Semudah itu Ferus tertidur. Lagi-lagi seperempat jam. Tiba-tiba saja mereka sudah kembali ke peron tempat mereka sebelumnya pergi menuju pusat perbelanjaan.
Taman Yorks, tempat itu sering menjadi tempat main Ferus ketika Abuela masih lumayan muda, menemani cucunya bermain sepulang sekolah. Tidak atau dengan luka-luka sehabis dihajar anak-anak yang lebih bongsor dan kuat. Danaunya adalah tempat favorit Ferus. Kalau angin sedang berembus cukup kencang dia sering terhipnotis oleh riak yang dihasilkan, mengikuti arah angin seolah tanah yang dia pijak bergerak, bukan airnya.
Suatu hari dia juga pernah melihat wajah di dalam air. Nyaris berenang ke permukaan, tapi mungkin makhluk itu terlalu malu untuk menunjukkan diri sehingga dia kembali berenang ke dasar danau. Ia berinsang, tetapi secara keseluruhan lebih mirip manusia berwarna hijau kebiruan. Ukuran kepalanya mungkin hanya sekepalan tangan Ferus. Rambutnya adalah kulit kepalanya juga, memanjang dan tipis seperti pasta penyek—Ferus rasa begitu. Baru ketika dia ceritakan itu pada Nick, anak itu bilang Ferus melihat roh air.
Sebulan Ferus meninggalkan taman ini. Terakhir kali ke sini bersama Nick, Jack, Hayes, dan Linda; teman di kelas geografi. Tujuannya adalah kerja kelompok tugas geografi walau berakhir main UNO di bawah pohon ek. Tempatnya berada di ujung lain lokasi Ferus sekarang.
Rupanya tempat ini tidak terlalu mengalami perubahan. Kecuali wilayah lain yang belum Ferus kunjungi karena Taman Yorks sangat luas. Dengar-dengar mencapai empat kilometer persegi. Dan isinya bukan hanya hamparan rumput ataupun danau, tapi ada jembatan, konservatori, kafe, taman bermain anak-anak, bahkan ada toko suvenir oleh-oleh Yorks, dan mungkin masih ada hal lain yang belum Ferus sadari selama hidup delapan belas tahun di Yorks.
Leah membawanya ke danau favorit Ferus, di mana ada jembatan batu yang melengkung di atasnya pada bagian jarak terpendek danau. Semakin ke bawah semakin lebat lumut dan tanaman bersulur tumbuh di bebatuannya yang masih kukuh. Katanya jembatan itu sudah dibuat sejak orang-orang Moskovia pertama kali menjamah tanah Arkadia yang masih berupa alam bebas dan liar, serta bangsa-bangsa primitif yang sudah punah pada masa sekarang karena mereka digenosida oleh orang Moskovia. Kemungkinan sebelum abad ke-10.
Terdapat beberapa bangku taman menghadap danau yang terpisah oleh wilayah pejalan kaki. Ferus dan Leah duduk di situ, mengamati siluet kawanan burung yang terbang di langit melewati beberapa pohon tinggi yang sudah rontok daun-daunnya pada musim gugur, hanya terlihat kumpulan jari-jari kurus ranting yang dilatari gedung pencakar langit pudar di kejauhan sana.
Tampaknya Ferus sudah menyetujui bahwa ini musim gugur, bukan musim semi.
Taman Yorks selalu memiliki suhu lebih dingin dan sirkulasi udara yang lebih lancar, mungkin karena angin bebas menukik tanpa terhalang gedung pencakar langit meskipun letaknya berada di jantung kota. Gemerisik daun terempas angin terdengar seperti bisikan alam yang menenangkan jiwa dan raga. Sejauh mata memandang, warna didominasi oleh warna merah dan kuning hasil dari dedaunan yang berguguran di musim gugur.
Aneh rasanya mengingat harusnya ini masih bulan Juni di mana musim semi berjaya, dan artinya tanaman-tanaman masih berwarna hijau asri. Namun terlepas dari itu suasananya tidak kalah indah, justru jauh lebih hangat meski angin sudah berkali-kali membuat Ferus merinding.
Beberapa orang di sudut lain mengumpulkan daun-daun yang berguguran di hamparan rumput untuk melempar diri seakan merebah di atas kasur berbulu angsa sambil bersenda gurau. Ada pula yang masih bersemangat melempar cakram plastik untuk ditangkap anjing golden retriever besar dan hiperaktif.
Leah menyelonjorkan kaki, menyimpan tangan di dalam saku mantel beludrunya yang berwarna cokelat. Di tengah menikmati pemandangan dia tiba-tiba berujar sesuatu. "Entah kenapa," katanya, "aku tiba-tiba ingat soal kamu anak klub teater."
Ferus memberinya lirikan dari ekor mata. "Oh, ya. Kenapa?"
Leah menengadah pada Ferus. "Apa kalian sedang ada pentas?"
"Um, begitulah." Tiba-tiba saja Ferus merasa malu soal ini. Bukan karena dia tidak percaya diri menunjukkan karya, tetapi ....
"Wah, peranmu apa?" seru Leah semangat.
Binar di matanya itu membuat Ferus tidak tahan. Dan pertanyaan inilah yang menjadi masalah. "A-aku ... peranku agak absurd .... Yeah, sebenarnya ceritanya yang absurd. Tapi aku terhitung sebagai tokoh utama dalam ceritanya."
"Wah!" Dia menjulurkan lehernya tetapi punggung masih bersandar santai di sandaran bangku. "Coba ceritakan!"
Dengan canggung Ferus menggaruk dagu, menyusun ceritanya dalam kepala. "Jadi ini skenario yang dibuat angkatan lalu, tapi tidak sempat dipentaskan karena mereka menganggap naskahnya kurang menarik dibanding naskah yang lain. Guruku mengubah sedikit naskahnya sehingga ceritanya dijadikan bahan pentas seni yang bakal diadakan sebentar lagi. Nah, ceritanya sederhana." Ferus berdeham sebelum menyelesaikan. "Intinya ada seorang gadis desa yang jatuh cinta dengan gorila karena mendengar nyanyiannya di hutan, lalu dia diajak berdansa dengannya. Rupanya gorila itu adalah legenda yang dipercaya oleh warga desa sebagai gorila yang gemar menculik anak gadis. Tetapi akhirnya gorila itu bisa hidup bahagia setelah dia menunjukkan bakat menghiburnya pada warga."
"Dan ...." Leah menyipitkan mata. "Kau adalah gorilanya?"
Wajah Ferus memanas, dia harap tidak memerah. "Aku tahu gorila itu menggelikan."
Leah mengabaikan keluhan Ferus. "Berarti kau bisa menari dan menyanyi?" tanyanya lagi tidak ada habisnya.
"Khusus menari, sebelum itu aku dan anak-anak lain yang kebagian menari diajarkan dulu selama tiga bulan penuh. Kalau soal menyanyi ... entahlah. Menyanyi adalah hobiku dari kecil," ungkap Ferus malu-malu. Reaksi Leah antusias sekali, seperti setiap huruf yang Ferus ucapkan adalah sihir untuknya.
Leah histeris menegakkan tubuhnya. "Astaga. Aku tidak percaya bertemu anak berbakat sepertimu!"
"Eh, tidak juga—"
"Beri aku satu adegan yang paling kamu suka! Tapi, tapi, aku minta dengan nyanyiannya juga. Boleh?"
"Uh ...."
Alis Leah terangkat tinggi. Fokusnya hanya benar-benar pada Ferus.
Ferus baru mencoba mengikuti kelas dan klub teater saat SMA ini, dan tidak ada orang yang menyaingi antusiasme Leah melihat bakatnya. Kalaupun ada mereka adalah orang-orang dalam klub. Padahal mereka juga sama berbakat. Dibandingkan ketika Ferus bilang pada Abuela bahwa dia mendapat peran utama, Abuela hanya antusias, ingin mendengarkan ceritanya, tiba-tiba Ferus disuruh merapikan selimut yang belum sempat dia bereskan sebelum berangkat sekolah.
Menarik napas dalam-dalam, Ferus kemudian berdiri. "Baiklah. Hmm, karena ini di muka umum aku tidak tahu apakah bakal sesempurna saat latihan."
Belum apa-apa Leah sudah bertepuk tangan kecil. "Yay!"
Ferus pun menarik napas lagi sambil memejamkan mata, berharap jantungnya bisa berdetak normal. "Angin-angin bernapas bersamaku—ah, tidak bisa! Aku malu!" Ferus menutup wajahnya dan tidak bisa menahan tawa. Kepalanya sudah sepanas diarahkan ke api unggun.
"Hei, jangan berhenti dulu! Lanjutkan!" seru Leah tidak puas.
Sekali lagi dia mendeham, mengeringkan tenggorokan padahal sama sekali tidak ada yang mengganjal. Posisi Ferus siapkan, berdiri tegak dengan kedua tangan mengepal sedikit menjauh dari jahitan celana—seperti seseorang yang gagah tetapi memperlihatkan ekspresi konyol. "Angin-angin bernapas bersamaku!" Dia menoleh ke kiri, lalu cepat-cepat berpindah ke titik lain. "Ranting-ranting berdansa bersamaku!" Musik yang biasa dia dengar saat adegan ini mulai melantun dalam gendang telinga. Kepala serta tangan yang ia tepuk ke paha mengikuti tempo yang semakin lama semakin cepat menjadi lebih meriah.
Sebenarnya dia masih malu, tapi dia melawan rasa itu terutama ketika Leah semakin bersemangat melihatnya mulai bergerak ke sana-kemari.
Lalu Ferus mengentak kaki ke titik lain dan menunjuk ke arah di mana dia membayangkan ada semak belukar buatan, di mana seharusnya muncul rusa yang diperankan anak lain kemudian mengelilinginya bernyanyi. "Rusa-rusa bercanda tawa bersamaku!"
Ferus melompat dengan satu kaki, berputar-putar di poros yang sama membayangkan menari bersama rusa dengan riang gembira.
Satu putaran terakhir menjadi lebih cepat, kemudian dia membuat gestur seperti menawarkan seorang putri—pada Leah—untuk berdansa bersamanya dengan ekspresi ceria dan semangat—sebagaimana watak asli dari gorila yang ditakuti oleh warga desa. "Dan hei, Nona Aster, maukah kau berkolaborasi dengankuuu?-yeah!"
Terbayangkan dalam kepalanya asap meledak di sisi panggung bersamaan dengan musik yang sekejap berhenti kemudian meledak lagi dengan tempo cepat. Geladi kotor baru saja dilakukan kemarin. Sampai sekarang Ferus belum mengenakan kostum tetapi dia sudah mendapat bayangan apa saja yang bakal muncul di panggung nanti.
Leah bertepuk tangan sambil bersorak, lalu meraih tangan Ferus dan tiba-tiba berdiri begitu saja. "Astaga Ferus, kau benar-benar hebat!"
Oh, tidak. Leah terlalu keras! Ferus menyuruhnya memelankan suara dengan menaruh telunjuk di bibir, padahal dia sendiri tidak bisa menahan tawa. "Iya, iya. Terima kasih. Tapi bisakah kaupelankan sedikit suaramu?"
Tetap Leah meremas tangan Ferus kuat-kuat. "Bagaimana bisa kau malu dengan bakat sehebat ini? Harusnya biar saja orang-orang melihat. Dan kenapa mereka semua malah sibuk sendiri, tidak melihatmu tadi?"
Benar-benar Ferus ingin menepuk wajahnya. "Entahlah. Mungkin terlalu keren untuk dilihat," candanya yang disambut tawa kencang oleh Leah.
"Kapan pentasnya? Aku akan memastikan aku hadir!"
Entah kenapa Ferus memerhatikan tangannya yang masih digenggam. Hadir? Abuela dan Abuelo saja tidak bisa hadir. Sekarang orang yang paling dia harapkan datang hanya kawan-kawan satu geng yang rata-rata juga anak teater—yang artinya mereka pun ada di panggung. Siapa yang benar-benar hadir sebagai penonton? Nick? Hayes? Linda?
"Uh, harusnya dua minggu lagi—ah, tidak. Kurang dari dua minggu kalau dari hari ini," katanya panik. Meskipun dia masih tidak yakin karena perubahan bulan yang begitu dadakan. Jelas-jelas kemarin mereka membicarakan pentas pada Juni akhir.
Tak lama Leah melepas tangan Ferus untuk mencengkeram kedua pundak cowok itu, memastikan Ferus juga menatap matanya. "Aku janji akan datang jika kondisinya memungkinkan. Anakku pun harus menonton pentasmu, siapa tahu dia bakal menjadi berbakat sepertimu!"
Bisakah Leah berhenti membuat Ferus tersipu malu? Yang bodohnya malah Ferus hajar dengan tawa kencang sambil mengusap kepala bagian belakang dan kata-kata semacam, "Tentu saja dia harus lebih hebat, tapi tidak boleh menyaingi kehebatanku."
Leah tertawa sampai wajahnya memerah. "Ayo kita ke tempat lain! Biasanya jam segini merpati-merpati sedang mendarat di dekat konservatori. Aku juga ingin beli es krim. Kau suka rasa apa?" Tiba-tiba dia menarik tangan Ferus ke arah jembatan danau.
"W-wah!" Ferus berusaha menyeimbangkan langkahnya dengan kaki yang masih gemetaran ditelan rasa malu serasa baru mengompol, sedangkan Leah dan pemikirannya sudah tiba-tiba melompat ke peristiwa lain. "Uh, aku suka semua rasa. Tapi terutama moka kalau ada. Apa—apa kau akan membelikan untukku?"
"Bagaimana, ya?" Leah cekikikan tidak henti.
Leah adalah orang yang sangat bersemangat, berseri-seri tanpa henti padahal ia sedang hamil. Jika dia sedang tidak hamil, Ferus yakin, dia akan lebih lincah dari ini. Pikir Ferus, pantas saja Leah merasa butuh keluar rumah. Apalagi mengetahui suaminya sedang dinas di luar kota. Berbanding terbalik dengan Ferus yang justru butuh sendiri dan musik dalam kepala. Kadang dia juga melampiaskannya dengan melukis di ruang "seni" yang berarti ruangan sisa di lantai atas, ditempati oleh penyangga kanvas, lemari buku, sofa, karpet, serta piano tua.
Jika Leah digambarkan sebagai warna, Ferus selalu membayangkan warna kuning atau oranye mencolok. Meledak-ledak dengan energi positif luar biasa.
Saat di depan konservatori sambil makan es krim, melihat sekawanan merpati abu-abu sedang mendarat pun sangat membuat Leah girang. Ketika Ferus takut para merpati terbang ke langit melewatinya, Leah malah tertawa dan berlari-lari kecil, meneriaki Ferus agar tidak takut. Mereka tidak makan manusia, katanya. Ferus tahu. Tapi masih ada kemungkinan dia tiba-tiba dipatuk karena terlihat seperti makanan sisa buat mereka; kurus nyaris tak berdaging. Sudah berkali-kali Ferus berteriak seperti orang gila dan akhirnya memutuskan untuk menyingkir saja daripada dipandang sengit oleh orang-orang yang menganggapnya waria kesetanan.
Tapi Leah, setelah Ferus amati dari jauh, wanita itu terlihat cocok bergabung dengan merpati-merpati yang mengitarinya dan terbang.
Dia juga membawa Ferus ke bagian taman yang lain. Hamparan rumput lebih luas, ditumbuhi beberapa pohon yang sebelumnya rindang yang kini menjadi tumpukan daun kering. Leah mengumpulkan daun-daun itu dan melemparnya pada Ferus. Tentu saja Ferus tidak mau kalah dengan permainannya. Selanjutnya mereka menumpuk dedaunan itu untuk menghampar di atasnya, melebarkan tangan dan kaki dan mengubur diri.
Ferus tidak menyangka bermain dengan orang asing bisa sampai semenyenangkan ini.
Ketika mereka lelah, mereka hanya memandang langit yang mulai gelap. Sedikit gerakan menimbulkan suara gemerisik daun, seperti ketika Ferus menoleh pada Leah yang masih tersenyum kecil pada langit.
Ferus pun bertanya padanya, "Calon anakmu itu, laki-laki atau perempuan, Leah?"
"Laki-laki," jawabnya lalu memandang Ferus. "Aku dan suamiku sepakat memberinya nama Satriya. Diambil dari bangsa kesatria dalam kepercayaan Sindhu."
"Kau beragama Sindhu?" tanya Ferus memastikan.
Dia melihat ke atas, lalu menggeleng. "Aku tidak punya kepercayaan. Dunia ini terlalu sempit jika kamu hanya berkiblat pada satu agama."
Kata-kata itu terdengar tidak asing buat Ferus .... Apakah itu kata-kata Nick? Anak itu mengaku sebagai agnostik. Masalah ada atau tidak adanya Tuhan, dia tidak peduli. Yang penting dia menjalankan kehidupan sesuai aturan sebagai manusia yang baik dan benar.
Ferus pun kembali memandang langit, lebih menghayati angin yang berembus dingin di wajahnya, masuk ke hidung dan menyegarkan kepala serta pikiran.
Hal yang membautnya pedih adalah ketika mengingat bahwa wanita di sampingnya harusnya sudah mati—atau mungkin akan mati, bahkan bersama kandungannya. Apakah Ferus harus mengingatkannya dari sekarang supaya dia lebih berhati-hati? Atau Ferus harus mengawasinya setiap saat untuk mencegah peristiwa itu?
"Aku ...," ujar Ferus tiba-tiba. Gemerisik daun mengisi telinganya, saat Leah menoleh Ferus pun menoleh padanya. "Aku ingin memberitahumu sesuatu."
"Apa itu?" tanya Leah dengan senyum lembut.
Jangan berikan aku senyum itu .... Menyakitkan. Tapi Ferus sendiri tidak bisa berpaling dari matanya, dari mata yang penuh kasih sayang itu.
"Aku ingin memberitahu ...." Bahwa kau akan mati, Leah. " ... Sepertinya aku masuk angin."
Ferus dan dia sempat diam cukup lama.
"Astaga." Leah terkejut, pelan-pelan duduk dari baringnya karena terhalang perut. "Kalau begitu pulang saja? Jangan katakan kau sudah buang angin dari tadi?"
Karenanya Ferus tertawa. Tertawa geli mengingat betapa tolol dirinya. Ferus pun mengikutinya duduk, mengamati serpihan daun kering tersangkut di rambut Leah yang berombak dan lebat.
Diam-diam Ferus mengusap kepala untuk menyingkirkan daun yang menempel sehingga Leah pun mengikuti. "Ya, bisa dibilang begitu. Mungkin hari ini sampai sini saja. Kau juga harus istirahat di rumah," kata Ferus.
Wanita itu terkekeh kecil. "Iya. Terima kasih karena sudah menemaniku, Ferus. Masih menginap di tempatku, kan?"
Tiba-tiba saja Ferus teringat akan hal itu. Dia sempat meragu. "Err, Paman Argy bagaimana?"
"Sudah kubilang dia tidak akan mempermasalahkan." Leah mengibas tangannya.
"B-benarkah?" Ferus tak bisa membohongi rasa semangatnya.
Leah tersenyum, lalu mengusap kepala Ferus. Dia juga menyingkirkan poni keriting Ferus untuk mengambil sesuatu di baliknya. Serpihan daun. Sesaat kemudian Ferus baru sadar wanita itu telah menatapnya dengan penuh arti.
"Andai saja kau kakak dari anakku." Leah menghela napas. "Aku akan senang punya anak sepertimu, Ferus."
Dan pada detik ini Ferus pun tersadar oleh suatu hal. Ada sesuatu yang sangat dia inginkan dari Leah. Sesuatu melebihi yang Abuela berikan padanya.
Inikah rasa sebenarnya memiliki ibu?
Di sebuah peron kereta bawah tanah, tepat di pinggir peron, di antara barisan orang-orang yang menunggu kereta akan datang. Seorang pria berdiri, memejamkan mata hingga keningnya yang lebar dan putih mengilap membentuk kerutan-kerutan.
Lee Howard.
Konsentrasi penuh ia kerahkan, mengabaikan suara-suara yang berada di sekitarnya. Mengabaikan orang-orang yang berlalu lalang di sekitarnya. Mengabaikan napas-napas yang berderu dari setiap individu.
Dia mulai merasakannya. Kehadiran itu. Kehadiran yang menimbulkan detak jantung sangat keras. Bulu kuduk yang tersetrum oleh sinyal. Suara kereta. Gerbong itu akan datang.
Lampu menyorot lorong kereta, bertepatan ketika pria itu memutuskan untuk membuka mata. Perasaan bergejolak itu semakin kuat. Ia yakin kereta inilah yang harus dia naiki.
Berbondong-bondong para penumpang dari dalam keluar dari kereta. Begitu giliran mereka selesai, Lee bersama para penumpang lainnya menghamburi kereta itu. Lee tidak segera mengambil tempat duduk padahal masih banyak tempat tersisa untuknya. Instingnya justru memberikan arahan untuk berjalan ke gerbong lain. Gerbong arah kanan.
Benar saja. Semua orang mengabaikan penampakan itu, tetapi Lee tidak. Jelas-jelas portal lubang cacing keunguan itu berada di atas sebuah kursi kereta. Dengan langkah mantap ia mendekat, mengulurkan tangannya pada lubang cacing. Setitik cahaya timbul menyelubungi tangannya, yang kemudian merambat menjadi kilap raksasa, menyedotnya ke dalam lubang dan menghilang.
Ceritanya bikin penasaran. Openingnya kereeeeennn.
Comment on chapter Act 000