Read More >>"> Silver Dream (Holiday Time) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Silver Dream
MENU
About Us  

HOLIDAY TIME

'Waktu liburan ini membuatku sadar bahwa kau sangat beharga.'

    Liburan sesungguhnya telah tiba. Perjalanan telah berakhir di salah satu destinasi pertama liburan yang telah terjadwal. Pantai Kuta, we are coming for you! Para anggota klub dance berlari kencang menyusuri lembutnya pasir putih. Sosok Alvin berteriak kegirangan bersamaan dengan langkahnya yang paling depan di antara teman-temannya. Siapapun yang melihat Alvin pasti akan terkekeh geli. Tingkahnya seperti hewan liar yang dilepas dari pengukungannya.
    Di belakang Alvin, menyusul beberapa rekan lainnya. Mereka semua takjub dengan sambutan hangat sunshine di pantai Kuta. Bahkan jendela dunia mereka tak bisa tertutup sedikitpun karena keindahan eksotisnya.
    Topeng yang dikenakan Marcel terlepas. Tak dapat dipungkiri ketakjubannya hanya berlangsung sekejap. Berjalan diposisi paling belakang, pandangan Marcel tak bisa lepas dari seorang Joo. Selama perjalanan Joo selalu menghindar darinya, mengabaikan keberadaannya, dan bersikap canggung saat ia mendekatinya. Joo seperti memendam sesuatu tentangnya. Apakah kesalahpamahaman yang Marcel tak mengerti itu masih membekas dalam hati Joo?
    Jauh disana Marcel dapat melihat punggung Joo yang berjalan pelan. Jelas sekali langkahnya tak bergairah meski disampingnya Greeze merangkul bahunya. Kedekatan kedua sahabat itu membuat Marcel sulit untuk mendekati Joo. Sebenarnya Marcel tak keberatan jika tiba-tiba ikut bergabung dengan kedua gadis itu. Akan tetapi Marcel merasa tak enak pada Greeze. Marcel tahu Greeze pasti juga sudah mengetahui tentang kabar retaknya hubungannya dengan Joo. Apalagi akhir-akhir ini Greeze selalu berusaha menjadi penghalangnya mendekati Joo.
    Sampai sekarang ini Marcel belum juga mengetahui sebab Joo marah padanya. Marcel tak tahu dimana letak kesalahannya. Terkadang memikirkan itu semua membuatnya gila sendiri. Bayangkan saja, memikirkan hal yang kita tidak tahu apa yang harus dipikirkan. Terdengar rumit bukan?
    "It's holiday, bro!"
    Percikan air mengenai wajah kusut Marcel. Rupanya dia adalah Alvin. Lelaki itu telah bertelanjang kaki dan asyik bermain air di bibir pantai. Senyum ramah menghiasi wajahnya. Mudah bagi seorang Alvin untuk bersosialisasi dengan orang baru. Bahkan tanpa sedikitpun keraguan Alvin menarik tangan Mracel mendekat ke arahnya.

   "Kau lihat, mentari sudah menyambut kita dengan sinar terangnya. Kenapa wajahmu memelas sekali. Sayang sekali padahal kau tampan." Alvin berucap sembari menatap lurus ke depan tepatnya arah mentari terbit. "Meski masih tampanan aku." kikik Alvin kemudian.

    Celotehan Alvin tak begitu berbobot bagi Marcel. Terbukti Marcel hanya menghembuskan napas gusar. Lelaki itu menundukkan kepalanya lalu kembali menatap lurus ke depan.
    "Tak kusangka kau lebih dingin darinya!" kesal Alvin menunjuk Fredy yang telah berdiri menggenggam erat kedua tangannya seolah tengah memanjatkan doa di depan sang mentari. "Fredy yang terkenal cuek saja bisa menikmati liburannya, kenapa kamu tidak?"
    "Guys! Yuk, kita sarapan dulu!"
    Ketiga lelaki itu sontak membalikkan tubuh mereka untuk mencari sumber suara. Tak jauh dari mereka Greeze melambaikan tangan agar teman-teman lainnya menghampirinya. Pasalnya mereka akan memanjakan para cacing di perut dengan sajian makanan kaya protein di tempat makan tradisional dekat kawasan pantai.
    Mendengar kata sarapan, konsentrasi Fredy langsung buyar. Tanpa menunggu aba-aba dari kedua lelaki disampingnya, ia berlari kencang menghampiri Greeze. Ya, Fredy benar-benar lapar sekarang. Sikap Fredy yang berbanding terbalik dari biasannya berhasil mengundang keterkejutan dan wajah cengo Alvin dan Marcel.
***
    Sarapan yang lezat di pagi hari. Restoran yang ditawarkan menjadi tempat makan sungguh memuaskan dengan menyajikan berbagai makanan tradisional khas Bali. Para pelayan yang memakai udeng semakin memperkental suasana.

    Entah kebetulan atau apa Fredy duduk tepat dihadapan Joo. Tak bisa disangkal kalau Fredy memperhatikan gadis itu. Ada yang aneh dengan Joo. Sejak tadi gadis itu sama sekali tak menyentuh makanannya. Ralat! Hanya menyuapkan beberapa sendok makanan ke dalam mulutnya sebelum mengabaikannya. Bahkan untuk makanan penutup ia sama sekali tak memandangnya. Apa Joo tidak kelaparan? Fredy saja sudah tak jaim lagi kalau soal makanan.
    Fredy menatap sekeliling. Teman-teman lainnya asyik menikmati makanan mereka. Sepertinya tidak ada menyadari kejanggalan sikap Joo. Diam-diam Fredy mencuri pandang ke arah Joo. Tatapan gadis itu kosong, kerutan tipis menghiasi dahinya, dan bibirnya merintih pelan. Mungkin tak terlalu terdengar karena kebisingan di meja makan. 
    Dalam pengamatan Fredy, Joo meminta ijin pada Greeze yang duduk disampingnya untuk pergi ke toilet. Tangan Joo tak pernah lepas dari perutnya selama ia berjalan. Apa perut Joo sakit? Itukah alasannya tidak makan? Oh my, kenapa Fredy jadi penasaran segala hal tentang Joo sekarang? Rasa penasaran Fredy justru semakin menjadi tatkala melihat Marcel yang juga turut ijin untuk pergi ke toilet. Rasanya kedua orang itu saling memiliki keterkaitan. Lagi-lagi Fredy berusaha menepis rasa ingin tahunya. Untuk apa ia peduli pada masalah orang lain?
    "Setelah ini kita akan stay disini sebentar terus melanjutkan perjalanan ke tempat pertunjukkan barong dan terakhir kita pergi Pantai Nusa Dua sekalian menempati hotel sebelum kembali memulai aktivitas lagi esoknya." jelas Greeze usai memastikan semuanya telah selesai makan.
    Kemudian satu demi satu para anggota klub dance memilih untuk meninggalkan restoran dengan berbagai alasan. Ada yang ingin bermain ataupun berbenah diri sehingga hanya tersisa Greeze, Alvin, dan Fredy. Ketiga orang itu diam dalam keheningan.
    "Kalian nggak mau senang-senang di luar?" heran Greeze pada kedua lelaki di depannya.
    "Kak Greeze sendiri? Nggak ingin keluar?" tak menjawab, Alvin malah melempar pertanyaannya pada Greeze.
    Greeze tersenyum tipis. "Sebentar lagi keluar kok, ini lagi nunggu Joo keluar dari toilet."
    "Apa sih yang sebenarnya ia lakukan disana?" 
    Sontak seluruh mata tertuju pada Fredy. Makhluk gaib apa yang telah merasuki tubuhnya. Tumben sekali Fredy mengungkapkan perhatiannya pada orang lain, terutama pada lawan jenisnya. Semua orang dalam klub dance yang baru kenal saja tahu bahwa Fredy tipikal lelaki yang dingin namun sangat hangat jika sudah berhasil menarik hatinya.
    "Fredy, kau baik-baik saja?" kejut Alvin menempelkan punggung tangannya pada dahi Fredy.
    Tatapan tak percaya dari kedua temannya membuat Fredy risih. Kedua orang di dekatnya ini benar-benar layak mendapatkan predikat alay bin lebay. Fredy juga sempat merenungkan apa yang akan dikatakan sebelum ia berbicara. Respon temannya terlalu berlebihan.
    "Mengapa? Apa ada yang salah?" heran Fredy menatap datar Alvin dan Greeze bergantian.
    Greeze menggelengkan kepalanya pelan. Raut wajahnya tiba-tiba khawatir. "Kurasa aku harus menjemput Joo!" 
    Kepergian Greeze meninggalkan suasana tegang diantara Fredy dan Alvin. Keheningan dengan murni tercipta. Alvin menatap Fredy heran, masih penasaran dengan perubahan sikap Fredy. Apakah Fredy telah membuka hatinya dan berhasil lepas dari bayangan masa kelamnya? Jika benar, Joo adalah seorang bulan yang mampu memberikan sinar pada langit gelap tanpa cahaya.
    "Cie.. yang sampai kesal sendiri perhatiin Kak Joo!" goda Alvin mencoba mencairkan suasana. "Cewek gila itu ternyata berhasil menghapus bayangan masa kelammu." ejek Alvin.
    "Berisik!" seru Fredy tegas.
    "Tahu begini aku bisa mencarikanmu kesempatan untuk berada di dekatnya daripada merhatiin diam-diam seperti ini." heboh Alvin.
    Serpihan kenangan-kenangan pahit tentang Joo terlintas di benak Fredy. Gadis itu terlalu berbahaya jika dibiarkan sendirian. Dari awal pertemuannya dengan Joo, gadis itu sangat rapuh-menangis dan mencurahkan segala kegelisahan-di depan orang yang baru dikenal. Mengenaskannya lagi, Joo bahkan beberapa kali mencoba membunuh dirinya. Terakhir, kemarin Fredy sempat melihat Joo memasukan beberapa kapsul ke dalam mulutnya hingga ia yang mengabaikan sarapan pagi.
***
    Aliran air mengalir deras melarutkan cairan darah yang baru saja keluar dari mulut Joo. Joo menyeka bibirnya. Pantulan wajah pucat pasinya terpancar dari cermin di depannya. Joo memegang dadanya.
    "Sakit.." rintih Joo.
    Dada Joo terasa sesak. Hatinya sakit. Firasatnya mengatakan bahwa hal buruk akan terus menghantuinya. Untuk pertama kalinya Joo kembali merasakan hal seperti ini usai empat tahun yang lalu-dimana Rafa memutuskan bekerja di rumah sakit Singapura dan kedua orangtua yang memasukkannya ke fakultas kedokteran. Salah satu penyebab terbesar Joo depresi dan membenci keluarganya.
    "Joo!"
    Greeze berlari menghampiri Joo yang diam termenung di depan cermin. Mimik wajah dan bahasa tubuh Joo mengundang kekhawatiran Greeze untuk tidak mengguncang bahu Joo. "Joo, kau kenapa? Wajahmu pucat sekali! Tubuhmu juga panas!"
    Dalam hati Joo sungguh berterima kasih pada Greeze. Hanya dialah satu-satunya orang yang selalu memperhatikannya meski Joo sering membuatnya resah. Joo tersenyum hambar. Senyum yang lebih seperti senyum kepedihan.
    "Oh ya, aku lupa kalau kita akan bersenang-senang." ucap Joo datar. "Ayo keluar dan pergi bermain." Joo berjalan keluar dari toilet terlebih dahulu.
    Apa-apaan Joo, ia berucap seperti robot. Kata-kata yang seharusnya ia ucapkan penuh suka cita malah terdengar datar tanpa sedikitpun intonasi semangat. Jangan-jangan asumsi yang Greeze bangun selama ini benar? Dari awal Greeze juga takut untuk mengambil keputusan tentang liburan ini.
    "Apa karena Marcel kau seperti ini?" lantang Greeze tak tahan dengan sikap aneh Joo.
    "Aku tahu ini salahku! Tak seharusnya aku mengacaukan liburanmu!" sesal Greeze.
    Langkah Joo terhenti. Dari belakang Greeze dapat melihat bahwa Joo menundukkan kepalanya. Tatapan Greeze semakin teduh saat Joo tanpa disangka membalikkan tubuhnya. Seulas senyum tipis terpancar dari wajah Joo. Apa makna dari senyuman itu? Akhir-akhir ini Greeze semakin sulit memahami Joo.
***
    Batu Bulan. Destinasi selanjutnya liburan tim dance. Seorang pertugas loket memberikan tiket masuk pada Joo. Dengan langkah berat Joo bergerak menghampiri Greeze yang dengan setia menantinya. Sikap Greeze sekarang sudah seperti seorang ibu yang protektif terhadap anaknya
    "Joo, nonton disebelahku saja yuk!"
    "Astaga!" kedatangan Marcel mengejutkan Joo. Bagaimana tidak, lelaki itu tiba-tiba saja datang merangkul bahunya. Bahkan sekarang Joo merasakan Marcel mengusap lembut bahunya.
    "Cowok jahat! Menjauh dari Joo! Waktu Joo sudah kusita untuk bersamaku!" heboh Greeze melepaskan tangan Marcel dari bahu Joo.
    Lagi dan lagi Greeze sudah bertekad akan membuat Joo menikmati liburannya. Kesalahan kedua tak akan kembali terulang. Greeze tak akan membiarkan Joo pergi seorang diri apalagi berdua bersama Marcel. Tidak akan! Tidak ada yang mengetahui kapan badai akan datang. Jadi, lebih baik berwaspada.

   Tatapan tajam Greeze membuat Marcel risih. Sejak awal Marcel sadar bahwa Greeze adalah penghalang usahanya untuk kembali memperbaiki hubungannya dengan Joo. Kehadiran Greeze di dekat Joo semakin membuat Marcel kesal saja.

    "Apa?! Tak cukup kau menyakiti hati Joo?" tantang Greeze mengangkat dagunya.
    "Greeze, aku tak bermaksud apa-apa. Setidaknya biarkan aku ikut nonton di dekat kalian," mohon Marcel dengan wajah memelasnya.
    "Salah siapa gantiin liburan adikmu. Udah tahu gak deket sama anak klub dance nekat berangkat liburan. Udah gitu gak mau berbaur dengan teman-teman lain. Tiap saat hanya memandangi Joo diam-diam. Lama-lama aku jadi takut kau berada di dekat Joo. Sudah ah, apa peduliku padamu," ucap Greeze sebisa mungkin menahan emosinya agar tidak membeludak.
    Greeze berlalu menarik tangan Joo. Kedua gadis itu memasuki tempat pertunjukkan barong-menyusul teman-teman lain yang telah masuk terlebih dahulu. Dapat Greeze rasakan genggaman tangan Joo lepas darinya. Fokus Greeze tertuju pada Joo. Kedua manik mata mereka bertemu. Joo memejamkan matanya sejenak dan menghembuskan napasnya.
    "Terima kasih, Greeze."
    Sebelah alis Greeze terangkat. Ucapan Joo sarat akan makna. Terlalu banyak makna dalam kata terima kasih. Greeze tak bisa memahaminya.
    "Ayo segera masuk, nanti kita gak dapat tempat duduk jika kelamaan disini!"
    Untuk kedua kalinya Joo meninggalkan teka-teki pada Greeze. Sikapnya menjadi sulit ditebak. Tiba-tiba sedih dan menangis, ada kalanya ia berubah menjadi seorang yang lembut seperti Joo yang Greeze kenal dulu. Dua pekan tak bertemu membawa perubahan berarti pada diri dan sifat Joo.
    "Kak Greeze! Kak Joo! Kami disini!"
    Seruan lantang memancing perhatian kedua gadis yang baru menapaki teater. Atensi kedua gadis itu berpendar cukup lama mencari sumber suara. Alvin melambaikan tangan dan tersenyum lebar pada mereka-memberikan Greeze dan Joo sinyal agar duduk di dekat mereka. Seperti biasa, disamping Alvin ada Fredy yang berkutat dengan ponselnya.
    "Joo, kita duduk di dekat Alvin dan Fredy ya!"
    Pilihan yang tepat. Ruang yang tersisa di sebelah Fredy duduk hanya cukup menampung dua orang. Saat ini Joo duduk tepat di samping Fredy. Tak dapat dipungiri jarak diantara keduanya sangat dekat. Lengan mereka bahkan saling bersentuhan. Entah kenapa, Joo merasa nyaman dan aman di dekat Fredy. Aura dingin Fredy tak lagi terasa. 
    Tiada seorang pun yang mengetahui bahwa sedari tadi Alvin tertawa geli melihat Joo memilih duduk di samping Fredy. Alvin percaya bahwa Fredy menyimpan perhatian pada Joo. Mungkin keduanya bisa ditakdirkan untuk bersama?
    Dengan usil Alvin menyikut lengan Fredy. "Dia kelihatan tidak baik-baik saja tuh, ini semua pasti gara-gara kamu!"
    Fredy tak bergeming. Kepalanya perlahan sedikit memutar untuk menatap Alvin. Tatapan polos penuh tanda tanya. Sesekali sebelah alisnya berkerut.
    "Kau tak ingat kau telah menorehkan luka padanya? Kau sering membuatnya menangis karena sikap dan ucapanmu!" Alvin berucap seolah menuduh Fredy.
    "Benarkah?"
    Alvin menganggukkan kepalanya. "Kau harus mengembalikan kebahagiaannya."
    "Tapi dia sudah seperti itu sejak kami bertemu." kilah Fredy tak terima. "Gadis gila.." lirihnya kemudian.
    Bibir Alvin tiba-tiba mengerucut. Ia menatap sebal Fredy lalu membuang mukanya. "Tak pernahkah kau berpikir untuk melihatnya bahagia? Sekali saja sejak kau mengenalnya.”
    Pertunjukkan yang dinantikan akhirnya berlangsung. Beberapa pemuda dan barong beserta leak memasuki area pertunjukkan. Selama teater berlangsung, Fredy tak bisa fokus pada alur cerita yang disajikan. Sesekali ia mencuri pandang pada Joo. Jelas sekali tatapan gadis itu kosong dan wajahnya terlihat pucat.
    Dalam keramaian disekitarnya Fredy membuang napasnya gusar. Melihat wajah Joo sekarang ini mengingatkannya akan masa lalu. Pesan terakhir ibunya sebelum tiada untuk tidak melukai hati perempuan. Apakah Alvin benar bahwa Fredy telah sering menorehkan luka pada diri Joo?
    Waktu tanpa kenal lelah terus berjalan. Membawa tiap kenangan dalam setiap langkahnya dan menghanyutkan kesibukan orang-orang yang beraktivitas. Sudah keberapa kalinya Fredy mencemaskan hal yang sama. Sudut matanya melirik gadis yang masih duduk diam disampingnya. Dia adalah gadis yang memenuhi pikirannya.
    "Aduh! ponselku ketinggalan di bus!" heboh Alvin bangkit dari posisinya. "Kak Greeze, yuk ikut aku cari bus. Adikku pasti sudah menelepon!" sebelum menanti respon Greeze, Alvin langsung menarik tangan seniornya yang terduduk agar keluar dari area pertunjukkan-membiarkan Fredy bersama Joo sendirian.
    Greeze menepis tangan Alvin. "Kamu kan tahu dimana busnya parkir, Al. Kau bisa mengambilnya sendiri!”
    Alvin menghentak-hentakkan kakinya kesal. "Aku lupa Kak Greeze!"
    "Tapi aku harus menemani Joo, Alvin." Greeze menekankan setiap katanya.
    "Tenang saja, Kak Joo aman bersama Fredy." Alvin kembali meraih tangan Greeze dan mempercepat langkahnya.
    Huh, liburan bukan membuat pikiran tenang justru membuat pusing. Sulit bagi Greeze mempercayai tutur kata Alvin. Banyak beban yang Greeze pikul dan tak mudah ia melepaskannya hanya dengan pemanis sesaat. Apalagi tentang Joo, Greeze takut Marcel mendekati Joo dan membuatnya menangis.
    "Fredy lebih tahu keadaan Joo yang sekarang ini, Kak Greeze." lirih Alvin sangat pelan nyaris tak terdengar.
***
    Kesunyian melanda. Tangga yang di desain melingkar telah renggang. Tersisa beberapa orang yang masih nyaman terduduk disana. Di sisi utara lingkaran Fredy terdiam memandang Joo. Gadis itu sudah seperti patung karena sama sekali tak berkutik dan tatapannya selalu kosong.
    "Joo, ayo keluar.."
    Sebuah tangan terulur di depan wajah Joo. Telapak tangan besar yang siap melindunginya kapan saja. Kepala Joo tertunduk perlahan, berkedip sesaat, lalu menatap pemilik telapak tangan itu.
    Joo membuang mukanya. Wajah itu lagi. Senyum itu lagi. Sikap pengecutnya itu lagi. Joo jengah dengan semuanya. Muak dengan sosok Marcel yang tak pernah menyadari kesalahannya dan dengan mudahnya meminta kembali merajut hubungan yang telah kandas dari awal. Tak ada benda rusak yang bisa kembali seperti baru. It's imposible to think.
    Di sudut yang bertentangan dengan kedua lelaki di dekatnya, Joo membelalakkan matanya. Ia melupakan rencananya. Ini waktu yang tepat. Kali ini rencana Joo harus berjalan dengan sempurna. Kesadaran Joo sepenuhnya telah kembali. Penuh semangat Joo bangkit dan berlari keluar dari gedung teater.
    Jantung Fredy seolah dihantam oleh ribuan beton. Joo bergerak sangat cepat. Punggungnya tak tercapai dalam jangkauannya. Sudah keberapa kalinya Joo bertindak nekat sepengetahuan Fredy. Sebenarnya Fredy sudah lelah menahannya. Tapi untuk terakhir kalinya Fredy harus mencegah Joo. Keberadaan mereka di luar kota akan semakin runyam dengan berita bunuh diri yang akan dilakukan Joo.
    Udara segar tertarik masuk melalui lubang hidung Fredy dan memenuhi rongga paru-parunya. Tanpa membuang udara, Fredy berlari kencang. Mengayun tungkainya selebar mungkin dan mengejar Joo yang sudah tak meninggalkan jejak di depan matanya.
***
    "Apa?! Liburan ke Bali?!"
    Wajah dengan garis tegas dan rupawan itu terkejut tak percaya. Penantiannya berakhir mengecewakan. Penuturan gadis di depannya merenggut harapan Rafa. Lelaki dengan kemeja putih bergaris hitam horizontal itu berdecak kesal. Langkah lebarnya menuntunnya memasuki mobil hitam mengkilap miliknya usai mengucapkan terima kasih pada gadis yang ia tanya.
    Emosi Rafa memuncak. Beberapa hari lagi ia akan memberangkatkan peserta bimbingan KKN disusul dengan kembalinya ia ke Singapura. Pelampiasan Rafa tertuju pada kemudinya. Ia memukul setir kemudi keras-keras. Lagi-lagi Rafa merasa tak bisa menjadi kakak yang baik.
    "Dimana dia?"
    Rafa menahan napasnya. Ia baru sadar bahwa sekarang sedang bersama Ryan. "Ayah, Joo berlibur ke Bali. Kita tak bisa menemuinya sekarang."
    "Kita harus menemuinya sekarang, Rafa. Aku akan mengutus beberapa orang kepercayaanku untuk mencarinya. Ini semua demi masa depannya dan karena kami mencintainya." tutur Ryan fokus dengan ponsel pintarnya.
    Pantulan wajah serius Ryan terlihat nyata di dalam kaca mobil. Rafa memejamkan matanya. Ia pasrah dengan tindakan ayahnya. Seberapa keras Rafa membela Joo di depan orang tuanya, adiknya itu sudah keterlaluan. Ditambah lagi hari Rafa di Indonesia sudah kian menipis. Tak ada cara lain selain ayah dan ibunya ikut turun tangan.
***
    Seorang gadis kecil tersenyum ceria menghadap kamera. Lesung pipi menjadi daya tarik utamanya di foto. Surai panjangnya di ikat dua dan dinaikkan tinggi. Gigi depannya ompong. Di lain foto gadis itu tumbuh menjadi remaja ber-almamater biru dari sekolah elit dan tersenyum manis menghadap kamera. 
    "Dia putriku. Anugrah terbesar yang kumiliki. Seseorang yang kelak akan menjadi sepertiku di usianya yang kian bertambah."
    Dua lembar foto itu terlepas dari pegangan tangan Kevin. Lelaki itu mendorong foto tersebut ke depan lengan seorang wanita paruh baya yang sedang bertumpu di atas meja. 
    "Untuk apa senior menunjukkan foto putri anda pada saya?" tanya Kevin bingung sambil menopang dagunya.
    Tatapan sendu Yura terpancar tatkala menatap binar kebahagiaan yang tercetak dalam foto di depannya. Yura rindu Joo. Joo yang dulu selalu ceria dan menyayanginya.
    "Jadilah pendamping hidupnya, Kevin." tanpa basa-basi berlebih Yura mengutarakan maksud sebenarnya mengajak Kevin makan bersama di kantin rumah sakit.
    Yura tahu Kevin akan terkejut ketika mendengar penuturannya. Moral dan martabatnya sebagai dokter mungkin akan luntur dimata Kevin. Tapi sekali lagi, ini demi Joo. Masa depan dan kebahagiaan Joo. Demi kukuhnya benteng keluarga dokter yang dibangun.
    Hening sesaat sebelum Kevin memecahnya dengan kekehan pelannya. "Senior Yura lucu juga ya ternyata," lelaki itu menatap jenaka Yura. "Putri ibu masih belum lulus kuliah, masih banyak harapan dan mimpinya yang belum terwujud. Sayang sekali jika harus menikah muda. Menikah itu butuh kesiapan matang, senior."
    "Dia tak memiliki mimpi, Kevin. Aku takut dia memiliki masa depan suram." Yura tak terlalu memikirkan ucapan Kevin. Ia justru menatap Kevin resah.
    Tawa Kevin semakin menjadi. "Semua orang pasti punya mimpi, senior. Mereka hidup dengan membawa tujuan, entah apa itu. Yang jelas diantara tujuan itu mimpi yang paling mendominasi." ucapnya di sela-sela tawanya.
    Kevin menghela napasnya sejenak. "Senior mungkin terlalu sibuk bekerja. Coba dekati putri anda dan cari tahu apa yang ia inginkan. Penyesalan tak akan terobati dengan mudah. Kebahagiaan putri anda milik anda tapi kebahagiaan anda bukan milik putri anda."
    Yura termangu mendengar setiap kata yang terucap dalam bibir Kevin. Yura menatap takjub Kevin. Namun tatapan Yura kian melemah saat Kevin bangkit dari duduknya.
    "Meski begini, saya juga masih memiliki mimpi lain. Menikah masih belum terpikirkan di benak saya saat ini. Masih banyak tanggung jawab yang harus saya pikul sebelum memutuskan untuk menambah tanggung jawab lain." tutur Kevin. Sudut mata Kevin memandang foto gadis di meja. "Tak mungkin gadis ceria sepertinya tak memiliki mimpi. Aku percaya ia memiliki mimpi yang luar biasa."
    Tutur kata demi kata dari Kevin mengoyak hati Yura. Kepergian Kevin memberikan pesan tersendiri bagi Yura. Tapi sulit bagi Yura untuk memahami pesan yang disampaikan Kevin. Yura tak tahu apa yang harus ia lakukan. Kukuh dengan rencananya ataupun memperhatikan Joo lebih dekat lagi. Yang Yura inginkan hanyalah kebahagaiaan Joo nanti.
***
    Langkah Fredy memelan. Deru napas menyertainya. Tubuhnya sangat lelah. Dia gadis yang membuatnya berlari dengan kecepatan maksimal. Gadis yang duduk tenang di ayunan bibir pantai itu adalah kecemasannya. Kedua tangan gadis itu memegang tali ayunan dan mengayunkannya pelan.
    Selama mengendalikan dirinya, fokus Fredy tak bisa lepas dari gadis yang duduk membelakanginya itu. Fredy yakin gadis itu adalah Joo. Tak banyak orang yang berada di sekitar Joo. Sebelum menghampirinya, Fredy memilih untuk menghubungi Greeze. Fredy harus mengabarkan keberadaan Joo sekarang. Banyak orang yang mencarinya dan mencemaskannya. Ya, Fredy sempat menginformasikan pada teman-teman lainnya bahwa Joo pergi seorang diri dan menghilang.
    "Halo, aku sudah menemukan Joo. Dia sedang bermain ayunan di pantai Sanur. Aku akan--"
    BYUR!
    Tali ayunan itu tertarik kuat dan berhasil melemparkan bebannya pada lautan luas dihadapannya. Gadis itu mendorong dirinya sendiri jatuh ke permukaan air. Seluruh orang-orang disekitar menjerit histeris melihat aksi nekat dan percobaan bunuh diri Joo. Segera Fredy berlari menyusuri dasar laut. Fredy menyelam, mencoba menyelamatkan Joo.
    Kebetulan sekali air laut tenang. Mungkin hanya ombak kecil yang melintas. Fredy terus menyelami dasar laut dan mengorbankan seluruh tubuhnya basah. Samar-samar kedua mata sipit Fredy menangkap seseorang gadis tak berdaya yang bergerak turun semakin ke dasar laut. Gadis itu pasti Joo. Cepat-cepat Fredy mendekatinya dan meraih pinggang gadis itu. Fredy membawa tubuh lemah Joo menuju ke tepian. Sesampai disana sudah banyak orang-orang yang mengerumuni Fredy dan Joo.
    Fredy membaringkan tubuh Joo di atas pasir putih. Tangannya menepuk-nepuk pipi pucat Joo. Sesekali Fredy memberikan CPR dengan menekan dada Joo-berusaha mengeluarkan air yang berhasil masuk ke dalam tubuh Joo. Fredy semakin cemas saja tatkala tubuh Joo sama sekali tak bereaksi. Tak kehabisan akal Fredy meraih tangan Joo yang terkulai lemas. Ia mengecek denyut nadinya. Masih terasa meski sangat lemah.
    "Joo kumuhon bangunlah.."
    Selintas cara terakhir di benak Fredy. Pandangan Fredy berpendar ke segala arah. Sial, orang-orang disekitarnya sama sekali tak membantunya. Mereka semua malah sibuk mengabadikan peristiwa darurat dengan ponselnya. Tindakan mereka sama sekali tak berguna. Memangnya orang tenggelam termasuk peristiwa menarik yang patut diabadikan? Geram Fredy dalam hati.
    "Kau harus tetap hidup, Joo.'
    Sekali lagi Fredy menatap beberapa pasang mata yang menatapnya dengan berbagai pancaran rasa. Fredy yakin tak ada orang diantara kerumunan yang ia kenal. Untuk pertama kalinya Fredy rela melakukan hal konyol dalam hidupnya. Dan beruntungnya Joo karena mendapatkan perhatian berlebih dari Fredy setelah ia kehilangan ibunya dan bertransformasi menjadi lelaki berhati dingin.
    Tanpa keraguan, Fredy mendekatkan wajahnya pada wajah pucat milik Joo. Surai Joo yang menghalangi wajahnya Fredy sibakkan pelan. Dengan lembut Fredy menekan hidung mungil Joo dan satu tangan lagi membuka sedikit mulut gadis itu. Mata Fredy telah terpejam. Dengan gerakan pelan dan lembut Fredy memberikan napas buatan untuk Joo. Dalam hati Fredy berharap bahwa nyawa Joo masih dapat terselamatkan. 
    Setelah dirasa cukup, Fredy menjauhkan wajahnya. Ia membuka matanya perlahan dengan menyimpan harapan untuk hidup Joo. Suara disekitar semakin bising saja. Fredy tahu hal seperti ini akan terjadi. Tapi mau bagaimana lagi, sikap cuek Fredy memang akan runtuh jika dihadapkan oleh keadaan darurat. Kedua bahu Fredy merosot. Usahanya tak membuahkan hasil. Tubuh Joo lagi-lagi tak bergerak.
    Fredy takut. Takut mengecewakan ibunya yang telah tenang di alam yang berbeda. Takut kembali mengenang masa lalunya yang menyimpan banyak rasa sesal dan kecewa. Fredy tak ingin membuat kesalahan yang sama. Biarpun dengan masalah yang berbeda tapi inti dari permasalahan ini adalah Fredy telah melukai hati teman perempuannya.
    Panik, takut, dan sesal berbaur menjadi satu membungkus hati kecil Fredy. Kenapa Fredy tidak langsung menghampiri Joo begitu ia menjangkaunya, kenapa Fredy sering berucap pedas pada gadis rapuh sepertinya? Dan kenapa juga Fredy harus bertemu dengan Joo? Gadis itu telah banyak mengusik ketenangan dalam hidup Fredy.
    Mungkin Fredy tak menyadari gestur tubuhnya saat ini. Entah sejak kapan, lelaki itu sudah memangku kepala Joo dalam pangkuannya, menepuk pipi gadis itu berkali-kali. Pikiran Fredy sangat kalut. Fredy tak sanggup jika karenanya ia telah merenggangkan nyawa seorang perempuan secara tidak langsung.
    "Joo.." 
    Greeze terjatuh dari pertahanannya. Ia duduk lemas menatap Joo yang terlihat sangat lemah. Berkali-kali Greeze meneriakkan nama Joo sambil mengguncang-guncangnya. Greeze menangis histeris, tak tahan melihat keadaan Joo.
    "Uhuk! Uhuk!"
    Joo terbatuk pelan bersamaan dengan air laut yang keluar dari mulutnya. Joo merintih. Tubuhnya sangat sakit. Namun rasa sakit itu terlupakan tatkala Joo merasakan seseorang menariknya dari posisi terbaring dan membenturkan kepalanya ke dalam pelukannya. Joo merasakan tubuh orang itu telah basah sepertinya.
    "Terima kasih Joo." bisik suara berat itu tepat di telinga Joo. Selain itu, Joo merasakan orang itu menepuk punggungnya pelan. "Kau memang harus hidup. Dunia dan orang-orang masih membutuhkanmu."
    Tunggu dulu, Joo mengenal jelas suara ini. Ini suaranya. Suara seseorang yang membangkitkan dan memadamkan gairah hidup Joo di waktu yang sangat dekat. Perlahan Joo mendongakkan kepalanya dan kedua netranya bertemu dengan milik Fredy. Lelaki itu menatapnya khawatir. Wajahnya tak dingin seperti biasanya. Fredy memasang wajah yang sama seperti pertemuan pertama mereka. Iya, yang diperpustakaan.
    "Fredy, aku sudah telepon ambulans. Ayo kita bawa Joo ke dalam mobil! Mobilnya sudah datang!" heboh Alvin menunjuk mobil tak jauh dari mereka.
    "Fredy.."
    Lirihan pelan Joo lenyap dalam keramaian pantai. Tubuh lemas Joo seketika membeku merasakan Fredy menggendongnya ala bridal style . Namun lagi-lagi Joo hanya diam. Rengkuhan Fredy untuk tubuhnya sungguh nyaman meskipun basah. Samar-samar juga Joo dapat melihat Greeze yang menangis tersedu menatapnya khawatir. Joo tersenyum miris, ternyata masih banyak orang yang mencintainya tanpa menuntut banyak hal darinya.
***
.    Crat!
    Tungkai beralaskan sepatu flat shoes menginjak sebuah cat air yang berserakan di lantai. Kemasan cat yang telah terbuka berceceran mewarnai lantai keramik putih dengan pola abstrak. Satu-satunya cat yang terselamatkan harus kandas tatkala pemilik kaki itu menginjaknya.
    Cairan cat mengenai sebuah kertas A3 yang terletak di dekat kaki meja. Joo menunduk memungut kertas itu. Disana terarsir sketsa sebuah objek. Taman hiburan dengan beraneka wahana pemainan dan beberapa orang berkumpul di atas rerumputan. Lukisan itu mengundang senyum manis Joo. 
    Joo tersenyum hangat tatkala angin memasuki celah jendela. Hari yang indah. Melukis tanpa kenal lelah dan berbagi cerita melalui melukis. Joo sangat menyukainya. Kemarin Joo menggambar orang lain. Orang yang bisa disebut sebagai tipe ideal Joo. Gambaran itu masih berdiri tegak di dekat jendela hingga--
    BRAK!    
    Satu kanvas berukuran sedang jatuh. Kanvas itu berisi lukisan objek terbaru Joo. Joo berlari cepat untuk menyelamatkan kanvas itu sebelum kotor namun tanpa dapat dicegah Joo malah terpeleset dan—
    Kedua mata Joo terbelalak. Langit-langit putih sebuah ruangan menjadi objek pertama yang ia lihat. Bau obat-obatan menusuk penciuman Joo. Samar-samar suara decitan kursi roda dan tempat tidur berjalan memekakkan telinga. Joo benci berada di tempat ini.
    Hening. Aura dingin menjalari setiap tubuh Joo. Sedikit memaksakan dirinya, Joo mengedarkan seluruh pandangannya ke penjuru ruangan. Rasanya jantung Joo memompa lebih cepat tatkala matanya menangkap sosok lelaki berjaket hitam longgar yang asyik bermain bersama ponselnya sambil tiduran di sofa. Dia adalah Fredy. 
    Baik Joo dan Fredy sama-sama tak bergeming. Joo memilih diam memperhatikan Fredy. Begitupun Fredy. Tampaknya lelaki itu belum menyadari kesadaran Joo. Pikiran Joo kembali melayang. Lelaki itu lagi dan lagi yang menyelamatkannya dari jurang kematian yang ia inginkan. Meski tak tahu dengan jelas, Joo tahu bahwa Fredy adalah penyelamatnya. Dia yang selalu menatapnya khawatir disaat ia berada di puncak depresi. Dia selalu menjadi orang pertama yang mengetahui niat buruknya. Hanya dia yang mengetahui cerita pilu Joo.
    Oh, Fredy menyadarinya. "Tunggu sebentar, aku akan memanggil dokter untuk kembali memeriksa keadaanmu." dengan wajah datarnya Fredy beranjak dari duduknya meninggalkan kamar.
    Sofa di seberangnya telah kosong. Tirai jendela kamar dibiarkan terbuka menampilkan gemerlap malam diluar sana dan langit gelap. Joo tersenyum tipis. Bodohnya ia telah percaya dengan filosofi yang Alvin buat dalam lukisannya. Nyatanya langit gelap tetap bisa menemani hari-hari orang lain tanpa rembulan.
    Keheningan yang ada pecah. Seorang dokter diikuti dua perawat dan Fredy memasuki kamar inapnya. Dengan ramah dokter menanyakan apa yang Joo rasakan sekarang serta keluhan-keluhannya. Dokter itu juga mengecek keadaan Joo. Sebelum tersenyum lebar lalu menghadap ke arah Fredy yang berdiri di sisi yang berlawanan dengan dokter.
    "Apa anda walinya?"
    Sontak saja Fredy memasang tampang bingung. Ia tahu apa yang akan diucapkan dokter ini selanjutnya hanya dengan pertanyaan singkatnya. Sebentar, Fredy melirik Joo yang terbaring, wajah gadis itu masih pucat dan lemas. Ragu-ragu Fredy menganggukkan kepalanya. Tidak ada lagi orang yang bisa Fredy ajukan untuk menjadi wali Joo mengingat mereka berada di kota orang lain.
    Dokter itu tersenyum. "Mari ikut saya. Ada yang ingin saya bicarakan mengenai kondisi saudari Joo."
    Lelaki berjubah putih itu berlalu bersama para perawatnya setelah memberikan perintah pada mereka. Tatapan Fredy tertuju pada Joo. Keadaan gadis itu sekarang tak bisa dikatakan hidup sepenuhnya. Mungkin raganya hidup namun jiwanya telah mati. Entah kerasukan makhluk apa Fredy mengusap kening Joo lalu membelai rambutnya pelan.
    "Tetapah disini, sebentar lagi Kak Greeze dan Alvin akan datang."
    Wajah Joo bersemu merah. Bibirnya bergetar. Punggung itu menjauh seiring dengan buramnya penglihatan miliknya. Sentuhan lembut itu, perlakuan manis itu, kata-kata penuh harapan itu menguras emosi Joo. Sudah lama ia tak mendapat perlakuan sebaik itu dari orang-orang. Joo bahagia. Ia terharu merasakan sikap Fredy untuknya. Joo menangis dalam diam. Guratan warna menghiasi bayangan hitam dalam hatinya.
    "Kak Joo kami datang!" suara riang memasuki kamar Joo.
    "JOO!" Greeze berteriak senang ketika melihat Joo membuka matanya. Penuh rasa antusias Greeze berlari memeluk tubuh Joo. "Terima kasih Tuhan, Engkau telah memberikan kesempatan hidup untuk sahabatku." haru Greeze dalam pelukan eratnya.
    "Kami semua mencintai Kak Joo, jadi Kak Joo harus tetap bersama kami dan jangan pernah meninggalkan kami." ucap Alvin menepuk bahu Joo pelan.
    Tubuh Joo mematung tak merespon pelukan Greeze. Teman-teman Joo membutuhkannya. Joo merasa hidupnya kembali memiliki arti. Perhatian, ketulusan, dan kasih sayang kembali Joo dapatkan dari teman-temannya. Perlahan kedua tangan Joo bergerak membalas pelukan sahabat terbaiknya itu. Joo harus hidup. Ia tak boleh sedih berkepanjangan karena banyak orang yang mengharapkan kebahagiaannya.
    "Kak Joo harus cepat sembuh, aku sudah membeli peralatan lukis untuk kakak!"
    Pelukan Greeze terlepas. Joo menatap Alvin penuh binar. Mimpi yang selama ini Joo perjuangkan itu telah lebur dalam kehancuran pikiran dan hatinya. Mimpi tadi. Isyarat tersirat untuk Joo memulai lagi berjuang meraih mimpi.
    "Kau harus segera melukis Joo! Aku menantikan lukisan terbarumu! Maka dari itu kau harus makan dan minum obat! Perawat sudah datang membawakan makanan bergizi!" ucap Greeze bersemangat menerima nampan dari perawat.
    "Oh ya, Fredy kemana? Kok aku nggak melihatnya?" Alvin menyadari ada yang kurang.
    "Dia lagi di ruangan dokter." jawab Joo menghapus air mata harunya.
    Alvin terkekeh pelan. Jawaban Joo menggelitik hatinya. Fredy telah menaruh perhatian pada Joo tanpa disadarinya. Alvin yakin Fredy perlahan akan berubah dan kembali menjadi pribadi yang lebih menyenangkan. Joo pasti dapat mengubahnya secara perlahan.
    Malam itu menjadi malam yang istimewa bagi Joo. Malam ia bangkit dari keterpurukan dan menyadari bahwa hidupnya sangat penting untuk disia-siakan. Di malam ini pula Joo mendengar rahasia hangat dari Alvin dan Greeze yang semakin memukul semangatnya untuk tetap hidup. Bagaimanapun beratnya beban yang dipikul masih ada orang yang selalu membantu dan ada bersamanya setiap saat. Untuk terakhir kalinya Joo bertekat akan berhenti merenggang nyawanya.
***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Cinta tanpa kepercayaan
455      341     0     
Short Story
ketika sebuah kepercayaan tak lagi ada dalam hubungan antara dua orang saling yang mencintai
Aku Tidak Berlari
571      411     0     
Romance
Seorang lelaki memutuskan untuk keluar dari penjara yang ia buat sendiri. Penjara itu adalah rasa bersalahnya. Setelah bertahun-tahun ia pendam, akhirnya ia memutuskan untuk menceritakan kesalahan yang ia buat semasa ia sekolah, terhadap seorang perempuan bernama Polyana, yang suatu hari tiba-tiba menghilang.
When I Met You
591      329     14     
Romance
Katanya, seorang penulis kualat dengan tokohnya ketika ia mengalami apa yang dituliskannya di dunia nyata. Dan kini kami bertemu. Aku dan "tokohku".
Be Yours.
1903      1046     4     
Romance
Kekalahan Clarin membuatnya terpaksa mengikuti ekstrakurikuler cheerleader. Ia harus membagi waktu antara ekstrakurikuler atletik dan cheerleader. Belum lagi masalah dadanya yang terkadang sakit secara mendadak saat ia melakukan banyak kegiatan berat dan melelahkan. Namun demi impian Atlas, ia rela melakukan apa saja asal sahabatnya itu bahagia dan berhasil mewujudkan mimpi. Tetapi semakin lama, ...
IDENTITAS
649      433     3     
Short Story
Sosoknya sangat kuat, positif dan merupakan tipeku. Tapi, aku tak bisa membiarkannya masuk dan mengambilku. Aku masih tidak rela menjangkaunya dan membiarkan dirinya mengendalikanku.
Pangeran Benawa
35291      5808     5     
Fan Fiction
Kisah fiksi Pangeran Benawa bermula dari usaha Raden Trenggana dalam menaklukkan bekas bawahan Majapahit ,dari Tuban hingga Blambangan, dan berhadapan dengan Pangeran Parikesit dan Raden Gagak Panji beserta keluarganya. Sementara itu, para bangsawan Demak dan Jipang saling mendahului dalam klaim sebagai ahli waris tahta yang ditinggalkan Raden Yunus. Pangeran Benawa memasuki hingar bingar d...
Itenerary
33933      4295     57     
Romance
Persahabatan benar diuji ketika enam manusia memutuskan tuk melakukan petualangan ke kota Malang. Empat jiwa, pergi ke Semeru. Dua jiwa, memilih berkeliling melihat indahnya kota Malang, Keringat, air mata, hingga berjuta rahasia, dan satu tujuan bernama cinta dan cita-cita, terungkap sepanjang perjalanan. Dari beragam sifat dan watak, serta perasaan yang terpendam, mengharuskan mereka tuk t...
I have a dream
262      213     1     
Inspirational
Semua orang pasti mempunyai impian. Entah itu hanya khayalan atau angan-angan belaka. Embun, mahasiswa akhir yang tak kunjung-kunjung menyelesaikan skripsinya mempunyai impian menjadi seorang penulis. Alih-alih seringkali dinasehati keluarganya untuk segera menyelesaikan kuliahnya, Embun malah menghabiskan hari-harinya dengan bermain bersama teman-temannya. Suatu hari, Embun bertemu dengan s...
Sibling [Not] Goals
976      537     1     
Romance
'Lo sama Kak Saga itu sibling goals banget, ya.' Itulah yang diutarakan oleh teman sekelas Salsa Melika Zoe---sering dipanggil Caca---tentang hubungannya dengan kakak lelakinya. Tidak tau saja jika hubungan mereka tidak se-goals yang dilihat orang lain. Papa mereka berdua adalah seorang pencinta musik dan telah meninggal dunia karena ingin menghadiri acara musik bersama sahabatnya. Hal itu ...
DELUSI
499      346     0     
Short Story
Seseorang yang dipertemukan karena sebuah kebetulan. Kebetulan yang tak masuk akal. Membiarkan perasaan itu tumbuh dan ternyata kenyataan sungguh pahit untuk dirasakan.