berlarian menjauhi mobil. Mobil berhenti. Di depan sana asap membumbung tinggi dari beberapa rumah warga yang terbakar. Beberapa tentara juga memukuli masyarakat. Geo menatap orang di sampingnya yang duduk di kursi supir.

Orang itu menyeringai lalu menoleh menatap Geo. "Kami melakukan sedikit penggeledahan. Para keparat gerilya itu bersembunyi dengan baik. Setelah melihat ini, apa yang akan kamu lakukan? Menerima tawaran saya atau berakhir seperti mereka?"

Geo melotot. Orang ini berbicara dengan baik. Nada suaranya terdengar tenang tetapi penuh dengan muslihat. Geo menyadari tidak mungkin bisa lolos dengan mudah. Dia juga sudah terperangkap di dalam perangkap.

"Apa yang kamu inginkan dari saya?"

Seringaian kecil muncul di bibir orang itu. "Mari kita bicarakan ini di kantor."

***

Entah sudah berapa hari Geo terkurung di dalam ruangan kantor Sersan Toni, orang yang menahan Geo di markas Belanda ini. Tidak tahu kejadian apa yang sedang hangat di luar ruangan. Pemandangan yang bisa dia lihat hanyalah orang-orang yang lalu lalang di sekitar kantor melalui jendela besar di dalam ruangan itu. Geo juga beberapa kali melihat mata-mata yang masuk ke kantor. Pria dan perempuan.

Pintu berderit terbuka. Sersan Toni muncul dari balik pintu. Mata birunya terlihat menawan, sangat serasi dengan rambut pirangnya. Sayangnya orang itu adalah Belanda. Semua pesona yang dia miliki langsung menghilang di mata Geo. Sersan Toni melambaikan tangannya memanggil Geo. Geo mendekat dan duduk di pangkuannya. Sersan Toni membelai lembut rambut Geo yang dibiarkan terurai.

"Keadaan semakin kacau. Beberapa gerilya masih terus berulah. Sulistyowati tidak mungkin keluar dalam keadaan begini. Terpaksa harus kamu yang menggantikan. Kamu bersedia?"

Geo menyandarkan kepalanya ke atas dada Sersan Toni. Mengangguk lemah. Kemudian Geo mendongak menatap mata birunya. "Kenapa anda tidak membawa saya ke rumah? Saya bosan di sini."

"Kamu kan sebentar lagi pergi, jadi tidak perlu lah ke rumah. Tenang saja, saya juga sering datang ke sini, kan?"

"Karena ada Sulistyowati, kan?"

"Ho, kamu cemburu?"

Geo mencibir. Hatinya terasa mengkerut jijik. Sebenarnya dia sedang melakukan apa sih? Sersan Toni kembali membelai rambutnya. Selama berada di dalam tahanan ruangan, Geo menyadari kalau dia harus pandai bersandiwara. Mungkin di mata Sersan Toni saat ini, Geo adalah seorang mata-mata. Namun, bagi Geo sekarang dia adalah penyusup. Dia akan menggunakan sebutan mata-mata untuk menghancurkan Belanda. Geo tersenyum manis sementara hatinya merencanakan niat busuk.

Lepas siang hari, Geo diperbolehkan keluar. Bebas sebebas-bebasnya. Geo tersenyum cerah. Sekarang dia bisa kembali ke desa dan bertemu Mbak Tutik. Geo melangkah meninggalkan markas NICA dan menyadari kalau dia harus menyembunyikan lencana besar bertuliskan RM di pakaiannya itu. Buru-buru Geo menyembunyikan lencana itu di balik jaritnya.

Di tengah jalan, Geo melihat sosok seseorang yang sangat familiar. Geo berlari mendekatinya. Orang itu tampak terkejut dan mengguncang tubuh Geo beberapa kali. Mengucek matanya memastikan bahwa orang di hadapannya itu benar-benar Geo.

"Geo! Kamu dari mana? Kami pikir ... Kamu sudah ...." Hasan memekik. Wajahnya bahagia. 

"Mati?" Geo memotong perkataan Hasan. Hasan merengut.

"Sudah kembali ke masa depan," lanjutnya.

"Heh, Hasan! Kamu bicara omong kosong lagi. Tidak ada orang yang bisa ke masa depan semudah itu. Lagipula mana mungkin ada orang masa depan yang bisa kembali ke masa ini. Kamu aneh sekali." Seorang pria yang tengah memegang kerbau angkat bicara.

Geo tertawa mendengar orang di samping Hasan mengomeli Hasan. Ini pertama kalinya Geo bisa tertawa tanpa bersandiwara.

"Kalian mau ke mana?" Geo mengintip kerbau di belakang Hasan. Hasan pergi bersama tiga orang pria. Membawa kerbau buruk rupa dengan sebuah tas yang melilit di pinggang kerbau itu. Hasan memakai kaos biasa dengan sarung yang disampirkan di pundak. Kedua pria lainnya membawa ketela dan pepaya. Sepertinya mereka akan berdagang di pasar.

"Oh, benar. Kamu harus segera kembali ke desa. Pak Beni, dia ... Pokoknya kamu harus kembali!" Hasan sedikit mendorong tubuh Geo agar melanjutkan perjalanannya.

"Kenapa? Dia jadi gila gara-gara terkejut mendengar kekasihnya menjadi mata-mata? Segitu kuatkah pengaruh Mbak Sulistyowati?"

"Loh, bukannya kamu kekasihnya Pak Beni itu?" Pria di samping bapak yang memegang kerbau ikut angkat bicara.

Geo mencibir. "Jangan sembarangan, ya, Pak! Siapa yang bilang saya kekasihnya? Siapa yang bilang? Sini saya tendang!"

"Beni sendiri yang bilang. Katanya kekasihnya hilang, tidak ada di dalam tahanan. Katanya kekasihnya dalam bahaya karena mungkin jadi gundik Londo!" Pria yang memegang kerbau menimpali.

"Bukan aku! Pasti Mbak Sulis yang dia maksud!" Geo jadi marah.

"Kamu ngeyel, ya. Dia jelas-jelas bilang Geo. Namamu Geo, bukan?" Pria satunya malah ikut marah.

"Eh, iya sih, tapi ...."

"Sudah cukup!!! Geo, kamu pulang saja. Biar kami mengurus urusan kami. Pak Beni sudah menunggumu di rumah. Dia pasti senang melihat kamu selamat." Hasan kembali mendorong Geo.

"Tidak mau! Aku mau ikut kalian! Memangnya ada jaminan, Pak Beni tidak bakal memarahiku?"

Mereka semua setuju. Beni pasti akan langsung mengamuk setelah melihat wajah Geo.

"Terserah saja, tetapi kamu tidak boleh mengganggu." Hasan akhirnya menyerah. Membiarkan Geo ikut mereka.

Geo mengangguk mantap dan mulai mengikuti ke tiga pria itu. Mereka bertiga, Hasan, Pak Joko, dan Kusri, sedang menyamar menjadi pedagang pepaya dan ketela. Tas yang berada di pinggang kerbau itu berisi senjata. Mereka akan menjajakan pepaya dan ketela di pasar Ngasem. Tujuan mereka menyamar adalah untuk menemui orang yang pernah menghajar Beni di pasar Beringharjo sepuluh hari yang lalu.

Geo terbengong-bengong. Kejadian saat Beni dihajar itu sudah sepuluh hari yang lalu artinya Geo ditahan di dalam ruangan kantor Sersan Toni selama itu. Benar-benar sulit dipercaya. Menurut informasi yang didapat Hasan, orang yang menghajar Beni itu selalu datang ke pasar Ngasem.

Setelah berjalan sebentar mereka sudah sampai di pasar Ngasem dan langsung menata dagangan mereka. Geo dan Pak Joko menata ketela dihadapannya, sedangkan Hasan dan Kusri menata pepaya. Mata Hasan menatap sekeliling mencari seseorang. Pasar terlihat ramai dan kata Pak Joko sebagian dari mereka adalah pejuang gerilya yang menyamar. Mata-mata yang dicari Hasan selalu berada di pasar ini untuk mencari para pejuang gerilya tersebut, tapi karena kebanyakan wajah mereka tidak dikenal, sulit untuk menentukan siapa yang menjadi pejuang gerilya dan hasilnya akan jadi seperti Beni dihajar salah sasaran. Walaupun sebenarnya Beni juga pejuang gerilya.

Mereka menunggu lumayan lama. Geo terlihat mengantuk. Kakinya pegal karena harus duduk bersimpuh. Inilah kenapa dia tidak menyukai rok terutama jarit ketat yang dipakainya itu. Hasan menyenggol tangan Kusri yang tengah memakan pepaya dagangan. Mereka serempak menatap ke satu titik. Seorang pemuda berwajah sok mengangkat wajahnya sambil melotot melihat sekeliling. Pakaian yang dikenakannya membuatnya terlihat gagah tapi wajahnya menyiratkan kesombongan.Geo yakin pernah melihat orang itu masuk ke markas NICA yang mengindikasikan kalau orang itu mata-mata Belanda.

Hasan mulai bergerak bersama Kusri. Dia memperingatkan Geo untuk berdiam di sana bersama Pak Joko. Hasan mengarahkan pistol dan menekannya ke punggung orang itu dengan ditutupi sarung. Hasan dan Kusri membawa orang itu pergi. Pak Joko dan Geo mengemasi barang dagangan dan ikut menyusul mereka dengan diam-diam. Hasan begitu pintar membawa orang itu, orang lain tidak akan menyangka kalau orang berpakaian gagah itu sedang ditahan oleh orang di belakangnya. Senjata Hasan tersembunyi rapat di balik sarung yang tersampir di pundaknya. Sehingga dari belakang tidak ada yang bisa melihat kalau ada senjata di antara sarung itu.

Hasan membawa orang itu ke Tamansari. Geo datang ke sana tepat setelah Hasan menusukkan belatinya di punggung orang itu. Hasan tidak menggunakan pistolnya. Pistol itu hanya digunakan untuk menggertak, lagipula kalau dia menggunakannya, suara yang ditimbulkan akan menarik perhatian pihak Belanda. Hasan menendang jasad orang itu ke dalam lubang pembuangan sampah dan menimbunnya dengan dedaunan. Perasaannya menjadi lega dan dia berbalik menghadap Geo dan Pak Joko sambil tersenyum.

"Sekarang sudah selesai. Ayo kembali ke desa."

Semburat kuning di langit menemani mereka kembali ke desa. Kusri tidak henti-hentinya tertawa dan mengumpati si mata-mata yang dibunuh Hasan tadi. Dia bahkan sampai menepuk-nepuk punggung Geo keras. Memasuki desa mereka berpisah. Pak Joko dan Kusri akan mengembalikan kerbau ke kandangnya.

Geo berjalan bersama Hasan menuju rumah Mbak Tutik. Namun, langkah Geo terhenti ketika melihat wajah seseorang yang tampak marah. Jantung Geo berdegup kencang. "Jangan sekarang," batinnya.

Geo berhenti di depan halaman rumah Mbak Tutik. Beni berdiri menyambut Geo dan Hasan sambil berkacak pinggang. Matanya melotot marah.

"DARI MANA?" Suara kerasnya membuat Geo takut. "SAYA PIKIR KAMU SUDAH KEMBALI KE MASA DEPAN!"

Gerakan Beni berikutnya membuat Geo membeku. Jantungnya kembali berdebar kencang. Beni berjalan mendekatinya lalu memeluknya erat.

"Jangan katakan apa-apa lagi!!"

Tags: Twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Sepasang Dandelion
6902      1370     10     
Romance
Sepasang Dandelion yang sangat rapuh,sangat kuat dan indah. Begitulah aku dan dia. Banyak yang mengatakan aku dan dia memiliki cinta yang sederhana dan kuat tetapi rapuh. Rapuh karena harus merelakan orang yang terkasihi harus pergi. Pergi dibawa oleh angin. Aku takkan pernah membenci angin . Angin yang selalu membuat ku terbang dan harus mengalah akan keegoisannya. Keindahan dandelion tak akan ...
The Wire
9992      2182     3     
Fantasy
Vampire, witch, werewolf, dan guardian, keempat kaun hidup sebagai bayangan di antara manusia. Para guardian mengisi peran sebagai penjaga keseimbangan dunia. Hingga lahir anak yang memiliki kemampuan untuk mengendalikan hidup dan mati. Mereka menyebutnya-THE WIRE
I Fallen for Jena Henzie
8394      1870     0     
Romance
Saat pitcher melempar bola, perempuan itu berhasil memukul bola hingga jauh keluar lapangan. Para penonton SMA Campbell langsung berdiri dengan semangat dan bersorak bangga padanya. Marvel melihat perempuan itu tersenyum lebar saat mengetahui bolanya melambung jauh, lalu ia berlari sekencang mungkin melewati base pertama hingga kembali ke home. Marvel melihat keramaian anak-anak tim base...
Blue Diamond
2864      941     3     
Mystery
Permainan berakhir ketika pemenang sudah menunjukkan jati diri sebenarnya
Attention Whore
239      196     0     
Romance
Kelas dua belas SMA, Arumi Kinanti duduk sebangku dengan Dirgan Askara. Arumi selalu menyulitkan Dirgan ketika sedang ada latihan, ulangan, PR, bahkan ujian. Wajar Arumi tidak mengerti pelajaran, nyatanya memperhatikan wajah tampan di sampingnya jauh lebih menyenangkan.
HOME
324      241     0     
Romance
Orang bilang Anak Band itu Begajulan Pengangguran? Playboy? Apalagi? Udah khatam gue dengan stereotype "Anak Band" yang timbul di media dan opini orang-orang. Sampai suatu hari.. Gue melamar satu perempuan. Perempuan yang menjadi tempat gue pulang. A story about married couple and homies.
November Night
381      272     3     
Fantasy
Aku ingin hidup seperti manusia biasa. Aku sudah berjuang sampai di titik ini. Aku bahkan menjauh darimu, dan semua yang kusayangi, hanya demi mencapai impianku yang sangat tidak mungkin ini. Tapi, mengapa? Sepertinya tuhan tidak mengijinkanku untuk hidup seperti ini.
Intuisi
3991      1240     10     
Romance
Yang dirindukan itu ternyata dekat, dekat seperti nadi, namun rasanya timbul tenggelam. Seakan mati suri. Hendak merasa, namun tak kuasa untuk digapai. Terlalu jauh. Hendak memiliki, namun sekejap sirna. Bak ditelan ombak besar yang menelan pantai yang tenang. Bingung, resah, gelisah, rindu, bercampur menjadi satu. Adakah yang mampu mendeskripsikan rasaku ini?
AROMA MERDU KELABU
2667      964     3     
Romance
EXPOST
11598      2402     3     
Humor
Excecutive people of science two, mungkin itu sebutan yang sering dilayangkan dengan cuma-cuma oleh orang-orang untuk kelas gue. Kelasnya excecutive people, orang-orang unik yang kerjaannya di depan laptop sambil ngapalin rumus kimia. So hard. Tapi, mereka semua ngga tau ada cerita tersembunyi di dalam kelas ini. Di sini ada banyak species-species langka yang hampir ngga pernah gue temuin di b...