Hari terakhir Alya dikampus itu. Ia diantar oleh ayahnya. Hari ini jadwal pengambilan KHS. Ia juga harus menghadap Kasubbag TU untuk mengambil surat keterangan pindah dari kampus itu.
Alya diantar sampai ke dalam kampus. Ia mengambil tas dan turun dari mobilnya. Langkahnya pelan dan tidak bergairah. Alya tidak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa kampus itu, setidaknya telah memberikan banyak kenangan. Terasa berat jika harus meninggalkan teman-temannya yang mulai akrab dengannya. Juga Situasi dan suasana yang telah melekat di benak.
Di hari itu pula, Alya mulai berpikir bahwa ucapan perpisahan harus ditunaikan. Permohonan maaf atas segala kesalahan yang pernah dilakukan. Agar ketika pergi, tidak ada perasaan yang tersangkut dan tidak lega. Dan hari ini menjadi pengecualian. Bahwa Alya harus membaur seperti dulu. Ke kantin dengan leluasa, ke mushalla, berjumpa Amina dan mungkin, dapat berjumpa dengan Ajar untuk meminta maaf atas semua kesalahan yang mungkin pernah ia lakukan.
Waktu zuhur tiba. Lantas para mahasiswa bergegas ke Mushalla kampus. Alya, ia berjalan pelan sambil digandeng temannya. Berbincang ringan sambil melepas senyuman dan tawa kecil, menuju tempat wudhu’. Ia berdiri di depan tangga mushalla. Melihat sekitar.
“Kau mencari Ajar, alya?” amina tersenyum menyapanya.
“Tak, aku hanya melihat si aji, tadi dia meminjam cas hp ku.” Alya sedikit terkejut dengan jawaban terbata-bata.
“Duduklah.” Amina menduduki anak tangga sambil membuka sepatunya. Lalu alya duduk.
“Kenapa kau tak ingin berbicara denganku, padahal waktu itu aku selalu mencari kau?” Amina tersenyum.
“Hehe, maafkan aku tentang kejadian itu kak.”
“Lalu sekarang, kenapa kau mau berjumpa denganku?”
“Aku hanya ingin meminta maaf atas semua kesalahan. Sungguh.”
“Aku bahkan tak melihatmu pergi dengan Ajar lagi semenjak kau berubah.” Amina melihat ke depan dan sangat tenang.
“.....................”
“Janganlah lama-lama merajuk, dulu dia banyak berubah karena kau.”
Kening Alya mengerut sambil melihat ke wajah Amina.
“Senyum kalian di atas sepeda. Setiap pagi aku melihatnya. Aku bahkan tak pernah melihat ajar tersenyum. Apalagi sambil mengayuh sepeda seperti itu.”
“Tersenyum????”
“Janganlah pura-pura terkejut macam tu. Bagaimana mungkin wajahnya yang kaku itu dapat tersenyum kalau tidak ada orang yang membuatnya tersenyum.”
Jantung Alya jatuh dalam.
“Ajar di mana kak?”
“Dia tidak masuk hari ini.”
“Kakak punya no. Hp-nya?”
“Aku tak pernah memintanya.”
“Tau rumahnya?”
“Riuh tau di mana rumahnya.”
“Kak, kalau begitu. Bisa kakak tolong jumpakan aku dengan Riuh?”
“Hmhm. Tentu.”