Read More >>"> Kesempatan (Kedatangan ) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kesempatan
MENU
About Us  

EMILIA S

Makannya jangan ketinggalan ya, Yang.

Suntuk boleh, tapi perut harus selalu diisi. Hehe.

 

“Siapa, Beb?”

“Emi.”

Alvaro menjawab singkat tanpa menanggalkan tatapannya dari ponsel di tangan. Begitu membaca kata pertama di WA Emilia, Alvaro membangunkan tubuhnya dari sofa yang semula berbaring dengan punggung menghadap langit-langit ruangan. Casi duduk di bawah, tepat di sisinya. Alvaro meraih tas dan mengeluarkan paper bag. Ia teringat belum menyantap bekal dari pacarnya.

“Ngapain?”

Alvaro menoleh ke arah Casi. Mereka menikmati kebersamaan dengan menonton televisi di ruang tengah rumah Casi. 

“Aku lupa makan bekal Emi. Ada dua nih. Buat kamu satu.” Alvaro duduk di sofa. Ponselnya sudah tergeletak di pinggir, dan tangannya mulai membuka penutup kotak makan, sementara tangan lain mengulurkan kotak kedua pada Casi. Bukannya mengambil, Casi merebut kedua kotak bekal itu. “Beb?”

“Kamu lapar? Aku minta ART masakin, ya. Atau aku pesanin delivery, deh.” Casi menyingkirkan kedua bekal itu ke bawah meja. Sebelah tangannya meraih ponsel di meja.

“Aku makan itu aja. Udah dibikinin Emi.”

Alvaro merentangkan tangan untuk mengambil kotak bekal, tapi Casi tiba-tiba memberengut, membuat niatnya tertahan.

“Kenapa?”

“Kamu ngomongin dia mulu, deh. Kita lagi berdua ini. Terus, masa bawa-bawa bekal yang dibikinin pacar ke sini.”

Alvaro tertegun. Ia melirik kotak makan, lalu kembali menatap Casi. Mereka berpandangan. Dadanya berdebar. Baru kali ini ia melihat sikap Casi yang demikian. Seringai gemas muncul di wajahnya.

“Kamu cemburu?” tanya Alvaro geli. Ia tidak bisa menahan senyumnya. Saat Casi mengangguk, Alvaro tergelak, yang disesalinya kemudian. Wajah dan tubuhnya masih kaku. Casi sangat apa adanya. Ia suka itu. 

“Jangan ketawa, deh. Nggak lucu,” gerutu Casi.

“Sori, sori.” Alvaro turun dari sofa dan mendarat di karpet, duduk di sebelah Casi. Ia merangkum wajah Casi dan mengarahkannya menghadapnya. “Udah, jangan ngambek, dong. Sini mukanya, sini. Aku jadi nggak bisa lihat cantiknya kamu kalau nggak lihat ke arah aku.” Alvaro mencoba membujuk, tapi Casi bergeming.

“Dia suka bikinin kamu bekal kayak gini?”

“Baru-baru ini, sih.” Alvaro ingat, Casi keburu pamit bertemu kekasihnya, sehingga ia tidak tahu isi paper bag yang Alvaro bawa ke dalam Kafe Alatta. Begitu melihat bibir Casi mengerucut tak suka, Alvaro kembali bicara. “Emi sengaja masak buat aku biar aku nggak makan bakmi terus di sekolah, Beb. Dia pacarku, jadi mau gimana lagi. Bikinin bekal kayak bentuk perhatiannya dia ke aku.”

Setelah mengucapkannya, Alvaro tertegun. Bentuk perhatian. Emilia memang selalu memperhatikannya seperti ini.

“Tapi aku nggak suka. Lagian, kalau soal bakmi sih, aku udah bilangin ke kamu buat nggak makan itu tiap hari, kan.”

Pengakuan Casi mengembalikan fokus Alvaro padanya. Ia berdeham. “Jadi harus gimana?” Alvaro mengelusi pipi Casi, berharap dengan begitu Casi tidak akan marah lagi.

“Jangan dimakan.”

Gerakan tangan Alvaro terhenti. Ia mengerjap. “Bekalnya?”

“Iya. Bekalnya jangan dimakan.”

Alvaro serta-merta menoleh ke arah kotak makanan yang Emilia beri. Ia menyengir. “Tapi, Beb, mubazir kalau nggak dimakan.”

“Kasih ART aja. Pasti habis, kok kalau masakannya emang enak.”

“Tapi—“ Alvaro tersentak saat Casi bangkit dan hendak pergi. Ia lekas menahannya, ikut berdiri. Perih di punggungnya tak penting lagi. “Oke, oke. Aku nggak bakal makan,” putusnya. “Jangan marah lagi, ya.”

Semula Casi masih belum menatap Alvaro. Namun, saat Alvaro memanggilnya lembut, cewek itu akhirnya menyerah. Ia tersenyum puas, sementara Alvaro mendengus takjub. Casi sanggup menguasainya seperti ini. Namun, bukan berarti Alvaro tidak menyukainya. Ia tidak menemukan sensasi serupa pada hubungannya dengan Emilia.

“Aku minta ART buat masak, ya.” Casi bangkit seraya membawa kotak bekal Emilia.

Alvaro memandanginya dalam diam. Sosok itu menjauh. Terdengar Casi memanggil ART untuk dua hal. Memberi bekal Emilia, dan memintanya memasak. Alvaro kembali duduk. Merasa nyeri jika menyandarkan punggung, ia akhirnya mengangsurkan kaki terentang hingga kepalanya mendarat di tepi sofa.

Alvaro memandangi WA dari Emilia. Ia menelan ludah, menarik napas panjang. Ia tidak akan memungkiri ini. Tidak menikmati bekal yang sudah sengaja Emilia buatkan untuknya, membuatnya merasa salah. Tapi, Alvaro lekas mengenyahkan perasaan itu. Demi Casi. Ia tidak ingin cewek itu marah padanya.

Alvaro tersentak karena getaran ponselnya. Napasnya tertahan melihat nama di layar. Posisi tubuhnya terduduk. Ibunya menghubungi. Ia membasahi bibir, menatap televisi, lalu kembali memandang ponsel. Alvaro membuang napas kuat-kuat, membiarkan panggilan itu berakhir tanpa diterima. Ibunya sudah berulang kali menghubungi Alvaro seperti ini, lengkap dengan sederet pesan singkat dan WA. 

“Kenapa, Beb?” sahut Casi yang kembali ke ruang tengah. Ia duduk di sebelah Alvaro.

“Mama telepon.” Alvaro menjawab dengan nada muram.

“Nyuruh pulang?”

“Nggak aku angkat.” Saat itulah ponselnya kembali bergetar. Ibunya menghubungi lagi. Alvaro menghela napas panjang. Saat ia hendak menerima panggilan, Casi mengambil ponselnya, lantas mematikannya. Alvaro menatapnya dengan mata membulat.

“Orang rumah lagi rese, ya? Mending dibiarin, deh, Beb. Mereka ngeh sendiri kok nanti kalau mereka bikin kesal. Aku suka begitu kalau mami sama papi lagi kumat nyebelinnya. Aku langsung kabur ke kosan pacar. Kalau mereka udah minta maaf, baru deh aku pulang.”

Alvaro terdiam. Ia tidak tahu kesalahan macam apa yang Casi maksud, tapi mendengar cewek itu melarikan diri ke kosan kekasihnya, memantik rasa jengkel Alvaro.

“Kamu sering ke kosan pacar? Orangtuamu nggak marah?”

Casi mengangguk santai. “Sering, kok. Bisa berhari-hari kalau mami sama papi masih nyebelin. Mereka justru lebih tenang kalau aku ke kosan pacar daripada ke tempat nggak jelas.”

Alvaro mengedip cepat, mencoba mencerna ucapan Casi. Ia teringat saat dirinya datang ke rumah Casi malam tadi, dan sikap cewek itu yang menerima kehadirannya dengan tangan terbuka, mengizinkan Alvaro memeluknya semalaman di tempat tidur yang sama. Saat itu, Alvaro sadar Emilia dan Casi memang teramat berbeda. Namun, ia tidak memedulikannya karena ia membutuhkan Casi.

“Mending kamu nginep aja lagi di sini, Beb.” Casi bicara lagi.

“Aku nggak bawa baju.” Alvaro berkata demikian dengan nada melamun.

“Ada baju cowokku, kok.”

Pengakuan itu membuat Alvaro mendengus. Satu hal yang paling ia duga dari suasana rumah sekosong ini adalah, pacar Casi yang kerap datang.

Casi menyandarkan kepalanya di bahu Alvaro, membuat cowok itu merangkulnya dan mengelus lengannya beberapa kali. Aroma parfum yang sama di tubuh mereka menyeruak, menjalin kasih di udara. Alvaro menunduk demi mengecup kepala Casi. Cewek itu mendongak. Tatapan mereka bertemu. Diiringi debar dada kencang, Alvaro membelai pipi Casi, bergerak turun ke bibir cewek itu. Ia mendekatkan wajahnya dan mengecup Casi sekali. Dua kali. Tiga kali. Alvaro menahan napas. Ia ingat, ia tidak pernah melakukan hal ini pada Emilia. Cewek itu memberi batasan pada hubungan mereka. Satu-dua hal yang pernah Alvaro lakukan adalah memeluk Emilia sebentar, mendaratkan ciuman di kening cewek itu. Dibanding cewek-cewek yang pernah Alvaro dekati, Emilia memang berbeda. Hal itulah yang membuatnya penasaran dan jatuh cinta. Tapi, Alvaro sadar, ia lebih menyukai kedekatan semacam ini, karena memuaskan gelombang gairah di dada.

“Ssss.” Alvaro mendesis saat Casi melingkarkan kedua tangannya di tubuh cowok itu

“Sori, Beb.”

Alvaro terkekeh. “It’s okay.”

Ponsel Alvaro bergetar lagi, membuat perhatian kedua remaja itu teralih. Alvaro mengambil alat komunikasi itu. Ibunya kembali menghubungi. Alvaro mendesah keras, berdiri.

“Aku pulang, ya.”

“Lho, kok pulang? Kamu nggak mau nemenin aku? Lagian ART lagi masak, lho.”

“Bukan nggak mau, Beb. Tapi aku bakal diteleponin terus kayak gini kalau nggak pulang.” Alvaro memasukkan ponselnya ke saku celana. Ia mengenakan jaket dan menyampirkan tasnya di bagian depan. “Besok aku ke sini, ya.”

“Besok dia juga mau ke sini.”

Casi melipat tangan di dada. Alvaro mengecup Casi.

“Jangan ngambek. Nanti aku telepon.”

“Kamu pasti nyesel deh kalau pulang. Percaya sama aku.”

Alvaro terkekeh pelan, lantas pamit. Ia ingin percaya bahwa ucapan Casi tidak akan terbukti. Namun, Alvaro tahu Casi sangat memahami situasinya, karena cewek itu benar.

“Oh, anak nggak tahu diri ini masih ingat rumah.”

Alvaro mendapati ayahnya duduk di sofa tunggal ruang tengah yang baru ia pijak. Pria itu memegang majalah politik, lalu meletakkannya di nakas dan bangkit. Tatapannya tajam, otot wajahnya tegang. Alvaro berdiri tegap di depan ayahnya.

“Ikut Papa!” Ayah Alvaro mencengkeram lengan Alvaro dan menariknya ke ruang kerja beliau yang diisi rak berukuran besar penuh buku, meja berbahan jati yang penuh berkas dan laptop, juga sofa panjang dan tunggal untuk menerima tamu. Alvaro, jelas bukan tamu. Dan ia tidak dipaksa masuk untuk berbincang. Urusan mereka mewujud fisik. Alvaro hanya perlu bersiap menerima bentuk didikan ayahnya.

Satu pukulan mendarat di wajah Alvaro, membuat jejak lebam di sana kembali nyeri. Serangan lain kembali datang. Bertubi-tubi.  

Ibu Alvaro merangsek masuk, disusul Kevan dan Mariana juga ART yang takut-takut menatap ke dalam ruangan tepat di ambang pintu. Tak memedulikan kehadiran mereka, ayah Alvaro tetap melancarkan aksi, kali ini ikat pinggangnya turut berperan.

“Pa! Jangan pukul Abang!” Kevan mencoba menahan serangan ayahnya.

“Eko! Bawa mereka!” teriak ayah Alvaro pada Pak Eko, supir yang setia bekerja padanya.

Alvaro tak lagi melihat. Ia menunduk dan hanya sanggup mendengar derap kaki dengan denging kuat di telinga.

“Biaya sekolahmu! Buku-bukumu! Lesmu! Motor besarmu itu! Itu semua Papa yang biayai! Tapi begini balasanmu ke Papa! Membuat Papa malu! Beli hasil tes?! Memalukan, Alvaro! Memalukan!” Ikat pinggang itu mendekap tubuh Alvaro kembali, serupa sahutan kasar demi membangunkan barisan luka yang semula hendak mengering, untuk kembali menganga.

“Kamu nggak akan bisa hidup kalau nggak ada Papa! Kamu nggak akan bisa beli semua barang-barangmu itu kalau nggak ada Papa! Begini cara kamu membalas Papa, hah?! Begini cara kamu bersikap sama orangtua, hah?! Kurang ajar kamu ini!”

Serangan itu berakhir saat dering nyaring yang berasal dari ponsel ayahnya terdengar. Sosok itu menjulang di hadapan Alvaro, lantas membuang napas kasar dan meraih ponselnya di meja.

“Masuk kamar dan bersihkan badanmu yang bau itu!”

Ayah Alvaro berderap meninggalkan ruangan. Panggilan itu telah menyelamatkannya. Namun, sungguhkah Alvaro selamat? Barangkali akan lebih baik jika ia hilang dari muka bumi.

“Alvaro,” sahut ibu Alvaro gusar yang sedari tadi hanya berdiri diam. Ataukah beliau sempat hendak mencengkal serangan? Alvaro tidak begitu memperhatikan karena sibuk dengan rasa nyeri yang mendera tubuhnya.  

Napas Alvaro tersengal. Sekujur tubuhnya serupa bantalan yang terkoyak. Pecah. Kedua tangannya gemetar, membentuk kepalan. Kepala yang semula menunduk, kini terangkat perlahan. Dari kemampuan pandangan yang seadanya, ia memicing, melihat ibunya di hadapannya.

“Bang...” Kevan baru saja menenggelamkan sesuatu ke saku celananya. Alvaro tak yakin benda apa. Kepalanya berat dan pandangannya buram. Mariana menyusul di sisinya.

“Al, ayo kita ke kamar.” Ibu Alvaro meraih lengan putranya. “Van, bantu Mama.”

Namun, sebelum niat itu terlaksana, Alvaro sudah bergerak menjauh dan bangkit dengan susah payah. Ia menyeka area hidung dan mulut. Tak ada desis nyeri keluar dari mulutnya, tapi ia mengepal kuat karena hujan panah seolah tengah mengenainya.

“Al, kemari.”

Alih-alih menerima uluran tangan ibunya, Alvaro menatap beliau dengan jeri tertahan. Di satu waktu, ibunya begitu lembut seperti sekarang. Di waktu lain, wanita itu sanggup membuat Alvaro kehabisan akal. Kenapa ia tidak bisa menjadi anak seperti yang orangtuanya mau? Kenapa otaknya tak seencer Kevan dan Mariana? Seandainya ia sepandai mereka, Alvaro tidak akan membeli soal dan masuk ke SMA mana pun yang ia mau dengan seleksi jujur. Ia tidak akan memancing amarah ayahnya dan berakhir seperti ini. Kenapa ia begitu payah?

Mengabaikan tatapan ibunya, Alvaro melanjutkan langkah.

“Bang, Abang mau ke mana?” Kevan menyusul.

Alvaro sungguh tidak punya tenaga untuk menjawab. Rasanya ia bahkan tidak berhasil memegang tali tas yang digapainya. Alvaro hanya menatap Kevan, lalu mengacak rambut adiknya itu pelan.

“Bang?” Tatapan Kevan berkaca-kaca, begitu pula Mariana.

“Jagain Ana.” Kalimat itu terlontar lirih dari mulut Alvaro yang amis oleh darah. Kalimat itu terlontar begitu saja. Hendakkah ia pergi lagi? Barangkali begitu.

“Bang—“ Kevan tercekat.

“Al, mau ke mana kamu? Sini kita ke kamar. Mama obati lukamu—Al!”

Mengabaikan panggilan-panggilan itu, Alvaro menyeret langkah dengan gontai. Saat ibunya meraih tangan Alvaro, ia menepisnya pelan. Sungguh. Ia tidak bisa merasakan ketulusan di ucapan ibunya. Bukankah beliau lebih memedulikan penilaian orang-orang terhadap suaminya dibanding kondisi Alvaro?

Terbungkus rasa sakit hati dan ketidakberdayaan, Alvaro bergegas menaiki motor. Ia menyalakan mesin, beranjak pergi mengabaikan panggilan-panggilan yang membuat batinnya kian perih.

Casi benar. Alvaro seharusnya tidak pulang. Ia mencengkeram kemudi, menuju rumah cewek itu lagi. Namun, menjelang beberapa meter menuju rumah Casi, Alvaro melihat sebuah mobil berbelok memasuki area parkir rumah itu. Orangtua Casi? Kekasihnya? Alvaro tidak tahu. Yang ia tahu, dadanya kian sesak, dan ia memutar balik motornya. Alvaro menuju satu-satunya tempat yang melintas di benaknya. Rumah Toni.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Monoton
503      338     0     
Short Story
Percayakah kalian bila kukatakan ada seseorang yang menjalani kehidupannya serara monoton? Ya, Setiap hari yang ia lakukan adalah hal yang sama, dan tak pernah berubah. Mungkin kalian tak paham, tapi sungguh, itulah yang dilakukan gadis itu, Alisha Nazaha Mahveen.
LELAKI DENGAN SAYAP PATAH
7836      2511     4     
Romance
Kisah tentang Adam, pemuda single yang sulit jatuh cinta, nyatanya mencintai seorang janda beranak 2 bernama Reina. Saat berhasil bersusah payah mengambil hati wanita itu, ternyata kedua orang tua Adam tidak setuju. Kisah cinta mereka terpaksa putus di tengah jalan. Patah hati, Adam kemudian mengasingkan diri dan menemukan seorang Anaya, gadis ceria dengan masa lalu kejam, yang bisa membuatnya...
Premium
RARANDREW
15672      2929     50     
Romance
Ayolah Rara ... berjalan kaki tidak akan membunuh dirimu melainkan membunuh kemalasan dan keangkuhanmu di atas mobil. Tapi rupanya suasana berandalan yang membuatku malas seribu alasan dengan canda dan godaannya yang menjengkelkan hati. Satu belokan lagi setelah melewati Stasiun Kereta Api. Diriku memperhatikan orang-orang yang berjalan berdua dengan pasangannya. Sedikit membuatku iri sekali. Me...
Peran Pengganti; Lintang Bumi
1002      458     10     
Romance
Sudah banyak cerita perjodohan di dunia ini. Ada sebagian yang akhirnya saling jatuh cinta, sebagian lagi berpisah dengan alasan tidak adanya cinta yang tumbuh di antara mereka. Begitu juga dengan Achala Annandhita, dijodohkan dengan Jibran Lintang Darmawan, seorang pria yang hanya menganggap pernikahannya sebagai peran pengganti. Dikhianati secara terang-terangan, dipaksa menandatangani su...
Love Warning
1146      513     3     
Romance
Pacar1/pa·car/ n teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih; kekasih. Meskipun tercantum dalam KBBI, nyatanya kata itu tidak pernah tertulis di Kamus Besar Bahasa Tasha. Dia tidak tahu kenapa hal itu seperti wajib dimiliki oleh para remaja. But, the more she looks at him, the more she's annoyed every time. Untungnya, dia bukan tipe cewek yang mudah baper alias...
Breakeven
16935      2076     4     
Romance
Poin 6 Pihak kedua dilarang memiliki perasaan lebih pada pihak pertama, atau dalam bahasa jelasnya menyukai bahkan mencintai pihak pertama. Apabila hal ini terjadi, maka perjanjian ini selesai dan semua perjanjian tidak lagi berlaku. "Cih! Lo kira gue mau jatuh cinta sama cowok kayak lo?" "Who knows?" jawab Galaksi, mengedikkan bahunya. "Gimana kalo malah lo duluan ...
I'il Find You, LOVE
5327      1405     16     
Romance
Seharusnya tidak ada cinta dalam sebuah persahabatan. Dia hanya akan menjadi orang ketiga dan mengubah segalanya menjadi tidak sama.
NI-NA-NO
1301      589     1     
Romance
Semua orang pasti punya cinta pertama yang susah dilupakan. Pun Gunawan Wibisono alias Nano, yang merasakan kerumitan hati pada Nina yang susah dia lupakan di akhir masa sekolah dasar. Akankah cinta pertama itu ikut tumbuh dewasa? Bisakah Nano menghentikan perasaan yang rumit itu?
CAFE POJOK
3109      1055     1     
Mystery
Novel ini mengisahkan tentang seorang pembunuh yang tidak pernah ada yang mengira bahwa dialah sang pembunuh. Ketika di tanya oleh pihak berwajib, yang melatarbelakangi adalah ambisi mengejar dunia, sampai menghalalkan segala cara. Semua hanya untuk memenuhi nafsu belaka. Bagaimana kisahnya? Baca ya novelnya.
Fighting!
476      321     0     
Short Story
Kelas X IPA 3 merupakan swbuah kelas yang daftar siswanya paling banyak tidak mencapai kkm dalam mata pelajaran biologi. Oleh karena itu, guru bidang biologi mereka memberikan tantangan pada mereka supaya bisa memenuhi kkm. Mereka semua saling bekerja-sama satu sama lain agar bisa mengenapi kkm.