SAVE YOU
'Aku telah masuk ke dalam cerita hidupmu. Aku tahu apa yang kau rasakan selama ini. Kenyataan ini suatu tantangan bagiku untuk melindungimu.'
Bipolar Disorder. Suatu keadaan dimana seseorang mengalami perubahan emosi tak terduga. Suatu gangguan psikis yang cukup berbahaya dimana penderita dapat menjadi sangat sedih dan bahagia dalam jangka waktu singkat. Itulah hal baru yang Fredy ketahui tentang penelusurannya mengenai penyakit bipolar disorder.
"Menurut hasil pemeriksaan yang saya akumulasikan dengan cerita anda, teman anda mengidap penyakit bipolar disorder."
"Prediksi saya dia termasuk dalam golongan bipolar ke dua. Dimana ia lebih sering merasa depresi daripada mania."
"Untuk memastikan ada baiknya anda mengajaknya ke psikiater dan berkonsultasi disana. Saya sarankan dalam waktu dekat ini anda lebih menaruh perhatian dan bersikap baik padanya. Seorang pengidap bipolar sangat sensitif dengan lingkungan. Anda harus senantiasa menjaga emosinya agar tetap stabil."
Tautan bibir Fredy terlepas dari sedotan. Susu kemasan di genggaman telah habis tak tersisa. Kata-kata dokter yang menangani Joo kemarin terngiang di kepalanya. Satu fakta yang Fredy tahu tentang Joo. Ya, Fredy memilih bungkam dan menjadikan fakta tersebut sebagai rahasia. Tanpa ada seorang pun yang mengetahui termasuk Joo.
"Joo! Tangkap aku!"
Gadis yang memenuhi pikiran Fredy melewatinya dengan langkah ringan. Aura gadis itu berbeda. Penampilannya lebih segar dari biasanya. Dibalut crop top bewarna navy dan hotpants putih membuatnya semakin cantik. Topi pantai melindungi wajah cerianya-senyum lebar dan pancaran kebahagiaan-dari teriknya sinar mentari. Joo, dengan kaki telanjangnya mengejar Greeze.
"Sebenarnya apa yang terjadi semalam? Kenapa ia mendadak bahagia seperti itu? Wajahnya bukan topeng palsunya kan?" gumam Fredy memutar-mutar susu kemasannya.
"Wah! Ada kelapa muda segar nih!" pekik Greeze menunjuk gerai dekat pantai. Greeze menolehkan kepalanya ke arah Joo yang sudah beberapa langkah lagi mendekati keberadaannya. "Yuk, minum dulu! Aku beliin deh, karena Joo temanku telah bahagia!"
Senyuman manis dihiasi lesung pipit mempercantik wajah Joo. Acungan dua jempol ia berikan pada Greeze sembari mengangguk semangat. "Greeze, kamu baik deh!" ucap Joo centil.
Dua buah es kelapa muda disajikan cepat. Kedua gadis itu telah duduk di kursi panjang yang menghadap langsung ke pantai. Joo meminum air kelapa muda yang tersaji langsung dari buahnya. Disampingnya Greeze tiba-tiba juga menirukan gaya minum Joo. Tampaknya Joo belum menyadari sikap usil Greeze.
Joo menaruh air kelapa mudanya di atas meja. Ia lalu memakai kacamata biru gelapnya. Sinar mentari siang ini sangat terik, siap memanggang siapa saja yang berada dalam kuasanya. Tak berselang lama Greeze ikut memakai kacamata hitamnya lengkap memandang ke depan dan menopang dagunya seperti gerak tubuh Joo.
Perlahan Joo menghadap ke arah Greeze. Dibalik kacamatanya ia menatap Greeze heran. Sementara yang ditatap hanya tersenyum konyol dan ikut memandang Joo. Merasa aneh, Joo melepas kacamatanya tentunya diikuti Greeze. Kedua gadis itu saling menatap dengan ekspresi berbeda.
"Greeze, ada apa denganmu?"
Gadis itu hanya tersenyum.
"Kenapa kau mengikuti pergerakanku?" bingung Joo tak mengerti.
Senyum Greeze semakin lebar. "Karena kita adalah teman seperjuangan dengan posisi sama." Greeze kemudian memandang ke arah berlawanan dengan Joo. Seorang Greeze tak pernah kehabisan ide saat berada di dekat Joo.
Greeze mengangkat sebelah tangannya untuk menutupi bibirnya. "Ada cogan lewat tuh," bisiknya menunjuk seorang lelaki jangkung berkulit putih susu dengan rambut kecoklatan berjalan melewati mereka.
"Hello boy! I LOVE YOU!" teriak Joo tanpa ragu menunjuk lelaki yang baru saja melewatinya.
Joo kembali. Gadis itu kembali ceria, percaya diri, dan menyenangkan. Pipi Joo bersemu merah. Bukan hal mudah baginya berteriak lantang pada lelaki asing itu. Maklumlah, Joo baru saja bangkit dari keterpurukannya. Ah, melihat Joo sekarang sangat lucu.
"Hello baby!" seseorang tanpa diduga menyahut seruan Joo.
Jantung Joo hampir saja lepas dari kerangkanya. Perasaan lelaki berparas tampan tadi mengabaikan teriakannya kenapa sekarang ada sahutan suara lain. Mendadak Joo menjadi merinding. Di depannya tak ada orang yang memberikan sinyal padanya.
"Kau cantik sekali hari ini Joo."
Seseorang memeluk tubuh Joo dari belakang. Ia mengambil sisi rambut Joo yang terjuntai ke depan untuk disisikan ke belakang, mengekspos leher jenjang Joo. Lelaki itu kemudian menyandarkan kepalanya pada bahu Joo sembari mencium aroma Joo.
"Tak kusangka kau memakai baju yang kusiapkan.'
"Marcel.." lirih Joo.
Suasana berubah menjadi tegang. Dua insan yang selama ini berselisih kembali terikat fisik. Joo hanya terdiam. Ia menatap wajah tenang Marcel dibahunya. Tatapan Joo kemudian turun ke tangan Marcel yang sudah memasuki celah lengannya dan mengelus perutnya yang terbuka. Joo tertawa pelan. Ia merasa geli dengan sentuhan Marcel.
"Joo?" kaget Marcel tak percaya akan reaksi Joo yang tertawa di dekatnya. Sebuah kemajuan untuk memperbaiki hubungan mereka.
"Marcel lepaskan! Aku geli!" kekeh Joo memegang tangan Marcel yang masih mengelus perut rata miliknya.
"Kenapa? Bukannya kau merindukan pelukanku?" tak melepaskannya Marcel justru semakin memeluk erat tubuh Joo dan menyamankan posisi kepalanya pada bahu Joo.
"Dasar lelaki mesum!"
Tendangan kuat mendarat tepat pada tulang kering berhasil melepaskan pelukan Marcel. Rintihan pelan tertahan dari bibir Marcel. Lelaki itu mengelus kakinya yang berdenyut. Meski begitu Marcel juga mencari siapa orang yang telah memberikan tendangan maut kepadanya. Ternyata orang itu adalah Fredy. Lelaki bertubuh mungil itu menatap sinis Marcel. Namun Marcel justru menyeringai melihat sosok Fredy.
"Apa?" Marcel mengangkat dagunya seolah menantang Fredy.
"Mesum!" decih Fredy lalu berjalan cepat melewati Marcel dan menarik tangan Joo yang masih ternganga menatapnya begitupula Greeze yang juga sangat terkejut. "Ayo main voli pantai bersama yang lain!" ajak Fredy pada kedua gadis itu tanpa mengindahkan sosok Marcel.
Greeze tersadar dari ketegangan yang Marcel ciptakan. Kedua kelopak matanya mengerjap beberapa kali. Iris matanya mengikuti arah kepergian Fredy bersama Joo. Sesaat ia merasa bodoh karena tak bisa melindungi Joo. Beruntung Fredy dengan cepat mengentikan perbuatan bobrok Marcel. Tanpa disadarinya Greeze menorehkan senyumnya.
Mungkin apa yang dikatakan Alvin benar.
***
Satu cup ice coffee di malam hari. Baru saja selesai berkemas Joo sudah membawa satu cup kopi kemasan di tangannya. Gadis itu berjalan menuju balkon hotel. Melewati pintu apartemen yang terbuka dan menghubungkannya dengan balkon.
"Cie.. yang lagi seneng! Lagi mikirin apa sih sampai senyum-senyum begitu?" goda Greeze yang memperhatikan Joo dari ranjang.
"Aku hanya senang saja." kekeh Joo sebelum tak terlihat dari pandangan Greeze.
Angin dingin menusuk kulit Joo, menegangkan bulu kuduknya, dan menggetarkan bahunya. Namun dinginnya malam tak membuat Joo kembali masuk. Yang ada senyum Joo semakin merekah saja. Entah apa yang dipikirkan Joo, gadis itu menengadahkan kepalanya ke atas. Menatap bulan sabit yang menemani langit gelap bersama taburan gemerlap bintang.
"Malam yang indah."
"Joo apa yang kau lakukan disana? Ini sudah malam, kau nggak mau tidur? Besok sore kita sudah pulang lho.."
"Greeze, aku mau cari udara sebentar!" Joo berlari keluar dari kamar hotel tanpa menjawab satupun pertanyaan Greeze.
"Joo!" gerakan Joo sangat cepat, Greeze masih menyimpan rasa takut pada diri Joo. Greeze ingin ikut bersama Joo.
"Istirahatlah! Tenang saja, aku tak akan bunuh diri!" seru Joo menutup keras-keras pintu kamar hotel.
Greeze menghembuskan napasnya pelan. Dengan langkah cepat ia berjalan ke balkon hotel. Greeze menatap keadaan luar. Beruntungnya kamar hoter ini langsung menghadap pantai. Begitu terasa suasana liburan kali ini apalagi pantai masih ramai dengan beberapa anak muda seusia Greeze yang traveling.
Semilir angin dingin mengundang rasa kantuk. Greeze menguap. Tubuhnya lelah usai bersenang-senang. Waktu juga telah menunjukkan pukul sebelas malam. Tanpa terbayang rasa khawatir akan Joo, Greeze langsung menutup pintu balkon dan bersiap tidur.
***
Desiran tenang ombak menemani kesunyian malam. Gemerlap langit memancarkan pesona masing-masing, suasana di malam hari juga lebih tenang ketimbang siang berlangsung. Di atas pasir putih, Fredy duduk seorang diri. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket. Pandangannya menatap lurus ke depan.
"Wah, ada bintang jatuh!" seru Fredy dalam hati.
Sebelum bintang itu menyentuh tanah Fredy segera menelangkupkan kedua telapak tangannya menjadi satu. Ia menundukkan kepalanya dan memanjatkan pemintaannya. Kelopak mata Fredy terpejam rapat. Ia sangat berharap satu dari tiga harapannya terwujud.
"Kuharap diriku ada diantara doamu."
Kedua mata Fredy terbelalak. Ia menatap ke seluruh penjuru hingga mata sipitnya bertemu dengan mata penuh binar milik Joo. Gadis itu telah duduk disampingnya tapi Fredy malah menatap sinis Joo dan membuang mukanya.
"Untuk apa mendoakan orang yang mau bunuh diri lagi,"
Joo terhenyak. Ia meneguk kopi dimulutnya dengan susah payah. Fredy kembali mengoyak masa kelamnya. Kediaman Joo rupanya mengusik Fredy untuk melirik Joo. Diam-diam Fredy juga takut jika Joo kembali menjadi pribadi yang murung.
"Padahal aku hanya ingin menemanimu disini." lirih Joo memberengut sedih.
Dehaman pelan membelah kesunyian. Fredy tampak memikirkan sesuatu. Sudut matanya melirik Joo. Pikirannya kembali teringat perkataan dokter padanya yang menyarankan Joo agar tidur dengan porsi jam yang cukup.
"Belum tidur?"
Joo menggeleng pelan. "Nggak bisa tidur."
Fredy menghela napas berat lalu merebut cup ice coffee dari tangan Joo. "Bagaimana bisa tidur kalau malam-malam minum kopi!"
"Kembalikan! Aku belum menghabiskannya!" titah Joo mencoba merebut ice coffee dari tangan Fredy tetapi lelaki itu dengan gesit menjauhkan minuman itu dari jangkauan Joo.
"Berhenti mengonsumsi kopi di malam hari. Itu tidak baik untuk kesehatanmu!"
"Tapi itu hanya alasanku agar aku tetap terjaga!" teriak Joo frustasi.
Genggaman tangan Fredy dari ice coffee melemah. Ia menaruh ice coffee tersebut tepat dibelakangnya. Fredy menatap Joo lekat-lekat dengan harapan gadis itu bercerita. Karena Fredy akan membantu Joo mulai sekarang. Terutama dalam menjalani hidup dan menghadapi masalah.
Pupus sudah harapan Fredy. Gadis itu malah menggeser duduknya menjauh darinya. Wajah gadis itu murung, bibirnya mengerucut dengan dahi berkerut. Rupanya Joo sengaja membiarkan pertanyaan Fredy melayang bersama angin laut. Joo meraih pasir putih dan menggenggamnya erat. Perlahan ia mulai menjatuhkan butir demi butir pasir pelan membentuk sebuah lukisan.
"Aku senang berada diantara banyak orang yang juga nyaman bersamaku. Setiap keberadaan mereka disampingku sangat berarti. Perhatian dan kebahagiaan mereka menahanku untuk tetap hidup." ucap Joo sembari menggambar beberapa orang yang tersenyum di atas pasir.
Fredy tetap terdiam dalam tempatnya, memperhatikan setiap gerakan Joo dan mendengarkannya dengan seksama.
"Akan tetapi tanpa orang-orang itu ketahui aku tak bisa hidup tanpa mereka. Ketika mereka meninggalkanku aku menjadi pribadi yang rapuh. Setiap malam datang aku tak bisa tidur, tekanan dan tuntutan dalam hidup selalu menghantuiku. Aku gelisah, gemetar, dan takut.." Joo menggigit bibirnya. Pasir dalam genggamannya belum habis. Kesedihan kembali melanda hati Joo.
"Aku takut tak bisa membalas semua kebaikan orang-orang yang selalu bersamaku. Tak bisa menjadi orang seperti yang mereka harapkan. Aku merasa diriku hilang. Sebagian diriku telah diambil alih oleh keluargaku sendiri." lirih Joo merusak semua lukisan pasir yang dibuatnya.
Cerita Joo meresap halam hati Fredy. Lelaki itu terdiam menatap Joo yang kelihatan sangat frustasi. Saat ini kedua bola mata Fredy menangkap gadis itu memeluk kedua lututnya dan menenggelamkan kepalanya disana. Seberapa keras Joo menyembunyikan kesedihannya ia tidak dapat melakukannya dengan baik. Karena gadis itu tak mampu memikul semua beban hidupnya sendiri.
Kekuatan hati selalu menjadi yang paling kuat. Kisah sedih yang telah meresap itu menggerakan hati Fredy untuk bergeser posisi mendekatkan dirinya dengan Joo. Fredy menatap Joo ragu. Isakan pelan terdengar samar. Kedua bahu Joo bergetar. Meski sempat ragu Fredy merengkuh bahu bergetar Joo untuk mendekat ke arahnya.
Joo terkejut dengan perlakuan Fredy. Dengan wajah kusutnya Joo mendongakkan kepalanya, tepat disampingnya Fredy menatapnya datar lalu tangan hangatnya menyandarkan kepala Joo ke dada bidangnya. Nyaman. Namun kenyamanan itu malah membuat Joo terisak.
'Kau tak perlu mengikuti kemauan atau harapan orang lain untukmu." lirih Fredy. Hatinya bergetar hebat mendengar isakan tangis Joo. "Jadilah dirimu sendiri. Jadikan orang-orang yang bersamamu sebagai penyemangat bukan sebagai tekanan. Aku yakin mereka akan senang jika kau dapat mencapai sesuatu sesuai keinginanmu, berdasarkan apa yang dirimu inginkan. Bahkan dengan melihatmu bahagia mereka, orang-orang disekitarmu sudah merasa harapan mereka untukmu telah terwujud. Semua orang pasti hanya mengharapkan kebahagiaan pada sesama." tutur Fredy mencoba berada dalam sudut pandang Joo.
Joo menyeka air matanya. Ungkapan Fredy membuat hatinya semakin sesak. "Tapi aku tak bisa sepenuhnya bahagia karena aku tak akan pernah meraih mimpiku, kebahagiaanku, dan tujuanku hidup."
Fredy menundukkan kepalanya menatap Joo lembut. "Kenapa seperti itu?"
"Karena cepat atau lambat keluargaku akan membuatku menjadi dokter. Kemampuanku dalam melukis akan hilang dan aku tak akan pernah bisa mencurahkan perasaanku dengan baik.'
Senyum tipis tercetak dalam wajah Fredy. "Melukislah. Tunjukkan pada keluargamu bahwa lukisanmu adalah mimpi terbesarmu."
Pukulan keras mendarat pada dada Fredy. Joo menegakkan kepalanya dari dekapan Fredy. Tatapan penuh amarah tersirat dalam mata sembabnya. "Bagaimana kau bisa berkata seperti itu kalau kau juga pernah menghina lukisanku! Kau bilang--"
"Maaf." Fredy memotong amarah Joo. "Aku tahu saat itu suasana hatimu buruk. Aku baru tahu jika kau menjadikan setiap lukisanmu sebagai ungkapan emosimu. Aku minta maaf untuk perkataanku tempo lalu." Fredy mengerti kejadian yang diungkit Joo.
Lagi-lagi hati Fredy menggerakkan tubuhnya. Tangan Fredy menyentuh kedua bahu Joo dan menatapnya dalam-dalam. "Berbahagialah, lakukan semua yang kau inginkan baik untuk masa depanmu ataupun saat ini. Melukislah, buktikan anggapan buruk orang lain dengan kesuksesanmu. Kau bisa melakukan itu Joo. Aku percaya padamu."
Tatapan Fredy mengunci segala pergerakan Joo. Air mata Joo seketika berhenti mengalir, napasnya menjadi lebih teratur, kedua matanya ikut membalas gelora dalam binar Fredy. Fredy menganggukkan kepalanya dan tersenyum simpul mencoba meneguhkan kerapuhan dalam diri Joo.
Joo melepaskan tangan Fredy yang memegang bahunya erat. Namun Fredy menahannya. "Oh ya, ada satu hal yang ingin kukatakan padamu." ucap Fredy serius. "Kumohon jangan lagi menggunakan pakaian minim di tempat umum. Pakaianmu itu dapat mengundang bahaya."
Joo tersentuh. Fredy sungguh menaruh semua perhatiannya padanya. Perlahan Joo dapat merasakan Fredy melepaskan tangannya dari bahu Joo. Lelaki itu kemudian melempar jaketnya pada Joo. "Pakailah pakaian hangat dimalam hari."
Melayang sudah jiwa Joo. Sosok dingin Fredy berubah menjadi pribadi yang manis. Joo menyukainya. Ia tersenyum lebar. Fredy telah meluruskan segala pandangan buruk Joo.
"Terima kasih.." lirih Joo memakai jaket tebal Fredy.
"Nona Joo, anda harus pulang! Tuan Ryan menunggu. Mari iku saya!" seorang lelaki berjas hitam dan berperawakan tegap berdiri di depan Joo. Tangannya terulur untuk Joo.
Seketika nyali Joo kembali menciut. Joo tahu apa yang akan terjadi jika ia pergi bersama lelaki yang sudah jelas suruhan ayahnya. Takut-takut Joo menatap Fredy-mencoba meminta bantuan lelaki itu. Namun lelaki itu malah menganggukkan kepalanya dan tersenyum.
"Fredy, aku tak akan bisa meraih mimpiku." lirih Joo.
Fredy menggeleng. "Ini saatnya kau berperang dan berjuang mempertahankan mimpimu," Fredy menepuk lengan Joo pelan. "Ikutlah, aku akan selalu mendukungmu."
Seakan tak sabar menunggu reaksi Joo, lelaki paruh baya itu manarik tangan Joo untuk bangkit lalu segera membawanya pergi tanpa mempedulikan sosok Fredy.
Joo telah pergi bersama lelaki itu. Fredy menatap punggungnya dari kejauhan. Kedua mata Fredy terpejam. Ia harus yakin bahwa apa yang ia katakan dapat membantu Joo menjalani masalahnya. Mungkin cukup untuk permulaan. Ya, sejak pembicaraannya dengan dokter, Fredy telah membuat keyakinan pada dirinya. Ia akan menjadi obat untuk Joo agar ia sembuh. Hanya untuk memenuhi nasihat ibunya sebelum tiada.
***