Read More >>"> The Red Eyes (Act 024) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Red Eyes
MENU
About Us  

Lee membuka mata. Dalam sekejap dirinya berusaha menyesuaikan diri. Dia melihat ke kiri, lalu ke kanan. Posisinya sedang duduk di bangku kereta yang sama, dalam kondisi yang sama pula.

Kecuali ketika dia menoleh ke jendela di belakangnya, dari balik orang-orang yang menghalangi pemandangan. Dia mendapati dua sasarannya tengah menaiki tangga menuju jalan raya di atas sana.

Niatnya duduk-duduk santai di kereta lenyap seketika. Lee menyerbu pintu padahal orang-orang sedang memasuki kereta, mendorong juga menyingkirkan siapa pun yang menghalangi jalan demi mengejar dua orang itu. Ferus dan Leah. Begitu dia berhasil keluar, dia berbaur dengan warga agar sebaik mungkin berada di luar jangkauan mata kedua targetnya. Beruntung dia keluar tepat waktu karena kereta di belakangnya mulai berderit merayapi rel.

Rupanya mereka ke Taman Yorks. Sementara ini dia memutuskan untuk mengamati dari jauh, terutama pada wanita yang sedang hamil itu. Leah Sanjaya. Kening Lee mengernyit, kelihatan mencari sesuatu yang sangat mencurigakan di balik wanita periang itu. Wanita yang tidak mungkin menyimpan kejahatan di dalam dirinya.

Ini benar-benar gawat. Anak itu, Ferus, harus segera dijauhkan darinya.

 

 

 

Ferus dan Leah memutuskan untuk pulang, menyusuri jalan batu bata di taman. Tangan mereka bergandengan, terayun ke depan dan ke belakang, sambil menyenandungkan sebuah lagu. They Long to be Close to You. Milik The Carpenters. Leah yang pertama menyenandungkannya, dalam sekejap Ferus tahu lagu itu sehingga mengikutinya bersenandung.

Di antara keduanya tidak ada yang sadar Lee sudah mengikuti dari belakang.

Tangan kanan Lee terulur, mengeluarkan sebuah pistol perak dari brankasnya. Dengan mantap dia mengokang, lalu membidik ke arah kepala belakang Leah. Tanpa perlu mempertimbangkan banyak hal dia menekan pelatuk.

Segalanya yang indah berubah menjadi kelam.

Ledakan tersebut disambut semburan darah. Tubuh Leah tersentak ke depan dan perlahan tumbang. Kejadian itu terasa begitu lamban di depan mata, juga di depan telinga Ferus. Leah tertembak ... tertembak telak di kepalanya. Darah menciprat di wajah Ferus. Ekspresi yang tersisa dari wanita berumur tiga puluh tahun itu adalah keterkejutan, rasa tidak percaya, rasa sakit ..., mata dan mulut yang membelalak.

Kemudian, tubuh wanita itu terbanting di atas jalan bata. Sempat sedikit terpental. Darah dari kepalanya yang bocor terus menciptakan genangan merah pekat, merambat cepat menuju sepatu Ferus.

Huru-hara menggerus kesadaran Ferus, ia tiba-tiba tidak ingat bahwa wanita yang barusan berada dalam genggamannya adalah seseorang yang sangat dia kenal, terbunuh tepat di depan mata. Masih belum ada kedukaan selain ketakutan yang membuatnya terenyak di atas rerumputan, menjerit kalut, lalu menyeret diri sejauh mungkin dari mayat mengerikan itu. Reaksi yang sama terjadi pada orang-orang sekitar. Tak satu pun dari mereka berniat menyelamatkan Ferus dari sang pembunuh. Tak peduli apa yang terjadi, mendengar ledakan tembakan saja sudah menggemparkan mereka. Kocar-kacir mereka kabur dari lokasi, menerbangkan teror melalui jeritan kencang.

Barulah sesuatu menyambar benak Ferus bagaikan kilat. Iya. Dia telah sadar. Itu Leah, terbunuh dengan cara yang keji! Pompa keras dalam jantungnya menimbulkan pekikan menggelegar dari mulutnya. "Tidaaaak! Tidaaak! Leaaah!"

Sambil meraung ia merangkak menuju Leah, tetapi lubang di kening Leah yang menerjunkan darah serta ekspresi terakhir yang ditinggalkan membuatnya kembali mundur. Ferus terengah-engah dalam perangkap gemetar seakan nyawanya telah terpisah dari fisik yang sukar dibuat tenang. Bahkan pikirannya tidak bisa jernih, memurukkannya ke dalam kabut kegelapan penuh duka. Air mata dengan sembrono menyebabkan pandangannya beriak.

Langkah Lee tidak sebanding dengan kesadaran Ferus untuk segera bangkit dan melarikan diri. Pria itu telah menangkap lengan atasnya, memaksanya menjauh dari Leah sementara Ferus memberontak dengan gusar. Ini adalah pembunuh Leah dan sekarang gilirannya yang akan mati! "Tidak!" Frustrasi dia melawan. "Tidak! Apa yang akan kau lakukan padaku?! kau membunuhnya! Lepaskan aku!" Kakinya terus menendang serta menahan seretan.

"Tenang, Mr. Jones!" Lee meneriakinya, masih mengeretnya susah payah. "Saya bilang tenang!" Satu sentakan keras Lee paksakan. "Dengar, Anda tidak ingat wanita itu adalah hantu?!"

"H-hantu?" Seolah baru ditampar keras oleh kenyataan dia berubah bergeming meski saluran pernapasannya masih tidak beraturan. Astaga, iya juga. Leah yang dia tahu adalah hantu, dan dia telah melupakan kewaspadaan itu.

"T-t-tapi bagaimana bisa?" Dengan tenaga yang tersisa Ferus berusaha melepaskan cengkeraman Lee. "Dia jelas—jelas-jelas hidup!" Dia juga mengarahkan tangan pada Leah dengan kasar. "Kau menembaknya, kepalanya berdarah!"

Apakah ucapan tersebut adalah mantra terlarang? Karena tiba-tiba saja asap hitam setipis asap rokok mengular dari lubang luka tembak. Dalam kepanikan napas Ferus dan Lee memburu, dan pastinya yang paling pertama sadar adalah Lee. Sekuat tenaga dia menyentak Ferus lagi hingga berdiri. "Anda sudah lihat itu! Ayo lari!"

Sejujurnya Ferus masih belum percaya, tetapi dia lebih memilih mematuhi Lee untuk menjauhi taman ini menuju jalanan, terutama begitu menyaksikan asap yang menguar semakin tebal. Pria ini tidak salah. Iya, dia yakin. Pria ini bermaksud menyelamatkannya.

Seakan Lee membaca isi kepala Ferus, sambil berlari dia mengungkap semuanya. " untuk menggantikannya menjaga Anda. Lee Howard. Nama saya. Anda Ferus Jones, benar?"

"I-iya." Pikir Ferus, beruntung pria ini datang tepat waktu. "Terima kasih karena telah menyadarkanku! Bagaimana kau tahu kalau wanita itu sudah mati?"

Sesaat Lee melihat ke belakang yang diikuti Ferus. Belum ada tanda-tanda Leah menyusul mereka. "Saya bisa merasakannya. Saya orang dari KMM—"

Keduanya tiba-tiba oleng, Ferus yang paling parah. Anak itu terguling di trotoar. Semua itu berkat gempa bumi yang tiba-tiba melanda di sekitar. Bukan gempa bumi sembarangan, jalanan saja sampai retak. Gedung yang tidak memiliki fondasi kuat, seperti yang berada di seberang mereka, mengalami retakan menjalar hingga sebongkah tembok runtuh ke daratan. Salah satu tiang listrik ambruk, menyeret tiang listrik lainnya. Mobil yang tertimpa meledakkan alarm disusul mobil-mobil lainnya. Orang-orang menyebar dari dalam bangunan menjadi hilang arah. Kekacauan yang tidak bisa diterima oleh telinga.

Di tengah usaha Ferus untuk berdiri, dia cepat-cepat dibantu oleh Lee dan belum apa-apa sudah disuruh berlari. Karena jika tidak, asap hitam yang merambat dari arah taman akan menelan mereka. Tentu saja berlari di atas permukaan yang berguncang tidak semudah yang dibayangkan.

"Mr. Jones!" Lee memanggilnya dengan lantang. "Biar kuberitahu. Saat ini kau sedang berada di dalam dimensi yang dibuat oleh hantu Leah!"

"Dimen—dimensi?! Maksudmu semacam dunia lain? Alam Bayangan?"

"Bukan Alam Bayangan. Itu berbeda." Dia tersengal-sengal. "Walau konsepnya hampir sama. Tidak ada waktu untuk—"

"Awas!"

Untung saja Ferus keburu mengingatkan Lee untuk mundur, karena jika tidak sebuah pohon besar akan meremukkan badannya. Empasan udara serta debu dari pohon yang terbanting itu menerpa wajah keduanya. Mata Lee kelilipan membuat air matanya keluar.

Pria itu melihat ke belakang Ferus, asap yang dihasilkan Leah sepenuhnya menutupi langit bagaikan tertelan dalam tinta hitam. Sekali lagi Lee mencekal lengan Ferus, menarik anak itu lebih dekat padanya. "Buka mulut Anda," perintahnya.

"A-apa?"

"Buka mulut Anda!" Lee semakin mendesak, apalagi ketika terdengar suara bisikan dan geraman bercampur mengelilingi udara, masuk ke telinga kanan lalu berpindah ke telinga kiri. Bulu kuduk mereka berdiri dalam mistis. Itu jelas-jelas desahan hantu, seketika Ferus kembali teringat wujud Leah versi mengerikan di rumah sakit. "Ini untuk membebaskan Anda dari dimensi Leah!"

Cahaya kemerahan menyilaukan datang, berasal dari tangan Lee yang lain. Semakin Ferus perhatikan semakin dia sadar bahwa cahaya itu membentuk sebuah bola yang tidak asing. Bola yang pernah ia lihat di rumah sakit.

Bola yang dihasilkan oleh si monster mata.

"Apa itu .... Tidak!" Segenap tenaga Ferus himpun untuk merebut lengannya kembali. "Kau akan memasukkan bola itu pada mulutku—aaah!"

"Mr. Jones!" Sialan. Asap itu membekuk Ferus kemudian menyeretnya ke dalam kegelapan. Lee hendak mengejarnya, tetapi dia terlalu gentar. Kejadiannya sama persis seperti yang dilakukan hantu Leah untuk merebut anak itu dari si monster bola mata.

Kali ini kuasa asap lebih besar dari sebelumnya. Ferus diangkat ke udara oleh asap, penglihatannya terhalang oleh kegelapan yang melumatnya sampai habis. Sebenarnya asap itu tidak mencekiknya sama sekali, tetapi rasa takut berhasil menyergap pernapasannya hingga dia megap-megap dan meronta susah payah.

Sayangnya lolongannya tertelan ke dalam kurungan kekelaman.

 

 

 

Kembali terbebas di dalam apartemen Leah.

Ferus gelagapan. Berdetik-detik dia termangu mendapati segalanya berubah seratus delapan puluh derajat.

Sekujur tubuhnya dia sentuh untuk memastikan dia benar-benar hidup. Tidak ada bagian yang hilang. Tidak ada yang berbahaya. Barulah setelah itu dia mencermati sekitarnya. Rupanya dia sendirian di dalam apartemen Leah yang gelap pada siang hari. Tidak satu pun lampu menyala, tetapi sinar matahari menerangi sebagian di balik tirai yang menutup jendela.

Asap hitam menghilang. Leah menghilang. Lee menghilang.

Buru-buru Ferus berlari ke arah pintu untuk membukanya. Syukurlah dia tidak terkurung di sana. Hanya saja dia telah mengagetkan seorang anak kecil di depan pintu tetangga. Kemungkinan umurnya delapan tahun. Dia membawa bola sepak hitam putih yang dijepit pada badan dan dilingkari lengannya. Sesaat dia menelengkan kepala mengamati Ferus.

Astaga, semoga saja bukan hantu. Sekarang Ferus tidak tahu harus masuk ke apartemen lagi atau melompati pagar balkon.

"Apakah Kakak dikunci oleh Bibi Leah?" anak kecil itu tiba-tiba bertanya.

Jantung Ferus menegang. Dikunci? Kenapa dia bertanya seperti itu?

"Bola permen kapas." Anak kecil itu berpaling sesaat, tampak begitu waswas, memeluk bolanya sambil melangkah mundur. "Awas, Kak. Papa Mama bilang dia itu nenek sihir."

Belum sempat Ferus melanjutkan pertanyaan, anak itu sudah memutar cepat dan lari seperti dikejar setan. Ferus meneriakinya sambil mengulurkan tangan walau tidak benar-benar meraihnya. "Hei, tunggu!" Percuma saja, dia tidak akan berhenti.

Maksud anak itu apa? Ferus tidak bisa berhenti membayangkan dia disodok-sodok permen kapas oleh Leah sambil meraung-raung. Memangnya Leah bisa sekejam itu apalagi pada anak kecil?

Kecuali mengingat hal apa yang terjadi barusan. Dan sebutan nenek sihir.

Waktu yang terus berjalan tidak mengizinkan Ferus untuk merenung. Kali ini dia mendengar tawa beberapa anak kecil di lapangan parkir. Oh, ada kehadiran manusia lain! Ferus menepi ke pagar balkon, mencengkeramnya sambil mengintip ke bawah. Rupanya sekumpulan anak kecil tengah memojokkan satu anak kecil lainnya. Pandangannya yang buram tidak dapat diperbaiki hanya dengan menyipitkan mata.

Keributan mereka bukan urusannya. Tidak ada niat di dalam dirinya untuk menolong. Sebenarnya karena dia sendiri takut. Ya, takut. Meskipun mereka hanya anak-anak, tetap saja sebagai anak yang pernah merasakan sebagai si anak kecil yang dikucilkan itu memerosotkan kepercayaan dirinya. Lagi pula ini bukan saatnya untuk memedulikan orang lain, benar?

Sudahlah, dia harus kembali ke rumahnya. Tidak ada lagi tempat baginya untuk kabur. Dia menuruni tangga apartemen Leah dengan sangat cepat.

Suara-suara anak kecil itu membesar begitu Ferus menjejak lapangan parkir. "Hahaha! Bocah Psikopat!"

Seakan ada perangkap tikus sebesar kaki manusia menjebak Ferus, tiba-tiba dia berhenti bergerak. Sebuah tombak menusuk dadanya begitu mendengar cercaan itu.

Dia berbalik kepada kumpulan anak-anak. Tak disangka ... anak yang dikerubungi oleh anak-anak yang lebih besar adalah dirinya. Dirinya ketika masih berumur sembilan tahun.

Dan lokasi di sekitarnya telah berubah. Bukan lagi apartemen Leah, melainkan lapangan bermain terletak di belakang sebuah gedung satu lantai yang terbuat dari batu bata. Jelas, ini adalah wilayah sekolahnya.

"Menangis terus! Payah!" Seorang anak melempar kerikil pada Ferus kecil, berhasil mengenai wajahnya yang membuat anak malang itu langsung meringkuk. Tangisannya bertambah kencang tetapi terkalahkan oleh sorak-sorai perundungnya.

"Kemarin saja bisa melempar adikku ke semak-semak! Sekarang sok menderita saat bertemu denganku!" Tawa perundung lainnya diiringi oleh sorak "boo" oleh anak-anak. "Berdiri, Anak Psikopat! Tidak ada yang mau mengasihanimu! Pura-pura saja bisanya!"

"Orang tuanya tidak pernah mengajarkan tentang kejujuran!"

"Dia tidak punya orang tua, bodoh! Dia hanya punya kakek nenek!"

"Iyalah. Mama Papa tidak mau mempunyai anak psikopat sepertinya!"

Hahaha!

Dapat Ferus ingat itu semua dalam memorinya. Ejekan berulang-ulang dan perlakukan yang sama. Tidak pernah berubah dari dia hanya setinggi sofa sampai berubah mirip tiang listrik. Emosi menggelegak di dalam hatinya, tetapi yang hadir bukan rasa ingin menolong anak itu. Kemarahan dan kesedihan bercampur aduk seolah dia sendiri yang sedang diganggu anak-anak itu.

Di sisi jalan lainnya, dia mendapati sosok anak perempuan manis berambut hitam dengan ciri khas wajah oriental berkulit sawo matang. Umurnya mungkin masih enam tahun. Dia berdiri di sana sekadar mengamati dengan ketakutan.

"Heh, Bocah Psikopat!" Ferus kembali menoleh kepada anak-anak itu ....

Yang bukan lagi anak-anak manusia.

Kulit mereka berubah merah seperti darah. Ukuran mata mereka membesar dan membulat, tetapi bagian iris matanya sangat kecil. Bagian paling menjijikkan adalah mulut mereka yang lebar dengan bibir hitam arang, setiap kali membuka mulut dapat terlihat gigi-gigi runcing dan besar.

Mereka adalah imp. Dan jika Ferus tidak bisa menahan diri, dia sudah terenyak dalam gemetar.

Di antara seluruh anak-anak imp besar, ada dua anak kembar imp paling mungil, ikut merundung Ferus kecil. Padahal kemungkinan umur mereka berbeda dua tahun lebih kecil dari Ferus. Salah satunya menghampiri Ferus kecil untuk memaksanya berdiri lagi. "Aku tidak peduli soal kesurupanmu. Cuma satu yang tidak kusuka darimu." Dia lalu mendorong dada Ferus, membuat anak malang itu jatuh lagi. "Jauhi Cel. Pembunuh tidak boleh berada di sekitarnya." Seringai melebar di bibir hitamnya.

Anak gadis di kejauhan yang tadi Ferus lihat bergidik, mengambil beberapa langkah mundur hingga bersembunyi di balik pohon ... untuk menangis pula. Ya, memang seperti itu. Ferus tidak bisa menyalahkan Cel. Perempuan itu sangat cari aman.

Berkat anugerahnya ini Ferus sudah mengerti kosakata psikopat di umur sembilan tahun. Berasal dari ulah hantu-hantu yang gemar merasukinya, yang secara harfiah selalu hampir membunuh orang. Ferus mendapatkan cacian itu dari anak-anak yang lebih tua dari sekolahnya, yang kemudian diikuti anak-anak sebaya bahkan yang lebih muda darinya. Sialnya, entah dari mana, anak kembar yang sering mengusiknya itu mengenal Cel. Tampaknya kedua anak itu dengan berbangga hati menyediakan bahan perundungan kepada para anak-anak yang lebih tua. Jika ingatannya tidak terlalu tersakiti untuk mengingat, anak-anak kembar itu terkenal dengan nama Si Kembar Hendricks. Entah kenapa mereka adalah imp di sini, padahal mereka hanya manusia biasa.

Peringatan dari mereka sangat sulit dijalankan bagi Ferus. Keadaan sebenarnya adalah Cel sering dititipkan oleh orang tuanya pada keluarga Jones jika mereka harus keluar rumah di waktu yang sama. Padahal dari awal Ferus tidak punya niat apa-apa dengan Cel. Tanpa perlu dilarang pun Ferus tahu dia harus menjauhi Cel, semua orang, supaya tidak menimbulkan masalah.

Ujung-ujungnya bukan hanya Ferus yang takut pada Cel, tetapi anak perempuan itu juga takut pada Ferus. Takut jika dia akan mengeruhkan keadaan. Kalau Cel ada, Ferus selalu lari seperti dikejar anjing. Tetapi Cel lebih parah, dia tidak pernah ingin berkunjung lagi ke rumah Jones kecuali jika orang tuanya sangat memaksa. Pertemanan mereka diawasi oleh anak-anak nakal itu. Tanpa Ferus perlu cari tahu kadang dia menemukan anak-anak itu, terutama Si Kembar Hendricks, berada di seberang rumahnya untuk memastikan Ferus tidak dekat-dekat dengan Cel. Sambil makan es krim, atau Twizzlers, atau Cheetos.

Berbeda keadaannya begitu Cel menginjak SMA, masih baru-baru ini. Anak-anak itu seketika menghilang sampai Nick heran, dia kira Ferus berhasil menghajar mereka satu per satu. Justru Ferus mengira Nick tiba-tiba kesetanan ingin menolongnya setelah berkomitmen tidak ingin menolong Ferus supaya Ferus bisa melawan tindasan secara mandiri. Meski begitu, selama anak-anak itu menghilang, Ferus dan Cel masih menghindari kontak mata bahkan cepat-cepat pergi karena rasa canggung yang sudah mengakar menjadi sebuah kebiasaan. Itulah kenapa ketika mendengar keputusan Nick menjauhi Cel membuatnya sedikit marah. Marah soal menyia-nyiakan seorang teman.

Cukup dengan pemandangan itu, Ferus tidak sedikit pun berniat menolong dirinya di masa kecil. Tidak akan terjadi perubahan lagi pula. Ini hanya salah satu perundungan yang dia saksikan, bagaimana dengan seterusnya?

Dengan gontai dia berjalan menyusuri trotoar, di dalam kepalanya hanya terpikirkan sosok Abuela dan Abuelo. Tiba-tiba saja dia merindukan mereka. Bagaimana bisa dia berpikiran untuk menjauh dari mereka? Apalagi Abuela? Sekencang mungkin dia berlari. Terus berlari. Bahkan ketika dia sadar bahwa jalanan tidak dihuni siapa pun. Dia berada di kota mati. Tidak apa-apa. Dia tidak membutuhkan orang lain selain keluarganya.

Dia pun tiba di depan pintu rumah, bertopang pada pintu sebelum menekan gagangnya yang ternyata tidak terkunci. "Abuela!" Dengan gusar dia menyerbu ke dalam, tetapi dia tidak mendapatkan jawaban.

Kegundahan menyiksanya, dia jatuh berlutut, kali ini sebisa mungkin menahan air mata. Seperti kata Nick, sampai kapan pun dia akan selalu cengeng. Selalu tidak bisa mengatasi masalahnya. Setiap detak jantungnya terasa pedih apalagi dalam keadaan menahan tangis.

Kapan ini semua berakhir? Semua penderitaan hidupnya?

"Ferus ...."

Bisikan di belakangnya tidak lagi mengejutkannya. Ia menemukan Leah tengah berdiri di depan pintu. Wujudnya tampak baik-baik saja. Tidak ditembus oleh peluru, ataupun berubah menjadi hantu yang dikuasai energi negatif Alam Bayangan.

Tidak akan. Tidak akan lagi Ferus terlena dengan kasih sayangnya. Dia memaksakan diri untuk berdiri sambil melangkah mundur. "Jangan pernah berani mendekatiku lagi," tegasnya. "Jangan pernah sentuh aku lagi!"

Leah bergerak gelisah, mengambil satu langkah masuk. "Oh, Ferus ...."

"Siapa yang membolehkanmu masuk ke rumah?!" jeritnya putus asa. Di dalam hati, dia pun tidak tahu apakah dia sungguh-sungguh menolak kehadiran Leah. "Kenapa .... Kenapa ketika kukira kita sudah satu hati, ternyata kau membohongiku?"

Hening. Leah seakan kehilangan kemampuan bicara, dia menundukkan kepala. Sesal pada wajahnya adalah murni. Tangannya bersandar pada kosen pintu, mengusapnya ke bawah sebelum bicara. "Maaf, Ferus. Karena aku tahu kau tidak akan menyukaiku jika aku adalah hantu."

Ferus menggeleng berkali-kali, tangannya terkepal erat. "Siapa yang menyukai hantu?" ujarnya cukup lantang. "Benar. Pertanyaannya sama dengan siapa yang menyukai orang yang sering kerasukan?"

Rupanya itu membuat Leah melangkah mundur.

Tangan Ferus menghantam dada. "Selama ini pun tidak ada yang mau menerimaku, kecuali ketika aku berhasil menyembunyikan identitasku. Leah, kalau sudah begitu aku pasti akan memahami posisimu."

"Tidak semudah itu," dengan cepat Leah menyangkal. "Sekarang jika kau memang berpikir demikian, kenapa kau tidak memiliki teman hantu satu pun?"

Kali ini Ferus yang tidak bisa menentang.

"Coba, jawab," Leah sedikit menuntut. "Pernahkah kau memberikan kesempatan pada hantu untuk berteman denganmu?"

Tiba-tiba saja banyak wujud hantu yang dapat Ferus ingat dalam benaknya. Iya, saat itu di sekolah ada murid hantu yang ingin bermain dengannya. Lalu ada juga hantu seorang ayah bersama anaknya mengajak bicara di pantai. Sesosok hantu yang berpapasan dengannya di jalan, bertanya tentang kepalanya yang hilang melalui isyarat tangan. Dan masih banyak lagi. Dan tidak satu pun di antara mereka yang Ferus ajak bicara. Selalu berpaling. Selalu berkelit. Selalu berteriak pada mereka untuk menjauhinya.

Ketika Leah muncul di hadapannya pun, dia langsung kesal bahwa dia telah diganggu oleh hantu lagi.

Giliran Ferus yang merenung. "Karena ... kalian semua selalu menginginkan sesuatu dariku."

Tidak ada pemaksaan dari raut Leah, dia justru tersenyum lembut. Sangat memahami kondisi Ferus yang dirasa serba salah. Wanita itu pun perlahan mendekat untuk memastikan Ferus tidak lagi menolaknya. Ternyata anak laki-laki itu masih bisa memaafkannya, jika tidak, ketika Leah meraih kepala belakang Ferus untuk menempelkan kening anak itu dengan miliknya, anak itu pasti sudah mengelak.

"Dan aku," Leah berujar, "aku melakukan ini, sebenarnya untuk melindungimu dari si bola mata itu. Juga Lee Howard."

"Lee Howard?" Ferus menjauhkan diri dari Leah karena penasaran. "Pria yang tadi?"

Sebuah anggukan Leah berikan. "Kau harus melihat ini."

Perlahan Leah melepaskan pelukannya. Kepalanya menengadah mengamati sekitar yang kemudian diikuti Ferus. Mengejutkannya, tak disangka seluruh benda di sekitar mereka berubah: tembok, bufet, tangga, lampu, semua pemandangan di sekitar mereka meleleh ke lantai kayu.

Apa-apaan ini? Bahkan lantai kayu pun bertransformasi menjadi lantai marmer. Kemudian dari lantai marmer itu tercipta bentuk baru: dinding, jendela, tirai, langit-langit ruangan, lemari dan televisi, seluruh perabotan rumah sakit. Bentuknya sama persis dengan kamar rumah sakit Nick. Perbedaannya hanya ... ada seorang Leah lain yang berbaring di kasur, lalu ada seorang pria berdiri di samping ranjang. Benar, Argy Sanjaya.

Pria itu mengenakan mantel hitam serta celana denim biru tua. Air mukanya gagal berupaya menyembunyikan sebuah kebimbangan. Punggung tangannya berserabut urat, mengusap-usap tangan Leah yang rapuh di dalamnya.

Leah yang berada di dekat Ferus berpindah posisi menjadi di samping Ferus. Suasana kamar rumah sakit di malam hari ini sangat tidak nyaman ... seperti akan terjadi sesuatu antara Leah dan suaminya yang saling memandang penuh ribuan arti kesedihan dan kekecewaan.

"Sayang?" Leah yang berbaring bertanya antara khawatir dan takut. "Kenapa?"

"Akhirnya aku tidak tahan menyembunyikan ini darimu," ujarnya getir, dia melipat tangannya di dada, dan kepalan tangan kanannya menutup mulut.

Mata Leah bergetar, mulutnya separuh terbuka seperti ingin mengeluarkan seribu kata tapi tidak mampu. "Apa ...? Soal apa?"

"Dia menjebak kita. Pesugihan ini ... semuanya salah. Harusnya kita tidak melakukannya. Dia ingin anak kita mati," suara Argy bergetar, aku yakin dia sedang menangis.

Pesugihan? hati Ferus bertanya.

Lagi-lagi Leah tidak bisa langsung menjawab selain air mata mengalir dari mata kirinya. "Tidak .... Tidak bisa."

"Leah." Argy menyedot lendir dalam hidungnya. "Jika kita tidak melakukannya dia akan memburu kita. Dan bukan hanya si berengsek itu. Satu konfederasi bakal memburu kita."

"Tidak bisa!" Leah menyenggak kencang hingga wajahnya berubah merah serta air mata berlinang. "Mr. Howard sudah berjanji bakal menyembunyikan fakta anak kita dari konfederasi! Dia bahkan sudah memegang setengah keuntungannya!"

"Tapi itu semua sudah terjadi!" gertak Argy tak mau kalah. "Dia sudah memberikanku peringatan. Dari kemarin-kemarin aku diikuti orang-orang aneh! Kau tidak mengerti betapa mengerikannya semua ini!"

"Kau ... kau tidak memberitahuku soal itu," kata Leah tidak percaya.

"Sudah kubilang aku tidak mau membuatmu khawatir. Tapi ini sudah mendesak. Kita tidak bisa melakukan apa-apa lagi," suara pria itu memelan hingga Ferus dapat merasakan kesedihannya yang mendalam. Hati Ferus ikut terkoyak mendengar fakta kesulitan mereka.

"Aku tidak mau menggugurkannya." Leah memeluk perutnya. "Sekalipun dia akan menyebabkan kiamat aku tidak akan menggugurkannya."

"Leah, jangan egois. Ini bersangkutan dengan nyawamu juga."

"Kau yang egois!" Leah tiba-tiba menjerit termakan amarah. "Kau lebih mementingkan nyawamu sendiri daripada anak kita! Iya, 'kan?!"

"Jangan katakan itu padaku!" Argy tiba-tiba menarik lengan istrinya agar hidungnya bisa bertemu dengan hidung Leah. "Gugurkan anak itu! Sekarang!"

"Menjauh dariku!" Wanita itu mendorong suaminya kuat-kuat.

Argy pun terhuyung. Tampaknya karena itu dia terbakar emosi, tidak bicara apa-apa selain mendekat dan membalas dorongan Leah lebih kuat. Alhasil wanita itu terguling dari kasur dan perutnya menghantam lantai begitu keras. Rasa ngilunya menjalar sampai ke perut Ferus sendiri. Leah mengerang kesakitan sambil terisak-isak, mengencangkan kepalan hingga pemandangan selanjutnya membuat Ferus ngeri sampai terkesiap. Darah mengalir di kakinya, membasahi lantai.

Ferus sudah tidak tahan menyaksikan ini, dia melangkah lagi tetapi Leah yang berada di sebelahnya menahan Ferus kuat-kuat.

"Kalau kau tidak mau melakukannya maka biar aku saja yang lakukan!" Argy dengan emosi menyambar bantal kemudian memutar posisi tubuh Leah untuk membekap wajahnya dengan bantal.

Wanita itu terus meronta-ronta, menendang kepayahan dan mengeluh kesakitan. Susah payah Ferus berusaha dan meneriaki Leah untuk melepaskannya, tapi hantu ini masih menyeretnya ke belakang. Jujur saja Ferus tahu dia tidak akan mengubah apa-apa. Mereka bahkan tidak menyadari kehadiran Ferus dan hantu Leah. Ini hanya kepingan memori, tapi anak itu tidak bisa diam seakan sedang menonton opera sabun sambil makan berondong jagung. Hatinya mencelus ke dalam kepedihan tak mendasar. Kepalanya semrawut memikirkan mengapa bisa-bisanya hal seperti ini menimpa pada orang sebaik Leah.

Meronta-ronta dan semakin lemas, perlahan Leah tidak lagi melawan, terbujur kaku dan tidak mengeluarkan suara apa pun.

Apakah ini artinya ... Leah ....

"Ferus." Leah memaksa Ferus yang tengah mengalirkan air mata untuk menoleh padanya dengan mencengkeram dagunya. "Lee sudah memberitahukan yang sebenarnya."

Anak itu sesenggukan berusaha menjawab. "H-huh? Soal—soal apa?" Matanya kemudian mengamati Argy yang frustrasi, mencengkeram kepalanya sambil berjalan mundur, kemudian berlari begitu saja. Meninggalkan istrinya yang tak bernyawa di kamar ini.

"Mengurungmu dalam dimensiku," ujarnya. "Karena itu aku akan membebaskanmu sekarang."

Ferus masih belum bisa mengerti apa maksudnya, jadi dia sekadar berkedip beberapa kali.

"Untuk itu kita masih harus melewati beberapa lapis dimensi lagi. Caranya adalah dengan ...."

Leah tidak bisa menyelesaikan kata-katanya karena tiba-tiba pintu terbuka lagi. Kali ini sosok yang muncul adalah orang yang perlu mereka takuti. Pria itu langsung saja menekan pelatuk, hampir sekali lagi menembak Leah jika perempuan itu tidak segera berlari ke sisi, begitu pun Ferus.

Lee melirik cepat ke arah mayat Leah yang baru saja dibunuh oleh suaminya. Sesuatu tampak mengusiknya sehingga dia berdecak jengkel. "Apa pun yang dikatakan wanita ini jangan kaudengarkan, Mr. Jones!"

"Omong kosong! Harusnya dia yang tidak mendengarkan kata-katamu!" Leah memekik, lagi-lagi sulur asap melapisi tubuhnya. Dua cabang dengan gesit merayap pada Ferus dan Lee. Keduanya tidak berhasil lolos dari asap itu, mereka dengan cepat terbungkus seperti mumi, kecuali menyisakan kepala yang meronta-ronta. "Enyah kau dari sini, Lee Howard!"

"Jangan pernah berharap. Aku harus menyelamatkan anak itu!" Meskipun begitu sebenarnya dia tidak bisa melakukan apa pun dalam balutan asap Leah, apalagi kepalanya mulai ditelan oleh kuasa energi negatif Alam Bayangan milik Leah.

Sementara Ferus, anak itu lagi-lagi terbungkus sepenuhnya oleh asap. Asap itu menebal menjadi gumpalan kepompong yang tidak dapat dilihat isi di baliknya. Entah nasib buruk apa lagi yang bakal terjadi pada Ferus untuk kesekian kalinya. Selama beberapa waktu yang tidak terlalu lama, jawabannya datang. Asap itu menguraikan diri. Namun di mana seharusnya Ferus berada tergantikan oleh portal lubang cacing seperti yang Lee lihat di dalam gerbong kereta.

Hal tersebut membuat Lee sangat marah, wajah putihnya berubah merah. Geraman menggelegak dalam tenggorokannya hingga lepas menjadi seruan kemarahan. Matanya yang semula berwarna gelap berubah menjadi merah terang, menyala di balik asap hitam. Dengan bengis dia menancapkan tatapan pada Leah yang mulai gentar.

Seakan kemarahannya membakar tubuhnya, asap putih membubung dari dalam balutan asap hitam. Tetapi bukan suhu panas yang mengisi ruangan, melainkan sebaliknya. Suhu udara di ruangan jatuh drastis hingga menyambar cepat di balik mantel Leah yang tebal. Reaksi Leah berubah panik. Dia mengamati sisi kanan dan kirinya, mengawasi sesuatu akan muncul di dekatnya. Dan benar saja, sejurus es runcing tiba-tiba muncul dari permukaan, nyaris menusuk matanya jika dia tidak menghindar secepat itu. Es runcing yang menyembul berikutnya berada di belakangnya. Wanita itu terus menghindar, tetapi kemunculan es semakin tidak mengimbangi kecepatan menghindarnya hingga berhasil menghunjam tepat pada perut besarnya. Untuk kedua kalinya wanita itu mati dengan instan dan mengenaskan, meninggalkan jeritan keras menyayat telinga. Es yang menusuknya dirambati oleh darah yang melata seperti ular.

Dalam sekejap Lee berhasil terbebas dari asap tersebut, mendarat dengan posisi berlutut sempurna. Dengan ganas dia mendelik pada portal yang berada di udara tempat di mana Ferus seharusnya berada. Kesempatan terbebas ini tidak dia sia-siakan. Dia berlari kearah portal. Untuk mencapai ketinggian itu dia memanggil es, menciptakan jalurnya dengan meluncur ke portal. Lalu dia melompat, menghilang ke dalam portal. 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (3)
  • SusanSwansh

    Ceritanya bikin penasaran. Openingnya kereeeeennn.

    Comment on chapter Act 000
  • authornote_

    @SusanSwansh wah makasih ya. Makasih juga sudah mampir!

    Comment on chapter Act 000
  • SusanSwansh

    W.O.W. Kereeennnnnnnn.... Like banget ceritanya.

    Comment on chapter Act 000
Similar Tags
Waiting
1668      1230     4     
Short Story
Maukah kamu menungguku? -Tobi
Strawberry Doughnuts
572      387     1     
Romance
[Update tiap tengah malam] [Pending] Nadya gak seksi, tinggi juga kurang. Tapi kalo liat matanya bikin deg-degan. Aku menyukainya tapi ternyata dia udah ada yang punya. Gak lama, aku gak sengaja ketemu cewek lain di sosmed. Ternyata dia teman satu kelas Nadya, namanya Ntik. Kita sering bertukar pesan.Walaupun begitu kita sulit sekali untuk bertemu. Awalnya aku gak terlalu merhatiin dia...
Serpihan Hati
9631      1562     11     
Romance
"Jika cinta tidak ada yang tahu kapan datangnya, apa cinta juga tahu kapan ia harus pergi?" Aku tidak pernah memulainya, namun mengapa aku seolah tidak bisa mengakhirinya. Sekuat tenaga aku berusaha untuk melenyapkan tentangnya tapi tidak kunjung hialng dari memoriku. Sampai aku tersadar jika aku hanya membuang waktu, karena cinta dan cita yang menjadi penyesalan terindah dan keba...
Melody of The Dream
336      202     0     
Romance
Mungkin jika aku tidak bertemu denganmu, aku masih tidur nyenyak dan menjalani hidupku dalam mimpi setiap hari. -Rena Aneira Cerita tentang perjuangan mempertahankan sebuah perkumpulan yang tidak mudah. Menghadapi kegelisahan diri sendiri sambil menghadapi banyak kepala. Tentu tidak mudah bagi seorang Rena. Kisah memperjuangkan mimpi yang tidak bisa ia lakukan seorang diri, memperkarakan keper...
Abnormal Metamorfosa
1853      632     2     
Romance
Rosaline tidak pernah menyangka, setelah sembilan tahun lamanya berpisah, dia bertemu kembali dengan Grey sahabat masa kecilnya. Tapi Rosaline akhirnya menyadari kalau Grey yang sekarang ternyata bukan lagi Grey yang dulu, Grey sudah berubah...Selang sembilan tahun ternyata banyak cerita kelam yang dilalui Grey sehingga pemuda itu jatuh ke jurang Bipolar Disorder.... Rosaline jatuh simpati...
School, Love, and Friends
15993      2531     6     
Romance
Ketika Athia dihadapkan pada pilihan yang sulit, manakah yang harus ia pilih? Sekolahnya, kehidupan cintanya, atau temannya?
Verletzt
1228      552     0     
Inspirational
"Jika mencintai adalah sebuah anugerah, mengapa setiap insan yang ada di bumi ini banyak yang menyesal akan cinta?" "Karena mereka mencintai orang yang tidak tepat." "Bahkan kita tidak memiliki kesempatan untuk memilih." --- Sebuah kisah seorang gadis yang merasa harinya adalah luka. Yang merasa bahwa setiap cintanya dalah tikaman yang sangat dalam. Bahkan kepada...
Simplicity
8694      2128     0     
Fan Fiction
Hwang Sinb adalah siswi pindahan dan harus bertahanan di sekolah barunya yang dipenuhi dengan herarki dan tingkatan sesuai kedudukan keluarga mereka. Menghadapi begitu banyak orang asing yang membuatnya nampak tak sederhana seperti hidupnya dulu.
Dear Diary
454      279     1     
Fantasy
Dear book, Aku harap semoga Kamu bisa menjadi teman baikku.
Dont Expect Me
451      333     0     
Short Story
Aku hanya tidak ingin kamu mempunyai harapan lebih padaku. Percuma, jika kamu mempunyai harapan padaku. Karena....pada akhirnya aku akan pergi.