Cowok Cantik Part 6
"Lu lihat Rama, gak?" Tanyaku ke salah satu perempuan yang sedang asyik duduk di kelas mereka.
"Rama? Dia gak masuk kelas tadi," jawab perempuan itu sambil matanya tak berhenti menatapku. Dan ada yang aneh dengan ekspresinya.
Aku berusaha tak peduli pada tatapan perempuan itu. Sama seperti tak pedulinya aku pada tatapan anak-anak yang sejak tadi aku lewati kesana kemari. Aku tak harus ambil pusing karena mereka. Jika mereka ingin menatap, aku biarkan. Menyapa, aku balas. Mencibir, aku acuhkan. Intinya, terobos.
"Dia tadi sekolah, masa sih dia gak masuk kelas? Lu gak bohong, kan?" tanya ku mencari kepastian setelah sedikit berpikir-pikir.
"Gak kok. Dia mungkin sekolah, tapi dia gak masuk kelas. Mungkin dia malu. Dia nulis surat cinta buat lo di mading sekolah. Lo udah baca, kan?"
"Hah? Surat cinta? Mading? Pantesan anak-anak gak berhenti natapin gue," sambungku mencoba mengerti. Gegas saja aku menuju ke mading untuk membaca surat yang dikatakan perempuan itu.
Tap,, tap,, tap.. Langkahku berhenti. Disana ada banyak anak yang mengerumuni mading. Awalnya aku penasaran kenapa. Lama kelamaan aku sadar bahwa mereka sedang membaca surat yang disebutkan perempuan tadi.
"Eh, bubar yuk!" komando seorang gadis saat menyadari kehadiranku di sana. Dia Caca, teman sekelasku. Sepertinya dia mencoba membantuku. Untungnya saat itu tak ada provokator yang merusak suasana. Jadi mereka semua pergi dengan mudahnya. Dan untungnya lagi, Caca itu bukan perempuan cerewet yang mau repot-repot menanyai aku darimana saja sampai tak masuk kelas. Aku sangat berterima kasih padanya.
Aku pun melanjutkan kegiatanku untuk membaca surat Rama yang katanya ditulis untukku. Ya, meskipun aku masih bertanya-tanya kenapa surat ini malah ada di mading dan tidak langsung diberikan padaku. Tapi aku tak harus menghabiskan waktuku untuk memikirkan itu, kan?
Dari Rama, Buat Lo Semua.
Especially, Sandi.
Maaf udah bikin lu marah, San. Gue gak bakal manggil lu "Can" atau "Cantik" lagi. Ini semua salah gue kalau lu harus ambil pusing tiap hari hanya untuk tatapan anak-anak ke lu. Gue gak maksud mencemarkan nama lu. Gue cuma bilang kalau gue suka sama lu. Gak berarti kita pacaran atau lu suka sama gue, Gak. Dan lu semua dengar itu, Kan? Sandi gak ada hubungan apa-apa sama gue. Jadi gue mohon jangan ganggu Sandi. Gak usah ngomongin dia lagi. Dan untuk semua kekacauan yang gue lakuin akhir-akhir ini, Gue Minta Maaf sama Lu semua. Gue mohon kerja sama lu semua buat hapus semua masalah ini. Dan gue siap membayar kesalahan gue ini. RAMA.
Dia memang brengsek. Dia selalu bisa membuat aku jadi sosok yang pantas merasa bersalah. Dia selalu mengorbankan kebahagiaannya demi aku, walau sekecil apapun. Dan aku selalu yang tertawa di balik semua kesakitannya itu.
Srett.!! Aku merobek kertas itu karena kesal pada diriku sendiri. Dan tanpa sengaja aku ternyata membuka surat pertama Rama yang dia tulis kemarin.
Dari Rama.
Buat Lu Semua, Especially Sandy.
Can, gue sayang sama Lu. Gue cinta sama Lu. Terlepas dari apa yang akan orang katakan tentang kita, gue nulis surat ini sebagai bukti cinta gue ke Lu. Jadi, buat lu semua yang udah baca tulisan ini, gue mau ngasih tahu. Sandi si Cantik itu punya gue. So, jangan ganggu dia. Rama (love) Sandi.
Aku tercengang membacanya. Kapan dia menulis semua ini dan menempelkannya? Kenapa juga harus ditempel di mading? Apa dia gila? Apa dia tidak malu? Cinta pasti sudah membuatnya gila. Aku juga, kenapa bisa bego banget sih? Kok bisa kemarin aku tidak tahu kalau dia menulis surat ini? Iya, aku akui kalau tatapan anak-anak kemarin agak beda dari biasanya. Tapi aku masih tidak kepikiran kalau itu semua karena tulisan ini. Aku kira mereka menatapku karena alasan yang biasa, karena tampang cute alias cantik ini.
SRET.!! Sekali lagi aku harus merobek surat cinta Rama untuk ku. Rasanya badan ku tiba-tiba lemas semua. Dan Tep. Aku merasa ada seseorang menepuk pundakku. Tep tep. Ya, itu benar. Memang ada tangan yang menepuk-nepuk punggungku. Aku langsung memutar badan. Dan aku lihat, di sana ada Heri. Dan dia tersenyum padaku. Penuh keteduhan dan sedikit kecemasan.
"Lu yang sabar yah! Tadi gue penasaran kenapa lu nangis. Tapi sekarang gue udah tahu alasannya," ucapnya sambil tetap memegang pundakku.
"Sekarang, gue rasa, lu lebih baik mikir dulu, apa yang akan lu lakuin ke Rama. Dan, saran gue, lu ingat-ingat lagi saran gue sebelumnya," lanjutnya sambil terus tersenyum. Belum sempat aku membuka mulut, bel masuk sudah berbunyi. Heri berbalik dan berjalan pergi dengan santainya. Dia meninggalkan aku yang masih menyimpan pertanyaan untuknya.
"Her!" panggilku berharap dia akan berbalik. Tapi dia hanya memanjangkan tangan kirinya ke samping. Dan mengacungkan ibu jarinya seakan meyakinkanku bahwa aku pasti bisa. Makasih, Her!