Read More >>"> BALTIC (Lost in Adventure) (III. Mit Dir (Bersamamu)) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - BALTIC (Lost in Adventure)
MENU
About Us  

 

Sava menggeliat pelan di ranjang empuk milik Edmund. Sedikit olah raga ringan sebelum dia bangun dari tempat tidur menyambut pagi – yang sepertinya cerah. Kepalanya menoleh ke bagian sisi kiri ranjang, sebuah jam weker digital berwarna hitam di atas nakas menunjukan pukul 6 pagi.

Ini adalah pagi terakhirnya di Dietmannsried, setelah kemarin seharian tante Ria mengajaknya untuk berkeliling kota. Dietmannsried bukanlah kota turis seperti kebanyakan kota di Jerman. Tak banyak yang bisa dikunjungi di sana, hanya beberapa toko souvenir, coffee shop, dan taman kota. Menjelang sore, mereka sudah kembali ke rumah, kembali sibuk menyiapkan makan malam sembari menunggu dua orang pria kembali dari hari sibuknya di kantor masing-masing.

Pagi ini dia harus segera bangun dan membantu tante Ria menyiapkan bekal perjalanan, meskipun dia masih mengantuk. Semalam, jam 1 dini hari Sava baru bisa tidur, karena tante Ria terus mengajaknya ngobrol tentang banyak hal. Dia sungguh merindukan Indonesia. Untung saja Om Hans mengerti kondisi Sava yang lelah, karena diam-diam om Hans memperhatikan Sava yang pipinya menggembung karena menahan kuap kantuknya saat mendengarkan tante Ria bercerita tentang rencananya untuk mengajak Sava ke Munich dan Rothenburg ob der tauber (odt) siang nanti.

Setelah memastikan penampilannya tidak berantakan – seperti jika dia bangun tidur di flat – dia bergegas menuju kamar Elbert. Kata tante Ria, Elbert adalah penghuni pertama yang harus dibangunkan, jika kamu tidak ingin jadwal perjalananmu berantakan, yang artinya dia adalah tipe manusia yang baru bangun saat matahari tepat di atas kepala kita.

Sava berulang kali mengulur, lalu menarik genggaman tangannya. Dia ragu saat di depan pintu kamar Elbert, ragu untuk masuk. Ini adalah pertama kalinya dia berdiri di depan kamar cowok selain kamar ayah dan kakaknya – o iya, jangan lupakan kamar Edmund, yang bahkan dia tidur di sana. Apalagi jika mengingat ucapan tante Ria di coffee shop kemarin, tentang Elbert yang sangat merindukannya, tidak sabar untuk bertemu dengan dirinya kemarin lusa, bahkan memaksa untuk menjemput Sava di bandara. Hal itu berhasil membuat pipi Sava kembali merona – apakah Sava boleh sedikit geer, dan merasa bahwa Elbert menaruh hati padanya? Sava menarik nafas dalam, kemudian menghembuskannya pelan melalui mulutnya, menata debar jantungnya, dan membulatkan tekat mengetuk pintu kamar Elbert beberapa kali ketukan, namun tak ada jawaban.

Sava terlonjak kaget saat pintu kamar terbuka. Bukan pintu kamar Elbert, tapi pintu kamar om Hans. Dilihatnya om Hans dengan piyama tidurnya, sedang mengucek mata, dan berlalu begitu saja melewati Sava, "morning Sava. Buka saja, pintunya tidak dikunci. Lagipula Elbert tidak akan dengar apapun kalau sudah tidur." Ujarnya sembari melangkah menuju kamar mandi.

Sava menarik nafas, kemudian menuruti nasihat om Hans. Perlahan dia membuka pintu kamar Elbert. Sinar mentari pagi langsung menyeruak menyilaukan indera penglihatannya. Sebuah kamar loteng, sama seperti kamar Edmund, hanya saja kamar Elbert terkesan unik dan antik seperti ruang tamu di bawah. Dindingnya berlapiskan kayu, sederet kaca besar berada di sisi kanan kasur – tak ada ranjang, memberi akses langsung sinar matahari dan pemandangan lahan terbuka yang ditumbuhi beberapa pohon untuk dinikmati. Sungguh kakak beradik yang benar-benar unik. Batin Sava saat pikirannya membandingkan kondisi kamar Elbert dan Edmund.

Sosok yang sedari kemarin berhasil membuat jantungnya berdegup lebih kencang, hanya dengan memikirkannya masih meringkuk di sisi kanan kasur

Sosok yang sedari kemarin berhasil membuat jantungnya berdegup lebih kencang, hanya dengan memikirkannya masih meringkuk di sisi kanan kasur. Perlahan Sava melangkah mendekat ke sisi dimana Elbert berbaring, Sava duduk bersila memperhatikan Elbert yang masih pulas. Rambutnya hitam pekat, seperti rambut om Hans. Putih banget kulitnya. Bulu matanya lentik, hidungnya mancung khas bule, beda banget sama hidungku. Sava mengusap ujung hidungnya sendiri, sambil tersenyum geli.

"Elbert." Panggil Sava pelan, tepat di dekat telinga Elbert. Tak ada reaksi, "Elbert." Panggil Sava lagi, kali ini Elbert menggeliat pelan, sembari menganggaruk telinganya.

Sava mendengus sebal, kemudian diguncangkannya tubuh Elbert agar cowok itu bangun. Tapi percuma, Elbert sama sekali tidak membuka matanya. Sebaliknya, dia malahan berbaring miring mencari posisi nyaman untuk melanjutkan tidurnya yang merasa sedikit terganggu dengan tingkah Sava. Hal itu malahan membuat lengan Sava tanpa sengaja tertarik, karena Elbert memeluk lengan itu – seakan itu adalah guling – membuat tubuh Sava terjatuh di samping Elbert.

Tolong, aku butuh ambulance. Kenapa jantungku tidak bisa diajak tenang! Aku butuh dokter! Sava menahan nafas. Ia tidak ingin hangat hembusan nafasnya menerpa wajah Elbert yang begitu dekat dengan wajahnya. Dia juga tidak berani menarik tangannya, takut jika pria di depannya ini akan terganggu tidurnya lalu membuka mata. Mau ditaruh dimana mukaku kalau dia bangun dan melihat posisiku seperti ini? Aku harus melakukan sesuatu! Tapi apa? Bergerak sedikit saja, takutnya membangunkannya.

"Mau sampai kapan kamu melihatku terus?" Sava membulatkan mata saat mendengar Elbert bertanya, masih dengan mata yang tertutup.

"Kamu...kamu udah bangun?" gugup Sava sambil mencoba bangkit dan menjauh, namun Elbert malahan memeluknya, kemudian berguling ke samping, hingga membuat tubuh Sava berada di bawahnya.

"Kenapa dengan wajah panikmu itu? Bukannya dulu kamu suka memelukku?" Elbert tersenyum melihat rona wajah Sava yang memerah. Kemudian Elbert semakin mendekatkan wajahnya, membuat jantung gadis itu berdetak makin cepat seperti selesai maraton. "Du hast wunderschöne Augen (Mata kamu indah)." Lanjut Elbert, sembari menyelipkan beberapa anak rambut Sava ke belakang telinganya.

"Augen?" beo Sava dengan dahi berkenyit, debar di dadanya membuat otaknya hanya mampu memproses bagian akhir kalimat Elbert. "Kenapa dengan mataku? Apa ada beleknya?" tanya Sava sembari mengucek matanya.

Elbert tidak lagi bisa menahan tawanya. Gadis di bawahnya ini sungguh menggemaskan. Elbert berguling ke samping dan terbahak sambil memegangi perutnya. "Es sollte romantisch sein, aber Sie ändern es in Komödie (Ini seharusnya romantis, tapi kamu menjadikannya komedi)." Ujarnya sembari mengusap gemas kepala Sava.

"Apanya yang lucu?" Sava menepis tangan Elbert, kemudian buru-buru bangkit dan melangkah keluar meninggalkan Elbert yang masih menertawakannya.

Om Hans yang juga bebarengan keluar dari kamar mandi memandang heran ke Sava yang merengut setelah menutup pintu kamar Elbert dengan keras. "Ada apa, Sava? Elbert usil lagi padamu?" Sava mengangguk, om Hans tersenyum, menggeleng seolah tak percaya kalau anak tertuanya ini masih suka usil. "Ya sudah, kamu sekarang siap-siap saja. Biarkan saja Elbert seperti itu."

----------------

Dua jam perjalanan dari Dietmannsried ke Munich dirasa Sava begitu cepat, mungkin karena sepanjang perjalanan netra Sava kembali dimanjakan dengan pemandangan dandelion liar di hampir sepanjang perjalanan. Belum lagi mendengar Elbert atau om Hans yang dengan percaya dirinya bernyanyi mengikuti lagu yang sedang di putar di radio, ditambah Elbert yang juga menyibukan diri dengan mengusili Sava. Sesekali dia akan menarik rambut Sava yang tergerai di luar topi rajutnya. Jika tidak, dia akan tiba-tiba mencubit pipi Sava gemas. Hal yang paling mengesalkan adalah saat mereka berhenti di rest area, untuk mengisi bensin. Sedangkan Sava memanfaatkan kesempatan itu untuk menggunakan toilet, tapi apa, selanjutnya yang terjadi adalah Elbert menguncinya dari luar, membuat Sava harus memanjat toilet untuk keluar dari jendela. Belum selesai sampai di situ, Sava harus sedikit berlari mengejar Elbert mulai menjalankan mobilnya meninggalkan Sava.

Melihat tindakan kekanakan Elbert, om Hans langsung memarahinya, mengancamnya akan menguncinya di luar rumah kalau masih bersikap usil pada Sava. Gadis itu kini benar-benar kesal dengan candaan Elbert yang menurutnya sudah kelewat batas, dia mengacuhkan Elbert sepanjang sisa perjalanan. Walaupun pria itu terus meminta maaf.

"Untukmu." Elbert memberikan setangkai bunga mawar putih saat mereka menunggu om Hans dan tante Ria selesai membereskan barang bawaan mereka di kamar hotel. Om Hans dan tante Ria sengaja memesan hotel yang terletak di pusat kota Munich, dekat dengan tujuan wisata mereka – meskipun agak jauh dari stadion Allianz, tempat tujuan mereka malam nanti.

"Apa mengerjaiku begitu menyenangkan? Sehingga kamu ketagihan?"

"Jujur, salah satu hal yang kusukai dari dirimu adalah saat kamu marah, mengomel tanpa henti. Tapi aku tidak suka saat kamu mengacuhkanku." Elbert menghela nafas pelan kemudian setelah menyelesaikan ucapannya. Dia bersandar lemah di kursi lobi penginapan sambil memandang kosong ke arah bunga mawar di tangannya.

Salah satu hal yang paling ditakuti Elbert di dunia ini, selain kemarahan om Hans dan mamanya, adalah diacuhkan oleh Sava. Gadis sok tahu tapi juga polos, pemberani tapi juga takut dengan cicak dan kecoa, menyebalkan namun di saat bersamaan dia juga sangat menggemaskan. Kenangan bersama Sava adalah salah satu momen yang disimpan Elbert di suatu sudut khusus di hatinya. Tiga minggu berlibur di Indonesia, berhasil membuatnya jatuh cinta pada pandangan kedua. Karena saat pertama bertemu, Sava adalah gadis paling menyebalkan di mata Elbert. Seiring berjalananya waktu, Elbert mulai terbiasa dengan tingkah Sava, dan yang terjadi kemudian adalah rasa kagum yang membuncah saat mendengar impian Sava kala itu yang bercita-cita menjadi pengacara, khususnya bagi kaum tidak mampu di Indonesia.

Satu momen yang berhasil mengubah rasa kesal Elbert menjadi kagum, kemudian rasa sayang menahun dan tertahan hingga beberapa hari yang lalu saat ia mendengar kabar bahwa Sava akan datang ke Jerman – ke rumahnya. Dia tidak bisa lagi menyembunyikan kebahagiannya, penantian selama lima tahun lebih untuk bertemu kembali dengan Sava akan berakhir.

Kehadiran tante Ria yang tiba-tiba berdiri di samping Sava, membuyarkan lamnunan Elbert, "sayang, sepertinya papa dan mama tidak bisa menemani kalian jalan-jalan. Papa migrainnya kambuh lagi."

"Kita ke dokter, Tan." Usul Sava, namun tante Ria segera menggeleng.

"Om sudah minum obatnya, sekarang butuh istirahat, biar nanti malam kita bisa nonton bola bareng. Kalian pergi saja berdua ya." Jelas tante Ria mencoba menenangkan Sava yang terlihat panik. "Elbert, temani Sava jalan-jalan ya. Dia kan sebentar di sini, lusa dia sudah harus berangkat ke Lithuania." Lanjutnya kemudian mengedipkan sebelah matanya pada Elbert. Sejenak Elbert mengernyitkan dahinya sebelum akhirnya memahami maksud mama tirinya.

Sepeninggalan tante Ria, Sava dan Elbert kembali dalam suasana hening dan canggung. Hingga Elbert membuka kembali pembicaraan, "aku minta maaf sekali lagi."

Sava menghela nafas, kemudian menerima bunga pemberian Elbert. "jangan keterlaluan padaku."

Elbert mengangguk sambil tersenyum manis, sebelah tangannya terulur untuk mengusap kepala Sava. Kemudian menarik lengan gadis itu, mensejajarkan langkah mereka bersama untuk memulai perjalanan menjelajah kota Munich.

"Kamu ingin mengajakku kemana?"

"Hari ini kita berdua akan menjadi turis." Jawab Elbert sembari menunjukan selebaran peta khusus untuk turis yang tadi dia ambil di meja resepsionis. "Kamu ingin kemana?"

Sava mengambil selebaran di tangan Elbert, dibukannya dan diperhatikan dengan seksama informasi yang ada di dalamnya. Jemari lentiknya mengurut setiap kalimat dalam Bahasa Inggris – karena dia tidak terlalu paham dengan Bahasa Jerman – sembari menggumamkan nama-nama tempat wisata.

"Karena kita adalah turis siang ini..." Sava memicingkan matanya, memfokuskan pada salah satu gambar gereja, yang menjadi ikon kota Munich, "kita mulai dari Frauenkirche. Bagaimana?"

Bagaimana Elbert bisa menolak usul Sava, jika gadis itu mengucapkannya dengan binar mata bahagia. Elbert tidak akan mendebat, dia mengangguk setuju, dan kembali menggandeng tangan Sava – takut gadis dengan bibir merah muda itu tersesat.

Sepanjang jalan mereka melewati banyak toko dan café, di beberapa sudut taman terlihat orang-orang yang sedang menikmati cuaca cerah siang itu, sembari membaca buku, mengobrol, atau bahkan sekedar bermain dengan anjing kesayangan mereka. Sesekali Sava berhenti untuk mengabadikan kegiatan warga Munich ataupun beberapa bangunan abad pertengahan di pusat kota yang dilewatinya.

"Apa kita boleh masuk?" Tanya Sava, matanya menyipit, berusaha melihat ke dalam gereja lewat celah pintu.

Elbert mengangguk, "kurasa boleh, karena sedang tidak ada ibadah."

Sava dan Elbert melangkah memasuki gereja Katholik Roma yang menjadi ikon kota Munich itu melalui pintu kayu besar yang berada di tengah Menara berkubah di bagian depan gereja.

Sejenak Sava terkagum dengan interior gereja, beratap tinggi yang disangga oleh pilar-pilar besar dan menjulang. Layaknya gereja pada umumnya, deretan bangku sebagai tempat duduk ataupun berlutu para jemaat gereja pun berderet rapi – beberapa orang terlihat sedang khusuk berdoa. Di sisi kanan dan kiri dinding gereja terdapat jendela kaca vertical di antara pilar penyangga, yang membiaskan cahaya dari luar bangunan, untuk menerangi sisi dalam gereja. Ada juga lampu-lampu kristal yang bergantung, menambah kesan elegan, namun juga tidak menghilangkan unsur klasiknya.

"Kamu tidak mau memotret?" tanya Elbert berbisik, agar tidak menganggu beberapa orang yang sedang berlutut - berdoa

"Kamu tidak mau memotret?" tanya Elbert berbisik, agar tidak menganggu beberapa orang yang sedang berlutut - berdoa.

Sava segera mengambil kamera poketnya dari dalam tas selempang, kemudian mengambil beberapa gambar interior gereja dari berbagai sudut.

"Gereja ini juga dikenal dengan nama Dom zu unserer Lieben Frau atau Church of Our Dear Lady. Bahkan awalnya ini hanya sebuah gereja kecil bernama Marienkirche."

Sava menghentikan kegiatan memotretnya, memandang Elbert, dia tertarik dengan penjelasan Elbert mengenai sejarah gereja ini. Melihat dahi Sava berkerut, dan rasa penasaran terpancar dari netranya, Elbert tersenyum, dan kembali melanjutkan ceritanya.

"Pembangunan gereja ini butuh waktu sekitar 20 tahun, kalau tidak salah. Aku juga lupa kapan tepatnya." Sava sesekali mengangguk mendengar penjelasan Elbert, "yang jelas di tahun 1400an."

Sava kembali membidikkan lensa kamerannya.

"Menara gereja ini adalah Menara tertinggi di Munich. Tingginya sekitar 99 meter." Lanjut Elbert.

"Hm...pantas saja. Kita bisa melihat kubah gereja ini dari berbagai sudut kota Munich."

"Benar itu."

Sava membalikan badannya, menghadap Elbert, diberikannya senyuman paling manis. "Kamu pintar sekali. Apa kamu menyukai pelajaran sejarah?"

"Ah, tidak juga. Aku hanya senang membaca."

"Benarkah?" tanya Sava, sambil terus melangkah mendekati Elbert.

Sava menghentikan langkahnya saat jaraknya dengan Elbert hanya tersisa sekitar dua jengkal tangan. Tangan Sava terulur ke arah Elbert. Mendadak tubuh Elbert menegang, jantungnya berdetak kencang. Apakah Sava akan memelukku? Seakan Sava baru saja memantrainya, Elbert diam mematung, menanti penuh harapan akan apa yang dilakukan Sava selanjutnya. Sebuah pelukan? Kedua tangan Sava semakin terulur ke belakang, wajahnya juga kian mendekat ke wajah Elbert, membuat pipi putih lelaki itu bersemu merah.

Tiba-tiba, SRET!

Tangan kanan Sava menarik sebuah kertas yang sedari tadi dipegang Elbert dan sengaja disembunyikan di balik punggungnya. Elbert tersentak, sedetik kemudian dia mencoba merebut kembali kertas yang kini sudah digenggam Sava.

"Sava kembalikan." Desis Elbert sambil terus berusaha meraih tangan Sava. Tapi gerakan tangan Sava lebih cepat dari Elbert. "Ayo kembalikan!"

Sava terus menghindar. Ia berjalan cepat menuju pintu keluar gereja. Sesampainya di luar, ia segera berlari sambil mengejek Elbert. "Apa ini, El? Kertas contekan?"

"Sava kumohon kembalikan." Elbert mulai menyerah.

Sava mendekati Elbert yang sudah berjongkok lemas tak jauh dari tempatnya berdiri sekarang. Sesekali dia masih tergelak, melihat tingkah Elbert. Dia ikut berjongkok di depan Elbert, ditengadahkannya wajah Elbert yang tertunduk murung.

"Hei, untuk membuatku kagum padamu, kamu tidak memerlukan ini." Ujar Sava sambil menunjukan kertas yang kini sudah kumal, "jadilah dirimu sendiri, itu sudah cukup." Sava kembali memberikan senyuman manisnya, menularkan senyum itu pada Elbert.

"Maaf." Sava mengangguk.

"Ayo, kemana kita sekarang, Mr. Tour Guide?" tanya Sava penuh antusias. Elbert kembali membuka selebaran turisnya dan menyerahkannya pada Sava yang kembali sibuk memilih tujuan.

"Kalau yang dekat mendingan kita Marienplatz, sekalian cari makan." Sava mengelus perutnya, "aku lapar."

Elbert melihat jam tangannya, "Lebih baik kita segera ke sana, kalau kamu ingin menonton Rathaus-Glockenspiel. Ayo!" Elbert langsung kembali menggandeng tangan Sava, menariknya menuju Marienplatz. Dengan senang hati Sava menyambut ajakan Elbert, diikutinya langkah lebar Elbert dengan sedikit berlari. Ditambah lagi dengan jantungnya yang terus berdegup kencang setiap kali Elbert menyentuhnya. Apa ini? Kenapa aku deg-degan? Apa menyukai Elbert?

 

Bersambung...

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • yurriansan

    Baru tau soal negaral baltic. :D

    Comment on chapter I. Leaving England
Similar Tags
Nyanyian Laut Biru
1919      681     9     
Fantasy
Sulit dipercaya, dongeng masa kecil dan mitos dimasyarakat semua menjadi kenyataan dihadapannya. Lonato ingin mengingkarinya tapi ia jelas melihatnya. Ya… mahluk itu, mahluk laut yang terlihat berbeda wujudnya, tidak sama dengan yang ia dengar selama ini. Mahluk yang hampir membunuh harapannya untuk hidup namun hanya ia satu-satunya yang bisa menyelamatkan mahluk penghuni laut. Pertentangan ...
SERENITY
5      5     0     
Romance
Tahun ini adalah kesempatan terakhir Hera yang berusia 20 tahun untuk ikut Ujian Nasional. Meskipun guru konselingnya mempertemukannya dengan seorang tutor, namun gadis ini menolak mentah-mentah. Untuk apa? Ia pun tidak memiliki gairah dan tujuan hidup. Sampai akhirnya ia bertemu Daniel, seorang pemuda yang ia selamatkan setelah terjadi tawuran dengan sekolah lain. Daniellah yang membuat Hera me...
Yu & Way
723      355     28     
Romance
Dalam perjalanan malamnya hendak mencari kesenangan, tiba-tiba saja seorang pemuda bernama Alvin mendapatkan layangan selembaran brosur yang sama sekali tak ia ketahui akan asalnya. Saat itu, tanpa berpikir panjang, Alvin pun memutuskan untuk lekas membacanya dengan seksama. Setelah membaca selembaran brosur itu secara keseluruhan, Alvin merasa, bahwa sebuah tempat yang tengah dipromosikan di da...
The Difference
7223      1638     2     
Romance
Diana, seseorang yang mempunyai nazar untuk berhijab setelah ada seseorang yang mengimami. Lantas siapakah yang akan mengimami Diana? Dion, pacar Diana yang sedang tinggal di Amerika. Davin, sahabat Diana yang selalu berasama Diana, namun berbeda agama.
Begitulah Cinta?
14891      2168     5     
Romance
Majid Syahputra adalah seorang pelajar SMA yang baru berkenalan dengan sebuah kata, yakni CINTA. Dia baru akan menjabat betapa hangatnya, betapa merdu suaranya dan betapa panasnya api cemburu. Namun, waktu yang singkat itu mengenalkan pula betapa rapuhnya CINTA ketika PATAH HATI menderu. Seakan-akan dunia hanya tanah gersang tanpa ada pohon yang meneduhkan. Bagaimana dia menempuh hari-harinya dar...
Ketika Kita Berdua
29458      4180     38     
Romance
Raya, seorang penulis yang telah puluhan kali ditolak naskahnya oleh penerbit, tiba-tiba mendapat tawaran menulis buku dengan tenggat waktu 3 bulan dari penerbit baru yang dipimpin oleh Aldo, dengan syarat dirinya harus fokus pada proyek ini dan tinggal sementara di mess kantor penerbitan. Dia harus meninggalkan bisnis miliknya dan melupakan perasaannya pada Radit yang ketahuan bermesraan dengan ...
Arganie
336      217     1     
Short Story
Aleisha and her friend, Alex went to a hidden place called Arganie.
Sekotor itukah Aku
328      243     4     
Romance
Dia Zahra Affianisha, Mereka memanggil nya dengan panggilan Zahra. Tak seperti namanya yang memiliki arti yang indah dan sebuah pengharapan, Zahra justru menjadi sebaliknya. Ia adalah gadis yang cantik, dengan tubuh sempurna dan kulit tubuh yang lembut menjadi perpaduan yang selalu membuat iri orang. Bahkan dengan keadaan fisik yang sempurna dan di tambah terlahir dari keluarga yang kaya sert...
LUCID DREAM
433      306     2     
Short Story
aku mengalami lucid dream, pada saat aku tidur dengan keadaan tidak sadar tapi aku sadar ketika aku sudah berada di dunia alam sadar atau di dunia mimpi. aku bertemu orang yang tidak dikenal, aku menyebutnya dia itu orang misterius karena dia sering hadir di tempat aku berada (di dalam mimpi bukan di luar nyata nya)
Sampai Kau Jadi Miliku
940      460     0     
Romance
Ini cerita tentang para penghuni SMA Citra Buana dalam mengejar apa yang mereka inginkan. Tidak hanya tentang asmara tentunya, namun juga cita-cita, kebanggaan, persahabatan, dan keluarga. Rena terjebak di antara dua pangeran sekolah, Al terjebak dalam kesakitan masa lalu nya, Rama terjebak dalam dirinya yang sekarang, Beny terjebak dalam cinta sepihak, Melly terjebak dalam prinsipnya, Karina ...