Cowok Cantik Part 5
Dan aku di sini. Duduk berhadapan dengan Heri. Laki-laki seangkatanku yang terkenal karena tangguh dan tak terkalahkan dalam dunia olahraga. Mau bela diri, basket, sepak bola, bulu tangkis, voli, takraw, lari, sampai catur sekalipun dia babat. Dia bahkan jadi team leader alias kapten di tim basket sekolah. Hanya saja, dia sering sekali terlibat perkelahian dan tawuran. Tak tahu juga kenapa. Makanya dia terkenal. Rama saja yang katanya sudah main basket sejak SMP kalah sama dia.
"Shsh..." desisnya sesekali saat sapu tanganku menyentuh bagian lukanya. Kulihat, tanganku yang putih pucat ini sekarang sedang menekan-nekan lukanya dengan telaten. Lembut dan menyeluruh. Setelah yakin lukanya sudah steril menggunakan cologne, aku mengeluarkan selembar plester untuk menutupi lukanya. Aku memotongnya sedikit agar tidak terlalu mencolok ketika dia memakainya. Rasanya lumayan seru. Lalu aku mulai menempelkan plester itu ke pelipisnya. Tep, tanganku serasa digenggam. Iya, Heri memang menggenggamnya. Aku terkejut dan menatap matanya untuk mencari jawaban di balik perilaku anehnya ini. Tapi dia justru semakin tajam menatapku. Dia sama sekali tak terusik dengan tatapanku.
"San, gue juga minta maaf yah kalau tadi gue udah bikin lu marah," ucap Heri tiba-tiba tanpa berkedip sedikitpun. Harus aku akui dia itu sangat jantan. Tapi aku juga tak bisa menahan tawaku. Dan tanpa menghiraukan tatapannya lagi, aku menjawab.
"Biasa aja kali. Tadi kan gue yang terlalu sensi," sahutku sejenak melupakan masalahku dengan Rama dan mama.
"Dah, selesai!" lanjutku beberapa saat setelah menertawainya. Dia hanya tersenyum memandangiku. Jujur, baru kali ini aku sadar, mukanya Heri ternyata tak kalah keren dari Rama. Hidungnya mancung, tapi tidak terlalu tajam. Kulitnya sawo matang, tapi Rama lebih terang. Rambutnya cepak dan belum dicukur, masih dibiarkan menggantung seksi seperti itu. Rahangnya tegas, dan anehnya, dia punya lesung pipit yang cukup dalam. Kadang aku merasa kalau lesung pipitnya itu tidak seharusnya dia miliki, tapi kadang aku juga merasa kalau lesung pipitnya itu adalah lesung pipit termanis di dunia. Entahlah.
"San,, mikirin apa?" tanyanya membuyarkan perhatianku pada lekuk wajahnya.
"Gak ada kok. Kenapa?" balasku balik bertanya.
"Gak juga sih, kita keluar, yuk! Tapi lo tungguin gue dulu. Gue mau pipis bentar. Ntar kita ke kantin buat refreshing," terangnya tanpa ketinggalan dengan senyum lesung pipitnya.
"Oke," jawabku santai. Dia pun dengan cepat menuju ke salah satu urinoar. Kegiatannya saat ini tanpa sadar membuatku merasa malu. Entah kenapa aku mulai maling muka darinya. Huh, harusnya kan aku biasa saja!
"San, lu mau tahu satu rahasia, gak?" Tiba-tiba Heri angkat bicara disela kegiatannya. Aku pun mendengarkan dengan seksama dan menjawab sebutuhnya saja.
"Apaan?"
"Gue,,, Gue tadi ketemu bidadari," serunya terdengar malu-malu.
"Humh, ngaco lo," sergahku ikut terhibur.
"Gak, gue beneran. Tadi gue lihat bidadari. Sayapnya patah. Dia lari masuk toilet ini. Gue pun ngikutin dia pelan-pelan. Gue niatnya mau nolongin bidadari itu sembuhin sayapnya. Tapi, dia malah marah sama gue. Tapi lagi, akhirnya dia mau juga gue tolongin. Rasanya seru, San. Kerasa kayak Beast nolongin Beauty. Dan gue berharap, endingnya juga sama kayak mereka. Long Life Love." Tak ada kata. Berhenti sampai di situ. Aku tak bisa menjawab Heri. Aku tak boleh terjebak dan menjawab Heri dengan kata-kata yang akan melukainya juga. Meskipun aku tak yakin ini benar nyata. Aku tak percaya Heri juga suka pada laki-laki. Setidaknya aku belum mau tahu kenyataannya. Aku masih mau bermain dengannya sebagai dua orang teman yang asyik bersama.
Serrr... Suara air wastafel dan urinoar pun memecah keheningan kami.
"Udah yuk, San! Kita ke kantin! Gue laper banget nih." Dan yah, dia memang teman yang asyik. Mirip Rama waktu pertama kali kami bertemu. Cukup beberapa jam pertemuan, kami sudah akrab layaknya teman yang sudah lama dekat. Padahal kenalan belum, sekelas juga bukan, bertetangga juga tidak. Hanya sama-sama ikut PMR. Apalagi si Heri. Baru kali ini kami bertatap muka sejelas ini, mengobrol empat mata seperti ini. Tak perlu kenalan karena dua-duanya sudah sama-sama terkenal.
"Her, gue duluan yah. Gue mau ngomong sama Rama dulu," pamitku pada Heri.
Seperti yang aku katakan, aku ingin bertemu Rama. Ingin berbicara empat mata dengannya. Heri sendiri sepertinya tidak merasa berhak untuk melarangku. Tentu saja. Jadi dia hanya bisa mengangguk. Hanya saja wajahnya berubah masam. Mungkin berat melepasku. Biarlah.
Aku lantas langsung ke kelas Rama, berhubung sekarang ini kami sedang jam istirahat.
"Lu lihat Rama, gak?" tanyaku ke salah satu perempuan yang sedang asyik duduk di kelas mereka.
"Rama? Dia gak masuk kelas tadi," jawab perempuan itu sambil matanya tak berhenti menatapku. Dan ada yang aneh dengan ekspresinya.
Aku hanya berusaha mengabaikannya dan mencoba menimbang-nimbang, dimana kiranya Rama sekarang berada. Kenapa dia tak masuk ke kelasnya sementara ia jelas-jelas datang ke sekolah pagi tadi. Apa yang akan aku temui dalam usahaku memperbaiki hubungan kami ini. Aku tak ingin memikirkan yang terburuk. Tapi pikiran itu selalu menghantuiku.