Lagi-lagi malam itu Yuka menjenguk Nick sambil membawa pesanan yang Nick titipkan: film horor peringkat tinggi. Esensi film horor di mata keduanya berubah menjadi film protes massa ketika Nick berteriak kepada televisi, "Dasar otak udang! Sudah tahu ruangannya gelap masih saja cari mati." Kedua tangannya sampai mengibas udara dengan jengkel.
Yuka dengan santai mengunyah berondong jagung yang dia curi dari pangkuan Nick. "Kalau tidak begitu filmnya tidak akan—" Ucapannya terputus karena kegaduhan suara barang jatuh di dalam film mengejutkannya, tetapi itu hanya menimbulkan tegangan pundak Yuka. Dia meneruskan memakan berondong jagungnya.
"Sudah kubilang." Nick mengambil segenggam berondong jagung dengan emosi, sebagian di dalam kepalannya tumpah di kasur.
Acara protes film horor harus berhenti ketika ponsel Nick bergetar di atas nakas. Dia sedikit membalikkan tubuhnya ke belakang untuk mengambil ponsel. "Malam, Abuela?"
"Nick ...." Abuela di sana terdengar sedang menangis, suaranya pun bergetar hebat. "Ferus ...."
Apa yang disampaikan Abuela membuat Nick membelalakkan mata.
Selama beberapa hari ke belakang, Ferus tidak pernah tidur senyenyak ini. Sekalipun itu hanya lima belas menit. Ya, dia terpaksa bangun karena ponselnya rewel di dalam saku. Paling tidak ia dapat merasakan tubuhnya sudah segar bugar. Apakah ini yang namanya terlahir kembali?
Wajahnya ia usap dengan satu tangan sedangkan tangan satunya lagi membuka selimut. Suhu di ruangan ini menaik, sedikit keringat melumuri kulitnya. Lengan dan kakinya yang kurus dan panjang ia regangkan. Kenikmatannya menjalar ke seluruh jaringan dalam ototnya. Dia kira ini sudah pagi sampai ponselnya menunjukkan perbedaan waktu seperempat jam dari terakhir kali dia syok mengecek tanggal ponselnya, serta kontak AVATAR BOBROK yang menghiasi layarnya.
"Cerewet," rutuknya pada ponselnya yang tidak berhenti bergetar. Ia pun mengangkat panggilan. "Yo."
"Kuda Berenang!" suara Nick kelewat nyaring di telinganya, dia sampai menyingkirkan benda menjijikkan itu dari telinga. "Sedang apa kau di luar sana?"
"Di luar? Ini di dalam." Dia melihat sekeliling apartemen Leah. Oh, tunggu. Seketika dia ingat sesuatu. "Eh, iya. Maksudku, aku sedang ... sedang di rumah ... Jack." Sebaik mungkin dia terdengar tidak ragu. Apalagi di telinga Nick karena dia paling mudah membaca kebohongan dari dalam diri Ferus.
"Di rumah Jack?" Geraman keluar dari mulutnya, tampaknya Nick tidak sadar cara bicaranya yang ragu-ragu. "Kukira kamu menghilang ke mana. Kenapa tidak izin pada Abuela lebih dulu?"
Ferus memejamkan matanya, mengusap pelipisnya dengan sedikit pijatan. Ia pun kembali menyelimuti sebagian paha dengan selimut. "Lupa. Sori," dia sedikit merajuk. Sengaja dia tidak bicara banyak supaya Nick tidak menangkap kebohongannya.
"Kabari Abuela secepatnya kalau begitu, walau habis ini aku pun akan mengabarinya. Jangan sampai hilang tanggung jawab seperti itu. Apa kamu tidak memikirkan perasaan kakek nenekmu sama sekali?"
Fokus Ferus dari ocehan Nick sudah mengabur semenjak anak bawel itu menyuruhnya untuk mengabari Abuela. Karena saat ini matanya teralihkan pada pintu masuk apartemen Leah yang berada di seberang sudut kanan. Sesuatu ... sesuatu menembus pintu itu. Orang. Banyak orang. Mereka semua mengenakan pakaian putih, mendorong usungan kereta ramai-ramai tampak mengantarkan pasien berlumur darah di atasnya. Kegiatan yang wajib dilakukan ketika mereka tergesa-gesa menuju UGD.
Pemandangan tersebut menancapkan cekaman pada Ferus yang sedikit pun tidak bisa menggerakkan tubuhnya, kecuali detak jantungnya yang memancarkan darah panas-dingin ke seluruh tubuh. Seolah telinganya pun dibatasi tembok untuk mendengar Nick yang berusaha mendapatkan perhatian. Matanya, kepalanya, terus mengikuti arah kemunculan rombongan tersebut hingga menembus tembok menuju kamar calon anak Leah.
Ketika mereka menghilang, Ferus baru bisa menggerakkan tubuhnya, itu pun hanya mampu mengangkat kaki ke sofa untuk menyembunyikan badannya di balik kaki kurusnya. Jelalatan matanya mencermati sekitar. Kenapa ada penampakan perawat, dokter, serta pasien berdarah-darah di apartemen ini? Apakah akan ada sesuatu lagi yang muncul? Sisi kanannya aman? Sisi kirinya aman? Saatnya lari, logikanya terus mengirimkan impuls, tetapi tubuhnya tidak bereaksi.
"Cepat siapkan semuanya!" Tiba-tiba seorang dokter muncul setelah kedipan matanya, ia menjejalkan masker gas pernapasan pada wajah Ferus.
Berikutnya yang terjadi adalah jeritan Ferus yang membangunkan Leah di kamarnya. Wanita itu kontan duduk tegak di kasurnya. Ada apa—ada apa di luar sana? Sadar jeritan Ferus masih berlanjut, dia lekas turun dari kasur meski gerakannya sangat terbatas oleh perut mengandung anaknya. Dia terseok-seok menuju pintu, membukanya, mendapati Ferus tengah memukul-mukul udara sambil meringkuk di atas sofa.
"Ferus!" Leah berteriak, dengan panik menghampirinya.
Mulanya dia ragu menangkap Ferus yang meronta-ronta terhadap sesuatu yang tidak ada. Dia takut pukulan anak ini pun akan mencelakainya terutama bayinya. Tangannya berhasil menahan lengan kiri Ferus, sialnya karena anak itu masih lepas kendali, sekuat tenaga dia menendang kaki Leah hingga wanita malang itu hilang keseimbangan.
Detik-detik sebelum mendarat Leah sangat putus asa. Beruntungnya masih ada meja kopi menahannya sehingga dia jatuh terduduk di atasnya dan tidak menimbulkan guncangan cukup parah. Menyadari hal itu Ferus terbangun dari setengah kesadarannya walau membutuhkan beberapa detik untuk mengenali situasi sebenarnya.
Merinding menguasai kulit Ferus. Dia nyaris mencelakai seorang calon ibu. Lagi? Dia merugikan orang lain lagi?
Mulut Ferus gagu ingin mengucapkan sesuatu. Air matanya mengalir lagi untuk sejuta kalinya. Setelah ini dia harus siap mendapat caci maki dari Leah. Diusir dari apartemennya. Kembali sendirian sementara para hantu menertawai penderitaannya.
Berlainan dari yang dikira Ferus, Leah justru segera mendekapnya. Air mata anak polos itu meluluhkan hatinya kendati dia tahu Ferus hampir mencelakai nyawa bayinya. Ferus pun tidak menyangka Leah masih mengampuninya. Kehangatan tubuh Leah dalam sekejap mengusir ketakutan yang menjangkit ke dalam sarafnya. Lekas Ferus membalas dekapannya sampai meremas bajunya. Air matanya membasahi baju Leah, tetapi wanita itu tidak mempermasalahkan. Bahkan Leah berpindah untuk duduk di samping Ferus tanpa mengucapkan sepatah kata selain mengusap punggung Ferus.
Posisi mereka terus bertahan seperti itu. Ferus tidak ingin sosok manusia sungguhan menjauh darinya, jadi dia berharap Leah tidak akan pergi darinya. Sementara Leah sendiri tidak keberatan menemaninya, bahkan hingga punggung Ferus yang bergetar naik-turun mulai melemas. Sekalipun harus menemaninya semalaman. Tidak masalah.
Lama-lama Ferus tidak sama sekali bergerak selain gerakan dari napasnya yang menghalus. Sedikit Leah menjauhkan Ferus darinya untuk menyandarkan mereka berdua ke sofa. Ia pun mendorong kepala Ferus lagi untuk bersandar pada pundaknya.
Tiba-tiba saja giliran Leah yang tersakiti. Bukan karena perbuatan Ferus, tetapi mendapati anak ini begitu tersiksa mendengar dari kisah berikut penderitaannya malam ini. Dia pasti sehabis diganggu hantu lagi.
Tidak seharusnya dia meninggalkan anak ini tidur di luar sendirian. Leah pun tersenyum tipis sambil mengusap sisi kepalanya dengan lembut, walau sebenarnya matanya telah dikerubungi air mata. Sebelum dia memutuskan untuk ikut memejamkan mata.
Mengapa belakangan ini ia merasa sangat jauh dengan cucunya?
Sebuah pigura berada di tangannya yang rapuh. Air mata mengetuk kaca yang melapisi sebuah foto di dalamnya. Tidak ada yang aneh dari foto itu. Hanya sepasang kekasih di depan gereja yang baru saja menikah. Tidak ada yang aneh. Kecuali pada bagian kepala sang pengantin pria. Bagian itu robek, merahasiakan siapa pendamping wanita yang tersenyum cerah dalam kaitan lengannya. Wanita yang memiliki kulit kecokelatan seperti sang pemegang foto dengan rambut panjang bergelombang berwarna cokelat kemerahan, tingginya setara dengan pundak sang kekasih, memiliki tubuh indah seperti biola.
Terutama, struktur wajahnya sangat mirip dengan putranya yang sedang tidak ada.
"Sara ...." Abuela menghapus air matanya yang menetes di atas kaca. Ia tengah duduk di sofa ruang keluarga begitu mendapati ini sudah hari setelah Ferus kabur dari rumah. "Maafkan Mama yang tidak bisa mengurus anakmu dengan benar."
Foto itu dia peluk erat-erat. Abuela membungkuk dan membiarkan air matanya berjatuhan membasahi rok terusannya. Sesal merajainya. Mau bagaimana lagi? Sebenarnya dia sangat peduli kepada Ferus, dia menginginkan segala hal yang terbaik untuknya. Namun, benar, caranya memang salah. Lihat sekarang, Ferus sampai kabur dari rumah. Sebenci itukah anak itu pada neneknya sekarang? Jika iya, bisakah Abuela mengulang ini semua dari awal?
Bel pintu rumahnya berbunyi, Abuela mendongak sambil menyedot lendir di dalam hidungnya. Astaga, kenapa harus di saat-saat seperti ini? Lagi pula siapa orang yang pagi-pagi begini bertamu ke rumah?
Secepat mungkin ia keluar dari ruang televisi, meletakkan pigura di atas bufet yang berada di lorong, lalu melapisi pigura itu dengan kain yang ia tinggalkan di samping telepon rumah. Tidak mau dia membuat orang di luar sana keheranan menemukan betapa kusut wajahnya. Ia pun berjalan cepat ke kamar mandi untuk mencuci wajah, mengesatnya dengan handuk dan menyusul pintu di saat bel kedua kalinya berbunyi.
Orang yang hadir di depannya adalah seorang pria yang tingginya persis seperti Nick. Kulitnya putih pucat dengan mata sipit. Pangkas rambutnya rapi. Ia mengenakan jaket penerbang modern warna hijau. Di tangannya, yang ia angkat sejajar dengan perut, terdapat sebuah map plastik bening dengan selembar kertas di dalamnya. Pria itu tersenyum simpul, mengabaikan kondisi Abuela yang berantakan secara mental.
"Nyonya Jones?" Ia menyapa dengan sopan. "Saya Lee Howard dari KMM. Mungkin Anda sudah tahu dari Nicholas Lincoln."
"Ah." Wanita itu sekali lagi mengusap matanya. "S-silakan masuk. Tapi ada urusan apa?"
"Mengenai surat perjanjian misi. Mr. Lincoln ingin Anda yang menandatanganinya," ia berkata, lalu melangkah masuk masih dengan senyum santunnya, sementara Abuela di belakangnya menutup pintu. "Dan mungkin Anda ingin mendengar penjelasannya lebih rinci perkara misi ini."
Abuela pun mengangguk lesu. Saat ini dia tidak bisa bereaksi banyak dengan kondisi hatinya yang tercabik-cabik. Mengetahui faktanya KMM harus turun tangan saja membuatnya terpuruk begitu dalam.
"Ferus, sarapan."
Suara selembut bulu angsa itu membangunkan Ferus. Dan bukan itu saja, semerbak wangi mentega, telur, sosis, dan masih banyak aroma lain menyenggak hidungnya. Serasa daerah di sekitar matanya mengerak setelah mengingat kejadian tolol semalam. Dia mengusap wajahnya untuk mengusir air mata kering sambil perlahan bangkit dari tidurnya yang menyamping. Ia memeriksa bantal, syukurlah dia tidak perlu mengakui sebuah pulau.
Leah menyiapkan makanan di depan wajahnya, tepatnya di atas meja kopi. "Cuci wajahmu dulu supaya lebih segar," katanya layaknya seorang ibu.
"Selamat pagi?"
Seketika Ferus menegak meskipun matanya masih belum bisa sepenuhnya terbuka. Kehadiran seorang pria dari kamar Leah meloncatkan jantungnya ke tenggorokan. Pria itu bertubuh pendek, tetapi berbadan kekar. Rambutnya keriting di atas sementara sisi kepalanya dipangkas botak tipis. Kulitnya kecokelatan seperti Ferus, tetapi tampaknya dia memiliki ciri khas bentuk wajah yang sedikit berbeda? Apakah itu wajah orang-orang benua Timur bagian lain?
Harusnya Ferus tidak perlu merasa terancam karena pria itu sedang memberinya senyum lebar nan ramah.
Leah datang kembali dari dapur dengan dua buah gelas berisi air minum. Selintas dia memberitahu sembari meletakkan dua gelas itu di meja kopi. "Suamiku, Argy."
Tentu saja. Cincin di jari manisnya menjelaskan segalanya. Ferus mencoba memperkenalkan diri. "F-Fe-Fe—"
"Fetus?" Sebelah alis pria itu menaik dengan antusias. Oh, apakah Ferus sekonyol itu di matanya?
"Ferus, Sayang," Leah mengoreksi selagi melewati dan menjawil dagu suaminya yang sedang tertawa.
Pria itu pun duduk di sofa panjang pada sisi lain. "Ayo, ayo. Cepat cuci mukamu dan kita makan bersama."
Ferus tidak membantah sedikit pun, langsung beranjak ke kamar mandi. Cara jalannya seperti orang kehilangan separuh otaknya. Sebenarnya pikirannya sedang melambung. Apakah dia masih bermimpi? Tepatnya bermimpi sedang di surga? Sejak kapan Paman Argy berada di apartemen? Dan apakah ini masih tahun 1995?
Tak lama setelah Ferus mencuci muka, mereka menikmati sarapan bertiga. Ferus dihujani banyak pertanyaan oleh Argy terutama seputar pendidikannya. Seperti bersekolah di mana, mata pelajaran apa saja yang dia ambil, dan siapa cewek kesukaannya di sekolah. Rupanya pria itu tidak seseram yang Ferus kira, malah dia berhasil menarik keluar jati diri Ferus yang sebenarnya.
"Ya!" Ferus menyeru. "Kubangan. Benar-benar kubangan!"
"Dan semuanya karena si Nick itu meleng memerhatikan kolor seorang laki-laki karena kausnya terangkat oleh ransel?" Sampai-sampai Argy memukul lututnya dengan kencang. "Astaga, manusia macam apa dia itu?"
"Entah—" Tiba-tiba Ferus tersiksa karena tersedak. Bukannya menolong anak itu, Argy malah semakin terpingkal-pingkal sementara istrinya berubah panik.
"Ya ampun!" Leah mengambilkan gelas untuk Ferus yang tidak berhenti menepuk dadanya. Mata anak laki-laki itu pun dipenuhi oleh air mata, pedih membakar kerongkongannya yang masih dipenuhi kepala brokoli yang tertelan bulat-bulat. "Ini minum, Sayang. Makanya jangan tertawa sambil makan. Aduh." Leah pun mengusap-usap punggung Ferus.
Belum lama seusai peristiwa menakutkan itu, makanan Ferus sudah musnah saja. Leah seakan tahu ini bakal terjadi sehingga dia memberitahu Ferus kalau dia masih bisa menambah. Asal mengambil sendiri di dapur. Awalnya Ferus malu-malu apalagi di depan Argy, tetapi pria itu tampak tidak peduli dengan perutnya yang kelainan.
Porsi kedua pun habis dengan cepat, tapi kali ini Ferus tidak akan menambah lagi. Dia pun beranjak dari sofa, mengambil semua alat makan yang kotor untuk dibawa ke dapur.
"Eh, tidak usah," Leah buru-buru berdiri, hanya saja kembali duduk ketika Ferus dengan kata-kata menghentikannya.
Anak itu setengah berbalik sambil berjalan. "Tidak apa-apa. Membayar semua kebaikanmu, Bibi Leah, dan Paman Argy."
Selagi Ferus mencuci piring Leah berpindah ke kursi konter, mengamati anak muda yang membelakanginya. Sedangkan Argy sudah menghilang menuju kamar mandi.
Wanita itu bertanya, "Hari ini aku mau pergi ke toko untuk memesan peralatan bayi termasuk tempat tidurnya. Kamu mau ikut atau bersantai dulu di sini?"
Ferus berdeham sejenak. Piring yang baru saja dibilas dengan air setelah disabuni ia letakkan di atas tumpukan piring lain yang mengilap. "Pergi pergi sepertinya menyenangkan."
Leah tertawa. "Tidak ke sekolah?"
Sekejap saja Ferus bimbang soal itu. "Em, boleh tidak usah?" Lalu dia mengusap spons pada piring baru untuk melunturkan minyak.
"Kenapa harus tanya padaku?" kata Leah. "Menurutku, sih, sesekali berlibur panjang."
Persetujuannya menimbulkan senyum lebar di wajah Ferus. Dia tahu Leah bukan neneknya, apalagi ibunya, wajar saja dia tidak peduli soal pendidikannya. Itu sudah kesadaran serta tanggung jawabnya sendiri. Tapi entahlah, dia sangat senang kalau Leah mengizinkannya sekali lagi menjadi anak korban pembodohan. Padahal normalnya orang dewasa akan menuntutnya untuk tetap pergi ke sekolah. Benar begitu, 'kan?
Tepat pukul sepuluh mereka keluar dari apartemen menuju stasiun kereta bawah tanah. Kantor Argy berada satu stasiun dari sebelum tujuan Ferus dan Leah. Sebelum keluar bersama penumpang lain, lelaki itu berdiri kemudian mengecup kening istrinya. "Hati-hati di jalan, oke, Sayang? Dan Ferus, aku titipkan Leah padamu, ya?"
"I-iya." Ferus mengangguk dengan mantap.
Berikutnya mereka melewati lima belas menit ke depan berduaan saja. Bisa terbilang pusat perbelanjaan pilihan Leah cukup jauh dari apartemennya. Jawaban dari wanita itu sangat sederhana. Karena: "Tidak apa-apa. Jalan-jalan sekalian, 'kan?"
Iya, jalan-jalan. Semoga saja kandungan di dalam perutnya tidak ikut berjalan-jalan, pikir Ferus.
Urusan mereka hanya satu yaitu mengenai peralatan bayi. Hanya saja belum sampai tujuan Leah sudah berbelok ke toko jam tangan. Belum sampai dua blok dia sudah mengunjungi toko baju. Kali ini dia mengunjungi toko perhiasan, bahkan mengambil foto sebuah kalung untuk dikirimkan ke suaminya.
"Siapa tahu dia iseng membelikan," Leah cekikikan.
Ferus hanya tertawa hambar. Semoga saja istri di masa depannya tidak sedikit-sedikit terserempet ke toko perhiasan.
Akhirnya Leah dapat mengingat dengan benar tujuan mereka. Sesi pertama yang mereka datangi adalah tempat tidur bayi. Pilihannya di luar rencana. Semula tempat tidur biasa berubah menjadi tempat tidur portabel berwarna biru dan abu-abu. Terima kasih kepada petugas toko yang berhasil mempersuasinya untuk beralih ke benda itu.
"Diskon?" Antusiasme mencerahkan wajah Leah. Wanita itu mengetuk-ngetukkan jari telunjuk pada dagunya yang tirus. "Harganya. Hmm. Lumayan juga, ya?"
Pria petugas itu tertawa pelan. "Bagaimana, Nyonya?"
Leah pun menoleh pada Ferus. "Menurutmu bagaimana, Ferus?"
Dia sendiri bingung. Mendengar dari namanya saja, portabel, mungkin akan lebih efektif daripada memakai model tempat tidur lama? Lagi pula kebetulan sedang diskon sehingga harganya lebih murah daripada tempat tidur biasa. Meskipun hanya berbeda sedikit, tapi bagi Ferus—apalagi bagi Leah, itu sangat berarti.
Bibir bawah Ferus menekuk ke depan bersama bahunya yang terangkat. "Yah, mungkin yang ini saja?"
"Oke," dengan cepat Leah menyetujui, lalu kembali memandang sang petugas dengan tangan menyentuh pinggir tempat tidur. "Bisa diantar kira-kira ... dari jam empat sore?"
"Sore sekali?" Ferus berkomentar, melipat tangan di dada dan memindah tumpuan kaki.
"Aku masih ingin jalan-jalan," katanya. "Terutama mau mengajakmu ke Taman Yorks."
Ferus sedikit terkejut, dia mengerjap. "Tapi sudah kubilang, Leah, kau butuh ...."
"Sehari ini saja," dia menyela, selagi menuliskan alamat rumah di atas kertas yang diberikan oleh sang petugas. "Besok, aku janji, aku akan istirahat di rumah. Lagi pula besok Argy libur dan ingin aku menemaninya."
Tunggu .... Jika besok Paman Argy ingin ditemani apakah berarti Ferus tidak bisa menginap lagi di rumahnya?
Pertanyaan itu tertahan di dalam mulutnya. Bahkan sampai mereka kembali menempuh perjalanan dalam kereta. Siang-siang begini tidak terlalu banyak yang memenuhi kereta, berbeda dengan tadi pagi karena semua orang sudah mencapai tujuannya. Kecuali Ferus si anak yang membolos sekolah, dan Leah ibu-ibu hamil lincah yang tidak sedikit pun kelelahan.
Seorang kakek-kakek duduk agak jauh di seberang kanan mereka. Kemungkinan ketiduran di tengah membaca koran karena tangannya yang terkulai di bawah lutut sedang memegang koran yang terlipat. Ada pula seorang ibu sibuk meladeni dua anak laki-lakinya perkara mainan robot. Di sisi lain, ada perempuan-perempuan sepantar Leah dalam balutan baju pegawai kantor. Mencemooh pacar berengsek dari salah satu perempuan di sana dengan kata-kata seputar otak selangkangan binal.
Kali ini tidak ada percakapan di antara mereka sehingga Ferus mengeluarkan ponselnya untuk memeriksa sesuatu. Barangkali ada hal menarik di media sosial sana ....
"Semoga saja berhasil."
Ferus menoleh pada Leah yang berbicara. "Ya? Berhasil apa?"
"Hmm?" Alis Leah terangkat dengan senyum tipis. "Apa? Kenapa?"
Sejenak Ferus bungkam, matanya mengerjap. Lalu dia tertawa canggung. "Bukannya tadi kamu bilang 'semoga saja berhasil'?"
Kali ini Leah yang kebingungan, keningnya sedikit berkerut dan matanya beralih sebentar. "Tidak ...? Aku tidak mengucapkan apa-apa."
Belum sempat memprotes, suara lain muncul, kali ini dari arah lain tetapi masih sangat dekat di telinganya. Suara itu berkata, Apa aku harus membangunkanmu kalau sudah lewat waktu tertentu? Dan kali ini, itu suara anak laki-laki.
Suara Nick. Ferus bersumpah.
"Nick?" Ferus mengedikkan kepala, tetapi jelas tidak ada sosok temannya. Tingkahnya membuat berbagai pasang mata mulai memerhatikannya dengan sinis.
"Ferus," Leah berbisik. "Apa kau ...."
Tidak perlu. Datang lagi suara lain dari arah Leah. Kali ini suara pria yang tidak dia kenal.
"Hah!" Ferus berteriak, sampai-sampai mendorong wanita itu sementara dia bergeser menjauh. Dia pun menutup telinga rapat-rapat. Astaga, apakah lagi-lagi dia diganggu oleh hantu?
Sudah sering aku menangani kasus seperti ini. Jadi aku tahu batasnya. Hanya saja kalau ada apa-apa tolong hati-hati.
"Ferus!" Leah mengguncang pundak Ferus berusaha mendapat perhatiannya. "Hei, Nak, dengar. Dengarkan aku! Abaikan suara-suara gaib yang kaudengar!"
Permasalahannya adalah suara itu terus datang. Saling berbicara satu sama lain di dalam kepalanya. Suara Nick, suara pria asing, lalu suara ... suara Yuka, mungkin? Tiba-tiba saja Ferus merasa dirinya menciut di dalam kereta yang begitu luas, ditelan oleh suara-suara yang berbicara cepat, tumpang tindih satu sama lain. Kenapa mereka bisa berada di dalam kepalanya? Apa yang terjadi? Apa yang—
"Ferus!" Kali ini Leah berteriak lebih kencang, tak peduli orang-orang sudah mengamati mereka dengan jijik. Yang penting Ferus sudah kembali dari kesadarannya. Lagi-lagi matanya mengilap oleh air mata meskipun belum mengalir. Wanita itu kontan merengkuhnya erat-erat. "Sudah. Sudah. Jangan dengarkan apa pun. Jangan lihat apa pun. Pejamkan saja matamu, Sayang."
Ya. Iya. Ferus sebaik mungkin mematuhi suruhan Leah. Usir suara itu jauh-jauh. Pejamkan mata saja. Jangan rasakan sesuatu yang jelas-jelas tidak ada di depan matanya. Ya ampun. Tetap saja dia begitu takut. Untungnya ia berada di dalam dekapan Leah. Dia percaya dia aman. Dia percaya.
Ceritanya bikin penasaran. Openingnya kereeeeennn.
Comment on chapter Act 000