Read More >>"> BALTIC (Lost in Adventure) (II. GutenTag Stiefcousin! (Halo, Sepupu Tiri!)) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - BALTIC (Lost in Adventure)
MENU
About Us  

 

Dua jam waktu yang diperlukan untuk menempuh penerbangan dari London ke Memmingen - Jerman. Tanpa menunggu antrian bagasi, Sava langsung berjalan menuju pintu keluar. Seketika ia merasakan hembusan angin yang berhembus melalui pintu otomatis yang baru saja terbuka. Di antara deretan para penjemput, seseorang sedang mengangkat tinggi-tinggi kertas A3 bertuliskan 'Glückwunsch zur Freilassung aus dem Gefängnis, Koalaweibchen ' (Selamat datang dari penjara, Koala), Sava tahu benar kalau kertas itu ditujukan padanya. Seorang pemuda dengan kaos hitam dan jaket merah andalannya, langsung melambaikan tangan begitu melihat Sava. Elbert, sepupu tirinya yang menyebalkan! Bukannya merasa bersalah, pemuda itu malahan terkekeh melihat reaksi Sava yang menggerutu dengan wajah masam.

"Was machen sie? (Apa yang kamu lakukan?) I hate you!" Sava mengerucutkan bibirnya, mencubit gemas lengan Elbert.

"Verärgert?" (Marah?)

Tanpa mempedulikan panggilan pemuda bermata hijau itu, Sava terus melangkahkan kakinya sembari menggeret koper menuju parkiran mobil. Pandangannya menyapu area parkir, mencoba menemukan dimana mobil sepupunya ini berada. Memangnya kamu tahu yang mobilnya? Bodoh!

"Memangnya kamu tahu dimana mobilku?" tanya Elbert dengan senyuman jahil, "C'mon. I'm so sorry." Digandengnya tangan Sava menuju mobil Jip warna abu-abu milik Elbert, kemudian mereka melaju meninggalkan area bandara.

"Kamu ngga berubah ya? Masih sama, menyebalkan!" gerutu Sava sambil menyetel penghangat mobil, kemudian memandang keluar jendela mobil, mencoba mengalihkan perhatiannya pada deretan bunga löwenzahn - dandelion  di sepanjang jalan

"Kamu ngga berubah ya? Masih sama, menyebalkan!" gerutu Sava sambil menyetel penghangat mobil, kemudian memandang keluar jendela mobil, mencoba mengalihkan perhatiannya pada deretan bunga löwenzahn - dandelion di sepanjang jalan. Tubuhnya menggigil semenjak keluar dari area kedatangan. Di akhir Februari seperti saat ini, walau sudah masuk musim semi, suhu di Jerman masih dingin – apalagi untuk manusia daerah tropis seperti Sava, yang sering masuk angin. Meskipun tidak jauh berbeda dengan London, namun setidaknya di London lebih hangat – mungkin karena letak Inggris yang dekat dengan laut.

Elbert terkekeh mendengar omelan Sava. Dia merindukan omelan itu. Sudah hampir lima tahun dia tidak bertemu dengan Sava. Terakhir kali dia bertemu dengan Sava adalah saat papa dan mama tirinya – yang adalah tantenya Sava - mengajak berlibur ke Karimun Jawa. Itu juga pertama kali dia bertemu dengan Sava. Pertemuan awal yang begitu menyebalkan kalau diingat, Sava terus menempel seperti lintah.

"Kata tante Ria dan bunda, aku harus temenin kamu terus. Takutnya kamu nanti nyasar. Bahaya loh, kalau nyasar di sini."

Elbert yang saat itu sama sekali tidak mengerti Bahasa Indonesia hanya diam. Dia hanya memandang Sava malas, menganggap omongannya angin lalu.

"Maaf." Ucap Elbert dengan nada memohon. "O iya, kebetulan stiefmutter (ibu tiri) menyuruhku membeli keperluan dapur, kita mampir dulu ke supermarket, nanti sekalian aku belikan eskrim. Bagaimana?" Bujuk Elbert, dia tahu benar kalau eskrim adalah salah satu kelemahan Sava. Pasti Tante Ria yang memberitahu kalo aku suka es krim, but hey! Semua orang suka eskrim, kan?

Sava bergeming, dia bersedekap. Sebenarnya dia tidak benar-benar marah pada Elbert. Walau hanya seminggu bersama – saat pertemuan pertama mereka – Sava tahu, Elbert bukan seorang yang jahat, apalagi pendiam jika sudah mengenalnya dengan baik. Dia akan berubah menjadi manusia paling usil yang pernah ada, saat sudah akrab

"Kamu belajar Bahasa Indonesia? Sejak kapan?"

"Aku tidak mau menjawab kalau kamu masih marah." Sekuat tenaga Sava menahan tawanya mendengar logat bicara Elbert yang terdengar lebih aneh daripada Nina – saat gadis itu meneriakan kata 'kebo' pagi tadi.

"Baiklah. Aku tidak akan marah lagi." Ah Sava, kenapa kamu mudah sekali memaafkan?

Elbert tersenyum lebar melihat gadis di sebelahnya tidak lagi marah, "aku tidak belajar. Hidup bersama mama tiriku yang berasal dari Indonesia selama lima tahun lebih, sudah lebih dari cukup untuk menjadikanku ahli Bahasa Indonesia."

Sava mengangguk paham dengan jawaban Elbert, namun ada satu hal dalam kalimat Elbert yang sangat menggangu pikirannya. Elbert memanggil tante Ria dengan sebutan mama tiri. Memang benar, tante Ria adalah seorang janda yang ditinggal mati oleh suaminya. Kemudian dia memutuskan pergi traveling untuk melupakan kesedihan hatinya. Saat itulah dia bertemu dengan om Hans, papa dari Elbert yang juga seorang duda beranak dua, Elbert dan Edmund. Mereka akhirnya menikah dan memilih tinggal di Jerman. Mungkin Elbert masih belum menerima tante Ria sebagai mamanya. Mungkin karena dia masih mengharapkan orang tuanya kembali bersama.

------------------

Menjelang sore hari, Sava dan Elbert baru selesai berbelanja. Setelah menata sekitar 8 kantong belanja di bagasi, mereka kembali melanjutkan perjalanan menuju kota Dietmannsried, berjarak sekitar 25 km dari pusat kota Memmingen. Menempuh perjalanan sejauh itu, tak ada kata bosan dalam kamus Sava. Bukan hanya karena ada Elbert yang terus mengajaknya berbicara dengan logat Bahasa Indonesia yang aneh, tapi juga pemandangan musim semi sepanjang perjalanan yang memanjakan netra Sava. Sejauh mata memandang, hanya ada lahan terbuka hijau – dihiasi hamparan löwenzahn, beberapa rumah penduduk, dan hewan ternak yang sedang merumput.

"Stiefmutter memang terlalu berlebihan

"Stiefmutter memang terlalu berlebihan. Vater hanya migrain, namun keduanya bersikap seolah itu adalah penyakit mematikan. Aku rasa mereka sangat cocok, karena keduanya tipe manusia yang lebay."

Mendengar kata 'lebay' keluar dari mulut Elbert membuat Sava terkikik, dirinya tidak menyangka bahwa sepupunya ini bahkan tahu penggunaan kata gaul anak muda Indonesia. "Kamu bahkan tahu kata lebay. Hebat!" Sava mengacungkan kedua jempolnya pada Elbert yang kini memutar setir mobil untuk berbelok ke kanan. "Mereka pasti sangat saling mencintai, makanya saling mengkhawatirkan."

Perlahan mobil jip Elbert tak lagi melaju di jalan beraspal yang menghubungkan antara Memmingen- Dietmannsried. Jalanan berganti tanah berdebu saat Elbert membelokan setir mobil dan melaju di jalanan sempit, namun masih dihiasi hamparan dandelion. Jalanan berdebu sepanjang 100 meter yang menjadi jalan menuju rumah om Hans, papa Elbert.

"Apa masih lama?" tanya Sava sembari mengaduk tas selempangnya, mencari kamera poket baru miliknya – hadiah kelulusan dari Nina

"Apa masih lama?" tanya Sava sembari mengaduk tas selempangnya, mencari kamera poket baru miliknya – hadiah kelulusan dari Nina.

"Sebentar lagi. Di depan itu rumahku." Sebuah rumah bercat putih dengan beberapa jendela terlihat kecil di kejauhan, dikelilingi dengan rimbunnya pepohonan hijau yang beberapa diantaranya baru saja bersemi setelah meranggas di musim dingin kemarin.

"Kamu tinggal di sini? WOW! Indah sekali!" seru Sava girang sambil menekan tombol shutter kameranya beberapa kali. "Kalau aku tinggal di rumah seperti ini, aku pasti akan sangat betah. Dikelilingi bunga saat musim semi datang, tumpukan salju di musim dingin, dedaunan warna-warni di musim gugur, dan terpaan hangat matahari saat musim panas."

"Kamu bisa tinggal di sini, selama kamu mau

"Kamu bisa tinggal di sini, selama kamu mau. Bahkan selamanya juga boleh."

"Benarkah? Selama aku mau?" Sava membulatkan matanya saat mendengar tawaran Elbert.

Bersama dengan Sava yang masih terpesona dengan pemandangan di depannya, kini mobil jip abu-abu itu berbelok memasuki pekarangan rumah, dan langsung berhenti di carport. Sava turun menjejakan kakinya di tumpukan kerikil, lalu melangkah menuju bagasi mobil di bagian belakang, membantu Elbert menurunkan koper dan kantong belanja mereka.

"Sepertinya papa dan mama tiri sedang keluar. Mungkin mereka ke klinik." Terang Elbert saat mendapati pintu rumahnya terkunci. Kemudian merogoh saku celana kirinya, memasukan anak kunci yang digantung bersamaan dengan kuncil mobilnya. Aroma lavender seketika menyeruak memenuhi indera penciuman Sava. Kesukaan tante ngga berubah, masih suka dengan aromatherapy lavender.

Sava meletakkan beberapa kantong belanja di atas meja dapur, kemudian menggeret kopernya memasuki ruang tamu yang tepat bersebelahan dengan dapur. Pandangan Sava menyapu ruang berdinding kayu yang ditata rapi berisikan satu set sofa kulit yang membentuk setengah lingkaran di depan perapian. Sebuah TV layar cekung dengan ukuran 30inchi ada di atasnya, bersebelahan dengan beberapa foto keluarga yang dipajang rapi dengan frame berbentuk bundar. Tepat di tengah ruangan tergantung lampu kristal dengan warna lampu kekuningan, menambah kesan hangat. Beberapa langkah di sebelah kiri, ada sebuah tangga menuju lantai atas yang juga terbuat dari kayu.

"Ayo, aku antar ke kamarmu dulu. Setelah itu kita merapikan dapur." ujar Elbert sembari mengambil alih koper Sava, "kamu tidak lupa kan, ada delapan kantong belanja yang perlu kita kosongkan?" lanjutnya terkekeh, kemudian mulai menaiki anak tangga. Langkah keduanya berhenti tepat di depan sebuah pintu kamar yang terletak di sisi kanan tangga.

"Ngga ada kamar tamu di rumah ini, karena papa merenovasinya untuk dijadikan klinik. Jadi selama di sini kamu akan tidur di kamar Edmund." Jelas Elbert, sambil menunjuk pintu kamar Edmund. "Yang di depan itu kamarku, dan di sebelahnya adalah kamar para orang tua. Di sebelah kamarmu, ini adalah kamar mandi."

Sava mengangguk, lalu Elbert membuka pintu kamar Ed, mempersilakan Sava masuk terlebih dahulu. Kamar loteng bercat putih milik Ed isinya tertata sangat rapi dan berkesan modern minimalis – bahkan sepertinya tidak pernah ditempati. Hanya berisi sebuah ranjang, TV, dan beberapa perabot minimalis.

"Bersihkan dulu dirimu, cuci muka mungkin

"Bersihkan dulu dirimu, cuci muka mungkin. Biar ngga kumal." Ejek Elbert sambil mencubit gemas pipi Sava. "Aku masukan sisa kantong ke dapur dulu. Jangan lama-lama." Lanjutnya, kemudian keluar meninggalkan Sava yang masih mengusap pipinya yang merona.

Sava menarik kopernya, menyandarkannya di sebelah gitar akustik yang tersandar di sisi ranjang. Perlahan dia terduduk di kasur empuk dengan sprei berwarna biru, pandangannya kembali mengedar. Orang seperti apa Ed ini?

Satu hal yang baru disadari Sava, tak ada satupun foto pemuda seumuran dirinya – karena kata Elbert, Sava dan Edmund sebaya – berada di rumah ini. Sedari tadi dia memperhatikan foto yang terpajang di ruang tamu hingga dinding di samping anak tangga, hanya ada foto om Hans, Elbert, dan tante Ria.

-------------------

"Sudah lebih segar?" tanya Elbert saat melihat Sava sudah duduk manis di kursi tinggi sebelah meja dapur. Tangan kanannya meraih apel yang baru saja dicuci oleh Elbert dan ditata rapi di dalam sebuah mangkok buah, menggigitnya kecil sambil mengangguk. "Kamu hanya makan? Tidak mau membantu."

Sava tersenyum, kemudian membantu mengeluarkan barang-barang belanjaan dari kantong, sedangkan Elbert menatanya di kulkas atau lemari dapur – karena dia yang lebih paham letak masing-masing barang.

"Sebentar lagi papa pulang. Stiefmutter katanya akan memasak makan malam untuk kita. Khusus untuk menyambutmu, masakan Indonesia."

"Benarkah? Asik! Aku sangat ingin makan masakan ala Indonesia. Apalagi nasi padang."

"Nasi Padang?"

Sava mengangguk mantap, "makan nasi padang kapapun tidak pernah salah. Akan selalu enak, apalagi ayam pop dan rendang."

"Sepertinya enak sekali. Aku juga ingin mencobanya."

"Harus!" jawab Sava mantap sambil mengepalkan kedua tangannya di dadanya. "Kamu ngga akan menyesal."

"Kamu akan mentraktirku?" goda Elbert, disambut anggukan dari Sava.

"O iya, El, aku ingin berjalan-jalan di sekitar sini." Ujar Sava sembari menunjukan kamera poketnya.

"Ayo, aku temani. Tadinya aku juga ingin mengajakmu, tapi takut kamu lelah."

Sava langsung melompat turun mengikuti langkah keluar Elbert menuju carport. Berjalan sedikit memutar di jalan setapak tanah dan berbatu, menuju bagian belakang pekarangan rumah yang ditumbuhi pepohonan.

"Ini tempatmu bermain?" tanya Sava penasaran dan spontan saat melihat ayunan usang yang masih berdiri di antara pepohonan. Elbert menghentikan langkahnya, kemudian berbalik menatap Sava, "Ya, papa membuatkan ini sebagai hadiah ulang tahun Ed. Dia merengek meminta dibuatkan taman bermain ini, agar aku mau bermain dengannya di rumah, bukan dengan teman-temanku."

Sava mencoba mensejajari langkah Elbert yang lebar, seakan satu langkah Elbert adalah akumulasi dari dua langkah kaki Sava

Sava mencoba mensejajari langkah Elbert yang lebar, seakan satu langkah Elbert adalah akumulasi dari dua langkah kaki Sava. "Kurasa Ed hanya sangat kesepian. Sama seperti diriku, kak Shaka juga tidak mau bermain denganku waktu kecil, sampai ayah dan bunda memaksanya untuk mengajakku bermain."

"Dua tahun setelah papa dan mama bercerai, Ed jarang pulang. Hanya beberapa kali, hingga akhirnya menjadi tidak pernah sama sekali setelah dia masuk kuliah." Mata Elbert menerawang jauh kedepan saat menceritakan adiknya. Ada gurat kesedihan, kecewa, juga rindu tergambar di wajahnya.

"Mungkin dia sibuk dengan kuliahnya." Sava berusaha menghibur.

Elbert tersenyum, "ya, mungkin saja." Kemudian ia kembali menerawang jauh, melamun.

"Wah, sapi!!!" seru Sava sambil menunjuk beberapa ekor sapi yang sedang merumput, tak jauh dari tempatnya berdiri sekarang. "Apa itu sapi-sapi ternakmu?" lanjutnya sembari mengambil beberapa gambar.

"Memangnya di tempatmu tidak ada sapi?" Elbert mengernyitkan dahinya, melihat sikap heboh Sava setiap kali melihat sapi

"Memangnya di tempatmu tidak ada sapi?" Elbert mengernyitkan dahinya, melihat sikap heboh Sava setiap kali melihat sapi.

"Di Jakarta? Tentu saja tidak ada! Yang ada hanya beton bangunan! Mana ada di Jakarta pemandangan sapi sedang merumput."

"Itu sapi milik papa. Dia adalah seorang tierarzt – dokter hewan. Sapi adalah hewan favoritnya." Sava mengangguk sambil terus menekan tombol shutter kameranya beberapa kali. "Ada pemuda tampan di sebelahmu, tapi kenapa yang kamu potret malahan sapi?"

Sava seketika berhenti dari kegiatan memotretnya, kemudian menoleh ke Elbert, "Maaf." Dirangkulnya pundak Elbert, ditariknya tubuh jangkungnya agar menunduk sejajar dengan tinggi Sava, "Say kejuuuu!" seru Sava setelah mengarahkan lensa kamera untuk selfi, kemudian menekan tombol shutter.

"Rencanamu berapa hari di sini?"

"Dua hari mungkin. Setelah itu aku akan traveling ke negara Baltik."

"Sendirian?" ada nada takjub sekaligus terkejut dalam kalimat tanya Elbert kali ini. Sava kembali mengangguk. "Bolehkah aku..."

Elbert belum sempat menyelesaikan kalimatnya, saat ponselnya berdering, dari papanya yang menyuruh mereka untuk segera kembali ke rumah, karena stiefmutter ingin segera menemui Sava. Keduanya langsung memutuskan kembali ke rumah.

"SAVAAAAAA!!!!" teriak seorang wanita setengah baya dengan rambut hitam keritingnya, menyambut Sava dengan pelukan hangat. "Tante kangen banget! Seneng deh, kamu main. Kamu ini ya, sekolah di London, tapi kalau liburan ngga pernah main ke sini. Tante kan jadi sedih. Pokoknya kamu harus tanggung jawab. Tante marah sama kamu." Beginilah kebiasaan tante Ria, seperti kereta api kalau sudah berbicara, apalagi mengomel – tak terhentikan.

"Maaf tante, habisnya jam kuliahnya padat." Jawab Sava sambil melepas pelukan tante Ria. Ditatapnya kedua manik mata milik tantenya, pendar kebahagiaan kembali terpancar di sana. Sava ikut bahagia karenanya.

"Iya, tante maafin. Sebagai gantinya, kamu harus lama nginep di sini. Nanti tante ajakin kamu jalan-jalan keliling Jerman. Kamu masih ngefans sama Bayern Munich, kan? Lusa ada pertandingan mereka. Kita nonton, tante sudah belikan tiketnya. Kita berempat nonton bersama."

"Tapi, tante..."

"Ngga ada tapi-tapian, pokoknya kamu mesti ikut! Bunda kamu sudah cerita semua tentang keinginan kamu untuk berlibur, tapi tante mohon, kali ini kamu ikut nonton pertandingan sama kita. Lagipula selain tante yang sangat kangen sama kamu, ada yang lain juga yang ngga kalah kangen. Bahkan sejak mendengar kamu mau dateng, dia udah mirip cacing kepanasan!"

"Siapa, tan?"

"Siapa lagi, ya..."

"Sava, kamu sudah bertemu dengan papa?" potong Elbert tiba-tiba. Sava menoleh sejenak, memandang jauh ke belakang tante Ria, pada sosok tinggi dan sedikit gemuk, dengan rambut hitamnya, om Hans. Sava melangkah menuju om Hans dan memeluknya.

"Apa kabar, om?"

"Baik. Kamu sendiri bagaimana?" Logat Bahasa Indonesia om Hans terdengar lebih baik daripada Elbert, meskipun masih sedikit aneh di telinga Sava.

Sava merentangkan kedua lengannya, "baik juga."

Tante Ria menarik lengan Sava, "Tante belum selesai cerita. Jadi yang..."

"Stiefmutter, aku sudah membeli semua bahan yang diperlukan untuk memasak makanan Indonesia. Sudah kutata rapi." Potong Elbert lagi. Tante Ria mengangguk mengerti dengan tak sabaran, sembari memberikan kode dengan tangannya, menyuruh Elbert untuk diam dan tidak lagi memotong kalimatnya.

Baru saja tante Ria akan melanjutkan kalimatnya, om Hans sudah lebih dulu menarik lengan tante Ria dan membawanya ke dapur. "Sekarang sudah waktunya kamu memasak, sayang. Nanti kita telat makan malam. Biar Sava istirahat dulu. Masih ada hari esok, buat kangen-kangenan."

Tante Ria menghela nafas, "Sava, kamu siap-siap aja buat makan malam. Nanti kita lanjutkan lagi ngobrolnya."

Samar-samar Sava masih bisa mendengar tante Ria mengomel dari dapur karena om Hans baru saja menjatuhkan sebutir telur ke lantai. Elbert dan Sava hanya tersenyum mendengarnya.

 

 

Bersambung...

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • yurriansan

    Baru tau soal negaral baltic. :D

    Comment on chapter I. Leaving England
Similar Tags
Nyanyian Laut Biru
1919      681     9     
Fantasy
Sulit dipercaya, dongeng masa kecil dan mitos dimasyarakat semua menjadi kenyataan dihadapannya. Lonato ingin mengingkarinya tapi ia jelas melihatnya. Ya… mahluk itu, mahluk laut yang terlihat berbeda wujudnya, tidak sama dengan yang ia dengar selama ini. Mahluk yang hampir membunuh harapannya untuk hidup namun hanya ia satu-satunya yang bisa menyelamatkan mahluk penghuni laut. Pertentangan ...
SERENITY
5      5     0     
Romance
Tahun ini adalah kesempatan terakhir Hera yang berusia 20 tahun untuk ikut Ujian Nasional. Meskipun guru konselingnya mempertemukannya dengan seorang tutor, namun gadis ini menolak mentah-mentah. Untuk apa? Ia pun tidak memiliki gairah dan tujuan hidup. Sampai akhirnya ia bertemu Daniel, seorang pemuda yang ia selamatkan setelah terjadi tawuran dengan sekolah lain. Daniellah yang membuat Hera me...
Yu & Way
723      355     28     
Romance
Dalam perjalanan malamnya hendak mencari kesenangan, tiba-tiba saja seorang pemuda bernama Alvin mendapatkan layangan selembaran brosur yang sama sekali tak ia ketahui akan asalnya. Saat itu, tanpa berpikir panjang, Alvin pun memutuskan untuk lekas membacanya dengan seksama. Setelah membaca selembaran brosur itu secara keseluruhan, Alvin merasa, bahwa sebuah tempat yang tengah dipromosikan di da...
The Difference
7225      1638     2     
Romance
Diana, seseorang yang mempunyai nazar untuk berhijab setelah ada seseorang yang mengimami. Lantas siapakah yang akan mengimami Diana? Dion, pacar Diana yang sedang tinggal di Amerika. Davin, sahabat Diana yang selalu berasama Diana, namun berbeda agama.
Begitulah Cinta?
14895      2168     5     
Romance
Majid Syahputra adalah seorang pelajar SMA yang baru berkenalan dengan sebuah kata, yakni CINTA. Dia baru akan menjabat betapa hangatnya, betapa merdu suaranya dan betapa panasnya api cemburu. Namun, waktu yang singkat itu mengenalkan pula betapa rapuhnya CINTA ketika PATAH HATI menderu. Seakan-akan dunia hanya tanah gersang tanpa ada pohon yang meneduhkan. Bagaimana dia menempuh hari-harinya dar...
Ketika Kita Berdua
29458      4180     38     
Romance
Raya, seorang penulis yang telah puluhan kali ditolak naskahnya oleh penerbit, tiba-tiba mendapat tawaran menulis buku dengan tenggat waktu 3 bulan dari penerbit baru yang dipimpin oleh Aldo, dengan syarat dirinya harus fokus pada proyek ini dan tinggal sementara di mess kantor penerbitan. Dia harus meninggalkan bisnis miliknya dan melupakan perasaannya pada Radit yang ketahuan bermesraan dengan ...
Arganie
336      217     1     
Short Story
Aleisha and her friend, Alex went to a hidden place called Arganie.
Sekotor itukah Aku
328      243     4     
Romance
Dia Zahra Affianisha, Mereka memanggil nya dengan panggilan Zahra. Tak seperti namanya yang memiliki arti yang indah dan sebuah pengharapan, Zahra justru menjadi sebaliknya. Ia adalah gadis yang cantik, dengan tubuh sempurna dan kulit tubuh yang lembut menjadi perpaduan yang selalu membuat iri orang. Bahkan dengan keadaan fisik yang sempurna dan di tambah terlahir dari keluarga yang kaya sert...
LUCID DREAM
433      306     2     
Short Story
aku mengalami lucid dream, pada saat aku tidur dengan keadaan tidak sadar tapi aku sadar ketika aku sudah berada di dunia alam sadar atau di dunia mimpi. aku bertemu orang yang tidak dikenal, aku menyebutnya dia itu orang misterius karena dia sering hadir di tempat aku berada (di dalam mimpi bukan di luar nyata nya)
Sampai Kau Jadi Miliku
940      460     0     
Romance
Ini cerita tentang para penghuni SMA Citra Buana dalam mengejar apa yang mereka inginkan. Tidak hanya tentang asmara tentunya, namun juga cita-cita, kebanggaan, persahabatan, dan keluarga. Rena terjebak di antara dua pangeran sekolah, Al terjebak dalam kesakitan masa lalu nya, Rama terjebak dalam dirinya yang sekarang, Beny terjebak dalam cinta sepihak, Melly terjebak dalam prinsipnya, Karina ...