MYSTERY CODE
'Misteri tak pernah lelah menghantui hidupku. Misteri itu bagaikan petaka yang sulit untuk kumengerti.'
Beberapa kotak susu kemasan berbagai rasa, komik anime jepang, dan pakaian hangat memenuhi isi koper yang terbuka lebar. Tatapan terheran-heran terpancar dari binar Joo. Ia merasa aneh dengan isi koper di depannya.
"Apa susu kemasan ini tidak terlalu banyak?" heran Joo melihat seperempat isi koper berupa susu ber-varian rasa.
Tak jauh dari Joo duduk, Alvin tersenyum tipis lalu menggelengkan kepalanya. "Fredy sangat menyukainya. Aku tidak menjamin disana menjual susu seperti itu."
"Benarkah?" kejut Joo.
"Aku beri tahu ya.." Alvin menundukkan tubuhnya agar setara dengan Joo, tangannya melambai agar gadis itu mendekat padanya. "Daripada menyeramkan Fredy itu sangat menggemaskan! Sikap dinginnya itu seperti anak kecil yang lagi ngambek dan aku berani bertaruh kau akan lumer saat melihat Fredy tersenyum."
Senyum misterius terlukis di bibir Alvin. Senyum lelaki itu seolah menantang Joo akan ucapannya. Keterkejutan tak bisa mengendalikan diri Joo. Mustahil bagi Joo melihat sosok Fredy yang selalu bersikap dingin dan seolah-olah benci padanya menyimpan sisi manis. Pikiran Joo bahkan tak sanggup membayangkan senyum Fredy.
"Kak Joo nggak akan nyesel ikut liburan! Kak Joo pasti merasa hidup ini lebih beharga setiba di sana." ucap Alvin menyakinkan.
Joo hanya diam. Untuk sementara ia tak ingin terhanyut dalam ucapan Alvin. Lagipula Joo sudah mempersiapkan rencananya matang-matang. Mau lihat senyuman Fredy ataupun bersenang-senang dengan teman klub dance lainnya, Joo sudah tidak peduli lagi.
"Joo, ayo!" seseorang menarik tangan Joo. "Kau harus duduk bersamaku! Aku sangat merindukanmu!"
Buyar sudah kilasan memori milik Joo. Percakapan singkatnya dengan Alvin tentang sifat asli Fredy selalu memenuhi benak Joo akhir-akhir ini. Sekarang hari yang dinanti telah tiba. Voucher liburan akan mengantar mereka-anggota klub dance-pergi ke Bali.
"Terima kasih Joo sudah mau ikut."
Greeze melirik sekilas wajah Joo. Wajah gadis itu datar bagaikan robot. Greeze menghembuskan napasnya perlahan, mencoba berpikir masalah apa yang dihadapi Joo.
"Apa kau sedih karena ada Marcel?"
Kedua bahu Joo mengendik pelan, bibir berlapis liptint itu tersenyum kecil. "Entahlah, hatiku terasa gundah, seharusnya aku senang bisa melarikan diri dari kekangan keluargaku."
Perjalanan kedua gadis itu terhenti. Greeze menahan langkah Joo. Firasat Greeze mengatakan bahwa ada yang tidak beres dengan diri Joo. Tapi Greeze tak akan menuntut sahabatnya itu untuk menceritakan masalahnya. Greeze tahu Joo akan semakin sedih jika ia memintanya bercerita. Bercerita tak akan pernah lepas dari kata mengingat.
Greeze menghadap tubuh Joo lalu menepuk bahunya pelan. "Benar, kau harus senang Joo. Apapun masalahmu lupakanlah sejenak. Kau harus bahagia Joo, di sini banyak orang-orang yang mencintaimu dan akan membuatmu bahagia."
Sudut bibir Joo semakin terangkat membentuk lengkungan kurva. "Terima kasih Greeze, kau adalah sahabat terbaikku."
Lama sekali Greeze tak melihat senyum manis Joo. Inilah yang dinantikan Greeze. Sebuah keceriaan dalam diri Joo. Greeze sudah rindu saat-saat berbuat konyol bersama Joo, menyanyi keras-keras dalam perjalanan, menggoda beberapa orang yang lewat dengan banyolan centil. Greeze ingin melalukan semua hal itu di liburan ini
"Ayo naik!"
Bus bergerak melaju begitu Greeze berhasil menarik Joo naik. Di dalam sudah penuh oleh penumpang dengan berbagai tujuan. Namun satu orang di salah satu kursi mengalihkan segala atensi Joo. Tawa lebar tanpa beban. Tawa yang disertai tepuk tangan heboh. Tawa yang pertama kali Joo lihat dari wajah Fredy.
Benar kata Alvin. Ketampanan Fredy meningkat. Tidak, dengan tertawa seperti itu Fredy juga terlihat semakin imut. Apalagi penampilan lelaki itu berbeda dari biasanya. Rambut berponinya diusapkan ke belakang, memperlihatkan jidat mulusnya dan berpakaian casual. Kalau anak perempuan zaman now menyebutnya boyfriendable style.
Pancaran dari sorot mata Joo nampaknya menyadarkan Alvin-yang duduk di samping Fredy-dari tawanya. Alvin yang ikut tertawa semakin terpingkal tatkala netranya bertemu dengan milik Joo. Jemari telunjuk Alvin menunjuk Fredy yang tertawa lalu berkedip beberapa kali. Tubuh Alvin seolah mengatakan pada Joo Benarkan yang kubilang?
"Aku ingin tertawa sepertinya, aku ingin bahagia." lirih Joo pelan, sangat pelan.
"Joo, apa yang kau lakukan? Ayo duduk!"
Greeze kembali menarik tangan Joo untuk duduk disampingnya, tepatnya di sisi dekat jendela. Tak ada salahnya bukan berwaspada dari awal. Greeze takut jika Joo akan pergi meninggalkannya lagi. Dengan Joo yang duduk di sisi dekat jendela, Greeze pasti dapat merasakan kepergiannya. Dalam hati Greeze sudah berjanji akan menjaga Joo, tak akan Greeze biarkan sahabatnya itu meninggalkannya hanya untuk menyembunyikan kesedihannya.
"Greeze.."
Di kursi samping Greeze dan Joo duduk, Marcel mendesis pelan. Apa-apaan ini? Apa maksud Greeze mendudukkan Joo di sudut kursi? Marcel sudah menceritakan hubungannya yang telah membaik dengan Joo. Kenapa harus ada orang ketiga di antara Marcel dan Joo? Sejujurnya Marcel ingin membangun baterai cinta yang telah habis menjadi berguna.
Dengan santainya Greeze menolehkan kepalanya ke samping. Sebelah alisnya naik turun meminta Marcel agar segera mengungkapkan keresahannya. Ya, sebenarnya Greeze sendiri juga sudah tahu alasan Marcel mendesiskan namanya.
Permainan dimulai. Marcel tak lantas menjawab lisan bahasa isyarat Greeze. Ia juga menggerakkan anggota tubuhnya dengan menunjuk Joo beserta kursi yang ditempati Greeze. Dilihat dari wajahnya Marcel tampak kesal dengan pilihan Greeze. Tapi Greeze tak peduli akan permintaan Marcel. Greeze sudah tak sepenuhnya percaya pada Marcel. Lelaki itu telah sekali menyakiti hati Joo. Greeze ingin Marcel dapat menjaga jaraknya dengan Joo untuk menetralisir perasaan keduanya.
Telunjuk Greeze bergoyang ke kanan dan ke kiri. Ia tak akan memenuhi permintaan Marcel. Segera ia membuang pandangannya dari Marcel dan beralih menatap Joo. Entah dampak lama tak bertemu, suasana diantara Greeze dan Joo menjadi canggung. Koreksi, bukan canggung melainkan tenang.
Tanpa menyadari tatapan Greeze, Joo asyik memandang jalanan lepas dari kaca jendela sesekali ia tersenyum tipis. Diam-diam Joo ikut terhanyut dalam lelucon Alvin yang semakin konyol saja. Apalagi mendengar suara tawa cekikikan Fredy yang menggelitik telinga dan mengundang siapa saja untuk ikut tertawa.
"La la la la la.." senandung Alvin dengan suara nyaringnya yang dibuat-buat.
"Hentikan Al, kau merusak lagu yang kubuat!" masih berusaha meredam tawanya Fredy merampas buku lirik dari tangan Alvin.
Itulah sepenggal lelucon antara Alvin dan Fredy. Suara mereka mengingatkan Joo tentang dirinya beberapa bulan yang lalu. Saat dirinya selalu bernyanyi keras-keras sepanjang jalan. Saat orang-orang tertawa dan menatapnya sinis karena tingkahnya. Joo merindukan kenangan seperti itu.
"Joo, ayo bernyanyi! Kita harus bersenang-senang sekarang juga!" seolah tahu apa yang dipikirkan Joo, Greeze mengajak sahabatnya itu untuk bernyanyi.
Lagu anak-anak menjadi pilihan Greeze untuk bernyanyi. Entah mengapa Greeze ingin bernostalgia kembali dengan masa kecilnya.Saat Rafa selalu mengantarnya bersama Joo ke sekolah dasar. Selama perjalanan mereka selalu bernyanyi lagu anak-anak seperti pelangi pelangi, naik delman, naik-naik ke puncak gunung dan lagu lainnya.
Di kesempatan kali ini Greeze mengawali menyanyikan lagu naik delman. Sesekali ia berteriak menyuruh Joo untuk ikut bernyanyi. Belum puas, Greeze menunjuk sebuah tas gitar di ruang kosong sebelah tempat duduk Marcel. Layaknya anak kecil, Greeze mengacungkan kedua jari telunjuknya lalu menggoyang-goyangkannya ke arah gitar milik Marcel.
"TUT TUT TUT!"
Berhasil. Upaya Greeze untuk membangkitkan semangat Joo berjalan sukses. Gadis itu melambaikan kedua tangannya ke atas lalu menyanyi keras-keras. Raut kebahagiaan datang menghapus gurat kesedihan di wajah jelitanya. Begitu mendengar suara nyanyian lantang Joo, Marcel langsung mengeluarkan gitar kesayangannya dari tas dan memetiknya mengikuti nyanyian Joo. Sementara di belakang Greeze dan Joo duduk, kedua lelaki disana menghentikan tawa mereka dan ikut bernyanyi bersama. Tim dance sangat menikmati perjalanan liburan mereka.
***
Kevin Perwiramata. Nama yang terbayang-bayang dalam benak Yura. Sepanjang melakukan aktivitasnya sebagai dokter kandungan ia selalu mengingat nama dokter berwajah rupawan yang ia lihat di koridor ruang VIP. Pagi-pagi tadi Yura telah mendapatkan info bahwa nama dokter itu adalah Kevin Perwiramata. Nama yang terdengar tegas dan lembut.
Keinginan Yura untuk lebih mengenal dokter muda itu sangat kuat. Tunggu dulu, jangan berprasangka buruk. Yura tak bermaksud berselingkuh dari Ryan. Bagi Yura suaminya tetaplah yang paling tampan. Hanya saja seorang dokter muda seperti Kevin sangat sulit diabaikan begitu saja. Yura harus memperkenalkan Kevin pada Joo. Setidaknya ketika Joo tak mengabdi sebagai dokter, gelar keluarga dokter tak terputus hanya karena Joo.
Sekarang ini Yura sedang berjalan-jalan di koridor VIP. Kata teman-temannya dokter Kevin akan dipindahtugaskan di rumah sakit ini. Tentu saja ini kesempatan emas bagi Yura buat ngecomblangin Joo dan Kevin.
Kamar 21 VIP. Salah satu ruang rawat inap yang terakhir kali Yura melihat Kevin masuk disana. Lagi-lagi pintu kamar itu sedikit terbuka. Tubuh Yura berjalan mendekati pintu. Ia menatap keadaan di dalam sana.
Masih sama seperti terakhir kali. Sebuah lukisan penuh tulisan bertabur glitter tersandar pada kaki tempat tidur rumah sakit. Seorang gadis dengan memakai tudung kepala berdiri membelakangi pintu. Ruangan itu terasa sunyi. Hanya ada gadis itu di dalamnya.
Yura menatap dirinya sendiri. Jas putih masih melekat ditubuhnya. Mungkin ia bisa masuk untuk berpura-pura memeriksa sekalian tanya-tanya tentang dokter Kevin. Tangan Yura meraih kenop pintu bersiap menariknya jika saja--
"Maaf, apa yang akan anda lakukan?"
Tubuh Yura mematung. Suara berat menginterogasinya. Secepat kilat Yura membalikkan tubuhnya. Seorang dokter yang menjadi incarannya telah berdiri di depannya. Oh My God! Dokter Kevin sangat tampan bak tokoh anime jepang yang keluar dari komik. Wajahnya bersih dan tenang. Ibu-ibu seperti Yura saja terpesona apalagi Joo.
"Senior?" kikuk Kevin menambahkan volume suaranya.
Gak Cuma wajahnya yang ok, Kevin juga memiliki pribadi yang sopan. Dia memanggil Yura dengan sebutan senior meski baru pertama kali bertatap muka. Yura tersadar dari dunia pemikiran abstraknya. Lagi-lagi Yura tak bisa menyembunyikan rasa kagumnya pada Kevin.
"Aku hanya ingin memeriksa pasien. Kebetulan aku piket hari ini." kilah Yura.
Kevin mengangguk-angguk mengerti. "Pasien saya dalam keadaan stabil. Kemoterapi yang dijalani kemarin berjalan lancar dan ia merasa lebih baik."
"Syukurlah kalau seperti itu. Nggak salah kalau orang kompeten seperti kamu dipindahtugaskan disini." basa-basi Yura.
Uluman senyum malu tertoreh pada wajah Kevin. Lelaki itu sangat lucu saat malu. Telinganya berubah warna menjadi merah. "Senior terlalu berlebihan dalam menilai saya.'
"Beneran, aku serius!"
"Terima kasih. Maaf, saya harus pergi mengecek keadaan pasien. Saya permisi."
Kevin undur diri dari hadapan Yura. Rasa penyesalan meluap dari diri Yura. Yura terlalu banyak mengatakan hal-hal tidak penting sehingga tak memiliki kesempatan untuk menanyakan beberapa hal bersifat pribadi tentang Kevin atau setidaknya meminta kartu nama.
Drrtt Drrtt..
Ponsel pintar Yura bergetar. Ia mengambil ponselnya dari saku. Nama Rafa tertera disana. Tumben sekali putranya ini menelepon di saat jam kerja. Segera Yura mengangkat panggilan dari Rafa.
"Ibu! Ibu dimana? Cepat ke ruang lab jantung! Ada yang ingin aku bicarakan!"
Yura sedikit menjauhkan telinganya dari suara panik Rafa. Apa yang sebenarnya terjadi? Cara bicara Rafa seperti ia sedang tertimpa keadaan darurat. Sudut mata Yura menatap jam tangannya. Ia masih memiliki waktu setengah jam sebelum kembali bekerja. Tanpa mendengar apa yang diucapkan Rafa dalam telepon, Yura langsung memutus sambungan telepon dan turun ke lantai utama tempat lab jantung berada.
***
Sebuah kertas lusuh tertindih beberapa buku tebal di salah satu bagian sudutnya. Di lihat dari satu sisi kertas, kertas itu tampak memuat nama-nama orang yang akan berangkat KKN. Tinggal menghitung hari Rafa akan mengantar anak didiknya ke tempat KKN. Hanya tiga hari yang tersisa tapi Joo belum pernah menghadiri persiapan yang diadakan kecuali sabtu lalu. Rafa khawatir jika Joo tak bisa ikut KKN.
Kepala Rafa berdenyut memikirkan solusi terbaik untuk membuat Joo tetap ikut KKN. Tetapi seberat apapun Rafa berpikir, ia tak akan menemukan jalan keluar. Sulit bagi lembaga ataupun rumah sakit menerima mahasiswa magang susulan. Dari prosesnya saja sudah lebih rumit dari kelompok yang dipersiapkan jauh-jauh hari. Yang membuat kepala Rafa semakin terasa pening adalah pemberitahuan bahwa nama Joo dihapus dari daftar mahasiswa KKN karena pihak kampus, dosen, serta lembaga tidak menginginkan mahasiswa belum punya kesiapan seperti Joo. Mereka menyarankan Rafa agar Joo tetap berkuliah dan bertahan di semester 5.
Masalah Rafa tak berhenti sampai disitu saja. Adik perempuan kesayangannya itu memang tak pernah lelah membuat perasaan Rafa bagaikan roller coaster yang melesat cepat. Tegang dan risau. Bagaimana tidak, beberapa saat lalu salah satu pihak rumah sakit memberitahunya bahwa ruangan milik ayahnya ini akan segera dihuni oleh dokter baru. Jika Joo bisa berangkat KKN beberapa hari kedepan, Rafa mungkin bisa menahan ruangan ini untuk Joo. Namun apadaya jika adiknya sama sekali tak menghargai apa yang ia pertahankan.
"Rafa, ada apa memanggil ibu?"
Rafa menengadahkan kepalanya, menatap lurus ibu tercinta di depannya. Wanita paruh baya itu berjalan mendekatinya lalu memilih duduk di kursi depan Rafa. Dalam sekali tatap Yura sudah mengetahui bahwa ada hal penting yang ditahan Rafa. Wajah Rafa tampak serius, rahangnya mengeras, dan tangannya menggaruk kepalanya yang pastinya tidak gatal.
"Ibu ruangan bekas ayah akan segera dihuni oleh dokter baru." sesal Rafa tak bisa merebutkan tahta emas untuk adiknya. Akan sulit untuk memberikannya pada Joo jika dia sendiri tak segera menuntaskan kuliahnya." lanjut Rafa sedih.
Meskipun Rafa berucap pelan, Yura dapat mendengarnya dengan jelas. Sebuah berita mengejutkan. Harapannya untuk menjadikan Joo seorang dokter tetap pupus. Yura tahu sekarang ini sangat sulit untuk menggapai jabatan dokter di rumah sakit elit seperti ini. Yura hanya ingin memberikan jalan pintas untuk Joo meraih mimipinya.
"Ayah pasti juga akan terkejut mendengar hal ini. Sia-sia sudah kepulanganku untuk membantu ayah dan ibu. Aku tidak berguna, aku tidak bisa membuat Joo ikut KKN."
Terdengar jelas nada keputusasaan dari laring suara Rafa. Yura yang mendengarnya jadi ikut sedih. Semua keluarga telah berusaha keras untuk membuatkan benteng pertahanan di masa depan Joo. Tapi Joo justru meninggalkannya kosong dan benteng itu dikuasai orang lain. Lama-lama Yura bisa gila hanya karena memahami sifat keras kepala Joo yang kukuh menjadi seorang pelukis.
"Apa yang harus aku lakukan, Ibu? Waktuku disini sudah tinggal satu minggu. Minggu depan aku sudah kembali ke Singapura. Aku harus bergerak cepat!" curah Rafa.
Desahan pelan keluar dari bibir Yura. Sebagai seorang ibu ia sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan. Ia tak penah lelah untuk memikirkan satu hal berkali-kali. Petunjuk datang menghampiri Yura. Kedua mata Yura menatap sebuah kartu nama yang tergeletak di atas meja. Penasaran, Yura mengambilnya.
Dr. Kevin Perwiramata, 14 Februari 1991. Pendidikan terakhir Pasca Kuliah Universitas Brain. Spesialis jantung dan penyakit dalam.
Tiba-tiba senyum misterius terlukis di wajah Yura. Yura tahu apa yang harus ia lakukan. Ia yakin dengan rencananya. Joo pasi akan bahagia dengan rencananya. Untuk kali ini Yura akan kembali berdiskusi dengan suaminya. Ia tak akan melibatkan Rafa, mengingat putranya itu sangat sibuk. Kevin Perwiramata, dia adalah target utama masa depan Joo.
"Tenanglah, Rafa. Ibu akan memikirkan cara terbaik untuk menyelamatkan masa depan dan karir Joo." ujar Yura dengan senyum misteriusnya.
***
Malam menjelang. Keramaian bus telah lenyap digantikan kesunyian yang mendalam. Waktu menunjukkan pukul dua belas lebih. Hampir seluruh orang di dalam bus terlelap di alam fantasi mereka. Perjalanan di atas kapal beberapa menit lalu berhasil menghanyutkan mereka dalam kejapan mata.
Di antara banyak orang yang tertidur pulas ternyata masih ada beberapa yang masih terjaga. Dalam kegelapan bus, Fredy mendengarkan musik hasil aransemennya dari headset. Meski sedang liburan Fredy tak akan berhenti menekuni hobby-nya membuat lagu. Ia mendengarkan hasil-hasil karyanya.
Beberapa kali Fredy mengerjapkan matanya. Rasa kantuk berusaha menjangkitnya. Perlahan Fredy menyandarkan kepalanya di jendela. Pandangannya mengedar ke sekitar. Para penumpang tertidur lelap termasuk Alvin yang duduk di sampingnya. Di sudut terakhir, Fredy menatap pantulan wajah Joo yang masih terjaga dari kaca bus. Gadis itu diam tak bergeming. Dalam diam Fredy terus memperhatikannya. Sebenarnya Fredy juga tak yakin jika Joo terjaga karena tubuhnya sama sekali tak bergeming.
Satu detik, dua detik, tiga detik, tetaplah sama. Tatapan Joo kosong namun di beberapa detik kemudian Fredy melihat dengan jelas Joo memasukkan beberapa kapsul ke dalam mulutnya dan meneguknya dengan air putih. Fredy mengerutkan keningnya selama memperhatikan gerak gerik Joo. Gadis itu selalu mengundang misteri bagi Fredy.
***