AL, kamu di mana? Kenapa nggak ada kabar lagi?
Emilia melirik ponselnya yang ia sembunyikan di kolong meja, melihat masih tak ada balasan WA dari Alvaro. Hari ini terhitung hari kedua Alvaro kembali tanpa kabar. Hanya bubble pesan Emilia yang berjajar, tak termuat centang dua, bahkan last seen Alvaro tak berubah sejak ia aktif dua hari lalu.
Emilia meneguk ludah, kembali mengangkat kepala ke arah papan tulis. Seorang guru Biologi tengah memberi materi, tapi perhatian Emilia tak tertuju ke sana. Ia bahkan tidak menyimak sejak kelas dimulai. Pikirannya terpusat sepenuhnya pada Alvaro.
Apa HP Al nggak aktif? Kenapa? Atau dia nggak punya paket data? Apa dia udah pulang? Mama Al nggak ngehubungin aku lagi. Artinya Al udah pulang, kan? Tapi, kenapa Al belum menghubungi lagi? Apa dia baik-baik aja?
Benak Emilia dipenuhi banyak tanya yang membuatnya kian gusar. Ia mencengkeram ponselnya dengan sebelah tangan, sementara tangannya yang lain memegangi pena penuh kerenggangan. Benda itu sewaku-waktu bisa terlepas dari dekapan jemarinya.
Emilia memeriksa ponselnya kembali. Padahal, ia memasang mode getar pada alat komunikasi itu, dan tidak ada getaran seminim apa pun yang muncul. Artinya, tak ada satu pun notifikasi di aplikasi mana pun. Namun, Emilia tetap mengecek ponselnya, berulang kali berharap WA dari Alvaro tiba, atau setidaknya cowok itu sudah membaca pesannya. Nyatanya, yang terjadi adalah sebaliknya.
Emilia menggigit bibir karena tampilan ceklis di chat belum mengganda. Keningnya berkerut tebal sementara dadanya masih berdebar kencang. Tangannya yang memegang ponsel sudah lembab sedari tadi. Ia memantapkan diri untuk menunggu kabar dari Alvaro dengan tenang, tanpa melepas perhatiannya pada sang kekasih. Namun, jika sampai dua hari Alvaro tanpa kabar bahkan tidak bersekolah dan akun WA-nya tidak aktif seperti ini, Emilia tidak mungkin tidak gelisah, kan?
“...Mi... Emi!”
Emilia tersentak. Ia praktis menoleh pada Puspa yang memanggilnya. Mulutnya menganga hendak bertanya, tapi Puspa sudah melirik ke arah depan. Emilia membanting arah pandang. Tubuhnya menegang mendapati guru Biologi mereka menatapnya.
“Sudah merasa pintar jadi tidak membutuhkan penjelasan saya, Emi?”
Emilia meneguk ludah. Tangannya di kolong meja serta-merta kembali ke atasnya.
“Ma-maaf, Bu.” Emilia berujar serak dan bergetar. Ia melirik seisi kelas, melihat tatapan teman-temannya tertuju padanya. Emilia lekas mengembalikan pandangan ke buku di hadapannya, terusik karena menjadi pusat perhatian untuk sesuatu yang tidak membanggakan. Ia tidak pernah begini sebelumnya.
“Maaf untuk apa? Karena tidak menyimak pelajaran, atau maaf karena ucapan saya benar?”
Emilia tergugu. Guru wanita bermata kucing itu berjalan ke arah bangkunya.
“Ma-maaf saya kurang memperhatikan, Bu.”
Tak puas dengan jawaban Emilia, guru tersebut mengacungkan spidol pada anak didiknya.
“Jelaskan Sistem Ekskresi pada serangga di depan. Ayo.”
Di SMA Bina Pekerti, sebagian besar guru memiliki ketegasan semacam ini. Itulah sebabnya setiap murid memilih menyimak materi daripada harus dicap tak menghargai. Bukan hanya teguran dari sang guru, tatapan teman sekelas pun ingin dihindari. Maka, Emilia sudah duduk tegang di bangkunya karena menjadi salah satu murid yang berbuat demikian.
“Tunggu apa lagi? Ayo, cepat. Jangan buang-buang waktu.”
Suara guru tersebut kembali muncul. Mulut Emilia sudah kelu. Ia menelan, lantas menarik tubuhnya bangkit dengan kaku. Diambilnya spidol, dan sang guru memberi ruang pada Emilia untuk berpindah ke area depan kelas. Tubuhnya mulai berkeringat dingin. Di kesempatan biasa, saat ia secara sukarela mengerjakan soal di papan tulis, Emilia akan berdiri dengan percaya diri. Situasi sekarang, jelas berbeda.
Sistem ekskresi serangga... sistem ekskresi serangga... Apa? Kenapa aku lupa? Ayo, Emi, ingat-ingat lagi. Kamu udah baca banyak soal materi itu. Emilia melipat bibir. Saat pengetahuan tentang ilmu tersebut mulai bermunculan, Emilia menarik napas panjang. Ia membuka penutup spidol. Semula mulutnya berbicara agak terbata, tapi begitu ingatannya pulih sempurna, Emilia bertutur mulai lancar. Ia menggambar sistem ekskresi pada serangga sesuai yang pernah dipelajarinya.
“Oke, cukup.”
Penjelasan Emilia terputus. Guru Biologinya menghampiri, dan mengmbil alih spidol.
“Jangan diulangi lagi. Saya tidak suka jika ada murid yang tidak memperhatikan.”
“Baik, Bu.”
Kepala Emilia merunduk. Ia mengangguk singkat, lalu kembali ke bangkunya. Ketegangan yang sempat dirasakannya tadi menguap sedikit. Ia bertatapan dengan Puspa. Namun, mereka sama-sama tahu keduanya tidak bisa bicara. Emilia hanya menggulirkan senyum untuk menandakan bahwa ia baik-baik saja. Kali ini, pandangannya sepenuhnya tertuju ke depan. Meski pikirannya masih melayang pada Alvaro.
“Wali kelas bakal ke rumah Al hari ini, Mi. Dia udah nggak masuk tiga hari soalnya.”
Emilia, Puspa dan Kamila serempak menyimak ucapan Raka. Mereka berada di kantin, duduk tak nyaman di antara siswa lain yang sibuk dengan santapan mereka. Sebelum bertemu Raka di sana, Puspa dan Kamila sempat memesan masing-masing sepiring nasi uduk dan nasi goreng yang dilengkapi dengan dua gelas teh manis dingin. Emilia tak bergairah untuk memakan apa pun.
“Dia nggak ngasih kabar apa pun ke kamu, Ka?” tanya Kamila.
Raka yang duduk di sisinya, menggeleng lesu.
“Nggak masuk tiga hari tanpa keterangan, terus nggak ada kabar pula. Alvaro kayaknya benar-benar lagi ada masalah, ya. Selama ini dia nggak pernah begini, kan?” Puspa yang baru memakan dua sendok nasi uduk, ikut bersuara.
Raka tersenyum kecut. Emilia bisa melihat kekecewaan di roman Raka. Cowok itu agak menunduk, ujung alisnya nyaris menyatu. Selama ini, Emilia tahu Raka adalah sahabat terdekat Alvaro. Mereka kerap ke sana-kemari berdua. Melihat kedekatan keduanya saja, Emilia bisa menyimpulkan bahwa Alvaro sering bercerita banyak hal pada Raka. Jika sekarang Alvaro bahkan menghilang dari Raka, apakah itu artinya Alvaro enggan berterus-terang karena masalah yang dihadapinya lebih serius dari biasa? Lantas, ke mana Alvaro mengadu? Apakah ia memiliki sahabat lain? Sahabat SMP barangkali? Mungkinkah Alvaro sebelumnya menginap di rumah sahabatnya itu?
Ke mana aku harus cari tahu soal Al? Datang ke rumahnya? Emilia menggeleng. Nggak. Aku nggak berani. Terus, harus gimana? Emilia mencengkeram roknya dengan putus asa. Saat itulah wajah seseorang muncul.
“Kevan.”
Suara Emilia membuat tiga temannya menoleh bersamaan.
“Kevan?”
Emilia menatap Puspa. “Adik Al. Mungkin aku bisa tanya ke dia.”
“Ayo dicoba, Mi.” Puspa berujar penuh semangat.
Emilia lekas mengeluarkan ponselnya dari saku rok. Detik itu ia segera ingat. Melihat waktu, Kevan sudah pasti tengah berada di sekolah. Setahunya, Kevan tidak diizinkan membawa ponsel, begitu pula Mariana. Ia harus menunggu hingga Kevan pulang. Apa adik Alvaro itu punya jadwal les hari ini? Namun, tidak ada salahnya mengirim pesan sekarang karena barangkali Emilia bisa mendapat balasan sepulang Kevan nanti.
Begitu menuntaskan jadwal ekskul dan tiba di rumah, Emilia mengerjakan tugasnya dengan gelisah karena perhatiannya berulang kali jatuh ke ponsel di sisinya. Ia memeriksa WA Alvaro. Masih centang satu. Berpindah ke WA Kevan, centang dua, tapi pesannya belum dibaca. Emilia meletakkan ponselnya kembali.
Penantian Emilia disela perbincangannya dengan ayah terkait sekolah dan obrolan ringan di ruang tengah. Begitu waktu menunjuk pukul delapan malam, Emilia pamit ke kamar. Ia menyambar ponselnya di meja, berharap ada WA balasan dari Kevan. Nihil. Emilia memejam seraya mengambil napas panjang. Tugasnya belum tuntas. Ide untuk sayembara pun tak kunjung muncul. Ia duduk bersandar di tempat tidur sambil memegangi ponselnya, hingga benda itu akhirnya berdering. Sebuah panggilan masuk. Nama Kevan terpampang di layar.
“Halo?”
“Kak Emi?” sahut Kevan di ujung sana, agak berbisik. “Sebentar, Kak.”
Emilia menurut. Ia mendengar bunyi debum kecil pintu yang ditutup, kunci yang diputar, lalu langkah pelan yang berakhir pada embusan napas tertahan.
“Kak, maaf baru ngabarin. Aku baru pulang les.”
Emilia melirik jam dinding di kamarnya. Pukul sembilan malam.
“Nggak apa-apa, Van. Maaf ngeganggu,” maklum Emilia. Ia sudah merangkai banyak tanya di benak terkait Alvaro. Namun, belum sempat Emilia memuntahkannya, Kevan sudah mendahului.
“Kak, Abang nggak pulang.”
Emilia menelan ludah. Alvaro ternyata tidak pulang lagi.
“Aku nggak bisa hubungi Abang. Ana juga. Barusan aku dengar Mama ngomong sama Papa. Wali kelas Abang datang ke rumah, nanyain alasan Abang nggak masuk sekolah. Papa langsung marah-marah. Mereka berantem sekarang di bawah.”
Emilia mengembuskan napas sesak.
“Van, boleh tahu Al kenapa?”
Sempat tak ada suara. Lantas, Kevan terdengar menghela napas. “Abang berantem sama Papa, Kak. Papa...” Kevan diam sejenak. Suaranya lebih pelan. “Papa mukul Abang...”
Napas Emilia tercekat. Ia membekap mulutnya serta-merta.
“Abang sempat pulang dua hari lalu. Tapi mereka berantem lagi, terus Abang pergi dan nggak ada kabar sampai sekarang.”
Ya Tuhan... Emilia memejam. Pedih di dadanya kian menyayat.
“Abang nggak ke rumah Kak Emi?”
Emilia menggeleng. Ia membuka matanya yang telah berkaca-kaca. “Nggak, Van.”
Terdengar helaan napas keras. “Mungkin Abang di rumah Bang Toni.”
“Toni?”
“Bang Toni teman SMP Abang. Dekat banget. Aku nggak bilang ini ke Mama atau Papa. Aku pengin ngecek ke rumah Bang Toni, tapi supir nggak pernah jauh dariku sama Ana.”
Nama itu menumbuhkan sebuah pengharapan dalam diri Emilia. Tubuhnya menegak sementara ia mengusap sudut mata yang telah basah saat mendengar kondisi Alvaro dari Kevan.
“Kakak boleh tahu alamatnya, Van? Biar Kakak yang bantu cari.”
“Di Perumahan Mahawarna, Kak. Blok Himalaya nomor satu,” jawab Kevan.
Itu kompleks elit, batin Emilia. Ia harap Alvaro berada di sana.
“Kakak mau ke sana sendiri?” Suara Kevan kembali terdengar.
Emilia semula hendak mengiyakan. Namun, wajah Raka melintas. Apakah sebaiknya ia mengajak Raka serta? Ia tahu Raka pun sama khawatirnya dengan Emilia akan kondisi Alvaro.
“Kakak mungkin bakal ngajak Raka.”
Kevan setuju. Panggilan itu berakhir setelah permintaan Kevan agar Emilia mengabarinya.
Emilia memandangi ponselnya dengan nanar dan sesak yang masih terasa. Ia menarik napas panjang dan mencari nama Raka.
Emilia S
Ka, mau bantu cari Al ke rumah temannya besok?
Kevan kasih alamatnya.
Nama temannya Toni.
Kamu pernah dengar?
WA itu segera dibaca. Status typing dan online bergantian cepat. Emilia mengernyit. Raka bagai ragu memberi balasan. Setelah lima menit, WA dari Raka muncul.
Raka Manggala
Alamatnya di mana, Mi?
Biar aku yang cari.
Emilia S
Aku ikut ya, Ka.
Kalau Al beneran di sana, aku bisa langsung ketemu.
Raka tak segera membalas. Sikap Raka membuat Emilia bertanya-tanya. Kenapa Emilia merasa Raka bagai tak ingin ia mencari tahu keberadaan Alvaro?
Raka Manggala
Mau jam berapa, Mi? Besok aku jemput kamu.
Emilia mengembuskan napas lega. Ternyata hanya perasaannya saja sikap aneh Raka. Ia mengetik waktu untuk perjanjian mereka, lantas meletakkan ponselnya di pangkuan setelah ada kesepakatan. Emilia menghirup udara. Semoga kamu di sana ya, Al. Semoga kamu baik-baik aja. Aku kangen...