“Ayah, Kenapa layang-layang bisa terbang? Padahal ia tidak sama seperti burung?”
“Itu karena angin. Jika kau ingin layangan itu terbang tinggi, maka tunggulah saat angin sedang kencang. Kau bisa menerbangkannya tinggi.”
“Berarti, aku bisa menerbangkannya waktu sepeda kita berjalan?”
Ajar duduk membelakangi ayahnya di bangku belakang. layangannya di terbangkan rendah sedang sepeda mereka tengah melaju. Ayahnya tersenyum sambil mengayuh sepedanya. Nilai 1-9. Beberapa kali Ajar memanggil ayahnya untuk melihat layangannya yang terbang. Jelas Ajar melihat ayahnya tersenyum ketika ia menoleh ke belakang.
Mereka tiba di rumah Pak Danish. Ayah Ajar membunyikan bel dan suti membukakan pintu. Boy!!, Alya yang sedang duduk di teras memanggil Ajar. Mereka belum saling berkenalan. Padahal sudah hitungan bulan mereka telah bermain bersama. Boy, itu sebuah nama tokoh film kartun. Super boy. Alya sering menontonnya. Ia memanggil Ajar seperti itu karena ia memang mirip tokoh Super Boy di film itu. lantas, nama itu melekat.
“Wah, kau punya layangan bagus.”
“Ya, ayahku yang membuatnya.”
“Apakah itu bisa terbang?”
“Bisa, tapi kita harus menunggu angin dulu.”
Dua bocah itu pun duduk di teras dan memandang pohon. Memantau kapan daun-daunnya mengipas dan bergoyang. Sesekali angin hanya berlalu. Sontak mereka jadi ribut. Lalu ketika angin itu berhenti, mereka duduk kembali.
Ayah Ajar tertawa melihat tingkah mereka sambil mengurusi taman rumah Alya. Wajahnya penuh dengan keringat. Di kota benar-benar panas. Krisis angin. Hanya sejuk ketika hujan datang membasahi hawa.
“Kita tak bisa menerbangkan layang-layang ini kalau tidak ada angin.” Ajar melihat ke arah Alya dengan serius.
“Yahh....” Alya tertunduk lesu.
“Hey, tapi waktu aku di sepeda tadi, layangan ini boleh terbang.”
“Ya, kau harus berlari.”
Ajar langsung beranjak sambil membawa benang dan layangnya ke arah terjauh dari Alya. Kemudian, ia berlari ke arahnya. Layangan itu terhempas ke udara dan tidak stabil. Lantas Ajar memacu langkahnya. Layangan itu semakin meninggi. Ajar kemudian berlari mundur ke arah Alya sambil melihat kondisi layangnya yang mulai naik. Dan, “praanggg!” sebuah guci glamor di teras rumah itu pecah. Ayah Ajar langsung bangkit dan membangunkan Ajar yang jatuh di pecahan guci keramik itu.
Seketika, Pak Danish keluar cepat dari dalam rumah. Ia melihat Ajar yang dibangunkan ayahnya. Ada luka di sikunya.
“Oooiiii, apa yang anak kau buat hah?”
“Maaf pak, anakku tak sengaja.”
Ibu Alya tau, kejadian itu akan menjadi perang besar. Lantas ia langsung membawa Alya masuk dan menutup pintu rumah.
“Kau kira harganya berapa!!”
“Saya akan ganti pak.”
“Kau cakap apa, tiga bulan gaji kau pun tak bisa tutup harga guci ini, tau kau?”
“Saya mohon maaf sekali pak.”
Lalu, Pak Danish melangkah dan ingin memukul Ajar. Ayah Ajar pun memeluk anaknya agar Pak Danish tidak sampai memukulinya. Tidak lain, Ayah Ajar yang menahan segala tinjuan dan tamparan pak Danish yang bertubuh besar.
“Pak, Cukup!” Ayah Ajar mulai menangis. Namun, Pak Danish tidak puas hati sebelum menghantam rahang anak itu.
“Kau harus lari nak.!”
Seketika Ajar lari ke luar pagar. Pak Danish mulai mengejarnya, namun Ayah Ajar menahannya. Saat itulah, Pak Danish menumpahkan emosinya ke tubuh ayah anak kecil itu. Ia terus menendang dan memijak perut Ayah Ajar yang tergeletak jatuh. Sedang saat itu, Ajar hanya melihat ayahnya yang terus dipukuli dari balik pagar.
“Nak, !!! Lari, lari!!.”
Ucapan itu yang berdeging setiap kali ia melihat rumah Alya dari balik pagar. Setelah kejadian itulah, ayahnya mulai tak sehat. Dua minggu setelah tragedi pemukulan itu, rasa sakit di perut Ayah Ajar tak kunjung sembuh.