Loading...
Logo TinLit
Read Story - Somehow 1949
MENU
About Us  

Geo kembali memekik ketika bertatapan dengan sesosok makhluk yang duduk di lincak seberang kamarnya. Lagi-lagi Beni duduk di sana sambil minum kopi. Hari masih terlalu pagi, bahkan langit masih tampak gelap tetapi Beni sudah minum kopi. Menurut Geo, pasti perut Beni termasuk perut yang tahan banting. Geo berniat menutup kembali pintu kamarnya. Namun, Beni sudah memanggilnya untuk keluar.

Geo melangkah mendekati Beni dengan malas. Bukannya apa tapi penampilan Beni pagi ini membuat jantung Geo serasa merosot sampai ke perut. Rambut yang basah disibakkan ke belakang memperlihatkan dahinya yang menawan. Geo sampai harus berusaha bernafas dengan normal.

"Kok, pagi-pagi sudah minum kopi? Apa perutnya nggak sakit?" Gro berbasa basi sambil duduk di sebelah Beni.

"Biar saya tidak mengantuk nanti." Beni menyesap kopinya sembari melirik Geo. Geo sampai harus mengalihkan tatapannya dan meneriaki dirinya untuk tidak lupa bernafas.

"Nanti? Mau ke mana?"

"Kamu tidak boleh ikut. Di rumah saja membantu Mbak Tutik memasak."

"Kamu menyindir atau mengejek? Aku ini nggak bisa masak. Selama ini yang masak, kan, Mbak Tutik!"

"Oh, benar juga. Padahal kamu sudah lama ada di sini tapi masih saja belum bisa masak. Bagaimana nanti kalau beneran jadi istri orang?"

"Istri apaan? Tinggal beli di pasar banyak."

"Dasar sinting! Memangnya kamu punya banyak uang?"

"Ternak ayam terus dijual bisa dapat uang."

"Uang buat beli ayam dari mana?"

"Ya, dari suaminya lah! Apa lagi?"

"Terus suaminya dapat uang dari mana?"

"Kerja lah. Masa laki-laki nggak bisa kerja. Eh tunggu, ini istri sama suami siapa sih yang diomongin?"

"Kitalah!" Geo melongo mendengar ucapan Beni yang ngawur.

"Kita? Apa maksudnya?"

Beni berdeham-deham. Sementara Geo mengalihkan tatapannya. Wajahnya terasa panas. Beni ini sengaja mengarahkan pembicaraan ke arah yang membuat canggung begitu. Jantung Geo benar-benar sudah merosot ke perut. Berdebar tak karuan.

"Geo, setelah semua ini selesai. Ah, jangan, terlalu lama. Mulai dari sekarang maukah kamu menjadi pendamping saya?"

Jantung Geo melorot sampai ke kaki. Wajahnya panas sepanas-panasnya. Sudut bibirnya hampir menyunggingkan senyuman tetapi dia menahannya. Jangan sampai terlihat terlalu jelas. Geo berusaha bernafas senormal mungkin supaya perasaan senangnya tidak terlihat jelas.

"Sebentar, maksud pendamping itu istri?"

"Untuk di masa yang akan datang iya, tapi untuk saat ini bisa dibilang menjadi kekasih. Maukah kamu?"

Geo tidak bisa menyembunyikan perasaannya lagi. Dia menenggelamkan wajahnya di antara kedua telapak tangannya. Senyumnya terus terkembang di dalamnya.

"Hei, kamu menangis? Artinya kamu tidak mau, ya?" Nada kecewa Beni membuat telinga Geo bergerak. Geo melepas tangkupan tangannya dan menoleh memperlihatkan wajahnya yang merah.

"Aku belum bilang apa-apa!"

Beni tersenyum. "Wajahmu kenapa?"

"Jangan lihat!" Geo mengalihkan wajahnya. Menjauhkan wajahnya supaya Beni tidak melihatnya.

"Jadi bagaimana? Lihat saya dan jawab saya!" Beni menarik tangan Geo supaya tidak bergeser terlalu jauh.

Geo sontak menoleh menghadap Beni lagi. "Ya, baiklah."

"Oh, wajahmu semakin merah!"

"Ah, jangan lihat! Aku malu tahu!"

Beni terkekeh geli. Diraihnya tangan Geo dan menggenggamnya. Genggaman tangan Beni terasa hangat melingkupi tangan Geo. Geo mengalihkan wajahnya, berusaha menatap ke arah yang lain sementara wajahnya sudah merah padam. Langit masih terlihat gelap. Beni menarik tangan Geo mendekat. Menggenggamnya erat dan saling merasakan momen bahagia itu.

***

Akibat kejadian pagi tadi, Geo menjadi sedikit canggung ketika matanya bertemu pandang dengan mata Beni. Tubuh Geo dengan sendirinya akan menjadi salah tingkah. Sesuatu yang harus dilakukannya mendadak menghilang. Kepalanya blank. Sedikit-sedikit dia akan tersenyum sendiri dan membuat Mbak Tutik khawatir kalau Geo tengah mengalami gejala penyakit orang gila.

Jam dinding menunjukkan pukul sembilan pagi. Di ruang tamu, Mbak Tutik sedang melakukan sesuatu pada Beni dan Hasan. Penampilan Hasan tidak menjadi masalah tetapi penampilan Beni membuat Geo terus menerus menahan diri untuk tidak tertawa. Ketika mata mereka bertemu, Geo akan sengaja mengalihkan wajahnya agar tidak menyemburkan tawa. Beni hampir marah tetapi Mbak Tutik menyuruhnya untuk tetap diam.

Geo menutupi mulutnya dengan telapak tangannya. Berusaha terus menahan diri agar tidak kelepasan tertawa. Wajah Beni ditempeli terasi oleh Mbak Tutik seolah memberikan kesan kalau wajahnya itu penuh luka dan menjijikkan. Bau terasinya saja sudah sangat menyengat apalagi ketika ditempelkan ke wajah orang. Hasan dengan wajah dekil memakai kaos biasa dengan sarung yang melingkar di tubuhnya. Memakai caping kebesaran dan menata kacang rebus ke dalam bakul besar.

Mereka berdandan seperti itu dalam rangka untuk menyamar. Mereka akan ke kota memata-matai markas NICA di Hotel Tugu dengan penampilan begitu. Selain memata-matai, terdapat rencana tersembunyi. Beni ingin mencari keberadaan Sulistyowati. Katanya dia ingin segera menghabisi nyawa orang yang pernah menjadi pasangannya itu sebelum benar-benar kabur ke Semarang. Karena menurut desas-desus yang beredar bahwa akan diadakan sebuah serangan besar-besaran di Kota yang tidak tahu kapan. 

Beni takut Sulistyowati akan melarikan diri bersamaan dengan serangan itu. Menurutnya Sulistyowati harus mati ditangannya. Dia akan membalaskan dendam teman-temannya yang telah gugur akibat ulah Sulistyowati itu. Geo tahu, perasaan Beni pasti lebih terluka karena Sulistyowati bukan sembarangan orang dan benar-benar telah menghancurkan hatinya.

Dandanan Beni telah selesai. Geo langsung mengalihkan wajahnya. Bahunya bergetar menahan tawa. Beni sedang menyamar menjadi gelandangan yang jelek.

"Hei! Kamu diam-diam menertawakanku, ya?" Suara teriakan Beni menggema di ruang tamu.

"Ng ... Nggak kok. Siapa yang tertawa?" Suara Geo terdengar rapuh. Dia masih mengalihkan wajahnya.

"Terus kenapa bahumu bergetar?"

Geo berdeham-deham lalu mengendalikan dirinya untuk tidak tertawa lagi. Geo menoleh dan bertatapan dengan Beni. Seketika saja tawa yang sedari tadi dia tahan menyembur keluar. Geo tertawa terbahak-bahak melihat wajah mengerikan Beni. Beni melotot sambil menahan amarah.

"Kamu! Kita lihat nanti apa kamu masih bisa tertawa!" Setelah itu Beni mengajak Hasan keluar. Sebelum hari bertambah siang mereka harus sudah sampai di kota. Geo menyeka air matanya dan ikut keluar seolah ingin mengucapkan selamat tinggal. Setelah Beni dan Hasan pergi, Geo juga ikut pamit pada Mbak Tutik. Dia ingin ke kota melakukan laporan sekaligus mencari tahu siapa yang harus bertanggung jawab dengan adanya organisasi mata-mata Rante Mas ini.

Mbak Tutik menepuk bahu Geo sambil mengangguk. Dia memercayakan semuanya pada Geo. Asalkan Geo bisa menjaga dirinya dan tidak terjebak dengan organisasi itu. Bagaimana pun Mbak Tutik akan tetap melebarkan tangannya untuk menyambut Geo. Geo mengangguk lalu bergegas pergi ke Kota. Geo setidaknya harus sampai lebih dulu ke markas sebelum Beni dan Hasan.

Sepertinya Geo sampai di markas NICA lebih dulu. Dia menutupi wajahnya dengan selembar kain batik. Melewati pintu tinggi dengan dinding berwarna putih yang berkilau diterpa cahaya matahari. Langkahnya terhenti ketika seorang tentara berwajah bule menatapnya galak. Tentara itu menyandang senjata lengkap dengan seragamnya. Alis matanya saling beradu sementara matanya memicing curiga. Geo melepas penutup kainnya dan memperlihatkan lencana RM besar yang terpasang di sebelah kiri dadanya.

Tentara itu mengangguk dan menuntun Geo melewati koridor lain. Di tengah jalan mereka berpapasan dengan tentara lain yang memiliki wajah lokal. Kedua tentara itu saling hormat. Si tentara berwajah lokal meminta tentara bule itu untuk membawa Geo. Si tentara bule tidak curiga dan mengangguk sambil mendorong Geo ke arah tentara berwajah lokal itu.

Tentara bule meninggalkan mereka dan kembali ke tempat penjagaannya. Si tentara lokal menatap Geo dengan tatapan tajam dan mulai menarik Geo untuk mengikutinya. Geo di dorong masuk ke sebuah tempat kotor yang berisi barang buangan. Menurut Geo tempat itu lebih mirip seperti ruang sapu. Si tentara berwajah lokal itu ikut masuk dan mengunci pintunya setelah menengok ke sekeliling, memastikan tidak ada yang melihatnya.

Tubuh Geo terhimpit di dalam ruangan kecil bersama tubuh kekar seorang tentara yang mungkin akan melakukan sesuatu padanya. Geo hampir berteriak tetapi tentara itu langsung membekap mulutnya.

"Saya selalu muak lihat mata-mata dari negeri sendiri! Saya tidak pernah punya kesempatan begini tetapi kali ini saya akan membunuhmu!"

Mata Geo membelalak. Kenapa orang ini mau membunuhnya? Bukankah dia adalah tentara Belanda yang memihak Belanda. Geo menggeleng dan memberi isyarat untuk mendengarkannya lebih dulu. Tentara itu tidak mengerti maksud Geo dan semakin mempererat bekapan tangannya. Sementara tangan satunya mengeluarkan sebilah pisau yang di arahkan kepada Geo.

Geo semakin menggeleng. Ruangan yang sempit itu membuat ruang gerak Geo terbatas. Dia terpojok di dinding. Seketika saja Geo mengangkat kakinya dan menendang tulang kering tentara itu. Bekapan tangan tentara itu terlepas dan Geo langsung mengambil nafas banyak-banyak. Mengisi kembali paru-parunya yang kosong. Tentara itu merintih kesakitan sambil mengelus-elus tulang keringnya.

"Dasar sialan! Aku sudah memintamu untuk mendengarkanku lebih dulu! Kenapa masih terus membekapku?" Geo hampir menendang tentara itu lagi tetapi tidak jadi karena tentara itu segera menodongkan pisau ke arahnya.

"Beraninya mata-mata keparat sepertimu!"

"Kamu yang keparat! Beraninya tentara Belanda melukai kawannya sendiri? Kita ini kawan, bukan?"

Entah kenapa tentara itu menjadi marah. Dia mendorong tubuh Geo sampai membentur tembok dan meletakkan pisau di leher Geo. "Saya berbeda denganmu! Saya orang Republik!"

Mata Geo membulat. Semuanya menjadi jelas. Alasan orang ini menyerangnya dan mencoba membunuhnya adalah karena dia orang Republik yang merasa geram dengan tingkah para mata-mata.

"Kalau begitu kita tidak berbeda." Geo berucap dengan santai tetapi ditanggapi tidak baik oleh si tentara itu.

"Beraninya mata-mata sialan sepertimu menyamakan posisi kita!" Pisau tentara itu menggores leher Geo. Geo meringis. Lehernya seperti terkena aliran listrik. Menyengat dan perih.

"Bung, aku memang mata-mata tetapi aku juga orang Republik."

Sunyi. Mereka hanya saling bertatapan seolah mencari sorot kebohongan di mata masing-masing. Tentara itu menyingkirkan pisaunya dari leher Geo yang sudah tergores. Geo menyeka lehernya dan mendapati setitik noda darah menempel di tangannya.

"Kamu bisa dipercaya? Kamu tidak sedang menipu saya?"

"Lalu bagaimana denganmu? Kamu tidak sedang menjebakku?"

Tentara itu mengeluarkan sesuatu dari dalam kantung celananya. Sebuah tanda lencana kecil bertuliskan 'Laskar Rakyat'. Geo melongo. Ternyata ada orang yang lebih nekat daripada dirinya. Orang ini juga berani menyamar sebagai tentara di dalam markas musuh.

"Bagaimana denganmu?" Tentara itu bertanya. Ekspresi wajahnya tidak berubah. Masih terlihat galak.

"Apa ini cukup untuk membuktikan diriku?" Geo mengambil lencana merah putihnya. Dia memuji dirinya karena berinisiatif membawa lencana itu. Padahal dia membawa lencana itu hanya untuk mengingatkan dirinya kalau dia masih menjadi orang Republik.

Di luar terjadi keributan. Langkah kaki yang terburu-buru terdengar di luar ruangan sempit itu. Mereka saling berpandangan dan mengingatkan untuk tidak bersuara.

"Kita menangkap ketua gerilya. Dua orang!"

"Bawa mereka ke ruangan ujung! Sersan Toni akan sangat senang menemui mereka!"

Geo membeku. Begitu juga dengan tentara di hadapannya itu. Mereka kembali saling pandang lagi.

"Mas Beni dan Mas Hasan?"

"Pak Beni dan Pak Hasan?"

Mereka menyebutkan nama dua orang yang sama secara bersamaan. Mereka saling pandang.

"Kamu kenal mereka?" Si tentara itu bertanya dengan nada tidak percaya. Menurutnya, sangat aneh melihat seorang gadis mata-mata mengenal dua orang yang sangat terkenal di antara para Laskar Rakyat.

Geo mengangguk. "Aku tinggal di rumah mereka. Mereka tadi sedang menyamar di kota. Mereka tertangkap?"

Tentara itu langsung membekap mulut Geo ketika menyadari ada suara langkah kaki mendekat. Tentara itu melotot dan mengingatkannya untuk mengecilkan suaranya.

"Di mana para keparat gerilya itu?" Suara berat yang tidak asing membuat tubuh Geo merinding. Suara itu adalah milik Sersan Toni.

Setelah kira-kira tidak ada lagi suara langkah kaki yang terdengar, tentara itu melepas bekapan tangannya. Mata Geo berkaca-kaca. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada Beni dan Hasan.

"Sepertinya ada mata-mata yang melaporkan mereka!" Tentara itu merasa geram. Mata-mata itu selalu menjadi pion yang menghalangi mereka.

"Aku ... Harus membebaskan mereka."

Tentara itu mencengkeram lengan Geo. "Jangan gegabah! Tindakan sembrono tanpa rencana yang matang tidak ada gunanya!"

Air mata Geo mulai mengalir. Geo merasa Beni ditangkap karena salahnya. Tentara di depannya itu terus menyuruhnya tidak bersuara. "Tolong katakan siapa yang bertanggung jawab atas adanya mata-mata ini!"

Tentara itu mengangkat sebelah alisnya. "Siapa orang yang kamu temui sebelum jadi mata-mata?"

Geo terperangah. "Sersan Toni?" Tentara itu mengangguk. Kemudian dia mendekat dan membisikkan sesuatu pada Geo. Sersan Toni, nama aslinya Tom Holland adalah ketua yang mengusulkan organisasi Rante Mas. Semua laporan para mata-mata berada di bawah tanggung jawabnya. Tangan Geo terkepal. Ternyata orang itu. Orang yang harus bertanggung jawab selama ini ternyata sangat dekat.

"Kamu ... Bisa memberitahuku di mana rumah orang itu?"

"Kamu mau apa?" Suara tentara itu meninggi dan Geo buru-buru menyuruhnya diam. Suara langkah kaki mendekat. Berbicara kalau mendengar sesuatu kemudian pergi. Geo memelototi tentara yang tengah meringis itu. 

"Dengar! Pokoknya yang pertama harus kita lakukan adalah mengeluarkan Pak Beni dan Pak Hasan. Untuk sekarang saya akan percaya kalau kamu berada di pihak Republik tetapi kalau saya tahu kamu menipu saya, saya akan bunuh kamu!"

"Tenang saja. Sebelum kamu membunuhku, Pak Beni yang akan duluan membunuhku."

"Oke, terserah. Di luar markas ini ada seorang tukang becak bernama Pak Tresno. Dia juga bagian dari Laskar Rakyat. Bilang padanya kamu mengenal saya, Wahyu. Katakan juga kamu orang Republik dan tunjukan lencana merah putihmu itu. Bilang kita harus lakukan rencana pembebasan Pak Beni dan Pak Hasan. Kamu bisa?"

Geo mengangguk. "Tapi, bagaimana kamu tahu kalau kami akan melakukan rencananya?"

"Kamu tidak perlu khawatir. Ada banyak pasukan Laskar Rakyat di sekitar sini yang akan memberi saya tanda. Sekarang, kamu harus keluar dari sini."

"Tunggu!" Geo menarik seragam tentara itu. "Tolong cari tahu rumah si Sersan Toni. Kalau kamu tidak mau mencari tahu, biar aku sendiri saja yang cari tahu."

"Eh? Iya, akan saya usahakan! Sekarang kamu harus keluar."

Secara ajaib, Geo keluar dengan selamat. Ekspresi wajah tentara yang bernama Wahyu itu tidak berubah. Tampak kejam dan datar. Namun, orang itu berhasil mengeluarkan Geo dari markas tanpa dicurigai tentara berwajah bule yang lain.

Di luar, memang benar ada seorang tukang becak yang matanya terus melirik ke arah markas. Tatapan mata tukang becak itu bertemu dengan tatapan Geo. Tukang becak itu buru-buru mengalihkan tatapannya dan berlagak hendak pergi dari tempat itu. Geo segera berlari mendekat.

"Tunggu, Pak! Saya mau naik!"

"Maaf, Non. Saya tidak menarik. Saya mau pulang cepat hari ini."

"Mau rapat membahas mengenai pembebasan Pak Beni dan Pak Hasan?"

Tukang becak itu menghentikan becaknya, kemudian menoleh menatap Geo yang menyeringai. Pak becak itu mengalihkan wajahnya dan kembali menjauhkan becaknya. Geo merasa seperti ditolak. Dia berlari mendekati tukang becak itu.

"Tolong, dengarkan saya dulu. Saya kenal Pak Wahyu, tadi saya bicara sama dia. Lihat! Leher saya sampai hampir ditebas!"

Tukang becak itu berhenti menuntun becaknya. Dia melirik Geo yang menunjuk lehernya yang terluka. "Naik!" Geo mengangguk sambil tersenyum lebar.

"Bagaimana saya bisa percaya dengan apa yang kamu katakan?"

Geo menghela nafasnya. Hari ini banyak sekali orang yang tidak percaya padanya. Geo mengambil lencana merah putihnya dan memberikannya pada pak becak itu.

"Kamu orang Republik?"

"Ya."

Pak becak itu mengangguk dan mengembalikan lencana merah putih Geo. Geo menatap lencana itu. Tidak menyangka benda kecil ini ternyata sangat berguna.

"Rumahmu ada di mana?"

"Di Desa Minggiran, rumah Pak Beni."

"Apa?" Becak tersentak membuat Geo langsung berpegangan pada sisi-sisi becak. "Kamu kenal Pak Beni dan menyamar menjadi mata-mata? Pak Beni tahu?"

"Mbak Tutik yang tahu, kakaknya Pak Beni."

"Wah, kamu gadis yang langka. Saya mulai suka sama kamu. Lalu, kamu mau bergabung dengan pasukan kami?"

Geo terkekeh. "Itu yang sudah saya tunggu dari tadi, Pak!"

***

Pukul lima sore, waktu yang dijanjikan Pak Tresno untuk mengumpulkan pasukan. Pasukan Tentara Rakyat dan Pejuang Gerilya yang dipimpin Beni akan berkumpul di markas di Desa Minggiran. Geo atas seizin Pak Tresno, akan ikut dalam rencana itu. Geo berlari pulang ke rumah dan mendapati Mbak Tutik sedang memotongi kacang panjang di lincak teras. Geo memberitahunya kalau Beni dan Hasan ditangkap Belanda.

"Kamu ... Padahal saya sudah percaya padamu!"

"Bukan saya, Mbak! Tadi saya belum sempat lapor. Ada laskar rakyat yang menyusup menjadi tentara Belanda yang mencegat saya!" Geo menenangkan Mbak Tutik yang hampir melempari Geo dengan telenan.

"Bukan kamu?"

"Bukan! Saya tadi malah hampir mati di tangan tentara itu! Mata-mata lain yang melaporkan Mas Beni dan Mas Hasan. Sekarang saya mau mandi dulu terus ikut rapat di balai desa."

"Rapat apa?"

"Pembebasan Mas Beni dan Mas Hasan!" Geo berteriak sambil berlari masuk ke dalam rumah. Segera bersiap-siap untuk melakukan penyerbuan lagi.

Selanjutnya diadakan rapat darurat di balai desa. Mbak Tutik mendampingi Geo ikut dalam rapat itu. Pak Tresno, bapak-bapak tukang becak berusia tiga puluh tahun memimpin rapat ini. Ruangan balai desa terisi penuh oleh banyak irang. Gabungan dari laskar rakyat dan pejuang gerilya. Mereka semua satu suara ingin membebaskan Beni dan Hasan.

Suasana tegang membumbung di dalam ruangan itu. Semua mata menatap ke arah Pak Tresno. Mendengarkan setiap perkataannya tanpa berkedip seolah apabila berkedip mereka akan kehilangan satu patah kata pun. Dalam kesempatan kali ini, Pak Tresno juga menyampaikan sebuah berita yang mengundang sorakan dari semua peserta. Semua peserta merasa sangat senang karena akhirnya mereka bisa melakukan pembalasan yang lebih hebat.

Pak Tresno menyampaikan kalau sebentar lagi akan ada serangan besar-besaran yang akan diadakan oleh jajaran tertinggi militer dengan mengikutsertakan seluruh TNI, Polri, Tentara rakyat, laskar rakyat dan pejuang gerilya. Mereka akan mengepung seluruh wilayah Yogyakarta dengan tujuan mengusir tentara NICA menjauh dari Kota Yogyakarta. Geo mengernyit. Rasanya dia pernah mendengar tentang serangan ini sebelumnya tetapi tidak ingat serangan yang mana.

Hari pengepungan belum diumumkan secara resmi tetapi rencananya serangan akan dilakukan pukul enam pagi setelah sirine dibunyikan, karena itu malam ini mereka harus bergegas mengeluarkan Beni dan Hasan. Kata Pak Tresno, pasukan militer akan mendekati kota dalam jumlah kecil pada malam hari nanti yang kemungkinan akan ada bantuan dari pihak militer juga.

Geo terlihat bersemangat sedangkan Mbak Tutik terus mengoceh menasihatinya agar tidak ikut terlibat. Pak Tresno mulai membagi-bagi tugas pada para peserta. Namun, melewati Geo. Geo merasa tidak terima dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi.

"Saya mau ikut!"

Semua mata menoleh ke arahnya. Mbak Tutik berusaha menurunkan tangan Geo. Namun, Geo terlalu keras kepala untuk menurunkan tangannya. Tanpa diduga, Pak Tresno langsung menolak Geo. Pak Tresno keberatan karena Geo adalah perempuan. Bagi mereka biar para pria yang berjuang dan perempuan cukup diam di rumah. Geo bersikeras ingin ikut. Baginya, menyelamatkan Beni adalah bentuk tindakan untuk menebus kesalahannya.

"Saya bisa beladiri! Saya juga bisa memegang senjata! Saya pernah ikut dalam misi penggerebekan gudang senjata dulu. Saya bisa dipercaya." Geo berdiri dan menatap Pak Tresno dengan tatapan mata membara.

"Saya keberatan!" Mbak Tutik berdiri. Berkacak pinggang sambil memelototi Geo. "Kamu pernah tertembak! Saya tidak ingin kamu kena tembak lagi!"

"Sekarang nggak akan lagi, Mbak. Kan, ada mereka." Geo cengengesan sambil menunjuk semua orang yang ada di ruangan itu. Mbak Tutik menepuk dahinya. Baru kali ini dia menemukan seseorang yang sangat keras kepala.

"Kamu pernah tertembak?" Salah satu pejuang terperangah. Geo mengangguk-angguk seolah bangga dengan prrstasi itu.

"Kamu mau berencana tertembak lagi?" Mbak Tutik kembali memelototi Geo. Geo menatap Mbak Tutik dengan wajah sedih.

"Nggak, Mbak Tutik! Sekarang nggak ada maksud apa-apa seperti yang dulu. Kumohon, Mbak. Saya juga merasa bersalah sama Mas Beni karena nggak bilang kalau aku masuk dalam lingkaran organisasi Rante Mas."

"Apa? Kamu mata-mata? Beraninya kamu menyusup di sini?" Beberapa orang menjadi ribut, berdiri sambil menyiapkan senjata mereka.

"Hei, kalian tenanglah! Aku memang mata-mata tapi aku berada di pihak kalian. Sekarang, kalian bisa gunakan aku untuk membalas mereka. Aku bisa membantu kalian masuk ke markas. Bagaimana?"

Semua orang saling berpandangan. Kemudian sama-sama mengangguk. Pak Tresno menenangkan mereka semua dan memutuskan Geo menjadi penghubung dengan Wahyu, pejuang laskar rakyat yang menyamar menjadi tentara Belanda. Mbak Tutik akhirnya juga setuju setelah membuat Geo berjanji untuk kesekian kalinya bahwa Geo tidak boleh terluka lagi. Geo mengangguk sambil membuat tanda silang di dadanya sebagai sumpah janjinya.

Pukul sebelas malam. Geo menyamar menjadi laki-laki. Dia meminjam celana pendek Beni yang sedang dijemur dan meminjam sarungnya. Melilitkan sarung di sekitar kepalanya. Anggota misi penyelamatan berkumpul di depan gapura desa. Ketika hendak keluar rumah seseorang memegang ujung sarungnya, membuatnya sedikit terjengkang. Pak Tresno melotot padanya. Tidak menyangka Geo bertindak sejauh ini.

"Kenapa kamu berpakaian begitu?"

"Supaya lebih mudah untuk mengangkat kaki." Geo memperagakan beberapa jurus taekwondo yang dikuasainya. Pak Tresno menggelengkan kepalanya melihat tingkah Geo. Di dalam hatinya dia bertanya dari mana Mbak Tutik menemukan orang seperti Geo.

"Lalu, bagaimana caranya mereka bisa mengenalimu dengan pakaian begitu?" Pak Tresno meninggikan suaranya.

"Tinggal tunjukkan lencana ini saja. Mereka, kan juga tidak hafal siapa saja yang jadi mata-mata. Mereka kan hanya melihat dari lencana ini." Pak Tresno mengangguk-angguk. Menyetujui apa yang dikatakan Geo. Pak Tresno juga memberi Geo sebuah caping -topi petani- untuk menutupi kepalanya. Sangat penting untuk menjaga agar wajah Geo tidak dilihat tentara Belanda. Geo tersenyum dan berterimakasih padanya lalu bersama berjalan keluar.

***

Markas NICA berada di hotel Toegoe. Sebuah markas besar di tengah kota. Penjagaan tidak terlalu ketat karena beberapa tentara sedang berpatroli keliling kota. Geo dengan caping besarnya masuk ke dalam markas. Dua orang penjaga berwajah bule menghentikannya sambil menodongkan senjata. Geo memperlihatkan lencana RM besar yang menempel di kaosnya. Kedua penjaga itu saling pandang lalu membiarkan Geo masuk. Geo mengangguk sambil memegangi capingnya.

Suasana di dalam markas sangat sepi. Hanya ada berberapa penjaga yang sedang bermain kartu di salah satu ruangan. Geo memperlihatkan lencananya pada mereka semua dan mendapat lambaian tangan tanda mengusir. Geo tersenyum. Dia bisa melenggang masuk tanpa kendala. Geo membuka satu per satu pintu untuk mencari keberadaan Wahyu. Dia menemukannya sedang berjaga di dekat penjara. Geo memanggilnya dengan suara berbisik.

Wahyu menatap Geo dengan tatapan aneh. Geo melambaikan tangannya sembari mengawasi sekeliling. Wahyu berjalan mendekat. Tangannya siap siaga menggenggam senjata di lengannya.

"Ini aku, yang tadi pagi!" Geo berbisik sambil menempel di tembok.

"Kamu? Gadis yang tadi pagi?" Wahyu berteriak dan Geo harus langsung membekap mulutnya.

"Diam! Rencana sudah dijalankan. Mereka semua menyebar di luar."

"Ah, baiklah. Saya juga harus bersiap."

"Kamu sudah tahu di mana rumah Sersan Toni?"

"Saya tidak punya kesempatan bertanya-tanya."

"Oke, aku sendiri yang akan cari." Geo langsung pergi setelah yakin Wahyu belum mencari informasi yang diinginkannya. Wahyu berbisik menyuruh Geo kembali, tetapi Geo tidak mendengar. Dia terus berjalan dan masuk ke sebuah ruangan.

Tags: Twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
simbiosis Mutualisme seri 2
8554      1962     2     
Humor
Hari-hari Deni kembali ceria setelah mengetahui bahwa Dokter Meyda belum menikah, tetapi berita pernikahan yang sempat membuat Deni patah hati itu adalah pernikahan adik Dokter Meyda. Hingga Deni berkenalan dengan Kak Fifi, teman Dokter Meyda yang membuat kegiatan Bagi-bagi ilmu gratis di setiap libur panjang bersama ketiga temannya yang masih kuliah. Akhirnya Deni menawarkan diri membantu dalam ...
The War Galaxy
12890      2623     4     
Fan Fiction
Kisah sebuah Planet yang dikuasai oleh kerajaan Mozarky dengan penguasa yang bernama Czar Hedeon Karoleky. Penguasa kerajaan ini sungguh kejam, bahkan ia akan merencanakan untuk menguasai seluruh Galaxy tak terkecuali Bumi. Hanya para keturunan raja Lev dan klan Ksatrialah yang mampu menghentikannya, dari 12 Ksatria 3 diantaranya berkhianat dan 9 Ksatria telah mati bersama raja Lev. Siapakah y...
Menghapus Masa Lalu Untukmu
3124      1197     1     
Romance
Kisah kasih anak SMA dengan cinta dan persahabatan. Beberapa dari mereka mulai mencari jati diri dengan cara berbeda. Cerita ringan, namun penuh makna.
Salju di Kampung Bulan
2098      962     2     
Inspirational
Itu namanya salju, Oja, ia putih dan suci. Sebagaimana kau ini Itu cerita lama, aku bahkan sudah lupa usiaku kala itu. Seperti Salju. Putih dan suci. Cih, aku mual. Mengingatnya membuatku tertawa. Usia beliaku yang berangan menjadi seperti salju. Tidak, walau seperti apapun aku berusaha. aku tidak akan bisa. ***
Truth Or Dare
9058      1717     3     
Fan Fiction
Semua bermula dari sebuah permainan, jadi tidak ada salahnya jika berakhir seperti permainan. Termasuk sebuah perasaan. Jika sejak awal Yoongi tidak memainkan permainan itu, hingga saat ini sudah pasti ia tidak menyakiti perasaan seorang gadis, terlebih saat gadis itu telah mengetahui kebenarannya. Jika kebanyakan orang yang memainkan permainan ini pasti akan menjalani hubungan yang diawali de...
Mars
1169      633     2     
Romance
Semenjak mendapatkan donor jantung, hidup Agatha merasa diteror oleh cowok bermata tajam hitam legam, tubuhnya tinggi, suaranya teramat halus; entah hanya cewek ini yang merasakan, atau memang semua merasakannya. Dia membawa sensasi yang berbeda di setiap perjumpaannya, membuat Agatha kerap kali bergidik ngeri, dan jantungnya nyaris meledak. Agatha tidak tahu, hubungan apa yang dimiliki ole...
Ingatan
8908      2079     2     
Romance
Kisah ini dimulai dari seorang gadis perempuan yang menemui takdirnya. Ia kecelakaan sebelum sempat bertemu seseorang. Hidupnya terombang-ambing diantara dua waktu. Jiwanya mencari sedang raganya terbujur kaku. Hingga suatu hari elektrokardiogram itu berbunyi sangat nyaring bentuknya sudah menjadi garis yang lurus. Beralih dari cerita tersebut, di masa depan seorang laki-laki berseragam SMA menj...
LARA
8636      2098     3     
Romance
Kau membuat ku sembuh dari luka, semata-mata hanya untuk membuat ku lebih terluka lagi. Cover by @radicaelly (on wattpad) copyright 2018 all rights reserved.
Enigma
1663      897     3     
Inspirational
Katanya, usaha tak pernah mengkhianati hasil. Katanya, setiap keberhasilan pasti melewati proses panjang. Katanya, pencapaian itu tak ada yang instant. Katanya, kesuksesan itu tak tampak dalam sekejap mata. Semua hanya karena katanya. Kata dia, kata mereka. Sebab karena katanya juga, Albina tak percaya bahwa sesulit apa pun langkah yang ia tapaki, sesukar apa jalan yang ia lewati, seterjal apa...
Chahaya dan Surya [BOOK 2 OF MUTIARA TRILOGY]
11487      2118     1     
Science Fiction
Mutiara, or more commonly known as Ara, found herself on a ship leading to a place called the Neo Renegades' headquarter. She and the prince of the New Kingdom of Indonesia, Prince Surya, have been kidnapped by the group called Neo Renegades. When she woke up, she found that Guntur, her childhood bestfriend, was in fact, one of the Neo Renegades.